10 April 2022

Mengusik TAP MPRS25/1966: Selamat Ginting Ingatkan Andika, Komunis Itu Bahaya Laten

Photo: Sindonews

Jakarta, FNN – Keputusan kontroversial dalam rapat panitia penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022 yang mencabut aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI, terus mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.

Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengingatkan Panglima TNI Andika Perkasa bahwa komunis menjadi musuh laten bagi TNI sepanjang masa.

Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari perbincangan Selamat Ginting dengan wartawan FNN, Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis, 31 Maret 2022.

Ginting mengingatkan  bahwa TNI memiliki Sapta Marga, terutama marga pertama dan kedua. Marga pertama ‘Kami warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila’ lalu marga yang kedua ;Kami patriot Indnesia pIendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.’

“Jadi, ideologi TNI adalah Pancasila, tidak bisa menerima ideologi lain selain Pancasila. Bahkan, di marga kedua itu pembela ideologi, bertanggungjawab serta tidak mengenal menyerah. Jadi, TNI itu soldier never die, maka ketika pensiun pun tetap menjadi patriot pembela ideologi negara,” paparnya.

Ginting menegaskan pentingnya terus waspada terhadap PKI, sebab sejarah telah membuktikan PKI berulangkali mencoba menguasai Indonesia dengan memusuhi TNI AD dan umat Islam.

“Kita tahu TNI pernah menjadi musuh utama PKI. Musuh utama PKI ada dua yakni, TNI Angkatan Darat dan Islam. TNI juga selalu mengingatkan pada bangsa dan negara bahwa ada beberapa pemberontakan yang dilakukan  oleh PKI yakni tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965,” paparnya.

Ginting menyatakan bahwa pada tahun 1926 tokoh-tokoh PKI seperti Muso kabur ke Uni Soviet lalu tahun 1948 muncul lagi sehingga TNI mengingatkan bahwa, PKI tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, karena tahun 1948 mereka baru balik ke Indonesia. Kemudian tahun 1965 terjadi Gerakan 30 September oleh PKI.

“Jadi rentang 20 tahunan itu selalu terjadi, sampai kemudian, TNI mengindikasikan PKI bermain ketika era reformasi. Mereka bersembunyi melalui partai atau ormas dan segala macam kelompok. Jadi bagi TNI, komunis itu bahaya laten. Sampai sekarang tidak pernah dicabut itu,” paparnya paf.

Menurut Ginting upaya menggusur Tap MPRS No. 25 tahun 1966 dulu juga sempat diwacanakan oleh Presiden Gus Dur. Mengetahui hal itu, TNI langsung bergerak melakukan penolakan, bahkan sampai Menkumham Yusril Ihza Mahendra melawan Gus Dur.  Kalau Gus Dur tetap ngotot maka bukan tidak mungkin TNI beserta kelompok Islam akan menggulingkannya, karena bahaya sekali.

Tak hanya itu, pada 2003 ketika Megawati menjadi presiden, ada keinginan yang kuat dari PDIP untuk menghapus Tap MPRS No. 25 tahun 1966 ini, tetapi dia harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang menentangnya. Saat itu masih ada fraksi ABRI, fraksi Utusan Golongan, fraksi Golkar dan fraksi Reformasi termasuk fraksi PPP di DPR. Dan di sini dalam Panitia AdHoc-2, PDIP bahkan ngotot ingin melakukan voting. Upaya mencabut Tap MPRS ini sudah berulangkali dilakukan.

“Sekarang repotnya TNI dan Polri tidak ada di Parlemen dan MPR seperti dulu.  Generasi TNI sekarang perlu menyimak bagaimana tahun 1960-1961 muncul organisasi SOKSI yang dipimpin oleh Brigjen Suhardiman, Kosgoro dipimpin oleh Brigjen Mas Isman lalu MKGR oleh Brigjen Sugandhi,” paparnya.

Hal ini adalah upaya mereka ketika Soekarno sudah menggaungkan Nasakomisasi. “Jadi, TNI AD betul-betul melawan konsep Nasakom Bung Karno yang ujung tombaknya adalah komunis. Jadi bagi TNI AD, Soekarno sudah menyimpang dari Sapta Marga itu,” tegasnya.

Ginting menegaskan, SOKSI memiliki beberapa organisasi underbow untuk melawan PKI karena pada waktu itu PKI berusaha untuk mempercepat Pemilu. “Mereka mendesak tahun 1963 pemerintah melakukan Pemilu, bahkan DN Aidit, Ketua CC PKI mengtakan oke soal Pancasila, Pancasila adalah pemersatu bangsa, tetapi kalau bangsa sudah bersatu Pancasila tidak diperlukan lagi,” tegasnya.

Saat itu, katan Ginting,  ada kekhawatiran dari jenderal-jenderal Angkatan Darat untuk melawan PKI, sebab kalau Pemilu dilakukan pada 1963, maka PKI menjadi pemenang, karena beberapa partai sudah tercerai berai, lantaran ada konflik di internal sejumlah partai.

