13 December 2018

Peta TNI Hari Ini: 'Ademisasi' Gerbong 86

Parade HUT TNI ke-70 di Pantai Indah Kiat, Cilegon.

Akmil 1986 pun mendominasi jumlah panglima Kodam.

Oleh 
Selamat Ginting
Jurnalis

Lulusan Akabri 1986 mendominasi jabatan strategis di TNI. Marsekal Hadi Tjahjanto butuh dukungan rekan satu lichting?

Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) akhirnya dipercayakan kepada Mayor Jenderal Besar Harto Karyawan. Ia lulusan Akmil 1986. Satu lichting (bahasa Belanda, artinya satu kelas angkatan) dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

Besar Harto sebelumnya Panglima Kodam Siliwangi. Ia menggantikan, Jenderal Andika Perkasa (Akmil 1987) yang dipromosikan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Hal itu tertera dalam keputusan Panglima TNI Nomor 1240/XI.2018, tertanggal 29 November 2018 lalu.

“Pangkostrad yang baru Pak Besar Harto,” kata KSAD, Jenderal Andika Perkasa, usai serah terima jabatan KSAD dari Jenderal Mulyono kepada dirinya, pekan lalu.

Sebelumnya, juga diprediksi bahwa Pangkostrad akan diisi lulusan Akmil 1986. Hal ini sekaligus untuk ‘mengobati’ kekecewaan lulusan Akmil 1986 yang tidak dipromosikan menjadi KSAD. Calon kuat KSAD dari Akmil 1986 adalah Letjen Tatang Sulaiman yang kini masih sebagai wakil KSAD.

Tatang menjadi satu-satunya lulusan Akmil 1986 yang berbintang tiga aktif. Sebelumnya, ada Letjen Hinsa Siburian. Namun Hinsa pensiun dua tahun lalu. Sementara, lulusan Akmil 1985 ada tiga letjen aktif, yakni Doni Monardo, Tri Legiono Suko, dan Dodik Widjanarko. Sedangkan, Akmil 1987 sebelum adanya rotasi KSAD, ada tiga orang juga yang berpangkat letjen, yakni: M Herindra, AM Putranto, dan Andika Perkasa.

Dominasi

Naiknya Andika membuat peta penempatan jabatan di TNI bergeser. Maka, Akmil 1986 ‘diberi’ kesempatan menjadi letjen lagi, selain Tatang. Sebelumnya, muncul dua nama kuat menjadi Pangkostrad, yakni Mayjen Besar Harto dan Mayjen Joni Supriyanto (Pangdam Jayakarta).

Yang menggantikan Besar Harto, juga dari Akmil 1986, yakni Mayjen Tri Soewandono. Sebelumnya Komandan Pussenif Kodiklatad. Begitu juga pergeseran Panglima Kodam Diponegoro. Wuryanto digantikan M Effendi.  Keduanya juga Akmil 1986. Wuryanto dari Infanteri, sedangkan Effendi dari Zeni.

Akmil 1986 pun mendominasi jumlah panglima Kodam, sesuai Keputusan Panglima TNI Nomor 1240/XI.2018, tertanggal 29 November 2018. Dari 15 Kodam, lulusan Akmil 1986 menduduki enam Kodam, yakni: Kodam Jaya, Mayjen Joni Supriyanto; Pangdam Siliwangi, Mayjen Tri Soewandono; Pangdam Diponegoro, Mayjen M Effendi; Pangdam Merdeka, Mayjen Tiopan Aritonang; Pangdam Cendrawasih, Mayjen YP Sembiring; dan Pangdam Kaswari, Mayjen Joppye Onesimus Wayangkau.

Akmil 1987, memegang tiga Kodam, yakni Pangdam Sriwijaya, Mayjen Irwan Zaini; Pangdam Udayana, Mayjen Benny Susianto; dan Pangdam Pattimura, Mayjen Suko Pranoto.

Akmil 1988 A memegang dua Kodam, yakni: Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Teguh Arief; dan Kodam Bukit Barisan, Mayjen M Sabrar Fadilah. Akmil 1988 B juga memegang dua Kodam, yakni; Pangdam Brawijaya, Mayjen Arief Rahman; dan Pangdam Mulawarman, Mayjen Subiyanto. Sebelumnya Madsuni (1988 A) menjadi Pangdam Merdeka.

Akmil 1984 dan 1985 menyisakan satu Kodam. Pangdam Hasanuddin, Mayjen Surawahadi (Akmil 1985); Pangdam Tanjungpura, Mayjen Ahmad Supriyadi (1984).

