31 January 2022

One Way Ticket

Foto: Panglima Mandala Trikora, Mayjen Soeharto mengunjungi pasukan Zeni di Morotai, Kepulauan Maluku, yang sedang membuat pangkalan udara darurat untuk menyerang tentara Belanda di Papua


Tulisan Lawas (31 Januari 2014)

"Operasi ini hanya untuk satu kali jalan, tidak untuk kembali. Saya perkirakan, 60 persen dari kalian akan mati, hanya 40 persen yang selamat dan bisa kembali. Jika tidak sanggup, mundur!. Saya beri waktu hanya satu menit untuk berpikir ulang."

Itulah salah satu amanat Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat, Mayor Jenderal Soeharto kepada para prajurit yang tergabung dalam Operasi Mandala Trikora di Morotai, Kepulauan Maluku, pada pertengahan 1962.
Tetapi tidak ada satu pun prajurit yang mundur. Semua menyatakan siap mati demi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu dari prajurit itu adalah ayahanda yang saat itu masih bujangan dan berusia 22 tahun. Sersan Dua Sampit Ginting, komandan regu dari kesatuan Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 7 Kostrad. Saat itu Kostrad masih bernama Korps Tentara 1 Tjadangan Umum Angkatan Darat (Korra 1/Tjaduad).

Untuk menghadapi tentara Belanda, pada 1962-1963 Kostrad membentuk delapan batalyon zeni tempur (yonzipur) dan batalyon zeni konstruksi (yonzikon), terdiri dari Yonzipur 7, Yonzipur 9/Para, Yonzipur 10/Amfibi, Yonzikon 11, Yonzikon 12, Yonzikon 13, Yonzikon 14, dan Yonzikon 15. (Dulu masih disebut Yonzikon 1, 2, 3, 4, dan 5).

Tugas yonzipur maupun yonzikon, antara lain membuat pangkalan udara maupun pangkalan laut darurat. Darurat, karena dibuat dari bahan-bahan yang ada di pulau seluas sekitar 1.800 kilometer persegi itu. Pangkalan udara untuk penyerangan yang berada di bibir Pasifik itu, dibuat dari batang-batang pohon kelapa.

Sebagai komandan regu di Yonzipur 7 yang bertugas di Morotai, selain membuat pangkalan untuk penyerangan, ayahanda juga disiapkan untuk melakukan penyerbuan darat ke Papua, tempat tentara Belanda bercokol. Begitu juga dengan pasukan yonzikon.

Sementara Yonzipur 9/Para juga mendapatkan tugas menyerang lewat cara penerjunan dari udara. Sedangkan Yonzipur 10/Amfibi juga bertugas menyerang lewat pendaratan amfibi, seperti pasukan KKO/Marinir TNI-AL.

Namun, pasukan yang berpangkalan di Morotai itu tidak jadi melakukan penyerbuan ke Papua, karena terjadi perundingan diplomatik pada Januari 1963. Belanda khawatir dengan kekuatan militer Indonesia saat itu, baik Angkatan Darat dibantu Brimob Polri, Angkatan Laut, apalagi Angkatan Udaranya. Pada masa itu, kekuatan militer Indonesia adalah yang terkuat di belahan Selatan dunia. Indonesia berwibawa di kancah diplomasi internasional, karena memiliki militer yang kuat.

Pasukan 'one way ticket' itu, setelah bertugas selama sekitar satu tahun, tanpa logistik memadai, memperoleh Satyalencana Satya Dharma. Dan kelak, mereka menjadi Veteran Irian Barat. Kini sebagian besar, termasuk ayahanda, sudah almarhum. Hormat kami padamu, prajurit sejati!

Kini, kita bisa melihat diplomasi RI lemah, karena peralatan dan kekuatan militernya pun lemah. Sehingga negara-negara lain tidak lagi takut kepada Indonesia. Tak usah jauh-jauh Singapura, Malaysia dan Australia sering bertindak kurangajar menginjak-injak kedaulatan RI.

/selamatgintingofficial


19 January 2022

Tiga Kelompok Jenderal Calon Pangkostrad

Foto: Divisi Infanteri 2 Kostrad


"Pimpinan TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (19/1/2021).

Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, ada tiga kelompok calon kuat panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Pertama, kelompok jenderal profesional dan berpengalaman di Kostrad. Kedua, kelompok jenderal lulusan Akademi Militer (Akmil) terbaik. Ketiga, kelompok jenderal yang terkoneksi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok di luar ketiganya.

“Pimpinan TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (19/1/2021).

Profesional dan Berpengalaman

Menurut Selamat Ginting, kelompok pertama, adalah Mayor Jenderal (Mayjen) Achmad Marzuki (55 tahun) dan Mayjen Agus Suhardi (56,5 tahun). Keduanya bertugas di Kostrad selama sekitar 23 tahun. Marzuki abituren (lulusan) Akmil 1989, saat ini sebagai Asisten Teritorial (Aster) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sedangkan Agus Suhardi, abituren Akmil 1988-A, saat ini sebagai Panglima Kodam Sriwijaya di Sumatra Selatan.

“Marzuki sebelum menjadi Aster KSAD, adalah Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh. Ia pernah menjadi Inspektur Kostrad, Panglima Divisi Infanteri (Divif) 3 Kostrad. Dua kali dengan pangkat mayjen menduduki jabatan di Kostrad,” ujar Selamat Ginting yang berpengalaman meliput di lingkungan militer selama lebih dari 25 tahun.

Marzuki, lanjutnya, mengawali karier militernya pada 1990 di Batalyon Infanteri (Yonif) 503 Brigade Infanteri (Brigif) 18, Divif 2 Kostrad.  Ia termasuk perwira tinggi Angkatan Darat yang paling banyak tugas operasi tempurnya sekitar 12-13 kali. “Marzuki sangat layak menjadi Panglima Kostrad dengan beragam tugas dan jabatannya di Kostrad. Profesional dan berpengalaman,” ungkap Ginting.

Ada pun Agus Suhardi, hanya pada saat pangkat mayor, dia tidak sempat bertugas di Kostrad. Selebihnya ia malang melintang di Kostrad. Ia mengawali dinas militernya pada 1989 di Yonif Lintas Udara (Linud) 501, Brigif 18, Divif 2 Kostrad.   

“Pernah menjadi komandan peleton, komandan kompi, dua kali menjadi komandan batalyon, asisten operasi Divif 1, komandan Brigif Linud, Kepala Staf Divif 1 dan Divif 2 sampai Panglima Divif 2 Kostrad. Namun, Agus Suhardi kalah banyak dalam tugas operasi dibandingkan Marzuki. Jadi, Agus Suhardi juga sangat layak menjadi Pangkostrad. Profesional dan berpengalaman pula,” jelas Ginting.


Simak video "DEKAT DENGAN JOKOWI MENANTU LUHUT CALON KUAT PANGKOSTRAD"


Lulusan Terbaik

Kelompok kedua, menurut Selamat Ginting, adalah perwira tinggi lulusan Akmil terbaik. Ada dua orang, yakni Mayjen I Nyoman Cantiasa (54,5 tahun), lulusan terbaik Akmil 1990 dan Mayjen Teguh Pudjo Rumekso, lulusan terbaik Akmil 1991.

Mayjen Cantiasa, kini menjadi Panglima Kodam Kasuari di Papua Barat. Sedangkan Mayjen Teguh Pudjo (54 tahun), saat ini sebagai Panglima Kodam Mulawarman di Kalimantan Timur. Cantiasa yang berasal dari Korps Infanteri Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pernah tugas di Kostrad sebagai komandan peleton dan komandan kompi di Yonif Linud 328 Brigif 17, Divif 1 Kostrad.

“Usai bertugas di Yonif 328 Kostrad, Cantiasa malang melintang tugas di Kopassus hingga menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Jadi, Cantiasa juga punya peluang menjadi Pangkostrad,” ujar Selamat Ginting.

Ada pun Mayjen Teguh Pudjo, lanjut Ginting, memang belum pernah bertugas di Kostrad. Namun bukan berarti dia tidak punya peluang. Jenderal Dudung Abdurachman, misalnya, belum pernah tugas di Kostrad, namun bisa menjadi Pangkostrad. Begitu juga dengan sejumlah pangkostrad lainnya.

“Teguh Pudjo adalah perwira spesialis intelijen tempur. Ia pernah menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infaneri serta Komandan Pusat Penerbang Angkatan Darat. Ia tetap punya pelaung menjadi Pangkostrad.”

