Photo: bergelora.com |
Pada 1993-1994, sebagai wartawan politik Harian Merdeka, saya "nyambi" di LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Salah satu pimpinannya saat itu Dr Didik J Rachbini yang juga dosen ekonomi politik di Universitas Nasional (Unas).
Saat itu LP3ES punya program baru dalam bidang penelitian, pendidikan dan penerangan HAM dan demokrasi. Program ini diberi nama CESDA (Center for the Study of Democracy). Salah satu staf penelitinya Rahadi TW, lulusan FISIP Unas, stambuk 1984.
Mereka buat polling-polling politik. Tenaga pengumpul data dari alumni dan mahasiswa tiga perguruan tinggi: UI, IPB, Unas.
UI dikenal pandai dalam teori. IPB mahir statistik dan metode kuantitatif. Unas kuasai lapangan penelitian.
Wakil dari UI dan IPB "nyerah" untuk masuk ke wilayah papan atas, Menteng.
Rahadi minta saya pimpin penelitian di wilayah Menteng. Didik Rachbini setuju, karena beberapa kali saya wawancarainya soal ekonomi politik. Saya, lulusan FISIP Unas, stambuk 1986, mengajak Hendrik Dikson Sirait yang saat itu butuh dana untuk bantu adiknya. Hendrik masih mahasiswa FISIP Unas, stambuk 1990.
Jika anak-anak UI dan IPB butuh waktu tiga pekan untuk penelitian, maka saya bersama "Iblis" hanya butuh waktu satu pekan.
Teknik reportase menembus narasumber saya gunakan untuk masuk ke wilayah elite. "Iblis" jadi asisten saya yang "manis". Kunci suksesnya, saya menggunakan kartu pers liputan di Mabesad. Aparat Koramil di ujung stadion Menteng membantu kami memasuki kawasan "Bento".
"Ini gila, gua kerja dibantu Koramil. Padahal gua anti tentara," kata Hendrik.
"Gua kan wartawan harus bisa masuk ke semua lini. Mau ektrem kanan, tengah, kiri. Harus luwes jadi wartawan. Itu kunci kita kuasai penelitian," jawabku kepada Hendrik.
Sukses menembus wilayah papan atas, ternyata kami diminta lagi masuk ke wilayah bronx, Manggarai. Untuk wilayah ini kami juga sukses. Mungkin wajah-wajah "kumuh" kami, bisa dianggap sebagai "duta" orang susah. Soal advokasi massa, sepertinya jadi spesialisasi "Iblis".
Tentu butuh busana berbeda untuk masuk ke dua kutub wilayah bagai bumi dan langit. Ternyata "Iblis" sesungguhnya pria pesolek. Dia bisa pakai minyak rambut dan minyak wangi saat saya ajak masuk ke wilayah tak jauh dari rumah Sang Penguasa, Jl Cendana, Menteng. Padahal saya tidak pakai minyak rambut dan minyak wangi.
Modal honor awal dimanfaatkannya untuk beli parfum dan minyak rambut. Termasuk kemeja dan celana bahan, non jins. Ya, sebagai modal kerja.
"Modal harum sudah cukup buat elu nembak cewek, Blis. Aktivis takut cewek, cemen lu."
Pulang penelitian lapangan, sesekali dia nginap ke rumah saya di Lenteng Agung.
Di situ dia cerita ingin jadi wartawan. "Enak banget jadi wartawan, kerjanya fleksibel. Cuma gua gak bisa nulis," kata Hendrik.
"Iya fleksibel, tapi gak bisa jadi orang kaya. Duitnya pas pasan. Makanya gua nyambi, cari tambahan," jawabku, enteng.
Juli 1996, beberapa kali saya bertemu Hendrik di Jl Diponegoro, depan Kantor PDI. Tiap hari panggung demokrasi diisi pidato-pidato yang "menghasut". Isi pidato-pidato politik selama beberapa hari, jadi modal berita politik dalam reportase saya. Belakangan tulisan saya dijadikan buku oleh Merdeka untuk souvernir HUT ke 51 salah satu harian legendaris itu.
Suasana di markas PDI semakin tidak kondusif. Betul saja, pecah peristiwa 27 Juli 1996.
"Blis... Ambil jarak aman dari Kantor PDI. Jangan sampai jadi korban. Ada pertarungan elite yang kita tidak tahu siapa saja yang bermain," itu pesanku saat bertemu Iblis di depan RSCM.
Awal Agustus 1996, saat ke kampus Unas dapat kabar Hendrik Sirait hilang. Tak jelas rimbanya. Belakangan kami tahu dia bagian dari aktivis yang ditangkap aparat keamanan.
Beberapa kali Hendrik dijebloskan ke penjara, beberapa kali pula, kami membesuknya. Berkenalan pula dengan Ibundanya yang sangat perhatian kepada putra keduanya.
Banyak kenangan bersamanya sebagai aktivis mahasiswa. Militansinya luar biasa. Kami tidak pernah menjerumuskannya sebagai aktivis. Ia hadir menjadi aktivis sebagai panggilan jiwa raga. Masih banyak kenangan yang tersimpan rapi dalam memori, butuh waktu untuk merangkai cerita tentangmu, Blis.
Mungkin selain almarhum Nuku Soleiman, FISIP Unas stambuk 1985, Hendrik "Iblis" bersama Wandy "Binyo" Tuturoong, FISIP Unas stambuk 1990, yang paling sering keluar masuk penjara. Disusul rekan sohibnya, Ferry "Mpe" Muchus, FISIP Unas stambuk 1990, dan Andrianto "Diem", FISIP Unas 1992.
Sabtu 13 Mei 2023, jadwal saya sedang pelatihan. Tapi saya minta izin untuk bisa mengantarkan Hendrik Sirait. Saya ikut menggotong peti jenazahnya dari ambulans PGN menuju liang lahat di Blade 184 unit Kristen TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur.
"Selamat jalan adinda pejuang. Foto di atas pusaramu dengan mengenakan jas rapi, itulah kau yang sesungguhnya 'iblis' pesolek."
/sgofficial