Menguntungkan

Peta seperti itu, sesungguhnya menguntungkan bagi Tatang Sulaiman untuk bekerja sebagai Wakil KSAD. Ia mendapatkan dukungan dari rekan satu lichting. Posisi para pangdam yang mayoritas lulusan Akmil 1986, tentu saja sangat membantu Hadi Tjahjanto (AAU 1986) sebagai Panglima TNI.

KSAU Marsekal Yuyu Sutisna juga lulusan AAU 1986. Begitu juga dengan Wakil KSAU Marsekal Madya Wieko Syofyan. Hal yang sama, Wakil KSAL Laksamana Madya Wuspo Lukito, lulusan AAL 1986. Sedangkan KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji berasal dari AAL 1985.

Posisi pangdam dari lulusan Akmil 1986 sekaligus memperlancar tugas Hadi Tjahjanto. Ia yang belum pernah mendiduki jabatan panglima di lingkungan Angkatan Udara, seperti: pangkosek, pangkoopsau, maupun pangkohanudnas, tentu ‘kikuk’ menghadapi situasi ini.
Ia memerlukan dukungan dari teman sekelasnya. Termasuk dalam penanganan kasus melawan tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM) di kawasan Nduga, Papua. Dua Kodam di Pulau Papua, diisi lulusan Akmil 1986. Pangdam Cendrawasih,  Mayjen YP Sembiring; serta Pangdam Kasuari, Mayjen Joppye Onesimus Wayangkau. 

Baru-baru ini, ia memerintahkan pangdam cendrawasih untuk menunpas pemberontak OPM yang membunuh sejumlah karyawan pekerja jembatan serta seorang anggota TNI. Mereka membunuh menggunakan senjata standar militer.

Maka bukan tidak mungkin pula dalam waktu dekat, Marsekal Hadi akan melakukan rotasi di lingkungan Mabes TNI. Terutama jabatan para asisten panglima TNI  yang umumnya masih dipeegang lulusan 1984 dan 1985.

“Ya memang ada ademisasi. Alias lulusan akademi delapan enamisasi,” kata seorang jenderal sambil tersenyum.

Bisa jadi pula Kasum TNI Laksamana Madya Didit Herdiawan yang sudah tiga tahun jadi Kasum TNI akan segera diisi oleh bintang tiga senior dari lulusan Akmil 1986. Peluang itu ada pada diri Tatang Sulaiman. Sementara Didit akan pensiun, Oktober 2019 mendatang.

(sumber : artikel dan gambar diambil dari republika.co.id)

12 December 2018

Karir Militer: Trio Hadi, Andika, Maruli di Jalan Tol

Oleh 
Selamat Ginting
Jurnalis

Jarum jam sejarah berulang. Menunggu 30 tahun. Februari 2018 lalu di Palembang, Sumatra Selatan. Kolonel (Infanteri) Kunto Arief Wibowo, lulusan Akademi Militer (Akmil) 1992 menyerahkan jabatan Komandan Korem  044 Garuda Dempo, Kodam Sriwijaya.

Ia menyerahkan jabatan itu kepada penggantinya, Kolonel (Infanteri) Iman Budiman, lulusan Akmil 1993. “Kolonel Iman Budiman, adik kelas satu tingkat di Akmil,” kata Kunto kepada pers, saat itu.

Peristiwa berulang? Ya, berulang. Sebab, pada 30 tahun lalu, tepatnya Februari 1988. Jenderal Try Sutrisno, lulusan Akmil Jurtek Bandung 1959 menyerahkan jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) kepada Letnan Jenderal Edi Sudradjat, lulusan Akmil Magelang 1960.  Lima tahun kemudian, Februari 1993, Jenderal Try kembali digantikan Jenderal Edi sebagai Panglima ABRI (TNI/Polri).

Bukan cuma itu keduanya terkoneksi. Jauh sebelumnya, Agustus 1985, Wakil KSAD, Letjen Try digantikan Mayjen Edi. Jadi, tiga kali Try digantikan Edi. Karier mereka beriringan. Keduanya disiapkan Presiden Soeharto menjadi pimpinan TNI dari generasi penerus lulusan Akmil untuk menggantikan generasi TNI era 1945.

Lalu, apa hubungannya kedua peristiwa tersebut?

Kunto Arief Wibowo adalah anak kandung Jenderal (Purn) Try Sutrisno. Sedangkan  Iman Budiman adalah anak kandung almarhum Jenderal (Purn) Edi Sudradjat. Try dari Korps Zeni, sedangkan Edi dari Korps Infanteri.

