Foto: Cover Buku Achmad Yani Tumbal Revolusi Amelia A. Yani |
Letnan Jenderal Achmad Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat meminta stafnya untuk mengkaji usulan Ketua Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Aidit mengusulkan Angkatan Kelima di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima adalah buruh dan tani dipersenjatai untuk membantu ABRI dalam menghadapi ancaman nekolim (neo kolonialisme) yang terus memperkuat tentaranya di Malaysia.
Jenderal
Yani menugaskan lima orang jenderal, yakni: Mayor Jenderal Siswondo Parman,
Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan,
dan Brigadir Jenderal Soetoyo Siswomihardjo.
“Angkatan
Kelima tidak perlu, oleh karena kita telah mempunyai pertahanan sipil (hansip)
yang telah dan selalu bisa menampung semua kegiatan bela negara,” begitulah
hasil rumusan dari tim perumus yang terdiri dari lima jenderal yang bertugas di
Markas Besar Angkatan Darat tersebut.
Penolakan
Jenderal Yani dan lima jenderal terhadap Angkatan Kelima harus dibayar mahal.
Keenamnya bersama Jenderal Abdul Haris Nasution diisukan sebagai Dewan Jenderal
yang anti Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan tidak mendukung kebijakan
Presiden Sukarno. Padahal Sukarno menyetujui pembentukan Angkatan Kelima
tersebut.
Bahkan pada
pidato Presiden Sukarno 17 Agustus 1965 yang ditulis Wakil Ketua CC PKI Nyoto,
Bung Karno justru menyatakan, mempersenjatai massa buruh dan tani merupakan
gagasan pribadinya. “Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang
diberikan kepada gagasan saya untuk mempersenjatai buruh dan tani,” ujar
Sukarno.
Kemudian
Sukarno menambahkan, ”Saya akan
mengambil keputusan mengenai ini, dalam kapasitas saya selaku Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata…”. Entah keputusan apa yang dimaksud Sukarno
tersebut.
Simak video "Konflik Jenderal A. Yani dengan Bung Besar"
Yani
menyadari keputusan Angkatan Darat bertentangan langsung dengan Presiden
Sukarno dan PKI. Tapi ia meyakini bahwa inilah sikap Angkatan Darat. DN Aidit
memang cemas, karena PKI tidak punya tentara, seperti di RRT. Padahal kata pemimpin
partai komunis Cina, Mao Tse Tung, kekuasaan itu lahir dari ujung bedil. Karena
itulah PKI merasa perlu mempersenjatai buruh dan tani. Jumlahnya sekitar 15
ribu orang dengan rincian buruh 5.000 dan tani 10 ribu orang.
Yani kecewa,
karena Sukarno terpengaruh bahkan sangat mesra dengan komunis. Angkatan Darat
mencatat, PKI sejak Mei 1965 terlihat begitu intensif melakukan aksi massa
sepihak yang dibungkus dengan pelaksanaan landreform. Misalnya di
Mantingan Jawa Timur, massa komunis yang dipelopori anggota Barisan Tani
Indonesia (BTI) berusaha mengambil paksa tanah wakaf milik Pondok Pesantren
Gontor di Ponorogo. Terjadi konflik massa para santri melawan BTI serta massa
PKI.
Yani juga sangat
marah ketika PKI mengeroyok dan mencincang Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono
di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara. Aidit berkelit bahwa tindakan PKI
di Bandar Betsy sebagai tindakan revolusioner sebagai awal dari pelaksanaan
tuntutan landreform untuk memenuhi komando Presiden Sukarno.
“Kami diminta Bapak mencari koran yang memberitakan kasus Pelda Sujono tewas dibantai PKI di Bandar Betsy, Sumatra Utara,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari Jenderal Achmad Yani dalam perbincangan dengan Selamat Ginting yang ditayangkan chanel youtube SGinting Offcial akhir Oktober 2021 lalu.
Bagaikan
Ibukota Komunis
Peristiwa 14
Mei 1965 di Bandar Betsy dianggap angin lalu oleh PKI. Sepanjang Mei 1965, PKI
justru gencar melempar isu Dewan Jenderal sebagai jenderal-jenderal yang akan
menggulingkan Presiden Sukarno. Mereka terus memaksakan Angkatan Kelima. Dalam
merayakan ulang tahun PKI tahun 1965, kaum komunis merayakannya besar-besaran.
Tamu-tamu
berdatangan dari negara-negara komunis, seperti Republik Takyat Tiongkok atau
Cina, Albania, Korea Utara, Vietnam Utara, dan Partai Komunis dari Uni Soviet.
Jakarta saat itu seperti ibukota negara komunis. Gambar Sukarno, DN Aidit,
Lenin, dan Karl Marx, Engels, Stalin dipajang di sejumlah jalan utama Ibukota.
“Kami
terkejut, ternyata pembantu rumah kami adalah simpatisan PKI. Dia membawa
bendera palu arit dan ikut dalam pawai di Gelora Senayan. Belakangan kami baru
menyadari, jangan-jangan dia PKI yang memantau aktivitas Pak Yani di rumah.
Sebab setelah peristiwa pembunuhan terhadap bapak, pembantu itu menghilang,”
ujar Amelia Yani.
Pawai
besar-besaran membuat Jakarta dan seluruh Pulau Jawa menjadi merah oleh bendera
palu arit. Presiden Sukarno menyambut gembira dengan suasana gemuruh di stadion
Gelora Senayan, Jakarta. Menggunakan pakaian Panglima Tertinggi lengkap dengan
pita tanda jasa, brevet dan tongkat komandonya. Ia memeluk Ketua CC PKI DN
Aidit dengan mesra. Disambut ratusan ribu massa seperti menggoyang Stadion
Senayan.
