Kumpulan tulisan dan liputan sosial, politik, ketahanan dan keamanan negara
24 November 2021
Separatisme di Bumi Papua Domain Militer
17 November 2021
Tantangan Jenderal Dudung Sebagai KSAD Baru
Foto: Dokumen Kostrad |
Selamat Ginting, pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta.
Spekulasi tentang siapa yang akan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) akhirnya terjawab. Dudung Abdurachman (DAR) menjadi pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menduduki posisi KSAD. Ia menggantikan Jenderal Andika Perkasa, KSAD sebelumnya. Andika menjadi Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto.
Jenderal DAR abituren (lulusan) Akademi Militer (Akmil) 1988-B memang sejak awal menjadi favorit kuat untuk menjadi KSAD dibandingkan dengan pesaingnya, seperti Letjen Teguh Arief Indratmoko (1988-A), Letjen Arif Rahman (1988-B), dan Letjen Eko Margiyono (1989). Diperkirakan empat nama inilah yang disorongkan Mabes TNI kepada Presiden untuk dipilih menjadi KSAD.
Jadi keputusan Presiden Jokowi sesungguhnya bukan kejutan bahkan sudah diperkirakan sejak awal. Apalagi pada era reformasi, dari 12 KSAD sebelumnya, separuhnya berasal dari Panglima Kostrad (enam orang), kemudian sisanya dari Wakil KSAD (tiga orang), Sekjen Kemhan (satu orang), Sesmenko Polhukam (satu orang), dan Kepala BAIS TNI (satu orang). Sehingga propabilitas Pangkostrad untuk menjadi KSAD lebih besar.
DAR memenuhi persyaratan untuk menduduki jabatan KSAD. Ia terbilang cukup lama bertugas di satuan lapangan (batalyon infanteri) sekitar 13 tahun, sejak 1989. Ia kenyang menjalani berbagai operasi militer, baik saat menjadi komandan peleton, kepala seksi operasi, komandan kompi, wakil komandan batalyon hingga menjadi komandan batalyon di Lampung.
Ia juga pernah menjadi komandan Kodim, dua kali. Di Lubuk Linggau dan Palembang, Sumatra Selatan. DAR kemudian menjadi perwira pembantu madya di Mabesad. Lalu menjadi Asisten Personel Kasdam Wirabuana. Setelah itu Komandan Resimen Induk Kodam Sriwijaya.
Pada jabatan perwira tinggi, DAR menduduki jabatan beragam, mulai Wakil Gubernur Akmil (2015-2016). Namun sempat parkir selama satu tahunan (2016-2017) sebagai perwira tinggi khusus KSAD. Akhirnya, ia kembali mendapat jabatan sebagai Wakil Asisten Teritorial KSAD (2017-2018). Setelah itu menjadi Gubernur Akmil (2018-2020) dengan pangkat mayor jenderal. Dari situlah ia kemudian dipercaya menjadi Panglima Kodam Jayakarta selama sembilan bulan hingga Mei 2021.
Promosi kembali menjadi Panglima Kostrad dengan pangkat letnan jenderal. Ia menduduki jabatan Pangkostrad selama enam bulan (Mei 2021-November 2021). Hingga pada Rabu 17 November 2021, ia mendapatkan surat keputusan presiden menjadi KSAD.
Lalu, apa catatan dan tantangan terhadap KSAD Jenderal DAR?
Pertama, secara legal-formal DAR telah menjadi KSAD. Selayaknya semua pihak dapat menerima keputusan Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU. Prajurit TNI-AD tentu wajib mendukungnya sepanjang DAR berada dalam garis Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Hal ini penting agar sebagai KSAD baru, DAR dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal demi kepentingan TNI, bangsa, dan negara.
Kedua, sesuai dengan fungsi utama TNI AD, sebagai KSAD DAR bertugas melakukan pembinaan kesiapan tempur satuan jajarannya serta pembinaan teritorial. Wajib hukumnya KSAD menguasai pembinaan satuan meliputi aspek doktrin, personel, materiil, perlengkapan, keuangan, dan lain-lain.
Ketiga, DAR sebagai KSAD menjadi pemimpin terdepan dalam pembinaan personel. Ia harus bisa membentuk, memelihara, dan meningkatkan jati diri prajurit sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara professional.
