Jakarta, FNN– Pengamat komunikasi dan militer, Selamat Ginting menyebut Presiden Joko Widodo marah terhadap institusi kepolisian terkait pemanggilan para perwira polisi yang diminta hadir ke istana dengan melucuti aksesori dinas, seperti topi dan tongkat pada Jumat (14/10).
Hersubeno Arief membahas persoalan ini bersama Selamat Ginting dalam video berjudul "Presiden Sangat Marah ke Polri. Kumpulkan di Istana. Tak Boleh Pakai Topi Dinas & Tongkat Komando" melalui kanal Youtube Hersubeno Point yang dipublikasikan pada Jumat, 14 Oktober 2022.
Ginting mengaitkan bahwa arahan presiden terhadap pemanggilan perwira tersebut berhubungan dengan kasus-kasus yang membuat posisi polisi terpuruk. Ia menyebutkan dalam beberapa survei menunjukkan citra kepolisian yang menurun drastis.
"Bahkan dalam beberapa survei di bulan Agustus, September, dan Oktober ini turun drastis sampai di bawah 55%. Jadi, kasus Sambo, kasus Kanjuruhan itu kemudian membuat posisi polisi itu di mata masyarakat jatuh sekali," ujar Ginting kepada Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief melalui kanal Youtube Hersubeno Point.
Pengamat militer dari Universitas Nasional (Unas) tersebut mengatakan belum pernah terjadi pemanggilan pejabat utama polisi, seperti Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Kepala Kepolisian Kota Beaar (Kapoltabes), dan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) ke istana sebelumnya.
"Bacaan saya presiden itu marah, marah kepada institusi polisi," ucap Ginting.
Kemarahan presiden tersebut dispekulasi karena lambatnya penanganan kasus yang belakangan ini menjadi atensi masyarakat, bahkan seperti kasus Kanjuruhan yang sudah memasuki ranah internasional.
Menurut Ginting, arahan Jokowi yang meminta para perwira untuk hadir tanpa memggunakan aksesori dinas lengkap dianggap sebagai simbol komunikasi dari bentuk kemarahan presiden.
"Bukan dengan cara pernyataan- pernyataan keras, tapi menurut saya itu sudah simbol komunikasi. jadi ini kemarahan presiden terhadap institusi polisi," kata Ginting menambahkan.
Seperti yang diberitakan, Presiden Joko Widodo menjadwalkan pemanggilan terhadap para perwira kepolisian dari seluruh Indonesia di Istana Negara pada Jumat (14/10) siang. Dengan perintah ini, Jokowi juga meminta agar para perwira datang hanya dengan baju dinas tanpa menggunakan topi ataupun tongkat komando. (oct)
Jakarta, FNN– Keputusan kontroversial dalam rapat panitia penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022 yang mencabut aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI, terus mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.
Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengingatkan Panglima TNI Andika Perkasa bahwa komunis menjadi musuh laten bagi TNI sepanjang masa.
Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari perbincangan Selamat Ginting dengan wartawan FNN, Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis, 31 Maret 2022.
Ginting mengingatkanbahwa TNI memiliki Sapta Marga, terutama marga pertama dan kedua. Marga pertama ‘Kami warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila’ lalu marga yang kedua ;Kami patriot Indnesia pIendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.’
“Jadi, ideologi TNI adalah Pancasila, tidak bisa menerima ideologi lain selain Pancasila. Bahkan, di marga kedua itu pembela ideologi, bertanggungjawab serta tidak mengenal menyerah. Jadi, TNI itu soldier never die, maka ketika pensiun pun tetap menjadi patriot pembela ideologi negara,” paparnya.
Ginting menegaskan pentingnya terus waspada terhadap PKI, sebab sejarah telah membuktikan PKI berulangkali mencoba menguasai Indonesia dengan memusuhi TNI AD dan umat Islam.
“Kita tahu TNI pernah menjadi musuh utama PKI. Musuh utama PKI ada dua yakni, TNI Angkatan Darat dan Islam. TNI juga selalu mengingatkan pada bangsa dan negara bahwa ada beberapa pemberontakan yang dilakukanoleh PKI yakni tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965,” paparnya.
Ginting menyatakan bahwa pada tahun 1926 tokoh-tokoh PKI seperti Muso kabur ke Uni Soviet lalu tahun 1948 muncul lagi sehingga TNI mengingatkan bahwa, PKI tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, karena tahun 1948 mereka baru balik ke Indonesia. Kemudian tahun 1965 terjadi Gerakan 30 September oleh PKI.