“Apa sebab
PKI bisa jadi demikian besar? Oleh karena PKI konsekuen progresif revolusioner.
Aku berkata, PKI yo sanakku, ya kadang-ku, yen mati aku melu kelangan,”
kata Bung Karno bersemangat. PKI pada
1965 beranggotakan tiga juta orang, Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) tiga juta
orang, dan simpatisan 20 juta orang.
Selain
memuji PKI, Sukarno kembali menegaskan sikapnya mengenai Nasakom, seperti tahun
1926. Awalnya Sukarno menggunakan istilah Nasionalis, Islam, Marxis. Kemudian
diubah menjadi Nasionalis, Agama, dan Marxis (Nasamarx). Akhirnya menjadi
Nasakom. Ide yang ditentang mantan Wakil Presiden Moh Hatta, Jenderal AH
Nasution dan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan ABRI.
Pujian terhadap
PKI kemudian diimplementasikan Sukarno dengan memberikan Bintang Mahaputra
untuk DN Aidit pada 17 Agustus 1965. PKI semakin mendapatkan angin menjadi anak
emas Presiden Sukarno. Dua pekan setelah itu, massa PKI melakukan demonstrasi
besar-besaran di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Inggris di Jakarta.
Bahkan masa
menerobos dan membakar kedutaan besar Inggris. Menghadapi massa yang tidak
terkendali, Angkatan Darat menyelamatkan sejumlah diplomat Inggris dari amukan
massa yang beringas. “Terima kasih dari saya seorang nekolim (neo
kolonialisme),” begitulah karangan bunga yang dikirimkan Duta Besar Inggris di
Jakarta Andrew Graham Gilsrist.
“Karangan
bunga itu diberikan, karena personel Angkatan Darat menyelamatkan para diplomat
dari amukan massa dan api yang membakar kedutaan Inggris. Tapi kemudian
dijadikan isu oleh PKI bahwa Jenderal Yani sebagai antek Inggris. Sekaligus
menjadi dasar dibuatnya dokumen Gilchrist yang berbunyi ‘our local army
friends’ oleh biro khusus PKI yang dipimpin Syam Kamaruzaman,’ kata Amelia Yani.
Jenderal
Yani memang pernah bersekolah militer di Inggris pada 1955. Tentu saja dikirim
oleh negara untuk memperdalam ilmu militer. Namun di depan Sukarno, Yani membantah sebagai
antek Amerika maupun Inggris. “Anti komunis bukan berarti menjadi antek Amerika
dan Inggris. Negara yang menyekolahkan saya ke Amerika dan Inggris. Bukan
maunya saya sebagai tentara harus sekolah di mana,” kata Amelia Yani menirukan
ucapan ayahandanya yang ditulis dalam buku catatan Yani.
Hubungan
dengan Sukarno
Yani yang semula
akrab dengan Presiden Sukarno, lama-lama akhirnya berpisah jalan. Ia menolak
ide Nasakom, karena sudah ada ideologi negara, Pancasila. Sebagai personel TNI
telah ia disumpah untuk menjunjung ideologi Pancasila. Bukan ideologi lain. Ia
juga menolak ide Angkatan Kelima yang digagas PKI dan Bung Karno.
Seperti
diungkap di atas, tim Yani di Staf Umum Angkatan Darat sudah mengkaji masalah
Nasakom dan Angkatan Kelima. Hasilnya menolak dua hal tersebut. Kelima Jenderal
dalam tim tersebut bersama dengan Jenderal Yani dan Jenderal AH Nasution
akhirnya harus menelan pil pahit, masuk dalam daftar penculikan dan akhirnya
dibunuh pada 1 Oktober 1965. Hanya Jenderal Nasution yang selamat.
Amelia Yani
juga menceritakan bahwa hubungan keluarganya dengan keluarga Sukarno tergolong
baik dan akrab. Bahkan Yani dan istri kerap membantu Ibu Negara Fatmawati yang
keluar dari istana, karena kecewa Sukarno kawin lagi. “Ibu saya suka membantu
Bu Fatmawati yang tinggal di rumah kecil menyendiri, tidak lagi di Jalan Sriwijaya.
Bapak juga beberapa kali meminta ajudan Mayor Subardi mengirimkan makanan dan
bantuan lain untuk Bu Fatmawati,” ujar Amelia.
Setelah
peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Yani, lanjut Amelia,
istri-istri Bung Karno juga mengunjungi rumah keluarga Yani di Jalan Lembang.
Terutama Hartini dan Dewi. Bahkan Dewi yang berasal dari Jepang, hampir tiap
hari menghibur istri Jenderal Yani. “Bu Dewi tentu saja ke sini atas perintah
Presiden Sukarno sekaligus menawarkan agar Ibu kami bersedia mengelola Sarinah
Jaya. Tapi ibu menolak, karena sudah terlanjut kecewa dengan sikap Presiden
Sukarno.”
Nyawa tidak
bisa ditukar dengan harta. Yayuk Ruliah Sutodiwiryo kehilangan respek pada
Presiden Sukarno setelah kematian suaminya yang tragis. Padahal sebelumnya, ia
merasa senang sekali tatkala Bung Karno hadir dalam acara syukuran rumah baru
keluarga Yani di Jalan Suropati. Namun rumah tersebut hanya dihuni selama satu
tahun. Yayuk juga kerap menampung curahan hati Fatmawati, istri ketiga Presiden
Sukarno.
“Setelah
bapak gugur, Ibu tidak mau lagi bicarakan tentang Bung Karno, sudah terlanjur
kecewa,” ujar Amelia dengan rasa sedih. Ungkapan-ungkapan Amelia Yani dapat
disaksikan dalam channel youtube SGinting Official.
/selamatgintingofficial