Kedua bekas anak petinggi TNI itu meniti karier mengikuti  jejak ayahnya. Apakah mereka mendapatkan keistimewaan? Yang jelas, mayoritas komandan Korem tipe B (dipimpin kolonel senior) saat ini memang dipimpin lulusan Akmil 1992 dan 1993.

Jadi, karier Kunto dan Budiman, masih dalam kategori wajar. Kunto kini nonjob di Mabesad. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan regular angkatan 57, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Oktober 2018 lalu. Ia persiapan menduduki jabatan perwira tinggi TNI.

Baik Kunto maupun Budiman mengikuti prosedur. Termasuk mengikuti  seleksi kursus komandan Korem yang sangat ketat. Keduanya lulus dan mengikuti Susdanrem. 

Abang kandung Kunto, Firman Santyabudi (53 tahun). Firman, lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1988 A. Kini inspektur jenderal polisi. Jabatannya deputi bidang pemberantasan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Pangkat brigjen disandang Firman selama empat tahun lebih. Ia juga tidak pernah memegang posisi bergengsi sebagai kepala Polda.

Padahal, kerabat Kunto dan Firman, saat ini memegang posisi strategis. Menteri Pertahanan, Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu adalah menantu dari Try Sutrisno. Artinya, Ryamizard adalah abang ipar dari Firman dan Kunto. Ryamizard menikah dengan anak sulung Try, Nora Tristyana. Ryamizard adalah anak dari almarhum Mayor Jenderal (Purn) Musannif Ryacudu, mantan Pangdam Tanjungpura, 1963-1964.

Anak Edi Sudradjat lainnya adalah Kolonel (Infanteri) Andi Gunawan, lulusan Akmil 1986. Mengikuti jejak ayahnya dari Kopassus, Gunawan kini menjadi Wakil Komandam Rimdam Jaya.

Luhut dan Hendro

Kondisi berbeda dialami keluarga bekas petinggi TNI lainnya. Mantan Komandan Kodiklatad 1994-1996, Jenderal Kehormatan (Purn) AM Hendropriyono (Akmil 1967), dan mantan Komandan Kodiklatad 1997-1998, Jenderal Kehormatan (Purn) Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970).

Menantu Luhut, Maruli Simanjuntak, kini menjabat sebagai Komandan Paspampres. Jabatan  bintang dua. Ia melompati seniornya lulusan Akmil 1990 dan 1991. Maruli dan Kunto sama-sama lulusan Akmil 1992.

Kunto menjadi lulusan pertama Akmil 1992 yang menjadi Danrem di Palembang. Maruli menyusul kemudian, menjadi Danrem di Solo.  Bahkan Maruli tanpa mengikuti test apalagi kursus Danrem. Spesial untuk Maruli.

Naiknya Maruli, mau tidak mau ‘memaksa’ abang kelasnya naik jadi bintang dua. Lulusan terbaik Akmil 1990, I Nyoman Cantiasa dipromosikan menjadi bintang dua. Namun jabatannya hanya perwira staf ahli tingkat III Polkamnas Panglima TNI. Sebelumnya Cantiasa sebagai Kasdam Cendrawasih. 

Sedangkan lulusan terbaik Akmil 1991, Brigjen Teguh Pudjo Rumekso dipromosikan dari Kasdam Mulawarman menjadi Komandan Pussenif Kodiklatad. Jabatan untuk bintang dua. Sedangkan penerima Trisakti Wiratama (terbaik kedua) Akmil 1991, Brigjen Eko Susetyo (Korps Kavaleri) saat ini menjadi Wakil Komandan Puspenerbad.

Adapun  lulusan terbaik Akmil 1992, Kolonel (Kavaleri) Erwin Djatmiko, saat ini masih menjabat sebagai Komandan Korem 043 Garuda Hitam, Lampung. Sementara lulusan terbaik kedua, penerima Trisaksi Wiratama Akmil 1992, Kolonel (Zeni) Adisura Firdaus Tarigan, saat ini sebagai Paban I Jakenstra Srenad. Tarigan belum sempat menjadi Komandan Korem.

Spesial pula untuk menantu Hendropriyono. Andika Perkasa, alumni Akmil 1987. Andika menikah dengan anak Hendro, Diah Erwiany. Andika kini sudah bintang empat. Jabatan tertinggi di Angkatan Darat, KSAD.

Dalam tempo lima tahun, ia menggapai bintang empat (November 2018 lalu). Bintang satu diraihnya pada akhir tahun 2013. Ia melompati tiga lulusan di atasnya, Akmil 1986, 1985, dan 1984.