“Jadi rentang 20 tahunan itu selalu terjadi, sampai kemudian, TNI mengindikasikan PKI bermain ketika era reformasi. Mereka bersembunyi melalui partai atau ormas dan segala macam kelompok. Jadi bagi TNI, komunis itu bahaya laten. Sampai sekarang tidak pernah dicabut itu,” paparnya paf.
Menurut Ginting upaya menggusur Tap MPRS No. 25 tahun 1966 dulu juga sempat diwacanakan oleh Presiden Gus Dur. Mengetahui hal itu, TNI langsung bergerak melakukan penolakan, bahkan sampai Menkumham Yusril Ihza Mahendra melawan Gus Dur.Kalau Gus Dur tetap ngotot maka bukan tidak mungkin TNI beserta kelompok Islam akan menggulingkannya, karena bahaya sekali.
Tak hanya itu, pada 2003 ketika Megawati menjadi presiden, ada keinginan yang kuat dari PDIP untuk menghapus Tap MPRS No. 25 tahun 1966 ini, tetapi dia harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang menentangnya. Saat itu masih ada fraksi ABRI, fraksi Utusan Golongan, fraksi Golkar dan fraksi Reformasi termasuk fraksi PPP di DPR. Dan di sini dalam Panitia AdHoc-2, PDIP bahkan ngotot ingin melakukan voting. Upaya mencabut Tap MPRS ini sudah berulangkali dilakukan.
“Sekarang repotnya TNI dan Polri tidak ada di Parlemen dan MPR seperti dulu.Generasi TNI sekarang perlu menyimak bagaimana tahun 1960-1961 muncul organisasi SOKSI yang dipimpin oleh Brigjen Suhardiman, Kosgoro dipimpin oleh Brigjen Mas Isman lalu MKGR oleh Brigjen Sugandhi,” paparnya.
Hal ini adalah upaya mereka ketika Soekarno sudah menggaungkan Nasakomisasi. “Jadi, TNI AD betul-betul melawan konsep Nasakom Bung Karno yang ujung tombaknya adalah komunis. Jadi bagi TNI AD, Soekarno sudah menyimpang dari Sapta Marga itu,” tegasnya.
Ginting menegaskan, SOKSI memiliki beberapa organisasi underbow untuk melawan PKI karena pada waktu itu PKI berusaha untuk mempercepat Pemilu. “Mereka mendesak tahun 1963 pemerintah melakukan Pemilu, bahkan DN Aidit, Ketua CC PKI mengtakan oke soal Pancasila, Pancasila adalah pemersatu bangsa, tetapi kalau bangsa sudah bersatu Pancasila tidak diperlukan lagi,” tegasnya.
Saat itu, katan Ginting, ada kekhawatiran dari jenderal-jenderal Angkatan Darat untuk melawan PKI, sebab kalau Pemilu dilakukan pada 1963, maka PKI menjadi pemenang, karena beberapa partai sudah tercerai berai, lantaran ada konflik di internal sejumlah partai.
Harus diingat bahwa Pemilu 1955 PKI menempati urutan keempat, setelah PNI 22 persen, Masyumi 20persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen. Padahal, tahun 1948 baru memberontok, 7 tahun kemudian sudah menempati urutuan keempat. Ini artinya PKI cepat sekali melakukan konsolidasi.
Kewaspadaan terhadap bahaya laten PKI dipantau terus oleh organisasi-organisasi underbow Golkar. “Tahun 1964 organisasi seperti SOKSI bersatu dalam Sekber Golkar untuk melawan PKI. Ini yang menjadi cikap bakal dari Golkar. Lahirnya Golkar tidak bisa dipisahkan dari TNI AD melawan PKI. Cerita ini yang seharusnya tetap muncul pada generasi TNI sekarang,” pesannya.
Intinya, Ginting berpesan, TNI tidak boleh merekrut orang yang terpapar ideologi selain Pancasila. “Indonesia punya pengalaman bagaimana TNI menghadapi ideologi komunis, liberalis, Islam radikal DI/TII dan lainnya. TNI adalah institusi yang memegang ideologi Pancasila, berbeda dengan militer negara-negara lain. Makanya TNI AD sangat keras menentang Nasakomisasi. (ida, sws)
Tiga gubernur yang akan mengakhiri tugasnya pada 2022 dan 2023 ini, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Mochamad Ridwan Kamil, dalam kajian komunikasi politik, sedang berupaya memengaruhi khalayak pemilih. Mereka sedang berlomba mencuri perhatian publik melalui media sosial (medsos) dan media massa.
