Mengapa jenderal kritis harus dilawan dengan hukum subversif dan tuduhan
makar?
Peristiwa 26 tahun lalu. Tepatnya, Juni 1993. Salah satu liputan
politik paling menarik perhatian penulis saat awal menjadi wartawan. Ketika
itu, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) BJ Habibie mengundang Letjen
Marinir (Purn) Ali Sadikin dkk berkunjung ke PT PAL Surabaya.
Apa menariknya? Sangat menarik, karena mantan
Gubernur DKI Jakarta bersama sejumlah jenderal dan politikus masuk dalam daftar
kaum ‘pembangkang’. Membangkang terhadap pemerintah Orde Baru, pimpinan
Jenderal (Purn) Soeharto. Kelompok pembangkang di antaranya adalah
jenderal-jenderal militer dan polisi yang tergabung dalam penandatangan Petisi
50, tahun 1980.
Sebut saja, mantan Menko Hankam / Kepala Staf
ABRI, Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution; mantan Panglima Kodam Siliwangi,
Letjen (Purn) HR Darsono, mantan Panglima Kostrad, Letjen (Purn) A Kemal Idris,
mantan Menteri / Wakil Panglima Angkatan Laut, Letjen (Purn) Ali Sadikin;
mantan Kepala Polri, Jenderal (Purn) Hoegeng dll.
Selama 13 tahun, kelompok Petisi 50 menjadi
oposisi terhadap Presiden Soeharto. Undangan Habibie kepada para pembangkang
itu menarik perhatian pers. Tentu saja ingin mengetahui apa reaksi Jenderal Soeharto. Di luar dugaan, kata Habibie, Pak
Harto justru merestui inisiatif tersebut.
"Habibie, mereka adalah kawan seperjuangan
saya. Mereka adalah Angkatan 45 yang berperan menjadikan kamu seperti sekarang
ini," begitu ucapan Pak Harto yang dikutip Habibie. Sejak itulah hubungan
antara pemerintah dan penggagas Petisi 50 yang semula kaku dan membeku,
perlahan mulai cair. Babak baru percaturan politik era Orde Baru dimulai.
Jenderal
kritis
Petisi 50, bukan orang sembarangan. Mereka
seperti diakui Soeharto, mempunyai jasa untuk bangsa dan negara. Gerakan
oposisi ini diawali dari kelompok Brasildi.
Nama ini tidak ada hubungannya dengan negara paling banyak menjadi juara
dunia sepakbola, Brasil. Brasildi adalah akronim dari divisi yang kemudian
menjadi komando daerah militer (kodam). Brawijaya, Siliwangi, dan Diponegoro.
Komando utama militer di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Grup diskusi ini beranggotakan sejumlah pensiunan
elite dari tiga divisi tersebut. Brawijaya
diwakili antara lain Letjen (Purn) GPH Djatikusumo, Letjen (Purn) Sudirman dan Letjen
(Purn) M. Yassin. Djatikusumo adalah orang pertama yang menjadi KSAD (Kepala
Staf Angkatan Darat). Dari Siliwangi, ada nama-nama seperti: Letjen (Purn) Kemal Idris, Brigjen (Purn)
Alex Kawilarang, Letjen (Purn) AY Mokoginta. Dari Diponegoro ada nama-nama
seperti: Mayjen (Purn) Moenadi H, Mayjen
(Purn) Brotosewoyo, dan Mayjen (Purn) Iskandar Ranuwiharjo.
Para purnawirawan kritis itu aktif melakukan
diskusi saat situasi politik memanas jelang pemilu 1977. Brasildi kemudian menjadi
Fosko (Forum Studi Komunikasi) TNI AD 1978, Yayasan Kartika Eka Paksi.
Pimpinannya adalah GPH Djatikusumo.
Salah satu kesimpulan diskusi
para jenderal pensiunan itu menilai suasana politik ‘kurang sehat’.
Bahkan Sidang Umum MPR 1978, mirip perang!