Keempat, DAR sebagai KSAD harus bisa mendekatkan diri dengan rakyat apa pun identitas rakyat tersebut. Ini sebagai wujud TNI adalah tentara rakyat. Sehingga prajurit TNI-AD bersama-sama rakyat bekerja untuk kepentingan rakyat.
Kelima, sebagai tentara nasional, DAR harus berorientasi pada tugas negara, tidak boleh partisan, apalagi terpancing masuk dalam kancah politik praktis.
Keenam, sebagai tentara professional, DAR harus menguasai manajemen pembinaan doktrin, pendidikan, dan latihan. Termasuk uji ketrampilan siap tempur.
Ketujuh, sebagai KSAD DAR harus menguasai konsep pertahanan di era industry 4.0. Memahami dunia ketahanan dan pertahanan global dan penguasaan dunia siber yang mumpuni.
/selamatgintingofficial
13 November 2021
Membasuh Darah Jenderal Yani (Bagian 4)
09 November 2021
Kisah Mahabarata, Jenderal Brengsek, dan Mozaik Pembunuhan Pahlawan Revolusi (Bagian 3)
Sukarno, Oemar Dhani dan Achmad Yani
Foto: pwmu.co
Musyawarah Nasional Teknik pada 30 September 1965, berlangsung hingga larut malam. Malam sekitar pukul 23.00, Presiden Sukarno memberikan sambutan dengan membuat perumpamaan dari perwayangan, kisah Mahabarata. Menggambarkan suatu pelajaran untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu demi kepentingan perjuangan.
“Arjuna
lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudara kandungku sendiri? Bagaimana
aku harus membunuh kawan lamaku sendiri? Bagaimana aku harus membunuh guruku
sendiri? ”
“Kerjakan
engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu
kerjakan!”
Setelah
peristiwa 30 September 1965, analogi dari pewayangan yang disampaikan Bung
Karno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam
peristiwa tersebut.
Apalagi
dalam kalimat terakhirnya, Sukarno mengucapkan kalimat, ”Saudara-saudara
sekarang boleh pulang tidur dan istirahat. Sedangkan Bapak masih harus bekerja
menyelesaikan soal-soal yang berat,
mungkin sampai jauh malam…..”
Kemudian para analis menghubungkan secarik kertas yang disampaikan Letnan Kolonel (Infanteri) Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Tjakrabirawa kepada Bung Karno. Ya, sebelum Sang Presiden mengawali pidatonya soal pewayangan tersebut.
Jendral
Brengsek
Dua pekan
sebelumnya, pada 13 September 1965, Presiden Sukarno menyerang Jenderal AH
Nasution di istana dengan kalimat yang menusuk hati. Memang dalam pidato itu
Sukarno tidak langsung menyebut nama. Tapi dengan kalimat yang sangat keras,
yakni “sebarisan jenderal brengsek”.
“Adanya
anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni barisan jenderal
brengsek.” Orang-orang Sukarno tahu yang dimaksud adalah Jenderal AH Nasution,
Jenderal A Yani dkk. Ini bukan yang pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno.
Terutama sejak ia menerima informasi-informasi tentang isu adanya Dewan
Jenderal yang bermaksud menggulingkan dirinya.
Pada waktu
yang sama, para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) melontarkan ucapan yang
sama. Sehingga tercipta opini bahwa Sukarno memang sejalan dengan PKI. Sesuatu
yang kemudian hari harus ditebus mahal oleh Presiden Sukarno.
Kedekatannya
dan menjadikan PKI sebagai anak emasnya membuat ia harus kehilangan pamor dari
umat Islam dan Angkatan Darat. Termasuk mundurnya Wakil Presiden Moh Hatta.
Sehingga akhirnya secara perlahan, ia kehilangan tampuk kepemimpinan nasional sebagai bagian dari episode G30S/PKI.
Apalagi
sepanjang September 1965, PKI sangat gencar menyerang secara gresif lawan-lawan
politiknya, terutama Angkatan Darat. Khususnya kepada Jenderal AH Nasution,
Jenderal A Yani yang digambarkan sebagai jenderal-jenderal ‘brengsek’ seperti
ungkapan Bung Karno, karena tidak loyal kepada Presiden.
Harian
Rakyat yang berafiliasi kepada PKI, misalnya. Pada 4 September 1965 menulis ada
perwira-perwira yang menuduh PKI akan melakukan kudeta. Namun, lima hari
kemudian, pada 9 September 1965, Ketua CC PKI DN Aidit malah menggambarkan akan
terjadi sesuatu yang pasti akan lahir. Sebuah isyarat dahsyat.