Tidak bisa diabaikan, termasuk dalam kegiatan ceramah tarawih ketiganya di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam beberapa hari terakhir ini. Jangan lupa, mereka termasuk yang memiliki peluang untuk pemilihan presiden (pilpres) 2024 mendatang.
Dalam acara di UGM, Anies dan Ganjar lebih diuntungkan daripada Ridwan, karena UGM adalah almamater Anies dan Ganjar. Anies lulusan sarjana ekonomi dari UGM. Sedangkan Ganjar lulusan sarjana hukum UGM. Sementara Ridwan lulusan sarjana teknik arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB).
Seperti diketahui, Anies Baswedan adalah Gubernur DKI Jakarta. Sementara, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Sedangkan Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Ketiga gubernur tersebut lebih menonjol daripada gubernur lainnya. Dibandingkan misalnya dengan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Maupun Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi.
Setidaknya dari ulasan-ulasan di media sosial, media massa maupun hasil sejumlah survey, ketiga gubernur tersebut senantiasa dikaitkan dengan kompetisi pilpres. Jangan heran kalau dalam beberapa acara, publik meneriakkan jargon-jargon presiden untuk ketiganya. Anies presiden, Ganjar presiden, Ridwan presiden. Inilah perang komunikasi politik di ruang publik.
Aktivis mahasiswa
Selain itu, Ganjar adalah ketua umum keluarga alumni UGM (Kagama) periode 2014-2019. Selama kuliah di UGM, Ganjar adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan dikenal sebagai demonstran.
Sementara Anies juga dikenal sebagai aktivis mahasiswa UGM. Ia pernah mejadi ketua umum senat mahasiswa UGM, serta aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Anies pun pernah menjadi peneliti di almamaternya.
Fakta-fakta itu membuat Anies dan Ganjar lebih diuntungkan jika mengadakan acara di UGM. Baik Anies maupun Ganjar memiliki usia yang hampir sama, sekitar 53 tahun.
Sedangkan Ridwan lebih muda, sekitar 51 tahun. Ridwan juga mengakui sebagai anak biologis HMI, karena dahulunya kedua orangtuanya adalah aktivis HMI di Jawa Barat.
Simbol politik
Saya tidak terkejut dengan isi ceramah Anies, jauh lebih banyak dilihat di channel youtube ketimbang ceramah Ganjar maupun Ridwan. Dalam catatan ada sekitar 85 ribu orang yang melihat Anies. Jauh melampaui Ganjar yang ditonton sekitar 14 ribu orang dan Ridwan sekitar 13 ribu orang.
Simbol Islam nasionalis atau nasionalis religius lebih melekat dalam diri Anies daripada Ganjar yang lebih dikenal sebagai simbol nasionalis. Begitu juga dengan Ridwan lebih dikenal sebagai simbol nasionalis.
Target politik ketiganya, tentu saja diharapkan dapat memberikan dukungan dalam bentuk pemberian suara (vote) jika kelak mereka maju dalam kompetisi pemilihan presiden.
Sehingga efek komunikasi politiknya dalam acara ceramah terawih di UGM adalah terciptanya pemahaman publik yang akan bermuara pada pemberian suara, kelak dalam pilpres maupun pemilu.
Jadi, ketiga gubernur itu sedang melakukan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, memiliki akibat politik, dan berpengaruh terhadap perilaku politik pemilih atau khalayak pemilih.
Terbius
Upaya memengaruhi khalayak pemilih tersebut, antara lain dilakukan melalui media massa, seperti dengan agenda setting politik, analisis retorika politik, serta wacana politik.
Sehingga ceramah mereka secara verbal maupun non verbal, tersembunyi atau terang-terangan, disadari maupun tidak disadari, isinya mengandung bobot politik.
Mereka sebagai komunikator politik, tentu saja menginginkan masyarakat seperti terbius obat dari jarum suntik, sehingga terbius untuk menentukan pilihannya kepada mereka. Dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah teori jarum suntik maupun teori peluru.
Foto: Panglima Mandala Trikora, Mayjen Soeharto mengunjungi pasukan Zeni di Morotai, Kepulauan Maluku, yang sedang membuat pangkalan udara darurat untuk menyerang tentara Belanda di Papua
Tulisan Lawas (31 Januari 2014)
"Operasi ini hanya untuk satu kali jalan, tidak untuk kembali. Saya perkirakan, 60 persen dari kalian akan mati, hanya 40 persen yang selamat dan bisa kembali. Jika tidak sanggup, mundur!. Saya beri waktu hanya satu menit untuk berpikir ulang."
