Foto: Habib Rizieq Syihab (Kiblat.net) |
TULISAN INI TELAH DIPUBLIKASIKAN PADA KORAN REPUBLIKA, EDISI SENIN, 13 MEI 2019 - RUBRIK TERAJU, Halaman 24.
Dianugrahi sebagai "Pemenang ke-1 Kategori Wartawan" Lomba Penulisan Artikel Kebangsaan dalam Rangka HUT Ke-74 Kemerdekaan RI dengan tulisan berjudul “Ruang Publik Manusiawi Bersyariah” yang diselenggaran PWI bekerja sama dengan Inspirasi.co.
Tulisan mengambil tema dari artikel berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi” yang ditulis oleh konsultan politik Denny JA. Lomba penulisan semula berlangsung 1 Januari - 15 Februari 2019 tetapi kemudian diperpanjang hingga akhir Juli 2019.
Dianugrahi sebagai "Pemenang ke-1 Kategori Wartawan" Lomba Penulisan Artikel Kebangsaan dalam Rangka HUT Ke-74 Kemerdekaan RI dengan tulisan berjudul “Ruang Publik Manusiawi Bersyariah” yang diselenggaran PWI bekerja sama dengan Inspirasi.co.
Tulisan mengambil tema dari artikel berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi” yang ditulis oleh konsultan politik Denny JA. Lomba penulisan semula berlangsung 1 Januari - 15 Februari 2019 tetapi kemudian diperpanjang hingga akhir Juli 2019.
============================
Oleh Selamat Ginting
Kehadiran Pancasila sebagai sebuah ideologi bagi bangsa Indonesia adalah rahmat dari Tuhan.
Persis setahun yang lalu. Muhammad Rizieq Husein Syihab, populer dipanggil Habib Rizieq Syihab (HRS) menitipkan pesan kepada elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengunjunginya di Mekah, Saudi Arabia. Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini dan anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Al Habsyi mengunjungi pemimpin Front Pembela Islam (FPI) di sela-sela ibadah umrah.
Yang menarik pesannya, Jazuli menjelaskan dalam pertemuan tersebut mendiskusikan masalah keumatan dan kebangsaan. Terutama pelaksanaan Pancasila.
"Habib Rizieq berpesan agar semua komponen bangsa menjaga NKRI dari berbagai rongrongan yang menghancurkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara, agar menghormati ulama dan agama-agama yang diakui di Indonesia," kata Jazuli.
Habib Rizieq, kandidat doktor bidang dakwah dan manajemen di Universitas Sains Islam Malaysia (USIM), Negeri Sembilan. Ia kerap berbicara soal Pancasila dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Bukan kali itu saja.
Ia pun beberapa kali berbicara soal NKRI Bersyariah. Ketika memulai aksi 212 tahun 2016, isu NKRI Bersyariah sudah digaungkannya. Setahun kemudian, dalam Reuni 212 tahun 2017, perlunya Indonesia menjadi NKRI Bersyariah kembali diperkuatnya.
“Bagaimana sikap kita atas seruan NKRI Bersyariah itu?” tanya Denny JA yang kini aktif membuat meme komunikasi politik. Pada Desember 2018 lalu, Denny menuliskan artikel NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi? Ia menyebut HRS berulang-ulang menyatakan perlunya NKRI Bersyariah.
Syariah di Pancasila
Syariah di Pancasila
Apa sebenarnya yang dimaksud HRS tentang NKRI Bersyariah? Menurutnya, NKRI Bersyariah adalah negara yang menjadikan pribumi sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Selain itu NKRI Bersyariah artinya anti terhadap beberapa hal, yakni: korupsi, judi dan narkoba, pornografi, prostitusi, LGBT, fitnah, kebohongan, dan kezaliman.
Sebenarnya tidak ada yang baru dari pernyataan HRS soal NKRI Bersyariah. Sama seperti pesannya kepada elite PKS yang mengunjunginya tahun lalu. Saat itu juga sedang merayakan Hari Pancasila. NKRI bersyariah yang dimaksud HRS termaktub dalam nilai-nilai Pancasila.
Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila. Namun, menghargai sesuatu yang bersifat syariah untuk umat Islam Indonesia yang mayoritas, sekitar 90 persen dari jumlah penduduk. Misalnya: UU Bank Syariah, UU Ekonomi Syariah, UU Pornografi, UU Jaminan Produk Halal untuk makanan dan obat-obatan, hingga UU Pendidikan.
Yang menarik justru ada partai papan atas yang kerap ‘walk out’ saat membahas undang-undang yang melindungi umat Islam. Misalnya terkait pornografi, sesungguhnya semua umat beragama, tidak akan ada yang mau menerima pornografi dan pornoaksi. Tidak ada yang menginginkan generasi penerusnya moralnya rusak.
