Foto: tirto.id |
Oleh
Selamat Ginting
Para mahasiswa memprotes cara pembangunan dari bantuan asing. Juga menuding terjadi ketidakstabilan sosial. Orang-orang Jepang dan Cina bekerjasama dengan beberapa elite nasional ‘penjual negara’. Siapa mereka?
Latar belakang panggung didominasi warna merah. Terpampang kalimat: 20
tahun Indemo. 46 tahun Peristiwa 15 Januari. Pemilik acara, Hariman Siregar (70
tahun) mengenakan batik kombinasi warna kuning kecoklatan dan celana panjang
coklat. Bergaya anak muda, ia pun menggunakan sepatu kets. Bukan sepatu
pantovel, seperti orang yang sedang menghadiri undangan resmi.
Sang tokoh tetap bicara apa adanya. Bukan sedang bermain film, walau
acara diselenggarakan di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jl HR Rasuna Said,
Jakarta. Rabu, 15 Januari 2020, para aktivis hadir menyaksikan orasi Hariman, lelaki kelahiran Padang Sidempuan, Sumatra Utara.
Bekas ketua dewan mahasiswa (DM) Universitas
Indonesia (UI) tahun 1973-1974 itu menilai, kondisi Indonesia saat ini mengalami
kemunduran. Keadaan yang sama dan tidak bisa beranjak pada situasi yang terjadi
ketika peristiwa demonstrasi mahasasiswa pada 15 Juli 1974. Ada kemunduran demokrasi dan investasi asing yang
ugal-ugalan.
''Waktu itu (1973-1974), saya masih yakin Indonesia dalam 20 tahun ke depan akan menjadi raksasa Asia. Ternyata tidak terjadi. Sama dengan kondisi sekarang, saat itu para mahasiwa sudah memperingatkan agar pembangunan jangan mengejar angka pertumbuhan. Tapi bagaimana meratakan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat,” kata Hariman pada peringatan 46 tahun peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974), di Jakarta, Rabu (15/1).
''Waktu itu (1973-1974), saya masih yakin Indonesia dalam 20 tahun ke depan akan menjadi raksasa Asia. Ternyata tidak terjadi. Sama dengan kondisi sekarang, saat itu para mahasiwa sudah memperingatkan agar pembangunan jangan mengejar angka pertumbuhan. Tapi bagaimana meratakan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat,” kata Hariman pada peringatan 46 tahun peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974), di Jakarta, Rabu (15/1).
Hadir dalam acara itu, antara lain
dua jenderal bintang empat. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso
dan Laksamana (Purn) Tedjo Edhie Purdijanto, mantan Menteri Koordinator Politik
Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Saat Malaria 1974, kedua jenderal itu
masih berstatus sebagai taruna. Keduanya lulus Akademi TNI tahun 1975.
Era 1974, beberapa nama jenderal
menghiasi sejumlah media massa. Ada Pangab Jenderal Maraden Panggabean, Pangkopkamtib
Jenderal Soemitro, Kaskopkamtib Laksamana Sudomo, Letnan Jenderal Ali Moertopo,
Letnan Jenderal Soejono Hiemardani, dan Letnan
Jenderal Sutopo Juwono. Namun dari sekian banyak jenderal, episentrum berada
pada Jenderal Soeharto. Saat itu ia berusia 53 tahun, masih sebagai jenderal
aktif, sekaligus Presiden RI.
Inflasi
tak Terkendali
Mengherankan, peristiwa malapetaka
terbesar pertama di era Orde Baru itu, tidak pernah dibentuk tim investigasi. Kali
ini yang hendak dibahas, siapa sesungguhnya dalang Malari 1974? Apakah ada
keterlibatan Jenderal Soeharto? Atau berhenti pada persaingan Jenderal Soemitro
dengan Jenderal Ali Moertopo?