Itulah salah satu amanat Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat, Mayor Jenderal Soeharto kepada para prajurit yang tergabung dalam Operasi Mandala Trikora di Morotai, Kepulauan Maluku, pada pertengahan 1962.
Tetapi tidak ada satu pun prajurit yang mundur. Semua menyatakan siap mati demi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu dari prajurit itu adalah ayahanda yang saat itu masih bujangan dan berusia 22 tahun. Sersan Dua Sampit Ginting, komandan regu dari kesatuan Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 7 Kostrad. Saat itu Kostrad masih bernama Korps Tentara 1 Tjadangan Umum Angkatan Darat (Korra 1/Tjaduad).
Untuk menghadapi tentara Belanda, pada 1962-1963 Kostrad membentuk delapan batalyon zeni tempur (yonzipur) dan batalyon zeni konstruksi (yonzikon), terdiri dari Yonzipur 7, Yonzipur 9/Para, Yonzipur 10/Amfibi, Yonzikon 11, Yonzikon 12, Yonzikon 13, Yonzikon 14, dan Yonzikon 15. (Dulu masih disebut Yonzikon 1, 2, 3, 4, dan 5).
Tugas yonzipur maupun yonzikon, antara lain membuat pangkalan udara maupun pangkalan laut darurat. Darurat, karena dibuat dari bahan-bahan yang ada di pulau seluas sekitar 1.800 kilometer persegi itu. Pangkalan udara untuk penyerangan yang berada di bibir Pasifik itu, dibuat dari batang-batang pohon kelapa.
Sebagai komandan regu di Yonzipur 7 yang bertugas di Morotai, selain membuat pangkalan untuk penyerangan, ayahanda juga disiapkan untuk melakukan penyerbuan darat ke Papua, tempat tentara Belanda bercokol. Begitu juga dengan pasukan yonzikon.
Sementara Yonzipur 9/Para juga mendapatkan tugas menyerang lewat cara penerjunan dari udara. Sedangkan Yonzipur 10/Amfibi juga bertugas menyerang lewat pendaratan amfibi, seperti pasukan KKO/Marinir TNI-AL.
Namun, pasukan yang berpangkalan di Morotai itu tidak jadi melakukan penyerbuan ke Papua, karena terjadi perundingan diplomatik pada Januari 1963. Belanda khawatir dengan kekuatan militer Indonesia saat itu, baik Angkatan Darat dibantu Brimob Polri, Angkatan Laut, apalagi Angkatan Udaranya. Pada masa itu, kekuatan militer Indonesia adalah yang terkuat di belahan Selatan dunia. Indonesia berwibawa di kancah diplomasi internasional, karena memiliki militer yang kuat.
Pasukan 'one way ticket' itu, setelah bertugas selama sekitar satu tahun, tanpa logistik memadai, memperoleh Satyalencana Satya Dharma. Dan kelak, mereka menjadi Veteran Irian Barat. Kini sebagian besar, termasuk ayahanda, sudah almarhum. Hormat kami padamu, prajurit sejati!
Kini, kita bisa melihat diplomasi RI lemah, karena peralatan dan kekuatan militernya pun lemah. Sehingga negara-negara lain tidak lagi takut kepada Indonesia. Tak usah jauh-jauh Singapura, Malaysia dan Australia sering bertindak kurangajar menginjak-injak kedaulatan RI.
"Pimpinan TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (19/1/2021).
Pengamat
komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting
mengungkapkan, ada tiga kelompok calon kuat panglima Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (Pangkostrad). Pertama, kelompok jenderal profesional dan
berpengalaman di Kostrad. Kedua, kelompok jenderal lulusan Akademi Militer
(Akmil) terbaik. Ketiga, kelompok jenderal yang terkoneksi dengan Presiden Joko
Widodo (Jokowi). Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok di luar ketiganya.
“Pimpinan
TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil
terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di
Jakarta, Rabu (19/1/2021).
Profesional
dan Berpengalaman
Menurut
Selamat Ginting, kelompok pertama, adalah Mayor Jenderal (Mayjen) Achmad
Marzuki (55 tahun) dan Mayjen Agus Suhardi (56,5 tahun). Keduanya bertugas di
Kostrad selama sekitar 23 tahun. Marzuki abituren (lulusan) Akmil 1989, saat
ini sebagai Asisten Teritorial (Aster) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sedangkan
Agus Suhardi, abituren Akmil 1988-A, saat ini sebagai Panglima Kodam Sriwijaya
di Sumatra Selatan.