Koneksi Presiden Jokowi

Selamat Ginting mengungkapkan, kelompok ketiga adalah jenderal yang terkoneksi dengan Presiden Jokowi karena pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Jokowi. Mereka adalah Mayjen Agus Subiyanto (54,5 tahun) dan Mayjen Maruli Simanjuntak (52 tahun).

Agus Subiyanto, abituren Akmil 1991 dari Infanteri Kopassus, pertama kali terkoneksi dengan Jokowi, saat ia menjadi Komandan Kodim di Solo, Jawa Tengah pada 2009-2011. Saat itu Jokowi masih sebagai Walikota Solo. Ia kembali terkoneksi dengan Jokowi sebagai Komandan Paspampres pada 2020-2021. Kini ia menjadi Panglima Kodam Siliwangi di Jawa Barat.

Agus Subiyanto pernah tugas di Kostrad pada 2011 sebagai Wakil Asisten Operasi Divisi Infanteri 2/Kostrad. Di Kopassus, antara lain pernah menjadi Komandan Batalyon 22 Grup 2 Kopassus dan Kepala Penerangan Kopassus.

“Ia masih tergolong lulusan muda, yakni abituren Akmil 1991 bersama Mayjen Teguh Pudjo. Peluang Mayjen Agus Subiyanto besar, karena dia darah biru istana. Presiden Jokowi tentu berkepentingan Panglima Kostrad adalah orang yang dikenalnya dengan baik,” ungkap Ginting.

Sedangkan Mayjen Maruli Simanjuntak merupakan calon Pangkostrad paling muda. Abituren Akmil 1992 dari Korps Infanteri Kopassus ini pernah menjadi Komandan Detasemen Tempur Cakra pada 2002. Detasemen ini merupakan gabungan Kopassus dan Kostrad. Selebihnya, Maruli lama bertugas di Kopassus. Antara lain sebagai Danyon 21 Grup 2/Sandi Yudha (2008-2009), Komandan Sekolah Komando Pusdikpassus (2009-2010), Wakil Komandan Grup 1/Para Komando (2010-2013), Komandan Grup 2/Sandi Yudha (2013-2014), serta Asisten Operasi Danjen Kopassus (2014).

Ia tergolong perwira tinggi yang paling lama terkoneksi dengan Presiden Jokowi. Bisa dilihat dari sejunlah jabatan yang harus dekat dengan keluarga Jokowi. Antara lain sebagai Komandan Grup A Paspampres (2014-2016), Komandan Korem di Solo (2016-2017), Wakil Komandan Paspampres pada 2017-2018. Selain itu Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) IV/Diponegoro (2018), serta Komandan Paspampres (2018-2020).

“Kini Maruli menjadi Panglima Kodam Udayana sejak November 2020. Dari track record terkoneksi dengan Presiden Jokowi, maka Mayjen Maruli darah biru sekali. Dia calon paling favorit dan paling popular untuk menjadi Pangkostrad dibandingkan calon lain,” ungkap Ginting.

Strategis

Sementara kelompok keempat, bukan kelompok yang diprediksi untuk menjadi pangkostrad. Mereka ini adalah para panglima Kodam maupun mantan panglima Kodam, khususnya dari Korps Infanteri. Dalam sejarah Kostrad, seluruh panglimanya berasal dari Korps Infanteri.  

Antara lain Mayjen Muhammad Nur Rahmad, dan Mayjen Ainurrahman. Keduanya abituren Akmil 1988-A. Saat ini Mayjen Nur Rahmad sebagai Kepala Staf Kostrad. Sebelumnya menjadi Panglima Kodam Tanjungpura (2019-2021), serta Asisten Pengamanan KSAD (2017-2019).

Sedangkan Kepala Staf Kostrad sebelumnya, yakni Mayjen Ainurrahman juga pernah menjadi Panglima Divif 1 Kostrad. Kini sebagai Asisten Operasi KSAD. Sayangnya, Ainur belum pernah menjadi Panglima Kodam.

Siapa pun Presidennya, tentu sangat berkepentingan dengan Panglima Kostrad. Kostrad merupakan satuan militer terbesar di TNI.  Kostrad sebagai komando utama TNI merupakan satuan pemukul strategis. Memiliki sekitar 40-an batalyon tempur, bantuan tempur, dan bantuan administrasi. 


/selamatgintingofficial

24 November 2021

Separatisme di Bumi Papua Domain Militer

Foto: Liputan di Distrik Citak, Mitak
Kab. Mappi, Papua 2013

Dalam delapan bulan terakhir, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua gencar melakukan aksi penyerangan di sejumlah wilayah secara masif. Mereka kerap menyatakan perang terhadap militer Indonesia. Eskalasi yang kian memuncak sampai membuat pemerintah Indonesia memberikan cap kelompok dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sebagai teroris pada 29 April 2021 lalu.

Istilah KKB merupakan sebutan aparat terhadap kelompok militan OPM yang melakukan gerakan dan perlawanan separatis dengan membawa senjata. Terbaru pada Sabtu (20 November 2021 lalu. Seorang prajurit dari satuan Koramil persiapan Suru-Suru di Kabupaten Yahukimo, Papua, gugur setelah diserang KKB. Anggota TNI tersebut adalah Sertu Ari Baskoro. Satu anggota TNI yang terluka dalam penyerangan tersebut yakni, Kapten (Infanteri) Arviandi S.

Paling heboh pada akhir tahun 2018 lalu, menewaskan 31 jiwa Karyawan dan Pekerja PT. Istaka Karya yang sedang membangun Jembatan di Kabupaten Nduga. Termasuk gugurnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Mayjen TNI (Anumerta), I Gusti Putu Danny Nugraha Karya di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Ahad (25 April 2021) lalu. Termasuk sejumlah peristiwa penyanderaan yang dilakukan KKB terhadap masyarakat, terutama masyarakat pendatang.

Sebelumnya pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018 di Papua dan Papua Barat, rombongan petugas penyelenggara Pilkada ditembaki saat berada di pesawat yang akan terbang dari Bandara Keneam, Kabupaten Nduga dan saat berada di perahu motor. Namun, lagu-lagi, semua pelakunya disederhanakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata. Tuujuannya juga ‘di-politisasi’, hanya untuk mengganggu penyelenggaraan Pilkada.

Padahal sungguh naif, jika nyaris tidak ada yang memahami bahwa pelakunya adalah Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua Merdeka. Tujuannya apalagi kalau bukan disintegrasi atau memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Berarti mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara. Bukan hanya kekuatannya yang semakin berkembang, tetapi juga akibat keterbelakangan dan homogenitas penduduk di kedua provinsi.

Jangan lupa, sesungguhnya mereka juga telah diistimewakan dengan mendapat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta digelontorkan dana otsus (otonomi khusus) yang sangat besar. Termasuk menerima perlakuan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang sama dengan daerah lain. Juga adanya percepatan pembangunan infrastruktur. Terakhir pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) dengan pembangunan stadion dan infrastruktur olahraga lainnya.

Simak video "SEPARATIS DI BUMI PAPUA DOMAIN MILITER"


Amanat Konstitusi

Aksi ofensif gerakan separatisme di Papua, selalu diakhiri dengan melarikan diri ke hutan maupun gunung. Ini merupakan taktik dan teknik perang gerilya, sehingga sulit dikejar oleh aparat keamanan. Belum lagi jika mereka mencairkan diri dalam masyarakat di kampung-kampung atau di daerah basis perlawanan mereka. Karena itulah merupakan suatu kesalahan fatal, jika mereka hanya dikategorikan sebagai kelompok kriminal bersenjata.

Sudah jelas sesungguhnya mereka adalah kelompok bersenjata dari gerakan separatis. Gerakan separatisme di seluruh dunia, tujuannya satu memisahkan diri dan merupakan ancaman konsepsional yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara.

Kasus terakhir yang menewaskan prajurit Koramil, Sabtu (20/11/2021) lalu, semestinya dapat dijadikan sebagai momentum bagi Panglima TNI yang baru Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, Jenderal Dudung Abdurachman. Termasuk seluruh elemen bangsa dan orang asli Papua. Hal ini penting, agar kita semua memiliki satu kesamaan sikap dan semangat untuk memerangi gerakan separatism sampai ke akar-akarnya. Tidak boleh lagi ada pro-kontra atau bahkan berseberangan. Jangan sampai pula akan menimbulkan stigma sebagai pembela gerakan separatisme.

Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua/Papua Barat, bukan hanya melakukan aksi ofensif berupa Gangguan Keamanan Bersenjata (GPK) saja. Melainkan juga membentuk kekuatan pasukan melalui pendidikan militer dan membangun daerah basis atau pangkal perlawanan. Seperti lazimnya gerakan separatism di dunia, umumnya terdiri beberapa kelompok atau front perjuangan.