Mereka juga mengritik TNI/ABRI belum
menempatkan dirinya di atas semua golongan. Menyimpang dari semangat politik
TNI adalah politik negara. Belakangan
mantan Panglima Siliwangi yang juga Sekjen ASEAN, Letjen (Purn) HR Dharsono
masuk ke dalam Fosko dan diangkat menjadi sekjen mendampingi Djatikusumo.
Kritik mereka terhadap Mabes ABRI semakin keras
dan mempertanyakan arah kebijakan Dwifungsi ABRI. Juga protes keras terhadap
langkah politik Golkar sebagai partai pemerintah yang membuat sejumlah rekayasa
‘kecurangan’ pemilu dan sidang umum.
Langkah berani para purnawirawan membuat KSAD
Jenderal Widodo serba salah. Ia tak bisa
lagi mengendalikan para seniornya yang sudah purnawirawan. Widodo serba salah harus menjelaskannya
kepada Presiden Soeharto. Akhirnya ia membubarkan Fosko pada Mei 1979. Namun
membiarkan para jenderal gaek itu membuat wadah baru Forum Komunikasi dan Studi
Purna Yudha (FKS).
Dituduh
makar
Para senior ini ingin langsung menemui Presiden
Soeharto, tanpa melalui KSAD. Jenderal Widodo mempersilakan. Momentumnya saat Soeharto ke Jawa Tengah,
November 1979. Di luar dugaan, mereka malah dituduh hendak makar terhadap
pemerintah. Sekali lagi dituding akan melakukan makar. Pertemuan pun tidak jadi
berlangsung.
Setelah itu, Jenderal (Purn) AH Nasution
berinisiatif memperlebar para tokoh, bukan hanya pensiunan TNI Angkatan Darat.
Mengundang pensiunan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, serta
sejumlah tokoh bangsa. Lahirlah Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB),
pada Juli 1978. Proklamator Mohamad Hatta, Sunario, Ahmad Subardjo, Ali Sadikin,
Hoegeng Imam Santoso, dll.
AH Nasution dkk mengritik Orde Baru belum
menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara benar. Kemudian Ali Sadikin dkk bertemu DPR dan
mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintahan Orde Baru yang dinilainya
cenderung semakin otoriter.
Presiden Soeharto pun murka. Murka saat rapat
pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980 di Pekanbaru. Dilanjutkan pada hari jadi ke 28
tahun Kopassanda, kini Kopassus, 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta. Soeharto mengingatkan
jajaran TNI/ABRI akan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Ia
mengaku tak ingin ada konflik bersenjata.
“… (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang
dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum
tak tercapai,” kata Soeharto.
Aku
Pancasila
Soeharto mulai ‘mempersonifikasikan’ dirinya
sebagai Pancasila. ‘Akulah’ Pancasila. Sehingga yang berseberangan dengan
dirinya dianggap bukan Pancasila.
Soeharto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada diri dan
keluarganya.
Pernyataan Soeharto dibalas oleh para senior, terutama purnawirawan TNI dan Polri. Ali Sadikin, Hoegeng, Mayjen (Purn) Aziz Saleh dkk kemudian mengundang AY Mokoginta dan M Yassin dari FKS Purna Yudha. Mereka merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan. Surat itu ditandatangani pada 5 Mei 1980. Sejumlah tokoh bangsa yang ikut andatangan, antara lain: Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, dan Slamet Bratanata.
Pernyataan Soeharto dibalas oleh para senior, terutama purnawirawan TNI dan Polri. Ali Sadikin, Hoegeng, Mayjen (Purn) Aziz Saleh dkk kemudian mengundang AY Mokoginta dan M Yassin dari FKS Purna Yudha. Mereka merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan. Surat itu ditandatangani pada 5 Mei 1980. Sejumlah tokoh bangsa yang ikut andatangan, antara lain: Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, dan Slamet Bratanata.