“Marzuki sebelum
menjadi Aster KSAD, adalah Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh. Ia pernah menjadi
Inspektur Kostrad, Panglima Divisi Infanteri (Divif) 3 Kostrad. Dua kali dengan
pangkat mayjen menduduki jabatan di Kostrad,” ujar Selamat Ginting yang
berpengalaman meliput di lingkungan militer selama lebih dari 25 tahun.
Marzuki,
lanjutnya, mengawali karier militernya pada 1990 di Batalyon Infanteri (Yonif)
503 Brigade Infanteri (Brigif) 18, Divif 2 Kostrad. Ia termasuk perwira tinggi Angkatan Darat yang
paling banyak tugas operasi tempurnya sekitar 12-13 kali. “Marzuki sangat layak
menjadi Panglima Kostrad dengan beragam tugas dan jabatannya di Kostrad.
Profesional dan berpengalaman,” ungkap Ginting.
Ada pun Agus
Suhardi, hanya pada saat pangkat mayor, dia tidak sempat bertugas di Kostrad.
Selebihnya ia malang melintang di Kostrad. Ia mengawali dinas militernya pada
1989 di Yonif Lintas Udara (Linud) 501, Brigif 18, Divif 2 Kostrad.
“Pernah
menjadi komandan peleton, komandan kompi, dua kali menjadi komandan batalyon,
asisten operasi Divif 1, komandan Brigif Linud, Kepala Staf Divif 1 dan Divif 2
sampai Panglima Divif 2 Kostrad. Namun, Agus Suhardi kalah banyak dalam tugas
operasi dibandingkan Marzuki. Jadi, Agus Suhardi juga sangat layak menjadi
Pangkostrad. Profesional dan berpengalaman pula,” jelas Ginting.
Simak video "DEKAT DENGAN JOKOWI MENANTU LUHUT CALON KUAT PANGKOSTRAD"
Lulusan
Terbaik
Kelompok
kedua, menurut Selamat Ginting, adalah perwira tinggi lulusan Akmil terbaik.
Ada dua orang, yakni Mayjen I Nyoman Cantiasa (54,5 tahun), lulusan terbaik Akmil
1990 dan Mayjen Teguh Pudjo Rumekso, lulusan terbaik Akmil 1991.
Mayjen
Cantiasa, kini menjadi Panglima Kodam Kasuari di Papua Barat. Sedangkan Mayjen
Teguh Pudjo (54 tahun), saat ini sebagai Panglima Kodam Mulawarman di
Kalimantan Timur. Cantiasa yang berasal dari Korps Infanteri Komando Pasukan
Khusus (Kopassus), pernah tugas di Kostrad sebagai komandan peleton dan
komandan kompi di Yonif Linud 328 Brigif 17, Divif 1 Kostrad.
“Usai
bertugas di Yonif 328 Kostrad, Cantiasa malang melintang tugas di Kopassus
hingga menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Jadi, Cantiasa juga punya peluang
menjadi Pangkostrad,” ujar Selamat Ginting.
Ada pun
Mayjen Teguh Pudjo, lanjut Ginting, memang belum pernah bertugas di Kostrad.
Namun bukan berarti dia tidak punya peluang. Jenderal Dudung Abdurachman,
misalnya, belum pernah tugas di Kostrad, namun bisa menjadi Pangkostrad. Begitu
juga dengan sejumlah pangkostrad lainnya.
“Teguh Pudjo
adalah perwira spesialis intelijen tempur. Ia pernah menjadi Komandan Pusat
Kesenjataan Infaneri serta Komandan Pusat Penerbang Angkatan Darat. Ia tetap
punya pelaung menjadi Pangkostrad.”
Koneksi
Presiden Jokowi
Selamat
Ginting mengungkapkan, kelompok ketiga adalah jenderal yang terkoneksi dengan
Presiden Jokowi karena pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden
(Paspampres) Jokowi. Mereka adalah Mayjen Agus Subiyanto (54,5 tahun) dan Mayjen
Maruli Simanjuntak (52 tahun).
Agus
Subiyanto, abituren Akmil 1991 dari Infanteri Kopassus, pertama kali terkoneksi
dengan Jokowi, saat ia menjadi Komandan Kodim di Solo, Jawa Tengah pada 2009-2011.
Saat itu Jokowi masih sebagai Walikota Solo. Ia kembali terkoneksi dengan
Jokowi sebagai Komandan Paspampres pada 2020-2021. Kini ia menjadi Panglima
Kodam Siliwangi di Jawa Barat.
Agus Subiyanto pernah tugas di Kostrad pada 2011
sebagai Wakil Asisten Operasi Divisi Infanteri 2/Kostrad.