Jadi, selain kelompok atau front bersenjata, masih ada front politik, baik di dalam maupun luar negeri. Tugasnya melakukan rekruitmen kader, pembentukan opini dan kegiatan diplomasi dengan mendirikan perwakilan di luar negeri. Ada pula front logistik melalui aksi kejahatan atau kriminal. Terakhir front psikologis bertugas melakukan aksi teror dan gerakan clandestein. Sehingga, ancaman gerakan separatisme di Bumi Papua tidak selalu bersifat militer saja. Melainkan juga bersifat non-militer, bahkan ancaman nir-militer.

Berdasarkan amanat konstitusi, pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI terdiri dari TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU, sebagai alat negara bertugas untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sehingga semua hakekat ancaman yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara adalah bidang tugas, wewenang dan tanggungjawab atau domain TNI.

Oleh karena itulah sebagai Pejuang Prajurit Saptamarga, tidak sepatutnya TNI lepas tangan dan menghianati amanat konstitusi. Artinya, TNI juga tidak boleh menyerahkan penanganan ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab (domain) Polri. Justru ini adalah jelas-jelas sebagai domain TNI.

Jangan sampai hanya karena kesalahannya di era Orde Baru, kemudian TNI menurut saja dengan irama gendang LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau pihak asing. Mereka gencar dan sistematik menuntut agar TNI mengurangi kekuatan pasukan di daerah-daerah. Sehingga hanya tinggal satuan organik Kodam di Papua maupun papua Barat saja.

Tujuan agar TNI mengurangi pasukan di Papua maupun Papua Barat, tentu saja supaya gerakan separatisme ini menjadi lebih leluasa, tanpa ada gangguan dalam melakukan gerakan bawah tanah (clandestein). Sehingga mereka bisa lebih bebas membangun kekuatan. TNI juga ditakut-takuti agar tidak melakukan operasi apapun, agar tidak melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Jadi ini jelas upaya untuk menjatuhkan moral TNI.

Di Papua maupun Papua Barat hanya mengandalkan pasukan Batalyon Infanteri (Yonif), Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) maupun Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) saja. Di Papua hanya ada empat Yonif dan tiga Denzipur ditambah satu Detasemen kavaleri (Denkav). Mestinya tiga Denzipur ini ditingkatkan menjadi tiga Yonzipur. Sehingga bisa terbentuk Resimen Zipur. Untuk mendukung Brigade Infanteri di Papua. Sedangkan di Papua Barat, hanya ada tiga Yonif dan satu Yonzipur saja.

Jelas kekuatan ini kurang jika untuk menghadapi perang gerilya oleh Gerakan separatisme. Perlu penambahan pasukan-pasukan dari Kostrad maupun Raider Kodam untuk mengepung tentara separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sementara pasukan khusus memang bertugas secara rahasia masuk ke daerah musuh.

Strategi

Menghadapi ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab TNI, walau tidak selalu bersifat militer atau operasi tempur. Maka kebijakan dan strategi penaggulangannya, jangan membuat Papua dan papua Barat sebagai DOM (Daerah Operasi Militer). Jika dengan kebijakan DOM, maka tindakannya akan bersifat represif. Di sini TNI dapat terprovokasi melakukan tindakan di luar batas kepatutan sebagai pelanggaran HAM berat.

Oleh karena itu, dalam menghadapi aksi ofensif gerakan separatisme yang bersifat non-tempur, maka kebijakan dan strateginya dengan melakukan tindakan yang bersifat pencegahan (preventif), dan penangkalan (deterence). Misalnya dengan mendayagunakan seluruh personil dan peralatan Zeni, seperti buldozer, escafator, pailloder, dump-truk, penjernih air, alat pertukangan dll. Melalui kegiatan operasi Bhakti TNI untuk membantu pemerintah daerah yang telah menerima dana Otsus.

Dalam mempercepat jalannya roda pembangunan yang harus dilakukan TNI, di antaranya: Pertama; membangun infrastruktur kewilayahan seperti jalan dan jembatan dari kampung ke kampung serta membangun rumah maupun permukiman. Kedua; menyukseskan program pencetakan lahan pertanian atau perkebunan di sekitar kampung-kampung sambal membangun bendungan, dan saluran irigasi.

Ketiga; menggelar program TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa) dan kegiatan sejenis untuk membatasi ruang gerak front bersenjata dalam melakukan manuver, bersembunyi dan membangun daerah basis perlawanan.

Keempat, membantu penambahan jumlah penduduk dan jumlah desa. Sehingga wilayah tersebut menjadi sentra pengembangan wilayah agro. Antara lain melalui program tranmigrasi, termasuk Transmigrasi Angkatan Darat (Transad), Transmigrasi Angkatan Laut (Transal), Transmigrasi Angkatan Udara (Transau) maupun program swa-sembada pangan dll. Hal ini penting agar hutan dan gunung tidak lagi dikuasai gerakan separatis. Kemudian terwujud pula peningkatan heterogenitas penduduk, untuk memperkokoh wawasan kebangsaan Indonesia.

Kelima; mendayagunakan pasukan Kostrad maupun Kodam yang sedang bertugas dalam operasi pengamanan perbatasan, melalui program pembangunan Desa-Saptamarga. Sekaligus berfungsi sebagai titik kuat dari pembangunan desa-desa yang mengelilinginya. Apalagi dalam kasus terakhir pada sabtu (20/11/2021) lalu diungkap bahwa senjata-senjata OPM diperoleh dari negara Papua Nugini. Sehingga wilayah perbatasan harus semakin diperkuat lagi dengan pasukan TNI.

/selamatgintingofficial

17 November 2021

Tantangan Jenderal Dudung Sebagai KSAD Baru

Foto: Dokumen Kostrad

Selamat Ginting, pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta. 

Spekulasi tentang siapa yang akan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) akhirnya terjawab. Dudung Abdurachman (DAR) menjadi pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menduduki posisi KSAD. Ia menggantikan Jenderal Andika Perkasa, KSAD sebelumnya. Andika menjadi Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto.

Jenderal DAR abituren (lulusan) Akademi Militer (Akmil) 1988-B memang sejak awal menjadi favorit kuat untuk menjadi KSAD dibandingkan dengan pesaingnya, seperti Letjen Teguh Arief Indratmoko (1988-A), Letjen Arif Rahman (1988-B), dan Letjen Eko Margiyono (1989). Diperkirakan empat nama inilah yang disorongkan Mabes TNI kepada Presiden untuk dipilih menjadi KSAD.  

Jadi keputusan Presiden Jokowi sesungguhnya bukan kejutan bahkan sudah diperkirakan sejak awal. Apalagi pada era reformasi, dari 12 KSAD sebelumnya, separuhnya berasal dari Panglima Kostrad (enam orang), kemudian sisanya dari Wakil KSAD (tiga orang), Sekjen Kemhan (satu orang), Sesmenko Polhukam (satu orang), dan Kepala BAIS TNI (satu orang). Sehingga propabilitas Pangkostrad untuk menjadi KSAD lebih besar. 

DAR memenuhi persyaratan untuk menduduki jabatan KSAD. Ia terbilang cukup lama bertugas di satuan lapangan (batalyon infanteri) sekitar 13 tahun, sejak 1989. Ia kenyang menjalani berbagai operasi militer, baik saat menjadi komandan peleton, kepala seksi operasi, komandan kompi, wakil komandan batalyon hingga menjadi komandan batalyon di Lampung. 

Ia juga pernah menjadi komandan Kodim, dua kali.  Di Lubuk Linggau dan Palembang, Sumatra Selatan. DAR kemudian menjadi perwira pembantu madya di Mabesad. Lalu menjadi Asisten Personel Kasdam Wirabuana. Setelah itu Komandan Resimen Induk Kodam Sriwijaya. 

Pada jabatan perwira tinggi, DAR menduduki jabatan beragam, mulai Wakil Gubernur Akmil (2015-2016). Namun sempat parkir selama satu tahunan (2016-2017) sebagai perwira tinggi khusus KSAD. Akhirnya, ia kembali mendapat jabatan sebagai Wakil Asisten Teritorial KSAD (2017-2018). Setelah itu menjadi Gubernur Akmil (2018-2020) dengan pangkat mayor jenderal. Dari situlah ia kemudian dipercaya menjadi Panglima Kodam Jayakarta selama sembilan bulan hingga Mei 2021.