Ucapan Aidit dipertegas lagi oleh tokoh PKI Anwar Sanusi di depan sidang SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). “Yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.” Ungkapan itu juga diasosiasikan kepada Jenderal Nasution, Jenderal Yani dkk.
Simak video "Catatan-catatan Penting Soal Sikap Jenderal Yani terhadap Isu Dewan Jenderal"
Setan
Kota dan Kematian
Kemudian
Aidit secara agresif menyampaikan pidato di depan Kongres III CGMI pada 29
September 1965. “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat,
berbuat, berbuat.” Pidato itu merupakan serangan khusus kepada Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang beberapa hari sebelumnya dibela Jenderal A
Yani.
Aidit kesal
usulan PKI untuk membubarkan HMI malah dibela oleh Jenderal Yani. “Kalau CGMI
tidak bisa membubarkan HMI, maka pakai sarung saja.”
Kemudian
pada tajuk rencana koran Harian Rakyat pada 30 September 1965 berbunyi, “Dengan
menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik
yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati
di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil.
Editorial
tersebut seakan membayangkan tentang rencana PKI terkait hukuman mati terhadap
para jenderal. Pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI serta editorial
Harian Rakyat, kelak menjadi mozaik bagaimana PKI memang berada di balik
pembunuhan para pahlawan revolusi, Jenderal A Yani dkk.
Jenderal Nasution yang dituding langsung oleh Bung Karno dan tokoh-tokoh PKI sebagai ‘jenderal brengsek’, selama September 1965, menahan diri untuk tidak menanggapi hinaan tersebut. Nasution juga tidak curiga ketika mendapatkan informasi Kolonel Abdul Latief memerisa pasukan penjaga rumahnya pada sore hari 30 September 1965. Alasannya, karena Latief adalah Komandan brigade Infanteri Kodam Jaya.
Sukarno
Marahi Jenderal
Nasution menceritakan,
suatu ketika Letjen A Yani mengantarkan Mayjen S Parman dan Brigjen Soetoyo menghadap
Presiden Sukarno. Mereka dimarahi habis-habisan oleh Bung Karno. Sukarno
mengecam pernyataan Angkatan Darat soal adanya musuh dari utara bagi Asia Tenggara,
seperti dibacakan Letjen A Yani di Bandung.
Keputusan
Yani dan para jenderal-jenderal Angkatan Darat dianggap tidak loyal terhadap
Presiden Sukarno. Sang presiden di Istana Tampak Siring, Bali sudah berencana
segera mengganti para jenderal tersebut. Bahkan menyebut pengganti Yani adalah
Mayjen Moersjid. Ia meminta jawaban
Moersjid apakah bersedia menggantikan Yani? Moersjid menjawab, bersedia.
Pada 29 September 1965, muncul Brigjen Mustafa Syarif Suparjo menghadap Presiden Sukarno. Suparjo melaporkan kesiapan pasukannya untuk bertindak terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal.
Jumat
Kelam
Jumat
dinihari 1 Oktober 1965, sekira pukul 04.00 WIB. Keluarga Letnan Jenderal
Achmad Yani masih tertidur. Putra bungsu Panglima Angkatan Darat, Irawan Sura
Edi Yani (Edi) terbangun. Ia mencari ibunya yang tidak ada di rumah Jalan
Lembang D-58. Sang Ibu, Nyonya Yayuk Ruliah belum pulang, masih berada di rumah
Jalan Taman Surapati.
Edi ditemani
asisten rumah tangga, biasa dipanggil Mbok Millah, duduk dekat pintu belakang,
menunggu ibunya datang. Pada menit-menit itulah sekelompok tentara dipimpin Pembantu
Letnan Satu (Peltu) Mukijan dari Brigif 1 Kodam Jaya dan Sersan Raswad segera
masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Pintu tidak dikunci, karena Nyonya
Yayuk Achmad Yani, biasanya akan pulang sekitar subuh hari.