Membahas peristiwa itu, harus
diketahui terlebih dahulu kondisi awal pemerintahan Orde Baru. Pada awal Orde Baru, program
pemerintah fokus pada penyelamatan ekonomi, memberantas inflasi, serta penyelamatan
keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Hal ini berbeda dengan keadaan pada masa demokrasi terpimpin (Orde Lama)
era Presiden Sukarno. Sukarno fokus pada pembangunan politik daripada
pembangunan ekonomi. Puncaknya, keberhasilan Indonesia mengembalikan Irian
Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Namun, Sukarno gagal membangun ekonomi nasional.
Inflasi tak terkendali.
Inflasi merupakan kondisi dimana terjadi kenaikan harga barang dan jasa
dalam sebuah negara seiring dengan waktu. Efek inflasi sangat merugikan
masyarakat, karena dengan jumlah uang yang sama, hanya dapat membeli barang
yang sama dengan jumlah lebih sedikit. Nah, salah satu cara melawan efek dari
inflasi adalah melakukan investasi. Tentu saja
harus memilih investasi yang memberikan imbal balik yang jauh di atas
laju inflasi.
Investasi apa yang dipilih pemerintahan Soeharto? Awalnya, tentu saja
sang jenderal dari Kemusuk Yogyakarta ini mengalami masalah ekonomi dan politik
yang berat. Efek hancurnya perekonomian di akhir pemerintahan Sukarno adalah tingkat
inflasi sebesar 650% setahun. Tidak memungkinkan bagi Orde Baru melaksanakan
pembangunan secepatnya.
Sebagai pejabat presiden, Soeharto memilih kebijakan stabilisasi
politik dan rehabilitasi bidang ekonomi terlebih dahulu. Kebijakan itu berupa kebijakan
fiskal, moneter, dan impor. Pemerintah
mengeluarkan beberapa peraturan penting, salah satunya peraturan 3 Oktober 1966.
Peraturan itu memuat pokok-pokok usaha.
Pertama; anggaran belanja yang berimbang untuk meniadakan salah satu sebab bagi
inflasi, yaitu defisit dalam anggaran belanja. Kedua; pengekangan ekspansi
kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya bidang pangan, eksport, prasarana
dan industri. Ketiga; penundaan pembayaran hutang-hutang luar negeri dan usaha untuk
mendapatkan kredit baru.
Keempat; penanaman modal asing guna membuka kesempatan pada luar negeri
untuk turut serta membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja serta membantu
usaha peningkatan pendapatan nasional. (MD Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,
1993, Sejarah Nasioanl Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka).
Pemerintah Orde Baru mempertegas dengan mengeluarkan kebijakan
Undang-Undang tentang penanaman modal asing pada 10 Februari 1967. Penanaman modal terbesar adalah
perusahaan-perusahaan Jepang. Mereka sangat menonjol sejak awal kebijakan investasi
baru dan pangsa investasinya meningkat terus.
Dana investasi Jepang sampai pada 1973 senilai US $ 534 juta untuk 135
proyek. Jumlah proyek terbanyak di Indonesia, mengalahkan investasi Amerika
Serikat dengan 115 proyek. Namun, dana
investasi Jepang dan pinjaman dana asing mendapatkan reaksi negatif dari
masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa.
“Kami tak bangga kepada bantuan asing yang hanya berarti lebih banyak gedung-gedung
mentereng menjulang, lebih banyak nightclub dan banjir Coca-cola, tetapi di
lain pihak makin banyak rakyat tak mendapat pekarjaan, kehilangan tanah, tak
punya rumah, industri-industri kecil mati, hutan-hutan menjadi gundul dan
ladang minyak menjadi kering” Begitulah
bunyi memorandum GMII (Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Indonesia) kepada J.P
Pronk, Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda. (Amir Husein Daulay dan Imran Hasibuan,
2011, Hariman dan Malari Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing,
Jakarta: U-Communication).
Demonstrasi mahasiswa
Sejak itu mahasiswa terus memprotes cara pembangunan dari bantuan asing.
Juga menuding terjadi ketidakstabilan sosial. Orang-orang Jepang dan Cina
bekerjasama dengan beberapa elite nasional ‘penjual negara’. Ali Moertopo dan
Soedjono Hoemardani dituding mahasiswa sebagai elite nasional ‘penjual negara’.