Promosi kembali menjadi Panglima Kostrad dengan pangkat letnan jenderal. Ia menduduki jabatan Pangkostrad selama enam bulan (Mei 2021-November 2021). Hingga pada Rabu 17 November 2021, ia mendapatkan surat keputusan presiden menjadi KSAD.

Lalu, apa catatan dan tantangan terhadap KSAD Jenderal DAR?

Pertama, secara legal-formal DAR telah menjadi KSAD. Selayaknya semua pihak dapat menerima keputusan Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU. Prajurit TNI-AD tentu wajib mendukungnya sepanjang DAR berada dalam garis Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Hal ini penting agar sebagai KSAD baru, DAR dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal demi kepentingan TNI, bangsa, dan negara. 

Kedua, sesuai dengan fungsi utama TNI AD, sebagai KSAD DAR bertugas melakukan pembinaan kesiapan tempur satuan jajarannya serta pembinaan teritorial. Wajib hukumnya KSAD menguasai pembinaan satuan meliputi aspek doktrin, personel, materiil, perlengkapan, keuangan, dan lain-lain. 

Ketiga, DAR sebagai KSAD menjadi pemimpin terdepan dalam pembinaan personel. Ia harus bisa membentuk, memelihara, dan meningkatkan jati diri prajurit sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara professional. 

Keempat, DAR sebagai KSAD harus bisa mendekatkan diri dengan rakyat apa pun identitas rakyat tersebut. Ini sebagai wujud TNI adalah tentara rakyat. Sehingga prajurit TNI-AD bersama-sama rakyat bekerja untuk kepentingan rakyat. 

Kelima, sebagai tentara nasional, DAR harus berorientasi pada tugas negara, tidak boleh partisan, apalagi terpancing masuk dalam kancah politik praktis. 

Keenam, sebagai tentara professional, DAR harus menguasai manajemen pembinaan doktrin, pendidikan, dan latihan. Termasuk uji ketrampilan siap tempur.

Ketujuh, sebagai KSAD DAR harus menguasai konsep pertahanan di era industry 4.0. Memahami dunia ketahanan dan pertahanan global dan penguasaan dunia siber yang mumpuni.


/selamatgintingofficial

13 November 2021

Membasuh Darah Jenderal Yani (Bagian 4)

Pertemuan dengan Keluarga Besar Jenderal A. Yani
di Museum Sasmita Loka
Foto: dokumen pribadi

“Cukup Bapakmu saja yang menjadi tumbal negara. Jadi anak-anak jangan ada lagi yang jadi tentara,” begitulah pesan yang diungkapkan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo kepada dua anak lelakinya, Untung Mufreni Yani (Untung), dan Irawan Sura Edi Yani (Edi).

Yayuk merupakan ibu delapan anak dari perkawinannya dengan pahlawan revolusi Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani. Yani adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1962-1965. Saat ini jabatan tersebut disebut Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Untung (67 tahun) merupakan anak ketujuh dan Edi (63 tahun) anak bungsu pasangan tersebut. Dalam peristiwa 1 Oktober 1965, Edi yang diminta pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno untuk membangunkan ayahnya sekitar pukul 04.00-an WIB. Ia tidak tahu kalau pasukan itu justru akan menculik dan membunuh ayahnya.

Anak-anak Yani tidak sampai hati melihat ibunya membasuh wajahnya dengan darah Jenderal Yani. Darahnya menggumpal di lantai dekat ruangan makan keluarga akibat tembakan membabi buta dari pasukan Tjakrabirawa.

Pesan dari ibunda dikemukakan oleh Untung kepada penulis dalam pertemuan keluarga besar Jenderal A Yani di Museum Sasmita Loka Jenderal A Yani, Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/11/2021). 

“Kami sebenarnya ingin menjadi tentara seperti Bapak (Jenderal A Yani), tapi kami tidak ingin membantah pesan dari Ibu,” ujar Edi. “Takut kualat membantah petuah Ibu,” kata Untung, melengkapi.

Batal Jadi Tentara

Bukan hanya Untung dan Edi saja yang hadir, melainkan empat kakaknya. Anak pertama; Indriyah Ruliati Yani (Ruli), anak ketiga; Amelia Yani (Amel), anak kelima; Widna Ani Yani (Nanik), dan anak keenam; Reni Ina Yuniati (Yuni). Sementara anak kedua; Herliah Emmy Yani (Emmi) wafat tahun 2007, dan anak keempat; Elina Elastria (Elina/Juwita) berhalangan hadir. 

Bahkan lanjut Untung, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang merupakan sahabat ayahnya, beberapa kali menawarkan dirinya dan Edi untuk mendaftar ke Akademi Militer (Akmil). “Om Sarwo akan memberikan rekomendasi, tapi kami tetap ingat petuah Ibu,” ungkap Untung.

Nanik (70 tahun) menceritakan almarhum ayahnya kerap menceritakan tentang para taruna Akmil di Magelang maupun Bandung yang gagah, pintar, dan calon patriot bangsa. Misalnya saat keluarga mengunjungi Jawa Tengah, yang tidak pernah dilupakan adalah cerita tentang taruna di Magelang. 

“Sepertinya bapak ingin anak perempuannya menikah dengan tentara lulusan Akmil,” ujar Nanik sambil tersenyum, penuh arti. Namun, lanjut Nanik, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merenggut nyawa ayahnya (Jenderal A Yani), ibunya meminta agar anak-anaknya menjauh dari kehidupan tentara. “Kalau perlu tidak ada yang menikah dengan taruna, walau lulusan Akmil sekalipun,” ungkap Nanik.

Namun, takdir berkata lain. Dua anak perempuan pasangan Jenderal Yani dan Yayuk Riliyah, ternyata mendapatkan jodoh tentara lulusan Akmil. Anak pertama; Ruli suaminya adalah Brigadir Jenderal TNI (Purn) Soedarsono, lulusan Akmil 1965 dari Korps Infanteri. Satu kelas dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar. 

“Kalau saya sudah kepalang tanggung. Karena waktu bapak masih hidup, calon suami saya masih taruna dan sudah pernah ke rumah. Juga sudah berkenalan dengan bapak dan ibu saya. Bahkan pada 30 September 1965, Mas Soedarsono sempat menemui Bapak,” ujar Ruli (76 tahun), mengenang masa lalunya. 

Brigjen Soedarsono terakhir berdinas militer di Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang kini menjadi BIN. Ia juga sempat menjadi anggota DPR RI setelaj pensiun dari militer.

Lain lagi cerita Nanik. Suaminya adalah Mayor Jenderal TNI (Purn) Judi Magio Jusuf. Lulusan Akmil 1973 dari Korps Infanteri. Teman satu kelas dengan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono. Mayjen Judi M Jusuf terakhir dalam dinas militer sebagai Asisten Pengamanan KSAD. Jadi dua menantu Jenderal Yani memiliki keahlian di bidang intelijen. 

“Saya terus terang ingat pesan Ibu, jangan menikah dengan tentara. Tapi Mas Judi yang desak terus. Akhirnya saya menyerah sambil minta maaf kepada Ibu,” ungkap Naik yang disambut gelak tawa saudara-saudaranya. 

Sahabat Sarwo

Yuni (68 tahun) juga menceritakan bagaimana keluarganya tersobsesi kehidupan Angkatan Darat dengan segala suka dan dukanya. Setelah ayahnya gugur, banyak anggota masyarakat silih berganti mengunjungi rumah duka selama satu tahun. 

“Om Sarwo (Sarwo Edhie Wibowo) juga kerap datang mengunjungi kami. Datang dikawal panser. Menanyakan keadaan kami. Ibu selama sekitar satu tahun terus berduka dan lebih banyak berada di dalam kamar,” kenang Yuni.

Sarwo Edhie merupakan teman satu kelas dengan Yani waktu pendidikan Shodanco (komandan kompi) bagi tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor, Oktober 1943. Yani sebelumnya sempat menjadi Sersan pada Dinas Topografi KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger), Belanda dan berdinas di Bandung. Sempat bertempur dengan Jepang di Ciater, sebagai pengalaman pertamanya dalam perang. 

Ia sempat meringkuk beberapa bulan di kamp tawanan perang Jepang, setelah tentara Negeri Matahari Terbit itu menundukkan tentara Belanda di Indonesia, pada 1942. Para tentara Belanda dan pribumi yang menjadi tentara KNIL pun menjadi tawanan perang. Sampai akhirnya dibebaskan dan pemuda Yani menjadi pengangguran. 