Anggota
pasukan Tjakrabirawa masuk ke dalam rumah dan langsung menanyakan kepada
pembantu rumah tangga keluarga Jenderal Yani. Pasukan yang mengepung rumah Jenderal
Yani terdiri dari satu peleton dari Brigif 1 Kodam Jaya, saru regu dari Resimen
Tjakrabirawa, satu peleton dari Yonif 454 Kodam Diponegoro, satu peleton dari
Yonif 530 Kodam Brawijaya, satu regu daru AURI, dan regu sukarelawan Pemuda
Rakyat PKI.
Anak bungsu
Jenderal Yani diminta membangunkan bapaknya dengan alasan dipanggil Presiden di
istana. Edi pun membangunkan ayahnya.
“Ada apa?” tanya
Achmad Yani kepada pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno yang masuk
ke dalam rumahnya.
“Siap,
Jenderal. Bapak diminta menghadap Presiden Sukarno sekarang juga!”
“Loh
acaranya kan jam 7, bukan pagi-pagi
begini.” Yani memang sudah dijadwalkan menghadap Presiden sekalian
mengajak Panglima Kodam Brawijaya Mayjen Basuki Rachmat untuk melaporkan
Tindakan PKI yang merusak kantor Gubernur Jawa Timur. Yani juga sudah punya
firasat akan dicopot dari jabatan panglima Angkatan Darat, hari itu juga.
“Tetapi
jenderal harus berangkat detik ini juga, karena jenderal sedang ditunggu Bapak
Presiden,” jawab salah seorang anggota Tjakrabirawa.
Yani
menjawab,” Paling tidak saya harus mandi dulu!”
“Tidak
perlu, Jenderal. Di istana juga ada kamar mandi. Bila perlu dengan pakaian
piyama saja. Jenderal bisa berangkat bersama-sama kami.”
“Kau
prajurit, tahu apa?!” tegas Yani sambal meninju wajah sang prajurit, sehingga
jatuh terkapar.
Yani pun
berbalik masuk ke ruang makan dan menutup pintu. Saat itulah Sersan Raswad
memerintahkan Sersan Gijadi. “Tembak dia!” Gijadi pun langsung memberondongkan
senjata Thomson. Tujuh peluru menembus pintu, menerpa punggung Panglima
Angkatan Darat. Jenderal Yani roboh bersimbah darah di ruang makan.
Suara
tembakan itu membangunkan anak-anak sang jenderal. Indriyah Ruluati Yani (Ruli),
Herliah Emmy Yani (Emmy), Amelia Yani, Elina Elastria Yani (Elina atau Juwita),
Widna Ani Yani (Nanik), Reni Ina Yuniati Yani (Yuni), serta Untung Mufreni Yani
(Untung), berhamburan ke ruang makan. Sedangkan si bungsu Edi bersembunyi di
bawah mesin jahit. Delapan anak Jenderal Yani menjadi saksi, ayahnya ditarik
kakinya dengan posisi kepala di bawah membentur lantai dan jalan aspal.
Yani yang
masih mengenakan piyama biru diseret dan dilempar ke dalam mobil truk yang
sudah disiapkan pasukan pemberontak. “Ayo masuk semua, kalau tidak saya
tembak,” kata Amelia Yani, putri ketiga jenderal A Yani, menceritaka peristiwa
kelam yang menimpa ayahandanya pada 1 Oktober 1965, subuh hari.
Ia
menceritakan sejarah kelam itu kepada wartawan senior dan akademisi, Selamat
Ginting, akhir Oktober 2021 lalu. Sambil terbata-bata dan berkaca-kaca, Amelia
mengisahkan kepedihan serta catatan dalam buku harian Jenderal A Yani.
“Bapak
memang tegas menolak komunis. Jadi tidak setuju dengan Nasakom. Bapak masih
bisa terima jika kata kom (komunis) diganti dengan sosialisme Indonesia,
seperti sila kelima Pancasila,” ujar Amelia, sambil memperlihatkan catatan
goseran pena Achmad Yani, jenderal bertubuh atletis dengan tinggi sekitar 174
cm dan berat sekitar 74-75 kg.
Ikuti
bincang-bincang dengan Amelia Yani di channel youtube: SGinting Official
(Bagian ketiga). Tulisan diwebsite dirangkum penulis dari berbagai sumber.