Kedua jenderal itu merupakan asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto.
Pada 1974 keduanya masih berpangkat mayjen. Ali juga sebagai komandan operasi khusus
(opsus). Selain keduanya, lembaga CSIS (Centre for Strategic and Internasional
Study) juga dituding sebagai badan kolaborasi penentu kebijakan pemerintah,
sebagai antek imperialis asing.
Di sisi lain ada Soemitro selaku
Wakil Panglima ABRI (wapangab) meragkap Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (pangkopkamtib). Dia dianggap menentang modal asing,
namun tidak menyerukan secara terbuka. Jenderal berperawakan gendut itu sejak November
1973, rajin mengunjungsi perguruan tinggi besar di Jakarta, Bandung Surabaya,
dan Yogyakarta.
Ia berdalih, kunjungan itu atas perintah Presiden Soeharto, seperti
diungkapkan dalam biografinya. Dalam buku ‘Dari Pangdam Mulawarman sampai
Pangkopkamtib’, karya Ramadha KH, “Pak Harto cerita tentang keadaan kampus yang
resah dan meminta agar saya menenangkan kampus-kampus itu. Saya jawab
“Bersedia, Pak.”
Dalam dialog dengan mahasiswa, Mitro mengakui semakin banyaknya
kontradiksi sosial di tengah masyarakat. Ia menerima kritikan mahasiswa soal
lembaga kopkamtib, aspri dan operasi khusus. Mitro setuju, kopkamtib, aspri,
dan opsus mesti dihapuskan. Eratnya hubungan Mitro dengan mahasiswa, kemudian
diisukan sebagai cara berkampanye untuk menjadi presiden. Apalagi saat itu di,
Thailand, terjadi penggulingan Marsekal Thanom Kittikachorn pada Oktober 1973
oleh para mahasiswa.
Lalu, siapa tokoh utama mahasiswanya? Siapa lagi kalau bukan Hariman
Siregar, Ketua DM UI yang dilantik pada Agustus 1973. Uniknya, saat pemilihan
ketua DM UI, ia tercatat sebagai anggota Golkar ‘binaan; Ali Moertopo. Namun,
kemudian mengundurkan diri partai penguasa tersebut. Hariman berdalih, ia
dipilih oleh mahasiswa bukan oleh Golkar. Sebelumnya, ketia DM UI didominasi
aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Jenderal Ali dikenal alergi dengan organisasi HMI. Tapi, Hariman justru
memilih ketua komisariat HMI UI sebagai Sekjen DM UI. Judiherry Justam. Ada pula Sjahrir yang aktif menyeruakan
aspirasi rakyat menentang modal asing. Ia merupakan juru bicara Grup Diskusi
Universitas Indonesia (GDUI).
Demonstrasi mahasiswa awal tahun 1974 tak bisa dibendung lagi. Termasuk
menolak keberadaan aspri presiden yang dituding sebagai boneka asing. Mereka
balik menuding para mahasiswa ditunggangi kekuatan anti Presiden Soeharto. Hariman
pun dituding main dua kaki, sebagai orang Ali Moertopo, namun kerap mendatangi
kantor Soemitro. Mitro menjalin komunikasi dua arah dengan para mahasiswa. Bahasa Mitro, komunikasi timbal balik.
Pada 11 Januari 1974, Presiden Soeharto menerima delegasi sejumlah Dewan
Mahasiswa di istana. Mereka menyampaikan kecaman dan mempertanyakan kewibawaan presiden
yang dirongrong tingkah laku para elite yang memperkaya diri. Hariman juga
hadir dalam pertemuan itu, namun Soeharto tidak memberi tanggapan. Hanya
mengangguk-anguk saja.
Mahasiswa pun melaksanakan apel siaga pada 12 Januari mengajak masyarakat
menyambut Perdana Menteri Kakuei Tanaka dengan demonstrasi. Termasuk memasang bendera
setengah tiang pada hari kehadiran Tanaka. Mahasiswa juga mengajak media massa memboikot
pemberitaan tentang kedatangan Tanaka.