Di Kopassus, antara lain pernah menjadi Komandan Batalyon 22 Grup 2 Kopassus
dan Kepala Penerangan Kopassus.
“Ia masih tergolong lulusan muda, yakni abituren
Akmil 1991 bersama Mayjen Teguh Pudjo. Peluang Mayjen Agus Subiyanto besar,
karena dia darah biru istana. Presiden Jokowi tentu berkepentingan Panglima
Kostrad adalah orang yang dikenalnya dengan baik,” ungkap Ginting.
Sedangkan Mayjen Maruli Simanjuntak merupakan calon
Pangkostrad paling muda. Abituren Akmil 1992 dari Korps Infanteri Kopassus ini pernah
menjadiKomandan Detasemen Tempur Cakra pada 2002. Detasemen ini merupakan
gabungan Kopassus dan Kostrad. Selebihnya, Maruli lama bertugas di Kopassus.
Antara lain sebagai Danyon 21 Grup 2/Sandi Yudha (2008-2009), Komandan Sekolah
Komando Pusdikpassus (2009-2010), Wakil Komandan Grup 1/Para Komando (2010-2013),
Komandan Grup 2/Sandi Yudha (2013-2014), serta Asisten Operasi Danjen Kopassus
(2014).
Ia tergolong perwira tinggi yang
paling lama terkoneksi dengan Presiden Jokowi. Bisa dilihat dari sejunlah jabatan
yang harus dekat dengan keluarga Jokowi. Antara lain sebagai Komandan Grup A Paspampres (2014-2016), Komandan Korem di Solo (2016-2017),
Wakil Komandan Paspampres pada 2017-2018. Selain itu Kepala Staf Komando Daerah
Militer (Kasdam) IV/Diponegoro (2018), serta Komandan Paspampres (2018-2020).
“Kini Maruli
menjadi Panglima Kodam Udayana sejak November 2020. Dari trackrecord
terkoneksi dengan Presiden Jokowi, maka Mayjen Maruli darah biru sekali. Dia calon
paling favorit dan paling popular untuk menjadi Pangkostrad dibandingkan calon
lain,” ungkap Ginting.
Strategis
Sementara
kelompok keempat, bukan kelompok yang diprediksi untuk menjadi pangkostrad.
Mereka ini adalah para panglima Kodam maupun mantan panglima Kodam, khususnya
dari Korps Infanteri. Dalam sejarah Kostrad, seluruh panglimanya berasal dari
Korps Infanteri.
Antara lain
Mayjen Muhammad Nur Rahmad, dan Mayjen Ainurrahman. Keduanya abituren Akmil
1988-A. Saat ini Mayjen Nur Rahmad sebagai Kepala Staf Kostrad. Sebelumnya
menjadi Panglima Kodam Tanjungpura (2019-2021), serta Asisten Pengamanan KSAD
(2017-2019).
Sedangkan Kepala
Staf Kostrad sebelumnya, yakni Mayjen Ainurrahman juga pernah menjadi Panglima
Divif 1 Kostrad. Kini sebagai Asisten Operasi KSAD. Sayangnya, Ainur belum
pernah menjadi Panglima Kodam.
Siapa pun Presidennya, tentu sangat berkepentingan
dengan Panglima Kostrad. Kostrad merupakan satuan militer terbesar di TNI. Kostrad sebagai komando utama TNI merupakan
satuan pemukul strategis. Memiliki sekitar 40-an batalyon tempur, bantuan
tempur, dan bantuan administrasi.
Foto: Liputan di Distrik Citak, Mitak Kab. Mappi, Papua 2013
Dalam delapan bulan terakhir, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua gencar melakukan aksi penyerangan di sejumlah wilayah secara masif. Mereka kerap menyatakan perang terhadap militer Indonesia. Eskalasi yang kian memuncak sampai membuat pemerintah Indonesia memberikan cap kelompok dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sebagai teroris pada 29 April 2021 lalu.
Istilah KKB merupakan sebutan aparat terhadap kelompok militan OPM yang melakukan gerakan dan perlawanan separatis dengan membawa senjata. Terbaru pada Sabtu (20 November 2021 lalu. Seorang prajurit dari satuan Koramil persiapan Suru-Suru di Kabupaten Yahukimo, Papua, gugur setelah diserang KKB. Anggota TNI tersebut adalah Sertu Ari Baskoro. Satu anggota TNI yang terluka dalam penyerangan tersebut yakni, Kapten (Infanteri) Arviandi S.