/selamatgintingofficial
06 November 2021
Anak Berland, Angka Tujuh untuk Panglima Andika
Pelantikan KSAD. Pengambilan sumpah jabatan KSAD Andika Perkasa Foto: Republika.co.id/Wihdan |
Dalam beberapa hari ini di sejumlah grup WA, beredar foto dan identitas calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa (56 tahun, 10 bulan). Foto serta identitasnya saat masih menjadi taruna dengan pangkat Sermatutar (Sersan Mayor Satu Taruna). Termasuk nama ayahandanya yakni FX Soenarto dengan pekerjaan ABRI. Alamat Jalan Kesatrian 1 Jatinegara, Jakarta Timur.
Jalan Kesatrian merupakan nama jalan di Kawasan Berland. Berland berasal dari dua kata yakni bear dan land. Bear artinya beruang, dan land artinya tanah. Penjajah Belanda memberi nama pasukan khususnya (tentaranya) di Indonesia dengan nama Bearland.
Pasukan khusus ini diasramakan di Matraman, Jatinegara. Saat itu nama kompleks untuk pasukan Belanda itu adalah Bearland. Karena masyarakat susah menyebut ejaan Bearland, maka hanya menyebut berland. Hingga kini masyarakat menyebutnya Berland.
Begitu Indonesia merdeka, asrama khusus tentara Belanda ini diambil alih oleh TNI. Asrama Belanda ini ditempati pasukan Zeni TNI Angkatan Darat. Sampai saat ini, masih ada rumah-rumah panjang dan besar di Berland. Tentu saja dulunya ditempati TNI.
Simak video "JOKOWI PILIH PANGLIMA TNI NON MUSLIM JUGA?"
Taruna Zeni
Dari data pada buku Akademi Militer tersebut, jelas bahwa ayahanda Andika Perkasa merupakan anggota TNI. Memang tidak disebutkan identitas lengkap mengenai ayahandanya. Dari penelusuran penulis, ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira lulusan Akademi Militer (Akmil) 1957 di Bandung. Dahulu masih disebut Akademi Zeni Angkatan Darat (Akziad) lulusan angkatan kedua.
Akziad mengisi kekosongan Akmil Yogyakarta yang hanya meluluskan dua angkatan. Kemudian ditutup pada 1950. Angkatan ketiga Akmil Yogyakarta, kemudian dikirim ke Akmil Breda, Belanda dan lulus tahun 1954-1955.
Jadi dalam sejarah militer Indonesia, lulusan Akziad pun dimasukkan ke dalam rumpun lulusan Akmil khusus Korps Zeni. Saat itu tidak banyak taruna yang bisa diterima di Akziad pada 1953. Hanya 35 orang dari seluruh Indonesia yang memenuhi syarat untuk menjadi taruna, termasuk FX Soenarto.
Salah satu persyaratannya, selain fisiknya standar taruna, juga harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi atau dikenal dalam bahasa Inggris: intelligence quotient (IQ). Fisik Korps Infanteri, otak Korps Zeni.
Karena itu pula pimpinan Angkatan Darat sering menugaskan mereka dalam posisi sebagai prajurit Infanteri, baik saat menghadapi DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta di Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Terutama saat menjadi taruna dalam praktik pertempuran.
Bahkan dari 35 taruna yang diterima pada 1953 tersebut, hanya 17 orang yang berhasil lulus pada 1957 alias empat tahun pendidikan, termasuk Kolonel (Zeni) FX Soenarto. Sisanya 18 orang bersama dua orang lainnya yang seharusnya lulus tahun 1956, harus mengulang dan menjadi lulusan 1958.
Sedangkan lulusan 1959, antara lain Jenderal Try Sutrisno, yang berhasil menjadi KSAD, Panglima ABRI, dan puncaknya Wakil Presiden. Sedangkan lulusan 1960, antara lain Letjen Sudibyo, terakhir menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negaara (Bakin), kini disebut Bada Intelijen Negara (BIN). Lulusan 1961, antara lain Kapten (Anumerta) Pierre A Tendean. Lulusan 1962, antara lain Letjen Arie Sudewo, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA).
Jadi, ayahanda dari Andika Perkasa merupakan abang kelas dari Try Sutrisno. Karena itu tidak perlu heran jika Andika Perkasa memanggil mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dengan sebutan Oom, Bahasa Belanda yang artinya saudara atau adik dari ayah.
Memang sangat berat untuk bisa menjadi taruna Akziad. Misalnya yang diterima pada 1952 hanya 29 taruna. Saat itu disebut kadet SPGIAD (Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat (SPGIAD). Dari 29 taruna, hanya 12 yang berhasil lulus pada 1956. Sisanya 15 kadet keluar sebelum tamat. Kemudian dua orang mengundurkan diri sebelum menjalankan pendidikan.
