18 June 2019

Rezim Murka Lawan Jenderal Pembangkang


Foto: Republika Online

Oleh Selamat Ginting
Mengapa jenderal kritis harus dilawan dengan hukum subversif dan tuduhan makar?

Peristiwa 26 tahun lalu.  Tepatnya, Juni 1993. Salah satu liputan politik paling menarik perhatian penulis saat awal menjadi wartawan. Ketika itu, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) BJ Habibie mengundang Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dkk berkunjung ke PT PAL Surabaya.
Apa menariknya? Sangat menarik, karena mantan Gubernur DKI Jakarta bersama sejumlah jenderal dan politikus masuk dalam daftar kaum ‘pembangkang’. Membangkang terhadap pemerintah Orde Baru, pimpinan Jenderal (Purn) Soeharto. Kelompok pembangkang di antaranya adalah jenderal-jenderal militer dan polisi yang tergabung dalam penandatangan Petisi 50, tahun 1980.
Sebut saja, mantan Menko Hankam / Kepala Staf ABRI, Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution; mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Darsono, mantan Panglima Kostrad, Letjen (Purn) A Kemal Idris, mantan Menteri / Wakil Panglima Angkatan Laut, Letjen (Purn) Ali Sadikin; mantan Kepala Polri, Jenderal (Purn) Hoegeng dll.
Selama 13 tahun, kelompok Petisi 50 menjadi oposisi terhadap Presiden Soeharto. Undangan Habibie kepada para pembangkang itu menarik perhatian pers. Tentu saja ingin mengetahui apa reaksi Jenderal Soeharto. Di luar dugaan, kata Habibie, Pak Harto justru merestui inisiatif tersebut.

"Habibie, mereka adalah kawan seperjuangan saya. Mereka adalah Angkatan 45 yang berperan menjadikan kamu seperti sekarang ini," begitu ucapan Pak Harto yang dikutip Habibie. Sejak itulah hubungan antara pemerintah dan penggagas Petisi 50 yang semula kaku dan membeku, perlahan mulai cair. Babak baru percaturan politik era Orde Baru dimulai.
Jenderal kritis
Petisi 50, bukan orang sembarangan. Mereka seperti diakui Soeharto, mempunyai jasa untuk bangsa dan negara. Gerakan oposisi ini diawali dari kelompok Brasildi.  Nama ini tidak ada hubungannya dengan negara paling banyak menjadi juara dunia sepakbola, Brasil. Brasildi adalah akronim dari divisi yang kemudian menjadi komando daerah militer (kodam). Brawijaya, Siliwangi, dan Diponegoro. Komando utama militer di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. 
Grup diskusi ini beranggotakan sejumlah pensiunan elite dari tiga divisi tersebut.  Brawijaya diwakili antara lain Letjen (Purn) GPH Djatikusumo, Letjen (Purn) Sudirman dan Letjen (Purn) M. Yassin. Djatikusumo adalah orang pertama yang menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Dari Siliwangi, ada nama-nama seperti:  Letjen (Purn) Kemal Idris, Brigjen (Purn) Alex Kawilarang, Letjen (Purn) AY Mokoginta. Dari Diponegoro ada nama-nama seperti: Mayjen (Purn) Moenadi H, Mayjen (Purn) Brotosewoyo, dan Mayjen (Purn) Iskandar Ranuwiharjo.
Para purnawirawan kritis itu aktif melakukan diskusi saat situasi politik memanas jelang pemilu 1977. Brasildi kemudian menjadi Fosko (Forum Studi Komunikasi) TNI AD 1978, Yayasan Kartika Eka Paksi. Pimpinannya adalah GPH Djatikusumo.  Salah satu kesimpulan diskusi  para jenderal pensiunan itu menilai suasana politik ‘kurang sehat’. Bahkan Sidang Umum MPR 1978, mirip perang!
Mereka juga mengritik TNI/ABRI belum menempatkan dirinya di atas semua golongan. Menyimpang dari semangat politik TNI adalah politik negara.  Belakangan mantan Panglima Siliwangi yang juga Sekjen ASEAN, Letjen (Purn) HR Dharsono masuk ke dalam Fosko dan diangkat menjadi sekjen mendampingi Djatikusumo.
Kritik mereka terhadap Mabes ABRI semakin keras dan mempertanyakan arah kebijakan Dwifungsi ABRI. Juga protes keras terhadap langkah politik Golkar sebagai partai pemerintah yang membuat sejumlah rekayasa ‘kecurangan’ pemilu dan sidang umum.
Langkah berani para purnawirawan membuat KSAD Jenderal Widodo serba salah.  Ia tak bisa lagi mengendalikan para seniornya yang sudah purnawirawan.  Widodo serba salah harus menjelaskannya kepada Presiden Soeharto. Akhirnya ia membubarkan Fosko pada Mei 1979. Namun membiarkan para jenderal gaek itu membuat wadah baru Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha (FKS).
Dituduh makar
Para senior ini ingin langsung menemui Presiden Soeharto, tanpa melalui KSAD. Jenderal Widodo mempersilakan. Momentumnya saat Soeharto ke Jawa Tengah, November 1979. Di luar dugaan, mereka malah dituduh hendak makar terhadap pemerintah. Sekali lagi dituding akan melakukan makar. Pertemuan pun tidak jadi berlangsung.
Setelah itu, Jenderal (Purn) AH Nasution berinisiatif memperlebar para tokoh, bukan hanya pensiunan TNI Angkatan Darat. Mengundang pensiunan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, serta sejumlah tokoh bangsa. Lahirlah Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB),  pada Juli 1978. Proklamator Mohamad  Hatta, Sunario, Ahmad Subardjo, Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso, dll.
AH Nasution dkk mengritik Orde Baru belum menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara benar.  Kemudian Ali Sadikin dkk bertemu DPR dan mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintahan Orde Baru yang dinilainya cenderung semakin otoriter.
Presiden Soeharto pun murka. Murka saat rapat pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980 di Pekanbaru. Dilanjutkan pada hari jadi ke 28 tahun Kopassanda, kini Kopassus, 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta. Soeharto mengingatkan jajaran TNI/ABRI akan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Ia mengaku tak ingin ada konflik bersenjata.
“… (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai,” kata Soeharto.
Aku Pancasila
Soeharto mulai ‘mempersonifikasikan’ dirinya sebagai Pancasila. ‘Akulah’ Pancasila. Sehingga yang berseberangan dengan dirinya dianggap bukan Pancasila.  Soeharto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada diri dan keluarganya.