Paling heboh pada akhir tahun 2018 lalu, menewaskan 31 jiwa Karyawan dan Pekerja PT. Istaka Karya yang sedang membangun Jembatan di Kabupaten Nduga. Termasuk gugurnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Mayjen TNI (Anumerta), I Gusti Putu Danny Nugraha Karya di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Ahad (25 April 2021) lalu. Termasuk sejumlah peristiwa penyanderaan yang dilakukan KKB terhadap masyarakat, terutama masyarakat pendatang.
Sebelumnya pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018 di Papua dan Papua Barat, rombongan petugas penyelenggara Pilkada ditembaki saat berada di pesawat yang akan terbang dari Bandara Keneam, Kabupaten Nduga dan saat berada di perahu motor. Namun, lagu-lagi, semua pelakunya disederhanakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata. Tuujuannya juga ‘di-politisasi’, hanya untuk mengganggu penyelenggaraan Pilkada.
Padahal sungguh naif, jika nyaris tidak ada yang memahami bahwa pelakunya adalah Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua Merdeka. Tujuannya apalagi kalau bukan disintegrasi atau memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Berarti mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara. Bukan hanya kekuatannya yang semakin berkembang, tetapi juga akibat keterbelakangan dan homogenitas penduduk di kedua provinsi.
Jangan lupa, sesungguhnya mereka juga telah diistimewakan dengan mendapat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta digelontorkan dana otsus (otonomi khusus) yang sangat besar. Termasuk menerima perlakuan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang sama dengan daerah lain. Juga adanya percepatan pembangunan infrastruktur. Terakhir pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) dengan pembangunan stadion dan infrastruktur olahraga lainnya.
Simak video "SEPARATIS DI BUMI PAPUA DOMAIN MILITER"
Amanat Konstitusi
Aksi ofensif gerakan separatisme di Papua, selalu diakhiri dengan melarikan diri ke hutan maupun gunung. Ini merupakan taktik dan teknik perang gerilya, sehingga sulit dikejar oleh aparat keamanan. Belum lagi jika mereka mencairkan diri dalam masyarakat di kampung-kampung atau di daerah basis perlawanan mereka. Karena itulah merupakan suatu kesalahan fatal, jika mereka hanya dikategorikan sebagai kelompok kriminal bersenjata.
Sudah jelas sesungguhnya mereka adalah kelompok bersenjata dari gerakan separatis. Gerakan separatisme di seluruh dunia, tujuannya satu memisahkan diri dan merupakan ancaman konsepsional yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara.
Kasus terakhir yang menewaskan prajurit Koramil, Sabtu (20/11/2021) lalu, semestinya dapat dijadikan sebagai momentum bagi Panglima TNI yang baru Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, Jenderal Dudung Abdurachman. Termasuk seluruh elemen bangsa dan orang asli Papua. Hal ini penting, agar kita semua memiliki satu kesamaan sikap dan semangat untuk memerangi gerakan separatism sampai ke akar-akarnya. Tidak boleh lagi ada pro-kontra atau bahkan berseberangan. Jangan sampai pula akan menimbulkan stigma sebagai pembela gerakan separatisme.
Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua/Papua Barat, bukan hanya melakukan aksi ofensif berupa Gangguan Keamanan Bersenjata (GPK) saja. Melainkan juga membentuk kekuatan pasukan melalui pendidikan militer dan membangun daerah basis atau pangkal perlawanan. Seperti lazimnya gerakan separatism di dunia, umumnya terdiri beberapa kelompok atau front perjuangan.
Jadi, selain kelompok atau front bersenjata, masih ada front politik, baik di dalam maupun luar negeri. Tugasnya melakukan rekruitmen kader, pembentukan opini dan kegiatan diplomasi dengan mendirikan perwakilan di luar negeri. Ada pula front logistik melalui aksi kejahatan atau kriminal. Terakhir front psikologis bertugas melakukan aksi teror dan gerakan clandestein. Sehingga, ancaman gerakan separatisme di Bumi Papua tidak selalu bersifat militer saja. Melainkan juga bersifat non-militer, bahkan ancaman nir-militer.
Berdasarkan amanat konstitusi, pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI terdiri dari TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU, sebagai alat negara bertugas untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sehingga semua hakekat ancaman yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara adalah bidang tugas, wewenang dan tanggungjawab atau domain TNI.
Oleh karena itulah sebagai Pejuang Prajurit Saptamarga, tidak sepatutnya TNI lepas tangan dan menghianati amanat konstitusi. Artinya, TNI juga tidak boleh menyerahkan penanganan ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab (domain) Polri. Justru ini adalah jelas-jelas sebagai domain TNI.