Perwira Hebat dan Angka 7
Kolonel FX Soenarto ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira hebat yang mampu lulus tepat waktu, bersama 16 taruna lainnya. Pendidikan Akziad menghasilkan perwira berkualifikasi insinyur (sarjana teknik) militer, dengan dosen-dosen teknik berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sehingga lulusan akademi ini kualitas ilmu tekniknya setara dengan lulusan insinyur teknik sipil dari ITB.
Maka, tak usah heran. Darah militer serta teknik sipil mengalir dalam diri Andika Perkasa. Andika Perkasa pun mengikuti jejak ayahnya melanjutkan pendidikan di Akmil Magelang dan lulus tahun 1987. Seperti tertulis di atas, ayahnya lulusan Akmil 1957 dari Korps Zeni.
Sedangkan ayah mertua Andika Perkasa, yakni Jenderal (Purn) Hendropriyono, lulusan Akmil 1967 dari Korps Infanteri. Hendro dari pasukan komando jabatan terakhirnya adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) semasa Presiden Megawati Soekarnoputri.
Angka tujuh (7) menjadi spesial bagi Andika. Baik dirinya, ayah mertua serta ayah kandungnya juga sama-sama lulusan Akmil dengan angka dibelakangnya sama-sama tujuh (7). Andika Perkasa lahir di Bandung 21 Desember 1964 merupakan anak keempat dari pasangan FX Soenarto dengan Udiati.
Ayahnya berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Sedangkan Ibundanya, Udiati berasal dari Blitar, Jawa Timur. Ayahnya wafat pada 1997 dan ibunya wafat pada 2007. Jadi angka 7 (tujuh) juga punya kenangan menyedihkan bagi Andika Perkasa. Ia kerap menitikkan air mata sambil berdoa dengan tangan terbuka bagi kedua orangtuanya saat berziarah di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Kendati berasal dari pasukan komando, putra keempat dari delapan bersaudara itu, dikenal humanis. Dalam beberapa diskusi dengan jenderal bintang empat itu, penulis menyimpulkan ia seorang intelektual yang bisa menerima perbedaan pendapat. Mau mendengarkan pendapat yang berbeda dengan dirinya.
Salah satu pesan yang sering diingatkannya kepada para prajuritnya adalah sayangi keluarga dan sempatkan waktu untuk mengurus keluarga.
Kolonel Bersahaja
Ayahnya dikenal sebagai kolonel yang bersahaja. Tidak memiliki mobil pribadi, kecuali mobil dinas saat masih aktif menjadi perwira TNI. Kesederhanaan keluarganya menerpa Andika Perkasa menjadi remaja mandiri hingga memilih melanjutkan cita-cita ayahnya menjadi serdadu.
Andika menikah secara Islam dengan anak pertama dari Hendropriyono, yakni Diah Erwiany (Hetty). Pasangan tersebut dikarunia seorang anak bernama Alexander Akbar Wiratama Perkasa Hendropriyono. Lebih dikenal sebagai dokter Alex Perkasa. Foto Andika Perkasa menggunakan pakaian koko menyambut kelahiran cucunya, beredar di sejumlah media.
Cucu pertama KSAD Andika Perkasa dan istrinya, Diah Erwiany (Hetty Hendropriyono) diberi nama Arthur Ibrahim Perkasa-Hendropriyono. Sang cucu merupakan buah pernikahan dari putra Andika Perkasa, Alexander Akbar Wiratama Perkasa-Hendropriyono dengan Alvina. Alvina merupakan putri dari mantan Inspektur Jenderal Mabes TNI, yakni Letjen TNI (Purn) Muhammad Setyo Sularso, lulusan Akmil 1982 dari Korps Infanteri.
Arthur mengingatkan pada seorang jenderal besar Korps Zeni Amerika Serikat, panglima perang yang terkenal di Asia Pasifik. Pernah memiliki markas di Papua serta Morotai, Maluku. Dia adalah Jenderal Besar Douglas McArthur.
Gultor jadi Panglima
Selama menjadi KSAD, Andika banyak melakukan pembangunan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Ia pun memilih Komandan Detasemen Mabesad berasal dari Korps Zeni yang memahami pembangunan atau teknik konstruksi.