Berbeda dengan Try Sutrisno mapun Edi Sudradjat, sekitar 32 tahun lalu. Try memerlukan waktu tujuh tahun dari bintang satu (1979) hingga bintang empat (1986). Edi memerlukan delapan tahun dari bintang satu (1980) hingga bintang empat (1988).

Ada fenomena fantastisnya kenaikan pangkat dan promosi Maruli, Andika, serta Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto  (AAU 1986). Maka, sangat mungkin ada skenario percepatan jabatan untuk mereka pada  April hingga Oktober 2019.

Skenario ‘memper-super-cepatkan’ ketiganya dibandingkan perwira tinggi lainnya. Maruli dipercepat menjadi bintang tiga, kemungkinan menjadi panglima Kostrad. Jadi dari Komandan Paspampres segera promosi sebagai panglima Kodam di Jakarta, Bandung  atau Semarang. 

Letjen Besar Harto (Akmil 1986) akan sebentar saja menjadi Pangkostrad.  Maruli akan menggantikannya dalam hitungan bulan, seperti Andika. Lalu Maruli langsung lompat menjadi KSAD.

Andika segera diplot menjadi Panglima TNI. Kemudian  Hadi akan digeser menjadi salah seorang menteri. Bisa saja menggantikan Luhut Panjaitan yang akan konsentrasi untuk pemenangan calon presiden Jokowi.

Ini memang ‘gerakan’ politik dan otomatis mengabaikan profesionalisme TNI. Sesuatu yang sangat disayangkan jika skenario ini terjadi. Artinya, TNI ditarik dalam kancah politik praktis demi pemenangan pemilihan presiden 2019.


/sgo

11 December 2018

Negara Surplus Jenderal dan Kolonel


Sejumlah pasukan TNI melaksanakan apel bersama TNI. (lustrasi)

Dua bulan lalu, para kolonel senior Angkatan Darat baru saja menyelesaikan kurus reguler angkatan 57, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Mereka umumnya,  lulusan Akademi Militer (Akmil) 1988 hingga 1993. Ada sekitar 25 kolonel senior.


Mereka kini di tempatkan di lantai 8 gedung Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad), Jakarta. Di situlah berkumpul para kolonel senior yang baru menyelesaikan pendidikan Lemhannas dan Sesko TNI. Bahkan para perwira tinggi (pati).


“Ada sekitar 150-an kolonel dan 70-an pati dalam posisi staf khusus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).  Dua di antaranya adalah Jenderal Mulyono (mantan KSAD) dan Letjen Ediwan Prabowo (mantan Sekjen Kemhan),” kata jenderal bintang dua Angkatan Darat, baru-baru ini.

Mulyono (Akmil 1983) menjadi staf khusus, karena diberhentikan sebagai KSAD, tiga bulan sebelum waktunya. Ia akan pensiun Februari 2019. Nasibnya sama dengan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo (Akmil 1982). Ia juga dicopot tiga bulan sebelum waktunya pensiun. Kasus ini tentu saja menjadi politis. Jenderal bintang empat menganggur di markas besarnya.

Sementara jenderal-jenderal senior lainnya, menunggu job baru.  Entah sampai kapan menunggu penempatan. Sebab Letjen Ediwan Prabowo (Akmil 1984) sudah empat tahun non job. Ironis, jenderal bintang tiga disia-siakan negara. TNI tidak bisa memberikan tempat yang layak untuk SDM terbaiknya.

Staf khusus, bukan hanya yang baru menyelesaikan pendidikan Sesko TNI maupun Lemhanas saja. Ada juga kolonel-kolonel senior ‘bermasalah’ alias memiliki kasus. Mereka juga berkumpul di lantai 8. Hal yang sama terjadi di lingkungan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Surplus kolonel senior dan para pati.

Para staf khusus ini bukan hanya terjadi di pusat atau markas besar. Di komando-komando utama (kotama), seperti Kostrad, Kodiklatad, Kodam, Koarmada, Kohanudnas, Koopsau dan yang setara, juga terjadi. Belum lagi di badan pelaksana pusat atau direktorat korps maupun dinas-dinas. Betapa banyaknya kolonel menganggur dan jumlahnya bisa lebih dari 300 orang. Belum lagi yang berpangkat letnan kolonel.

Berbeda dengan perwira staf ahli yang memiliki tugas dan jabatan, sehingga mereka mendapatkan tunjangan jabatan. Kalau staf khusus, tidak mendapatkan hak-hak tersebut. Itu yang membuat mereka disebut sebagai perwira pengangguran. Maka totalnya bisa berjumlah sekitar 500 perwira senior menganggur.  Ironis!