Jangan sampai hanya karena kesalahannya di era Orde Baru, kemudian TNI menurut saja dengan irama gendang LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau pihak asing. Mereka gencar dan sistematik menuntut agar TNI mengurangi kekuatan pasukan di daerah-daerah. Sehingga hanya tinggal satuan organik Kodam di Papua maupun papua Barat saja.
Tujuan agar TNI mengurangi pasukan di Papua maupun Papua Barat, tentu saja supaya gerakan separatisme ini menjadi lebih leluasa, tanpa ada gangguan dalam melakukan gerakan bawah tanah (clandestein). Sehingga mereka bisa lebih bebas membangun kekuatan. TNI juga ditakut-takuti agar tidak melakukan operasi apapun, agar tidak melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Jadi ini jelas upaya untuk menjatuhkan moral TNI.
Di Papua maupun Papua Barat hanya mengandalkan pasukan Batalyon Infanteri (Yonif), Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) maupun Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) saja. Di Papua hanya ada empat Yonif dan tiga Denzipur ditambah satu Detasemen kavaleri (Denkav). Mestinya tiga Denzipur ini ditingkatkan menjadi tiga Yonzipur. Sehingga bisa terbentuk Resimen Zipur. Untuk mendukung Brigade Infanteri di Papua. Sedangkan di Papua Barat, hanya ada tiga Yonif dan satu Yonzipur saja.
Jelas kekuatan ini kurang jika untuk menghadapi perang gerilya oleh Gerakan separatisme. Perlu penambahan pasukan-pasukan dari Kostrad maupun Raider Kodam untuk mengepung tentara separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sementara pasukan khusus memang bertugas secara rahasia masuk ke daerah musuh.
Strategi
Menghadapi ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab TNI, walau tidak selalu bersifat militer atau operasi tempur. Maka kebijakan dan strategi penaggulangannya, jangan membuat Papua dan papua Barat sebagai DOM (Daerah Operasi Militer). Jika dengan kebijakan DOM, maka tindakannya akan bersifat represif. Di sini TNI dapat terprovokasi melakukan tindakan di luar batas kepatutan sebagai pelanggaran HAM berat.
Oleh karena itu, dalam menghadapi aksi ofensif gerakan separatisme yang bersifat non-tempur, maka kebijakan dan strateginya dengan melakukan tindakan yang bersifat pencegahan (preventif), dan penangkalan (deterence). Misalnya dengan mendayagunakan seluruh personil dan peralatan Zeni, seperti buldozer, escafator, pailloder, dump-truk, penjernih air, alat pertukangan dll. Melalui kegiatan operasi Bhakti TNI untuk membantu pemerintah daerah yang telah menerima dana Otsus.
Dalam mempercepat jalannya roda pembangunan yang harus dilakukan TNI, di antaranya: Pertama; membangun infrastruktur kewilayahan seperti jalan dan jembatan dari kampung ke kampung serta membangun rumah maupun permukiman. Kedua; menyukseskan program pencetakan lahan pertanian atau perkebunan di sekitar kampung-kampung sambal membangun bendungan, dan saluran irigasi.
Ketiga; menggelar program TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa) dan kegiatan sejenis untuk membatasi ruang gerak front bersenjata dalam melakukan manuver, bersembunyi dan membangun daerah basis perlawanan.
Keempat, membantu penambahan jumlah penduduk dan jumlah desa. Sehingga wilayah tersebut menjadi sentra pengembangan wilayah agro. Antara lain melalui program tranmigrasi, termasuk Transmigrasi Angkatan Darat (Transad), Transmigrasi Angkatan Laut (Transal), Transmigrasi Angkatan Udara (Transau) maupun program swa-sembada pangan dll. Hal ini penting agar hutan dan gunung tidak lagi dikuasai gerakan separatis. Kemudian terwujud pula peningkatan heterogenitas penduduk, untuk memperkokoh wawasan kebangsaan Indonesia.
Kelima; mendayagunakan pasukan Kostrad maupun Kodam yang sedang bertugas dalam operasi pengamanan perbatasan, melalui program pembangunan Desa-Saptamarga. Sekaligus berfungsi sebagai titik kuat dari pembangunan desa-desa yang mengelilinginya. Apalagi dalam kasus terakhir pada sabtu (20/11/2021) lalu diungkap bahwa senjata-senjata OPM diperoleh dari negara Papua Nugini. Sehingga wilayah perbatasan harus semakin diperkuat lagi dengan pasukan TNI.