Namun Andika bukan berasal dari Korps Zeni. Hasil psikotesnya ia menjadi perwira Korps Infanteri. Bahkan Andika menjadi pasukan komando dengan spesialisasi antiteror. Ia mengawali kariernya sebagai perwira pertama Infanteri korps baret merah (Kopassus). Dimulai di Grup 2 /Para Komando dan Satuan-81 /Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus selama 12 tahun.
Setelah itu ditugaskan di Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Mabesad. Kembali bertugas lagi di Kopassus sebagai Komandan Batalyon 32/Apta Sandhi Prayuda Utama, Grup 3/Sandhi Yudha.
Kepintaran yang diturunkan Ayahnya dibuktikan dengan mengenyam pendidikan tinggi Strata-1 (Sarjana Ekonomi) di dalam negeri dan meraih tiga gelar akademik Strata-2 (M.A., M.Sc., M.Phil) serta satu gelar akademik Strata-3 (Ph.D/doktor) dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat.
Sempat terseok-seok pada saat berpangkat Letnan Kolonel selama sembilan tahun. Padahal Andika menjadi lulusan terbaik Pendidikan Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) 1999-2000.
Akhirnya Andika menjadi Kolonel pada 2010 dengan jabatan sebagai sekretaris pribadi Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Johanes Suryo Prabowo, lulusan terbaik Akmil 1976 dari Korps Zeni. Kemudian Andika menjadi Komandan Resimen Induk Infanteri Kodam Jaya pada 2011. Setelah itu promosi menjadi Komandan Resor Militer (Danrem) 023/Kawal Samudera, Kodam I/Bukit Barisan (2012).
Pada saat Jenderal Budiman (lulusan terbaik Akmil 1978 dari Korps Zeni) menjadi KSAD, Andika mendapatkan promosi sebagai Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat. Di sinilah ia mendapatkan jabatan jenderal bintang satu (November 2013).
Dalam kurun waktu satu tahun kurang satu bulan, ia pun mendapatkan promosi menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) mendampingi Presiden Jokowi yang baru dilantik sebagai presiden hasil pemilu 2014. Disinilah terjadi relasi kuasa antara Presiden Jokowi dengan Jenderal Andika Perkasa.
Dua tahun kemudian, Andika Perkasa dipromosikan menjadi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII/Tanjungpura (2016). Selanjutnya promosi menjadi Letjen saat menjadi Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklatad) (2018).
Bintangnya semakin terang ketika ia menduduki posisi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) (2018). Sampai akhirnya menjadi orang nomor satu di Mabesad, sebagai KSAD.
Terakhir, setelah selama 2,5 tahun menjadi KSAD, sampai juga Jenderal Andika Perkasa menjadi puncuk pimpinan TNI. Tidak sia-sia ayah kandung almarhum Kolonel Soenarto dan ayah mertua Jenderal Hendropriyono mendidik dan mengawal generasi penerusnya hingga berhasil melampaui capaian kedua orangtuanya menjadi Panglima TNI. Selamat bertugas, Jenderal.
/selamatgintingofficial
04 November 2021
Hapus Fit & Proper Test DPR Terhadap Calon Panglima TNI
Foto: Republika.co.id |
JAKARTA: Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, mengatakan, proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR terhadap calon Panglima TNI, sebaiknya dihapuskan saja.
“Uji kepatutan dan kelayakan nyatanya lebih sebagai gimmick (upaya mencari perhatian) politik yang menampilkan kegenitan anggota parlemen dalam proses penentuan calon Panglima TNI,” kata Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (4/11/2021).
Ia menanggapi rencana fit and propers test DPR terhadap calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Seperti diketahui surat presiden kepada DPR dalam penentuan calon panglima TNI sudah disampaikan pada Rabu (3/11/2021). DPR akan segera melakukan uji kepatutan dan kelayakan.
Menurut Selamat Ginting, penentuan siapa yang menjadi panglima TNI merupakan hak prerogratif Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sesuai konstitusi. Jadi sebaiknya tidak lagi direcoki oleh DPR. Sistem politik Indonesia menganut sistem presidensil bukan sistem parlemen.
Dengan demikian, lanjutnya, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya pasal 13 ayat 2, mesti diubah. Pasal dan ayat ini seperti ritual politik dalam pergantian Panglima TNI. Ayat (2) berbunyi: "Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR".