Jadi Indonesia yang berlandaskan Pancasila, jelas tidak anti terhadap aturan yang beraroma syariah. Bahkan mengakomodasi sistem syariah tersebut ke dalam sitem pemerintahan Indonesia. Yang aneh justru ada kalangan minoritas yang menunjukkan perilaku tidak harmonis. Menolak hakikat perbedaan, hakekat terbentuknya Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sedikitnya 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam, dan selebihnya yang 10 persen menganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sebagai mayoritas, wajar jika umat Islam, memerlukan payung hukum berupa undang-undang yang melindunginya, sekaligus tidak merugikan umat beragama lainnya.
Bukankah dari sembilan tim perumus BPUPKI, empat orang mewakili Islam, dan empat mewakili kebangsaan, serta satu orang mewakili Kristen? Bukankah tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan juga mayoritas beragama Islam? Para pejuang beragama Islam itu, tidak memperjuangkan penduduk yang beragama Islam saja. Melainkan juga melindungi umat beragama lainnya.
Jangan pertentangkan
Jadi sesungguhnya aneh jika mempertentangkan Islam dengan kebangsaan. Sama seperti mempertentangkan NKRI Bersyariah dengan Ruang Publik Yang Manusiawi, seperti diwacanakan Denny JA. Apakah bersyariah artinya bertolak belakang dengan ruang publik yang manusiawi?
Apakah itu berarti Islam juga tidak manusiawi? Bukankah islam itu ramatan lil alamin atau rahmat bagi alam semesta. Ini seperti mempertentangkan Islam dengan nasionalisme yang terjadi sebelum kemerdekaan. Sesunggunya perdebatan itu telah selesai setelah Pancasila diputuskan sebagai ideologi bangsa. Sebagai falsafah atau dasar negara Indonesia pada 18 Agustus 1945.
Pancasila menjadi jalan tengah terbaik dalam menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menggunakan kaidah agama atau syariah Islam dan negara, tidak mungkin lagi dipisahkan. Indonesia bukan negara teokrasi, bukan sekuler, tapi negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Itulah Pancasila.
Partai-partai Islam seperti: Masyumi, NU, PSII, dan lain-lain, pernah marah ketika partai nasionalis bentukan kelompok liberal, dan sosialis meminta pergantian kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertama Pancasila. Mereka hendak mengubah menjadi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Ini sama saja artinya masyarakat boleh tidak beragama atau menjadi atheis. Bahkan mereka juga meminta agama tidak menjadi bagian dari negara. Partai-partai Islam kemudian keluar dari ruang sidang, sehingga konstituante deadlock selama tiga tahun.
Akhirnya disepakati untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945, serta sila Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti kesepakatan 18 Agustus 1945. Artinya apa? Sesuatu yang beraroma syariah pun bukan berarti negara agama, tettapi juga bukan negara sekuler. Melainkan negara yang merujuk dan menghormati agama.
Di era reformasi, persoalan klasik seperti sebelum kemerdekaan dan sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, sesungguhnya terjadi lagi. Saat kran demokrasi dibuka Presiden BJ Haibie, kelompok neo liberalisme (neolib) seperti berada di atas angin di Indonesia. Lahirnya globalisasi diaggap sebagai kemenangan kelompok neolib. Sistem liberalisme dianggap sebagai yang terbaik di dunia. Di sisi lain, muncul radikalisme sejumlah pemeluk beragam agama di dunia. Mereka merasa yang terbaik dibandingkan dengan agama lainnya.
Mereka lupa bahwa perdebatan soal agama dan nasionalisme di Indonesia, sudah selesai. Jadi, semua komponen bangsa, sudahlah. Jangan lagi mempertentangkan apa yang tidak perlu dipertentangkan. Semangat bersyariah atau beragama harus diperkuat dengan semangat kebangsaan. Agama tanpa nasionalisme, terbukti tidak mampu menyatukan umat. Sebaliknya, nasionalisme tanpa agama juga tidak memiliki nilai-nilai. Karena itu, Islam dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan. Seperti halnya NKRI Bersyariah tidak bisa dipisahkan dengan ruang publik yang manusiawi.
Kehadiran Pancasila sebagai sebuah ideologi bagi bangsa Indonesia adalah rahmat dari Tuhan. Pancasila bukan hanya menjadi hukum tertinggi, melainkan falsafah dasar negara. Bahkan menjadi pilar pemersatu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Maka penting, Pancasila bukan hanya sebagai simbol belaka, tetapi harus dimaknai sebagai pedoman untuk berdaulat. Berdaulat secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
SELAMAT GINTING
WARTAWAN REPUBLIKA (NIK 1071164)
Nomor Anggota PWI Jaya: 09.007603.96
/selamatgintingofficial