Yani dan Sarwo sempat berada dalam batalyon yang sama. Mayor Yani sebagai Komandan Batalyon 3 Resimen Magelang. Sedangkan Kapten Sarwo Edhie sebagai komandan kompi. Resimen ini berada di bawah Divisi V yang bermarkas di Purwokerto. Panglima Divisinya adalah Kolonel R Soedirman, kelak menjadi Panglima Besar.

Yani pula yang mempromosikan Sarwo menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) walau ditentang beberapa pihak. Kelak keputusan Yani justru benar dan Sarwo menjadi komandan penumpas PKI. 

Tamu dan Trauma

Yuni menceritakan, selama sekitar satu tahun, nyaris tamu tiada henti mendatangi rumah duka. Untuk menerima kedatangan tamu, mereka membuat seragam tentara khas Angkatan Darat. “Kami minta brevet wing para (terjun payung militer) kepada Om Sarwo untuk melengkapi seragam agar terlihat lebih gagah. Om Sarwo memberikan enam wing untuk kami berenam,” ujar Yuni. 

Jika para tamu datang, keenam anak Jenderal Yani menyambut dengan rasa hormat dengan berbaris rapi. Komandannya adalah Amelia yang punya bakat memimpin. Ia juga menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang mengritisi kepemimpinan Presiden Sukarno. Dalam lubuk hatinya sesungguhnya Amelia protes terhadap negara atas gugurnya ayahandanya sebagai kusuma bangsa. 

“Dua kakak kami pada Desember 1965 melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Bonn Jerman Barat. Sekaligus untuk melupakan trauma,” ujar Amel (72 tahun). Sehingga sebagai anak ketiga, Amelia menjadi yang tertua, ia memimpin adik-adiknya. 

Belakangan, Amel juga melanjutkan pendidikan tinggi ke Inggris. Hal ini setelah mendapatkan saran dari psikolog setelah Amel juga sakit-sakitan akibat trauma tidak bisa melupakan peristiwa terbunuhnya ayahanda di depan mata anak-anaknya. Kemudian Amel bekerja untuk UNDP (United Nations Development Programme).

“Wah itu (Amelia) komandan galak memimpin adik-adiknya,” celetuk Untung, disambut gelak tawa kakak-kakaknya. “Harus galak supaya nurut semua,” jawab Amelia, tersenyum. Beruntung kedelapan anak dari Jenderal Yani mengenyam pendidikan tinggi semuanya. Awalnya di Universitas Indonesia (UI), kemudian melanjutkan ke luar negeri dan Kembali lagi ke UI. Bahasa Inggris menjadi menu wajib bagi keluarga ini. Bahkan ibunda mereka, Yayuk Ruliyah juga mengikuti kursus bahasa Inggris selama sekitar dua tahun. 

“Bapak ingin agar ibu bisa berkomunikasi dengan para istri atase pertahanan asing di Indonesia. Sehingga ibu mengikuti kursus Bahasa Inggris,” kenang Amel. Sedangkan Jenderal Yani menguasai tiga bahasa asing, Inggris, Belanda, dan Jepang.

Misi dan Hukuman

Yani Sebagai tentara, Yani pernah mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat dan Inggris selama 1,5 tahun pada 1954-1956. Usai sebagai Komandan Operasi 17 Agustus 1958-1959, Yani menjadi bintang baru militer Indonesia. Ia juga pernah menjalankan program ‘Misi Yani’ ke Eropa Timur untuk membeli alat utama sistem senjata (alutsista) pada 1960. Alutsista itu untuk persiapan merebut Irian Barat dari tangan Belanda.

Misi rahasia Brigjen Yani ke sejumlah negara, termasuk Yusgoslavia. Belakangan Yugoslavia terpecah-belah pada tahun 1991 setelah runtuhnya rezim-rezim Komunis di Eropa Timur. Kroasia, dan Slovenia memilih merdeka. Kemudian diikuti pula oleh Bosnia dan Herzegovina pada 1992. Kelak nasib mengantarkan Amelia Yani menjadi Duta Besar RI di Bosnia dan Herzegovina pada 2016-2020. 

Jika remaja Amel aktif di KAPPI sejak di SMA Santa Ursula, maka kakak-kakaknya memilih organisasi mahasiswa yang berbeda-beda. “Ruli di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan ikut resimen mahasiswa. Emmi di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia),” ungkap Amel.

Kini Ruli juga masih mengajar di Fakultas Psikologi di Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjadi) di Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Perguruan tinggi swasta (PTS) di bawah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik Angkatan Darat. PTS yang menggunakan nama ayahandanya. Ia menjadi dosen istimewa dengan usia 76 tahun namun masih energik.

Sedangkan Emmi menikah dengan pengusaha Soebronto Laras. Sepulang dari Jerman, Emmi kembali melanjutkan pendidikan di UI. Kemudian berbisnis sebagai pemegang franchise sekaligus managing director restoran ayam goreng Church 's Texas Fried Chicken. Putri kedua Jenderal Yani ini meninggal pada awal Januari 2007, karena sakit komplikasi liver dan paru-paru yang dideritanya sejak lima bulan.

Jika Ruli dan Emmi melanjutkan kuliah di Jerman, lain lagi dengan adik-adiknya. Amel, Juwita serta Yuni melanjutkan kuliah di Inggris. Sedangkan Nanik melanjutkan kuliah di Prancis. Sementara dua adiknya yang lelaki, Untung dan Edi melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat. 

Kedua anak lelaki Jenderal Yani dibantu oleh sahabat ayahnya Kolonel Benson. Teman sama-sama Yani waktu melajutkan sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Fort Leavenworth di Kansas. Benson juga sempat menjadi atase militer Amerika di Jakarta. “Kami sering berlatih bahasa Inggris walau masih ngawur-ngawuran di dalam mobil ketika mengikuti pesiar dengan bapak dan ibu ke puncak setiap Sabtu dan Minggu,” ujar Untung. 

Amel menceritakan, perjalanan ke puncak hampir dilakukan setiap pekan. Ayahnya menyetir mobil sendiri didampingi ibunya di depan, Sedangkan di belakangnya khususnya anak keenam, ketujuh, dan kedelapan. 

“Jadi Yuni, Untung dan Edi mendampingi bapak dan ibu satu mobil. Sementara yang lain berada dalam mobil lainnya berlima. Kemudian dikawal satu mobil ajudan dan pengawal serta mobil logistik,” ungkap Amel mengenang masa-masa indah bersama kedua orangtuanya.

Suatu ketika, kenang Yuni. Ia Bersama Untung dan Edi mencoba ikut-ikutan orang di kampung kawasan Cipayung, Puncak. Menghisap rokok dari daun kawung, namun tidak ada tembakaunya. Aksi ikut-ikutan itu diketahui ayahnya.

“Waduh saya dihukum harus menghisap pipa cangklong rokok tapi tanpa rokok dan tembakau, sampai bibir pegal. Itulah hukuman dari bapak agar anak-anaknya tidak merokok,” ujar Yuni. 

Akibat mengalami flu berkepanjangan, Brigjen Yani pada 1960 berhenti merokok. Karena itu ia tidak menginginkan anak-anaknya merokok sejak muda. “Hukuman dari bapak kepada anak laki-lakinya adalah menyentil telinga. Waduh sakit juga,” cerita Untung sambil terbahak-bahak.

Keenam anaknya mengakui ayahnya tidak galak. Justru ibunya yang lebih keras terhadap anak-anaknya. Mungkin Jenderal Yani menyadari jika dirinya tidak bisa selalu menemani anak-anaknya jika sedang melaksanakan tugas operasi, kunjungan kerja keliling Indonesia maupun luar negeri, serta sekolah militer di negara lain. 

Istri Jenderal Jual Sembako

Banyak yang tidak tahu bagaimana janda Achmad Yani itu harus menerima kenyataan pahit. Bukan lagi menjadi istri pejabat negara, Panglima Angkatan Darat. Ia harus menghidupi keluarganya, karena pension janda jenderal bintang empat hanya menerima sekitar Rp150 ribu, sejak akhir 1965.

“Anak-anakku…. Kalian bukan lagi anak Menteri Panglima Angkatan Darat. Kini kalian adalah anak pedagang sembako. Begitu kira-kira pesan ibuku,” kata Ruli mengenang beratnya beban hidup keluarganya.