Terhadap ayat (2) penjelasannya: "Yang dimaksud dengan persetujuan DPR, adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian, berdasarkan rekam jejak".
Simak video "Fit & Proper Test Calon Panglima TNI"
Namun, ujar Ginting, antara kehendak pada penjelasan dengan prakteknya, tidak sejalan. DPR justru tidak menjalankan apa yang tertuang dalam penjelasan ayat (2) tersebut. DPR justru berpotensi melampaui dan menyimpang dari semangat dan substansi penjelasan ayat (2) tersebut.
“Itulah yang saya bilang, fit and proper test seperti gimmick politik saja. Kegenitan parlemen di depan layar televisi, namun dengan mutu pertanyaan-pertanyaan yang tidak substansial. Bahkan kadang tidak bermutu, karena tidak memahami organisasi militer,” ujar kandidat doktor ilmu politik itu.
Selamat Ginting memberikan contoh ketika fit and proper test terhadap calon Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto pada 2006. Uji kepatutan dan kelayakannya sampai memakan waktu 13 jam.
“Mungkin inilah uji kepatutan dan kelayakan terlama di dunia. Bisa didaftarkan dalam buku rekor dunia. Menjadi panggung DPR untuk ‘ngerjai’ orang yang bukan pilihan partainya,” papar wartawan senior ini.
Jadi, kata dia, uji kepatutan dan kelayakan di DPR justru bisa menggiring TNI kembali dirayu masuk dalam ranah politik praktis. Akibatnya bisa menimbulkan birahi politik bagi personel TNI untuk melakukan politik praktis dengan melobi partai-partai politik di parlemen.
Kondisi tersebut, kata Selamat Ginting, akan mengembalikan TNI kembali ke titik nadir, seperti sebelum terjadinya reformasi 1998-1999. Sebab politikus sipil berpotensi menarik kembali para calon panglima TNI memasuki dunia politik. Di situlah akan terjadi politik dagang sapi untuk mendapatkan keuntungan.
“Nanti kalau kamu terpilih jadi panglima TNI, saya titip program ini, orang itu, serta kepentingan-kepentingan politik lainnya. Kira-kira begitu pesan-pesan titipannya. Apalagi, calon panglima TNI juga manusia biasa yang bisa tergoda rayuan politik,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.
Atas dasar itulah, ia mengusulkan agar UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI terutama ayat yang menghadirkan peran DPR dihapuskan. Jadi cukup bunyi pasal 13 ayat (2) Presiden mengangkat/memberhentikan Panglima TNI. Tidak perlu lagi ada embel-embel: meminta persetujuan DPR.
Mengapa perlu diakhiri? Menurut Selamat Ginting, setidaknya ada tiga alasan penting. Pertama, mekanisme fit and proper test terhadap calon Panglima TNI, sesungguhnya tidak ada landasan hukum/aturan yang jelas.
Kedua, mekanisme yang dipaksakan itu justru bertolak belakang dengan semangat dan substansi penjelasan pasal 13, ayat (2) UU No. 34/2004. Ketiga, tes tersebut kurang substantif. Hanya basa-basi politik saja.
Dari ketiga alasan itu, menurut Ginting, memiliki risiko bagi organisasi TNI. Risikonya, dapat membelah jalur komando serta loyalitas tegak lurus TNI kepada Presiden sebagai kepala negara. Dengan memaksa tes di DPR, bisa terjadi loylitas ganda kepada parlemen.
“Jadi setop, dan sudahi saja uji kepatutan dan kelayakan calon panglima TNI di DPR. Seseorang yang sudah bintang empat, memang layak dicalonkan menjdi pimpinan TNI. Itu saja patokannya. Jangan lagi anggota DPR yang tidak mengerti apa-apa, tapi sok tahu menguji permasalahan yang dia juga tidak paham,” pungkas Ginting yang malang melintang dalam liputan masalah pertahanan keamanan negara.
/selamatgintingofficial
03 November 2021
Supres yang Bukan ‘Surprise’
Posting Terkini
Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis
Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...
-
Credit Photo: CNN Enzo Zenz Allie akhirnya resmi dilantik menjadi prajurit taruna (pratar) pada akhir Oktober 2019 lalu. Pemuda ketur...
-
Foto: Republika Oleh Selamat Ginting Truk militer reo berwarna hijau, dengan posisi setir sebelah kiri, berhenti di depan rumah, Kompl...
-
Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...