Pernyataan Soeharto dibalas oleh para senior, terutama purnawirawan TNI dan Polri. Ali Sadikin, Hoegeng, Mayjen (Purn) Aziz Saleh dkk kemudian mengundang AY Mokoginta dan M Yassin dari FKS Purna Yudha. Mereka merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan. Surat itu ditandatangani pada 5 Mei 1980. Sejumlah tokoh bangsa yang ikut andatangan, antara lain: Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, dan Slamet Bratanata.
Ada 50 orang yang ikut menandatangani surat keprihatinan, maka dinamai Petisi 50. Surat itu dikirim ke DPR dan meminta lembaga legislatif menanggapinya.  Sejumlah anggota DPR dari F-PP dan F-PDI memimta Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, Slamet Bratanata, pimpinan DPR meneruskan pertanyaan kepada pemerintah.  
Lalu, pada 14 Juni 1980, Ketua DPR Daryatmo meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden. Dua bulan kemudian, Presiden Soeharto menjawab melalui Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono.  Namun  dianggap oleh kelompok Petisi 50 bukan merupakan jawaban. Ali Sadikin dkk menganggap persoalan belum selesai.
"Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri Petisi 50, tidak saya sukai," kata Pak Harto dalam otobiografi ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’.
Perang pun dimulai. Pemerintah Soeharto mencekal (cegah tangkal) ke luar negeri bagi semua anggota Petisi 50 yang tidak bersedia mencabut pernyataannya. Bukan cuma itu, sejumlah hak perdatanya juga ditutup. Misalnya, Ali Sadikin tidak bisa mendapat kredit dari bank.  Perusahannya, PT Arkalina terpaksa ditutup.
Ayah Ton


Konflik antara Presiden Soeharto dengan kelompok Petisi 50 terus berlanjut. Puncaknya pada 1984. Terjadi peristiwa Tanjung Priok dan pengeboman Bank BCA di Jakarta. Dua peristiwa itu menjadi pintu masuk bagi rezim Soeharto memberangus kelompok oposisi, baik Petisi 50 maupun gerakan Islam.

Dua tokoh Petisi 50, mantan Menteri Perindustrian (1966-1968) M Sanusi dan Letjen (Purn) HR Dharsono ditangkap Kopkamtib. Keduanya dituduh terkait pengeboman itu.  Sanusi dituduh sebagai koordinator para pelaku teror yang melakukan pengeboman dan gerakan makar lainnya. 

Dalam persidangan terungkap, adanya rekayasa terhadap peran Sanusi. Para saksi mencabut kesaksian mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka mengaku diintimidasi dan disiksa di penjara saat membuat BAP.  

Sedangkan Jenderal Dharsono dituduh memimpin rapat-rapat para teroris setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok.  Sang  jenderal pun dipenjara selama hampir enam tahun.  Padahal ia hanya memprotes tindakan ABRI yang menembaki rakyat di Tajung Priok.  Tindakan sewenang-wenang yang menewaskan sejumlah orang. Ia minta pemerintah dari pimpinan ABRI harus bertanggung jawab terhadap hilangnya nyawa rakyat.

Begitulah saat rezim panik. Semua lawan politik dikriminalisasi dengan rekayasa hukum.  Oposisi diberangus tanpa ampun. Tak peduli dengan jasa-jasa para bekas menteri maupun pensiunan jenderal.  

Pada 1990, sebagai mahasiswa, penulis turut simpati dan menyambut bebasnya Letnan Jenderal (Purn) Hartono Rekso Dharsono atau dikenal sebagai HR Dharsono dari penjara LP Cipinang. Memakai kaos putih bergambar HR Dharsono dan menyambutnya bagai pahlawan menang perang.
 
Setelah bebas dari penjara, ia mengalami penyakit bronchitis dan kanker. Tentu saja dampak penderitaan yang dialaminya selama di penjara. Ia wafat pada pertengahan 1996.  Ironisnya, pemerintah melarang jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ia hanya dimakamkan di pemakaman umum.

Letjen (Purn) Kemal Idris sampai menangis melihat perlakuan pemerintah terhadap HR Dharsono. “Ini seperti pemakaman kucing. Padahal dia pahlawan.”  Sebab, semua tanda kehormatan negara, tanda jasa, serta pensiunnya sebagai jenderal, tidak pernah dicabut oleh negara.     

/selamatgintingofficial






Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...