Setiap hari sejak Senin hingga Jumat dari pagi hingga malam hari, ibunya mesti masuk pasar keluar pasar. Banting tulang untuk membiayai hidup keluarganya. Termasuk membiayai sekolah anak-anaknya. Menjual semacam bahan sembilan pokok dan barang-barang lainnya. Termasuk jual beli tanah di Kawasan Jakarta. Laba dari berdagang itu antara lain untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Mereka tidak lagi menerima fasilitas sekelas menteri dan jenderal. Semua fasilitas negara ditarik, baik rumah maupun kendaraan. Hanya menyisakan satu ajudan untuk keselamatan ibundanya. Semua sisa-sisa harta dijual agar bisa membeli rumah yang berada persis di depan rumah tempat peristiwa terbunuhnya Jenderal yani di Jalan Lembang.

“Ibu sulit melupakan rumah di Jalan Lembang ini. Karena darah bapak di lantai setelah ditembak pasukan Tjakrabirawa, langsung diusapkannya ke wajah dan tubuh ibu,” ungkap Amel.

Hidup Zig Zag

Ruli menceritakan, mungkin dia yang paling tahu bagaimana penderitaan sebagai anak kolong (tentara). Sebagai anak pertama, ia merasakan bagaimana ayahnya harus pindah ke sana kemari karena panggilan tugas. Termasuk tiba-tiba harus meninggalkan rumah dinas serta kendaraan dinas saat ayahnya harus sekolah ke Amerika dan Inggris.

“Ibuku yang biasa naik mobil dinas sebagai istri komandan, tiba-tiba harus naik sepeda membonceng kami ke sekolah dan membawakan makanan bekal untuk anak-anak di sekolah saat di Tegal.”

Begitulah pasang surut dan kehidupan zig zag begitu terasa. Tentunya yang utama kondisi setelah peristiwa G30S/PKI, Bagi Ruli dan adik-adiknya, paling menyakitkan dan tidak bisa dilupakan hingga saat ini adalah peristiwa dibunuhnya ayahanda.

Bagi keluarga besar, Jenderal Yani tentulah pahlawan luar biasa dengan segala plus minusnya sebagai manusia. Pahlawan revolusi itu mendapatkan tempat terhormat dalam panggung sejarah Indonesia. Peti jenazahnya di atas panser dikawal jenderal senior Letjen GPH Djatikusumo, KSAD pertama.

Hal ini menandakan penghormatan tertinggi TNI untuk segala bakti Yani “Een en militair” (seorang militer sampai ke tulang sumsumnya). Itulah pahlawan kusuma bangsa dari Jenar, Purworejo, Jawa Tengah. Jenderal yang memegang psinsip menolak Angkatan Kelima dan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), walau jabatan dan nyawa menjadi pertaruhannya.

/selamatgintingofficial

09 November 2021

Kisah Mahabarata, Jenderal Brengsek, dan Mozaik Pembunuhan Pahlawan Revolusi (Bagian 3)

Sukarno, Oemar Dhani dan Achmad Yani
Foto: pwmu.co

Musyawarah Nasional Teknik pada 30 September 1965, berlangsung hingga larut malam. Malam sekitar pukul 23.00, Presiden Sukarno memberikan sambutan dengan membuat perumpamaan dari perwayangan, kisah Mahabarata. Menggambarkan suatu pelajaran untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu demi kepentingan perjuangan.

“Arjuna lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudara kandungku sendiri? Bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku sendiri? Bagaimana aku harus membunuh guruku sendiri? ”

“Kerjakan engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!”

Setelah peristiwa 30 September 1965, analogi dari pewayangan yang disampaikan Bung Karno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam peristiwa tersebut.

Apalagi dalam kalimat terakhirnya, Sukarno mengucapkan kalimat, ”Saudara-saudara sekarang boleh pulang tidur dan istirahat. Sedangkan Bapak masih harus bekerja menyelesaikan soal-soal  yang berat, mungkin sampai jauh malam…..”

Kemudian para analis menghubungkan secarik kertas yang disampaikan Letnan Kolonel (Infanteri) Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Tjakrabirawa kepada Bung Karno. Ya, sebelum Sang Presiden mengawali pidatonya soal pewayangan tersebut.

Jendral Brengsek

Dua pekan sebelumnya, pada 13 September 1965, Presiden Sukarno menyerang Jenderal AH Nasution di istana dengan kalimat yang menusuk hati. Memang dalam pidato itu Sukarno tidak langsung menyebut nama. Tapi dengan kalimat yang sangat keras, yakni “sebarisan jenderal brengsek”.

“Adanya anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni barisan jenderal brengsek.” Orang-orang Sukarno tahu yang dimaksud adalah Jenderal AH Nasution, Jenderal A Yani dkk. Ini bukan yang pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno. Terutama sejak ia menerima informasi-informasi tentang isu adanya Dewan Jenderal yang bermaksud menggulingkan dirinya.

Pada waktu yang sama, para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) melontarkan ucapan yang sama. Sehingga tercipta opini bahwa Sukarno memang sejalan dengan PKI. Sesuatu yang kemudian hari harus ditebus mahal oleh Presiden Sukarno.

Kedekatannya dan menjadikan PKI sebagai anak emasnya membuat ia harus kehilangan pamor dari umat Islam dan Angkatan Darat. Termasuk mundurnya Wakil Presiden Moh Hatta. Sehingga akhirnya secara perlahan, ia kehilangan tampuk kepemimpinan nasional  sebagai bagian dari episode G30S/PKI.

Apalagi sepanjang September 1965, PKI sangat gencar menyerang secara gresif lawan-lawan politiknya, terutama Angkatan Darat. Khususnya kepada Jenderal AH Nasution, Jenderal A Yani yang digambarkan sebagai jenderal-jenderal ‘brengsek’ seperti ungkapan Bung Karno, karena tidak loyal kepada Presiden.

Harian Rakyat yang berafiliasi kepada PKI, misalnya. Pada 4 September 1965 menulis ada perwira-perwira yang menuduh PKI akan melakukan kudeta. Namun, lima hari kemudian, pada 9 September 1965, Ketua CC PKI DN Aidit malah menggambarkan akan terjadi sesuatu yang pasti akan lahir. Sebuah isyarat dahsyat.

Ucapan Aidit dipertegas lagi oleh tokoh PKI Anwar Sanusi di depan sidang SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). “Yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.”  Ungkapan itu juga diasosiasikan kepada Jenderal Nasution, Jenderal Yani dkk.

Simak video "Catatan-catatan Penting Soal Sikap Jenderal Yani terhadap Isu Dewan Jenderal"


Setan Kota dan Kematian

Kemudian Aidit secara agresif menyampaikan pidato di depan Kongres III CGMI pada 29 September 1965. “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat.” Pidato itu merupakan serangan khusus kepada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang beberapa hari sebelumnya dibela Jenderal A Yani.  

Aidit kesal usulan PKI untuk membubarkan HMI malah dibela oleh Jenderal Yani. “Kalau CGMI tidak bisa membubarkan HMI, maka pakai sarung saja.”

Kemudian pada tajuk rencana koran Harian Rakyat pada 30 September 1965 berbunyi, “Dengan menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil.

Editorial tersebut seakan membayangkan tentang rencana PKI terkait hukuman mati terhadap para jenderal. Pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI serta editorial Harian Rakyat, kelak menjadi mozaik bagaimana PKI memang berada di balik pembunuhan para pahlawan revolusi, Jenderal A Yani dkk.

Jenderal Nasution yang dituding langsung oleh Bung Karno dan tokoh-tokoh PKI sebagai ‘jenderal brengsek’, selama September 1965, menahan diri untuk tidak menanggapi hinaan tersebut. Nasution juga tidak curiga ketika mendapatkan informasi Kolonel Abdul Latief memerisa pasukan penjaga rumahnya pada sore hari 30 September 1965. Alasannya, karena Latief adalah Komandan brigade Infanteri Kodam Jaya.

Sukarno Marahi Jenderal

Nasution menceritakan, suatu ketika Letjen A Yani mengantarkan Mayjen S Parman dan Brigjen Soetoyo menghadap Presiden Sukarno. Mereka dimarahi habis-habisan oleh Bung Karno. Sukarno mengecam pernyataan Angkatan Darat soal adanya musuh dari utara bagi Asia Tenggara, seperti dibacakan Letjen A Yani di Bandung.

Keputusan Yani dan para jenderal-jenderal Angkatan Darat dianggap tidak loyal terhadap Presiden Sukarno. Sang presiden di Istana Tampak Siring, Bali sudah berencana segera mengganti para jenderal tersebut. Bahkan menyebut pengganti Yani adalah Mayjen Moersjid.  Ia meminta jawaban Moersjid apakah bersedia menggantikan Yani? Moersjid menjawab, bersedia.

Pada 29 September 1965, muncul Brigjen Mustafa Syarif Suparjo menghadap Presiden Sukarno. Suparjo melaporkan kesiapan pasukannya untuk bertindak terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal.