Ada 50 orang yang ikut menandatangani surat
keprihatinan, maka dinamai Petisi 50. Surat itu dikirim ke DPR dan meminta
lembaga legislatif menanggapinya. Sejumlah anggota DPR dari F-PP dan F-PDI
memimta Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, Slamet
Bratanata, pimpinan DPR meneruskan pertanyaan kepada pemerintah.
Lalu, pada 14 Juni 1980, Ketua DPR Daryatmo
meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden. Dua bulan kemudian, Presiden
Soeharto menjawab melalui Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono. Namun
dianggap oleh kelompok Petisi 50 bukan merupakan jawaban. Ali Sadikin
dkk menganggap persoalan belum selesai.
"Apa yang dilakukan oleh mereka yang
menamakan diri Petisi 50, tidak saya sukai," kata Pak Harto dalam
otobiografi ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’.
Perang pun dimulai. Pemerintah Soeharto
mencekal (cegah tangkal) ke luar negeri bagi semua anggota Petisi 50 yang tidak
bersedia mencabut pernyataannya. Bukan cuma itu, sejumlah hak perdatanya juga
ditutup. Misalnya, Ali Sadikin tidak bisa mendapat kredit dari bank. Perusahannya, PT Arkalina terpaksa ditutup.
Ayah Ton
Konflik
antara Presiden Soeharto dengan kelompok Petisi 50 terus berlanjut. Puncaknya
pada 1984. Terjadi peristiwa Tanjung Priok dan pengeboman
Bank BCA di Jakarta. Dua peristiwa itu menjadi pintu masuk bagi rezim Soeharto
memberangus kelompok oposisi, baik Petisi 50 maupun gerakan Islam.
Dua
tokoh Petisi 50, mantan Menteri Perindustrian (1966-1968) M Sanusi dan Letjen
(Purn) HR Dharsono ditangkap Kopkamtib. Keduanya dituduh terkait pengeboman
itu. Sanusi dituduh sebagai koordinator
para pelaku teror yang melakukan pengeboman dan gerakan makar lainnya.
Dalam
persidangan terungkap, adanya rekayasa terhadap peran Sanusi. Para saksi
mencabut kesaksian mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka mengaku
diintimidasi dan disiksa di penjara saat membuat BAP.
Sedangkan
Jenderal Dharsono dituduh memimpin rapat-rapat para teroris setelah meletusnya
peristiwa Tanjung Priok. Sang jenderal pun dipenjara selama hampir enam
tahun. Padahal ia hanya memprotes tindakan
ABRI yang menembaki rakyat di Tajung Priok.
Tindakan sewenang-wenang yang menewaskan sejumlah orang. Ia minta
pemerintah dari pimpinan ABRI harus bertanggung jawab terhadap hilangnya nyawa
rakyat.
Begitulah
saat rezim panik. Semua lawan politik dikriminalisasi dengan rekayasa
hukum. Oposisi diberangus tanpa ampun.
Tak peduli dengan jasa-jasa para bekas menteri maupun pensiunan jenderal.
Pada
1990, sebagai
mahasiswa, penulis turut simpati dan menyambut bebasnya Letnan Jenderal (Purn)
Hartono Rekso Dharsono atau dikenal sebagai HR Dharsono dari penjara LP
Cipinang. Memakai kaos putih bergambar HR Dharsono dan menyambutnya bagai
pahlawan menang perang.
Setelah
bebas dari penjara, ia mengalami penyakit bronchitis dan kanker. Tentu saja
dampak penderitaan yang dialaminya selama di penjara. Ia wafat pada pertengahan
1996. Ironisnya, pemerintah melarang
jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ia hanya dimakamkan di pemakaman
umum.
Letjen
(Purn) Kemal Idris sampai menangis melihat perlakuan pemerintah terhadap HR
Dharsono. “Ini seperti pemakaman kucing. Padahal dia pahlawan.” Sebab, semua tanda kehormatan negara, tanda
jasa, serta pensiunnya sebagai jenderal, tidak pernah dicabut oleh negara.
/selamatgintingofficial