“Ada yang salah dalam tubuh TNI. Begitu banyak staf khusus di Mabes TNI, Mabesad, Mabesal, dan Mabesau. Belum lagi di kotama-kotama dan balakpus-balakpus.  Mereka perwira non job.  Ada kesalahan dalam penataan sumber daya manusia TNI,” kata seorang pati bintang dua senior.

Tentu bukan biaya murah bagi negara untuk menjadikan seorang sampai jenderal bintang satu (brigjen).  Namun, kini banyak yang tidak memiliki jabatan alias staf khusus. Mereka, bukan hanya karena akan menghadapi pensiun di usia 58 tahun. Sebab, banyak juga yang masih 5-8 tahun lagi pensiun, tetapi kini harus ‘mendekam’ di lantai 8  Mabesad.

Kalau di instansi kementerian atau lembaga non kementerian yang setara, mereka sama dengan pejabat eselon dua dan eselon satu atau golongan 4 C, 4 D, dan 4 E. Pangkat tertinggi di lingkungan aparat sipil negara (ASN). 


Pembinaan karier


Sumber daya manusia (SDM) setara eselon satu dan dua, namun non job. Tentu ada masalah dalam penataan dan pembinaan karier perwira senior. Sebab mereka sudah mengabdi menjadi anggota militer lebih dari 25 tahun.  Umumnya mereka sudah mengikuti pendidikan atau kursus tertinggi untuk militer: Sesko angkatan, Sesko TNI, bahkan Lemhannas.


“Ada 77 jenderal menganggur di lantai 8. Kalau tidak dipakai, sebaiknya dipensiunkan dini saja. Buat apa menjadi staf khusus, tapi tidak ada kerjaan?” kata jenderal senior itu.
Pemikiran jenderal tersebut, bisa jadi ada benarnya, agar negara tidak terbebani anggaran harus membayar perwira senior, namun tidak memiliki pekerjaan. Termasuk tidak membebani pimpinan TNI saat menghadapi mereka. Apalagi semua pekerjaan sudah dibagi habis. 

Ada KSAD yang dibantu Wakil KSAD dan Irjenad. Sudah ada para asisten KSAD yang dibantu wakil asisten KSAD. Mereka pun dibantu para kolonel senior sebagai perwira pembantu utama. Ada pula perwira pembantu madya berpangkat letnan kolonel senior, serta perwira pembantu muda, berpangkat mayor senior. Begitu juga struktur di Mabesal, dan Mabesau. 

Hal yang hampir sama di Mabes TNI. Panglima TNI dibantu Kasum TNI, dan Irjen TNI.  Ada para asisten panglima TNI yang dibantu para wakil asisten, para paban utama, paban madya, paban muda dan seterusnya.

Di Mabesad ada asisten personel KSAD. Ada pula direktur ajudan jenderal yang mengurusi personel atau SDM.  Di Mabesal maupun Mabesau pun ada dinas personel. Mereka mengurusi pembinaan karier militer. Pembinaan karier sesungguhnya adalah kunci untuk menyiapkan SDM guna mengawaki organisasi TNI.

Di situ semestinya terjadi siklus penyediaan tenaga, pendidikan, penggunaan, perawatan, dan pemisahan personel.  Hal itu harus dilakukan secara berkesimnambungan dan terarah agar pembinaan personel  sesuai arah kebijakan pimpinan TNI.

Namun tetap saja, surplus kolonel dan perwira tinggi terus terjadi cukup lama. Bahkan mungkin sejak era reformasi 1998. Dampaknya, banyak kolonel senior dan pati menganggur alias non job. Kalau sudah begini, bagaimana membangun kekuatan pokok minimum personel untuk menangkal apalagi menghadapi ancaman?

Banyaknya staf khusus di lingkungan TNI menandakan sistem pembinaan personel dan karier perwira berlangsung kurang professional. Menumpuknya kolonel menganggur menjadi lampu kuning, bahwa ada yang salah dari pembinaan karier.

Misalnya, ada lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) 1991, dan sudah menyelesaikan pendidikan Seskoal, tak memiliki masalah hukum dan lain-lain. Namun hingga kini yang bersangkutan masih berpangkat letnan kolonel. Sementara lulusan Akmil  1992, sudah menduduki posisi jenderal bintang dua. Kontras!

Prinsip profesionalitas militer antara lain menekankan pada prestasi, kualifikasi, kompetensi, pendidikan, pengalaman, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan. Promosi  pangkat dan jabatan selayaknya dilakukan secara terbuka dan kompetitif, bukan atas dasar nepotisme.


(sumber artikel dan gambar : republika.co.id)

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...