Jumat Kelam

Jumat dinihari 1 Oktober 1965, sekira pukul 04.00 WIB. Keluarga Letnan Jenderal Achmad Yani masih tertidur. Putra bungsu Panglima Angkatan Darat, Irawan Sura Edi Yani (Edi) terbangun. Ia mencari ibunya yang tidak ada di rumah Jalan Lembang D-58. Sang Ibu, Nyonya Yayuk Ruliah belum pulang, masih berada di rumah Jalan Taman Surapati.

Edi ditemani asisten rumah tangga, biasa dipanggil Mbok Millah, duduk dekat pintu belakang, menunggu ibunya datang. Pada menit-menit itulah sekelompok tentara dipimpin Pembantu Letnan Satu (Peltu) Mukijan dari Brigif 1 Kodam Jaya dan Sersan Raswad segera masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Pintu tidak dikunci, karena Nyonya Yayuk Achmad Yani, biasanya akan pulang sekitar subuh hari.

Anggota pasukan Tjakrabirawa masuk ke dalam rumah dan langsung menanyakan kepada pembantu rumah tangga keluarga Jenderal Yani. Pasukan yang mengepung rumah Jenderal Yani terdiri dari satu peleton dari Brigif 1 Kodam Jaya, saru regu dari Resimen Tjakrabirawa, satu peleton dari Yonif 454 Kodam Diponegoro, satu peleton dari Yonif 530 Kodam Brawijaya, satu regu daru AURI, dan regu sukarelawan Pemuda Rakyat PKI.

Anak bungsu Jenderal Yani diminta membangunkan bapaknya dengan alasan dipanggil Presiden di istana. Edi pun membangunkan ayahnya.

“Ada apa?” tanya Achmad Yani kepada pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno yang masuk ke dalam rumahnya.

“Siap, Jenderal. Bapak diminta menghadap Presiden Sukarno sekarang juga!”

“Loh acaranya kan jam 7, bukan pagi-pagi  begini.” Yani memang sudah dijadwalkan menghadap Presiden sekalian mengajak Panglima Kodam Brawijaya Mayjen Basuki Rachmat untuk melaporkan Tindakan PKI yang merusak kantor Gubernur Jawa Timur. Yani juga sudah punya firasat akan dicopot dari jabatan panglima Angkatan Darat, hari itu juga.

“Tetapi jenderal harus berangkat detik ini juga, karena jenderal sedang ditunggu Bapak Presiden,” jawab salah seorang anggota Tjakrabirawa.  

Yani menjawab,” Paling tidak saya harus mandi dulu!”

“Tidak perlu, Jenderal. Di istana juga ada kamar mandi. Bila perlu dengan pakaian piyama saja. Jenderal bisa berangkat bersama-sama kami.”

“Kau prajurit, tahu apa?!” tegas Yani sambal meninju wajah sang prajurit, sehingga jatuh terkapar.

Yani pun berbalik masuk ke ruang makan dan menutup pintu. Saat itulah Sersan Raswad memerintahkan Sersan Gijadi. “Tembak dia!” Gijadi pun langsung memberondongkan senjata Thomson. Tujuh peluru menembus pintu, menerpa punggung Panglima Angkatan Darat. Jenderal Yani roboh bersimbah darah di ruang makan.

Suara tembakan itu membangunkan anak-anak sang jenderal. Indriyah Ruluati Yani (Ruli), Herliah Emmy Yani (Emmy), Amelia Yani, Elina Elastria Yani (Elina atau Juwita), Widna Ani Yani (Nanik), Reni Ina Yuniati Yani (Yuni), serta Untung Mufreni Yani (Untung), berhamburan ke ruang makan. Sedangkan si bungsu Edi bersembunyi di bawah mesin jahit. Delapan anak Jenderal Yani menjadi saksi, ayahnya ditarik kakinya dengan posisi kepala di bawah membentur lantai dan jalan aspal.

Yani yang masih mengenakan piyama biru diseret dan dilempar ke dalam mobil truk yang sudah disiapkan pasukan pemberontak. “Ayo masuk semua, kalau tidak saya tembak,” kata Amelia Yani, putri ketiga jenderal A Yani, menceritaka peristiwa kelam yang menimpa ayahandanya pada 1 Oktober 1965, subuh hari.

Ia menceritakan sejarah kelam itu kepada wartawan senior dan akademisi, Selamat Ginting, akhir Oktober 2021 lalu. Sambil terbata-bata dan berkaca-kaca, Amelia mengisahkan kepedihan serta catatan dalam buku harian Jenderal A Yani.       

“Bapak memang tegas menolak komunis. Jadi tidak setuju dengan Nasakom. Bapak masih bisa terima jika kata kom (komunis) diganti dengan sosialisme Indonesia, seperti sila kelima Pancasila,” ujar Amelia, sambil memperlihatkan catatan goseran pena Achmad Yani, jenderal bertubuh atletis dengan tinggi sekitar 174 cm dan berat sekitar 74-75 kg.

Ikuti bincang-bincang dengan Amelia Yani di channel youtube: SGinting Official (Bagian ketiga). Tulisan diwebsite dirangkum penulis dari berbagai sumber.

/selamatgintingofficial


06 November 2021

Anak Berland, Angka Tujuh untuk Panglima Andika

Pelantikan KSAD. Pengambilan sumpah jabatan KSAD Andika Perkasa
Foto: Republika.co.id/Wihdan

Dalam beberapa hari ini di sejumlah grup WA, beredar foto dan identitas calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa (56 tahun, 10 bulan). Foto serta identitasnya saat masih menjadi taruna dengan pangkat Sermatutar (Sersan Mayor Satu Taruna). Termasuk nama ayahandanya yakni FX Soenarto dengan pekerjaan ABRI. Alamat Jalan Kesatrian 1 Jatinegara, Jakarta Timur. 

Jalan Kesatrian merupakan nama jalan di Kawasan Berland. Berland berasal dari dua kata yakni bear dan land. Bear artinya beruang, dan land artinya tanah. Penjajah Belanda memberi nama pasukan khususnya (tentaranya) di Indonesia dengan nama Bearland. 

Pasukan khusus ini diasramakan di Matraman, Jatinegara. Saat itu nama kompleks untuk pasukan Belanda itu adalah Bearland. Karena masyarakat susah menyebut ejaan Bearland, maka hanya menyebut berland. Hingga  kini masyarakat menyebutnya Berland. 

Begitu Indonesia merdeka, asrama khusus tentara Belanda ini diambil alih oleh TNI. Asrama Belanda ini ditempati pasukan Zeni TNI Angkatan Darat. Sampai saat ini, masih ada rumah-rumah panjang dan besar di Berland. Tentu saja dulunya ditempati TNI.

Simak video "JOKOWI PILIH PANGLIMA TNI NON MUSLIM JUGA?"


Taruna Zeni 

Dari data pada buku Akademi Militer tersebut, jelas bahwa ayahanda Andika Perkasa merupakan anggota TNI. Memang tidak disebutkan identitas lengkap mengenai ayahandanya. Dari penelusuran penulis, ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira lulusan Akademi Militer (Akmil) 1957 di Bandung. Dahulu masih disebut Akademi Zeni Angkatan Darat (Akziad) lulusan angkatan kedua. 

Akziad mengisi kekosongan Akmil Yogyakarta yang hanya meluluskan dua angkatan. Kemudian ditutup pada 1950. Angkatan ketiga Akmil Yogyakarta, kemudian dikirim ke Akmil Breda, Belanda dan lulus tahun 1954-1955.

Jadi dalam sejarah militer Indonesia, lulusan Akziad pun dimasukkan ke dalam rumpun lulusan Akmil khusus Korps Zeni. Saat itu tidak banyak taruna yang bisa diterima di Akziad pada 1953. Hanya 35 orang dari seluruh Indonesia yang memenuhi syarat untuk menjadi taruna, termasuk FX Soenarto.  

Salah satu persyaratannya, selain fisiknya standar taruna, juga harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi atau dikenal dalam bahasa Inggris: intelligence quotient (IQ). Fisik Korps Infanteri, otak Korps Zeni. 

Karena itu pula pimpinan Angkatan Darat sering menugaskan mereka dalam posisi sebagai prajurit Infanteri, baik saat menghadapi DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta di Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Terutama saat menjadi taruna dalam praktik pertempuran.