Puncaknya, pada 15 Januari 1974, para demonstran menuju ke istana. Di
luar dugaan, demonstrasi anti Jepang
berubah menjadi kerusuhan massal. Pada siang harinya, tiba-tiba proyek
Senen, pabrik Coca-Cola, showroom Toyota Astra, dan sejumlah tempat di Jakarta
dibakar, dirusak, dan dijarah massa. Ratusan kendaraan buatan Jepang hangus
dibakar. Penjarahan di mana-mana, termasuk toko-toko emas dan permata. Pemerintah menyebut, lebih dari 10 orang
tewas, dan 300 luka-luka, dan 750 orang ditahan.
Dalang kerusuhan
Mengejutkan, Kopkamtib baru bertindak dua hari kemudian. Inilah yang
menimbulkan kecurigaan terhadap Mitro
selaku Panglima Kopkamtib. ‘Dokumen Ramadi’ mengungkap rencana Jenderal Soemitro
menggalang kekuatan di kampus-kampus. Memang hanya ditulis ada seseorang
jenderal berinisial S, akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden
sekitar April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto
bakal jatuh. Dokumen itu jelas menuding Jenderal Soemitro. (Adam A, 2009, Membongkar
Manipulasi Sejarah Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Kompas).
Di sisi lain, Ali Moertopo dituding sebagai orang yang berada di balik
kerusuhan dengan mengirimkan sekelompok
orang melakukan kekacauan dan pembakaran di Jakarta. Ali dan Soedjono menggalang
orang-orang bekas DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan GUPPI
(Gerakan Usaha Perbaikan Pendidikan Indonesia). Melalui Ramadi dan Kiai Nur
dari Banten, massa diarahkan merusak mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan
Coca-Cola. Kegiatan tersebut dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan
memukul duet Jenderal Soemitro dan Letjen Sutopo Juwono (Cahyono, 1998,
Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ‘74).
“Peristiwa Malari merupakan bagian dari The Dark History Indonesia. Ada
beberapa tokoh diduga sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Selain Ali
Moertopo dan Soemitro, ternyata ada juga versi yang mengatakan Soeharto sebagai
dalang dari peristiwa Malari.” Euis Megiawati, 2016, dalam skripsinya berjudul
Peristiwa Malaria dalam Pandangan Para Pelaku Sejarah, Universitas Pendidikan
Indonesia.
Mengapa Soeharto juga dituding? Jawabannya bisa simple. Sekali
peristiwa, dia bisa sekaligus menjinakkan Soemitro dan Ali Moertopo. Jenderal
Mitro kemudian mundur dari posisinya sebagai Wakil panglima ABRI sekaligus
panglima Kopkamtib. Jenderal Sutopo Juwono juga dicopot dari jabatan Kepala
Badan koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Posisi Pangkopkamtib belakangan dipercayakan kepada Laksamana Sudomo.
Jabatan Kepala Bakin diserahkan kepada Letjen Yoga Sugomo. Kemudian jabatan
asisten pribadi presiden juga dihapuskan seperti tutntan mahasiswa dan Jenderal
Soemitro. Mitro dan Sutopo memang gerah, karena jabatan aspri presiden merecoki
kerja Kopkamtib dan Bakin. Ada empat anggota aspri, yakni: Ali Moertopo bidang
khusus, Sudjono Hoemarhani bidang perekonomian, Letjen Suryo bidang keuangan,
dan Mayjen Tjokropranolo bidang pengamanan.
“Pak Harto tidak terlibat dalam peristiwa Malari. Ia mampu melakukan
orkestra secara baik antara orang lapangan dan orang intelijen. Kalau tidak,
mana mungkin ia bisa berkuasa hingga 32 tahun?,” ujar Jenderal (Purn) Wijoyo
Suyono, mantan kepala Staf kopkamtib melalui sambungan telepon.
/selamatgintingofficial