Bahkan dari 35 taruna yang diterima pada 1953 tersebut, hanya 17 orang yang berhasil lulus pada 1957 alias empat tahun pendidikan, termasuk Kolonel (Zeni) FX Soenarto. Sisanya 18 orang bersama dua orang lainnya yang seharusnya lulus tahun 1956, harus mengulang dan menjadi lulusan 1958. 

Sedangkan lulusan 1959, antara lain Jenderal Try Sutrisno, yang berhasil menjadi KSAD, Panglima ABRI, dan puncaknya Wakil Presiden. Sedangkan lulusan 1960, antara lain Letjen Sudibyo, terakhir menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negaara (Bakin), kini disebut Bada Intelijen Negara (BIN). Lulusan 1961, antara lain Kapten (Anumerta) Pierre A Tendean.  Lulusan 1962, antara lain Letjen Arie Sudewo, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA). 

Jadi, ayahanda dari Andika Perkasa merupakan abang kelas dari Try Sutrisno. Karena itu tidak perlu heran jika Andika Perkasa memanggil mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dengan sebutan Oom, Bahasa Belanda yang artinya saudara atau adik dari ayah. 

Memang sangat berat untuk bisa menjadi taruna Akziad. Misalnya yang diterima pada 1952 hanya 29 taruna. Saat itu disebut kadet SPGIAD (Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat (SPGIAD). Dari 29 taruna, hanya 12 yang berhasil lulus pada 1956. Sisanya 15 kadet keluar sebelum tamat. Kemudian dua orang mengundurkan diri sebelum menjalankan pendidikan.

Perwira Hebat dan Angka 7 

Kolonel FX Soenarto ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira hebat yang mampu lulus tepat waktu, bersama 16 taruna lainnya. Pendidikan Akziad menghasilkan perwira berkualifikasi insinyur (sarjana teknik) militer, dengan dosen-dosen teknik berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sehingga lulusan akademi ini kualitas ilmu tekniknya setara dengan lulusan insinyur teknik sipil dari ITB.

Maka, tak usah heran. Darah militer serta teknik sipil mengalir dalam diri Andika Perkasa. Andika Perkasa pun mengikuti jejak ayahnya melanjutkan pendidikan di Akmil Magelang dan lulus tahun 1987. Seperti tertulis di atas, ayahnya lulusan Akmil 1957 dari Korps Zeni. 

Sedangkan ayah mertua Andika Perkasa, yakni Jenderal (Purn) Hendropriyono, lulusan Akmil 1967 dari Korps Infanteri. Hendro dari pasukan komando jabatan terakhirnya adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) semasa Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Angka tujuh (7) menjadi spesial bagi Andika. Baik dirinya, ayah mertua  serta ayah kandungnya juga sama-sama lulusan Akmil dengan angka dibelakangnya sama-sama tujuh (7).  Andika Perkasa lahir di Bandung 21 Desember 1964 merupakan anak keempat dari pasangan FX Soenarto dengan Udiati. 

Ayahnya berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Sedangkan Ibundanya, Udiati berasal dari Blitar, Jawa Timur.  Ayahnya wafat pada 1997 dan ibunya wafat pada 2007. Jadi angka 7 (tujuh) juga punya kenangan menyedihkan bagi Andika Perkasa. Ia kerap menitikkan air mata sambil berdoa dengan tangan terbuka bagi kedua orangtuanya saat berziarah di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

Kendati berasal dari pasukan komando, putra keempat dari delapan bersaudara itu, dikenal humanis. Dalam beberapa diskusi dengan jenderal bintang empat itu, penulis menyimpulkan ia seorang intelektual yang bisa menerima perbedaan pendapat. Mau mendengarkan pendapat yang berbeda dengan dirinya. 

Salah satu pesan yang sering diingatkannya kepada para prajuritnya adalah sayangi keluarga dan sempatkan waktu untuk mengurus keluarga.   

Kolonel Bersahaja

Ayahnya dikenal sebagai kolonel yang bersahaja. Tidak memiliki mobil pribadi, kecuali mobil dinas saat masih aktif menjadi perwira TNI. Kesederhanaan keluarganya menerpa Andika Perkasa menjadi remaja mandiri hingga memilih melanjutkan cita-cita ayahnya menjadi serdadu.   

Andika menikah secara Islam dengan anak pertama dari Hendropriyono, yakni Diah Erwiany (Hetty).  Pasangan tersebut dikarunia seorang anak bernama Alexander Akbar Wiratama Perkasa Hendropriyono. Lebih dikenal sebagai dokter Alex Perkasa. Foto Andika Perkasa menggunakan pakaian koko menyambut kelahiran cucunya, beredar di sejumlah media. 

Cucu pertama KSAD Andika Perkasa dan istrinya, Diah Erwiany (Hetty Hendropriyono) diberi nama Arthur Ibrahim Perkasa-Hendropriyono. Sang cucu merupakan buah pernikahan dari putra Andika Perkasa, Alexander Akbar Wiratama Perkasa-Hendropriyono dengan Alvina. Alvina merupakan putri dari mantan Inspektur Jenderal Mabes TNI, yakni Letjen TNI (Purn) Muhammad Setyo Sularso, lulusan Akmil 1982 dari Korps Infanteri. 

Arthur mengingatkan pada seorang jenderal besar Korps Zeni Amerika Serikat, panglima perang yang terkenal di Asia Pasifik. Pernah memiliki markas di Papua serta Morotai, Maluku. Dia adalah Jenderal Besar Douglas McArthur. 

Gultor jadi Panglima

Selama menjadi KSAD, Andika banyak melakukan pembangunan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Ia pun memilih Komandan Detasemen Mabesad berasal dari Korps Zeni yang memahami pembangunan atau teknik konstruksi.

Namun Andika bukan berasal dari Korps Zeni. Hasil psikotesnya ia menjadi perwira Korps Infanteri. Bahkan Andika menjadi pasukan komando dengan spesialisasi antiteror. Ia mengawali kariernya sebagai perwira pertama Infanteri korps baret merah (Kopassus). Dimulai di Grup 2 /Para Komando dan Satuan-81 /Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus selama 12 tahun.

Setelah itu ditugaskan di Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Mabesad. Kembali bertugas lagi di Kopassus sebagai Komandan Batalyon 32/Apta Sandhi Prayuda Utama, Grup 3/Sandhi Yudha.   

Kepintaran yang diturunkan Ayahnya dibuktikan dengan mengenyam pendidikan tinggi Strata-1 (Sarjana Ekonomi) di dalam negeri dan meraih tiga gelar akademik Strata-2 (M.A., M.Sc., M.Phil) serta satu gelar akademik Strata-3 (Ph.D/doktor) dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat. 

Sempat terseok-seok pada saat berpangkat Letnan Kolonel selama sembilan tahun. Padahal Andika menjadi lulusan terbaik Pendidikan Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) 1999-2000. 

Akhirnya Andika menjadi Kolonel pada 2010 dengan jabatan sebagai sekretaris pribadi Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Johanes Suryo Prabowo, lulusan terbaik Akmil 1976 dari Korps Zeni. Kemudian Andika menjadi Komandan Resimen Induk Infanteri Kodam Jaya pada 2011. Setelah itu promosi menjadi Komandan Resor Militer (Danrem) 023/Kawal Samudera, Kodam I/Bukit Barisan (2012).

Pada saat Jenderal Budiman (lulusan terbaik Akmil 1978 dari Korps Zeni) menjadi KSAD, Andika mendapatkan promosi sebagai Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat. Di sinilah ia mendapatkan jabatan jenderal bintang satu (November 2013).

Dalam kurun waktu satu tahun kurang satu bulan, ia pun mendapatkan promosi menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) mendampingi Presiden Jokowi yang baru dilantik sebagai presiden hasil pemilu 2014. Disinilah terjadi relasi kuasa antara Presiden Jokowi dengan Jenderal Andika Perkasa. 

Dua tahun kemudian, Andika Perkasa dipromosikan menjadi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII/Tanjungpura (2016). Selanjutnya promosi menjadi Letjen saat menjadi Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklatad) (2018). 

Bintangnya semakin terang ketika ia menduduki posisi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) (2018). Sampai akhirnya menjadi orang nomor satu di Mabesad, sebagai KSAD.

Terakhir, setelah selama 2,5 tahun menjadi KSAD, sampai juga Jenderal Andika Perkasa menjadi puncuk pimpinan TNI. Tidak sia-sia ayah kandung almarhum Kolonel Soenarto dan ayah mertua Jenderal Hendropriyono mendidik dan mengawal generasi penerusnya hingga berhasil melampaui capaian kedua orangtuanya menjadi Panglima TNI. Selamat bertugas, Jenderal.

/selamatgintingofficial

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...