Harus diingat bahwa Pemilu 1955 PKI menempati urutan keempat, setelah PNI 22 persen, Masyumi 20persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen. Padahal, tahun 1948 baru memberontok, 7 tahun kemudian sudah menempati urutuan keempat. Ini artinya PKI cepat sekali melakukan konsolidasi.  

Kewaspadaan terhadap bahaya laten PKI dipantau terus oleh organisasi-organisasi underbow Golkar. “Tahun 1964 organisasi seperti SOKSI bersatu dalam Sekber Golkar untuk melawan PKI. Ini yang menjadi cikap bakal dari Golkar. Lahirnya Golkar tidak bisa dipisahkan dari TNI AD melawan PKI. Cerita ini yang seharusnya tetap muncul pada generasi TNI sekarang,” pesannya.

Intinya, Ginting berpesan, TNI tidak boleh merekrut orang yang terpapar ideologi selain Pancasila. “Indonesia punya pengalaman bagaimana TNI menghadapi ideologi komunis, liberalis, Islam radikal DI/TII dan lainnya. TNI adalah institusi yang memegang ideologi Pancasila, berbeda dengan militer negara-negara lain. Makanya TNI AD sangat keras menentang Nasakomisasi. (ida, sws) 

09 April 2022

Teori Jarum Suntik Anies, Ganjar, dan Ridwan

Photo: Kompas.com

Tiga gubernur yang akan mengakhiri tugasnya pada 2022 dan 2023 ini, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Mochamad Ridwan Kamil, dalam kajian komunikasi politik, sedang berupaya memengaruhi khalayak pemilih. Mereka sedang berlomba mencuri perhatian publik melalui media sosial (medsos) dan media massa.

Tidak bisa diabaikan, termasuk dalam kegiatan ceramah tarawih ketiganya di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam beberapa hari terakhir ini. Jangan lupa, mereka termasuk yang memiliki peluang untuk pemilihan presiden (pilpres) 2024 mendatang.

Dalam acara di UGM, Anies dan Ganjar lebih diuntungkan daripada Ridwan, karena UGM adalah almamater Anies dan Ganjar. Anies lulusan sarjana ekonomi dari UGM. Sedangkan Ganjar lulusan sarjana hukum UGM. Sementara Ridwan lulusan sarjana teknik arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Seperti diketahui, Anies Baswedan adalah Gubernur DKI Jakarta. Sementara, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Sedangkan Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Ketiga gubernur tersebut lebih menonjol daripada gubernur lainnya. Dibandingkan misalnya dengan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Maupun Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi. 

Setidaknya dari ulasan-ulasan di media sosial, media massa maupun hasil sejumlah survey, ketiga gubernur tersebut senantiasa dikaitkan dengan kompetisi pilpres. Jangan heran kalau dalam beberapa acara, publik meneriakkan jargon-jargon presiden untuk ketiganya. Anies presiden, Ganjar presiden, Ridwan presiden. Inilah perang komunikasi politik di ruang publik.

Aktivis mahasiswa

Selain itu, Ganjar adalah ketua umum keluarga alumni UGM (Kagama) periode 2014-2019. Selama kuliah di UGM, Ganjar adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan dikenal sebagai demonstran. 

Sementara Anies juga dikenal sebagai aktivis mahasiswa UGM. Ia pernah mejadi ketua umum senat mahasiswa UGM, serta aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Anies pun pernah menjadi peneliti di almamaternya.

Fakta-fakta itu membuat Anies dan Ganjar lebih diuntungkan jika mengadakan acara di UGM. Baik Anies maupun Ganjar memiliki usia yang hampir sama, sekitar 53 tahun.

Sedangkan Ridwan lebih muda, sekitar 51 tahun. Ridwan juga mengakui sebagai anak biologis HMI, karena dahulunya kedua orangtuanya adalah aktivis HMI di Jawa Barat.

Simbol politik

Saya tidak terkejut dengan isi ceramah Anies, jauh lebih banyak dilihat di channel youtube ketimbang ceramah Ganjar maupun Ridwan. Dalam catatan ada sekitar 85 ribu orang yang melihat Anies. Jauh melampaui Ganjar yang ditonton sekitar 14 ribu orang dan Ridwan sekitar 13 ribu orang.

Simbol Islam nasionalis atau nasionalis religius lebih melekat dalam diri Anies daripada Ganjar yang lebih dikenal sebagai simbol nasionalis. Begitu juga dengan Ridwan lebih dikenal sebagai simbol nasionalis.

Target politik ketiganya, tentu saja diharapkan dapat memberikan dukungan dalam bentuk pemberian suara (vote) jika kelak mereka maju dalam kompetisi pemilihan presiden. 

Sehingga efek komunikasi politiknya dalam acara ceramah terawih di UGM adalah terciptanya pemahaman publik yang akan bermuara pada pemberian suara, kelak dalam pilpres maupun pemilu.

Jadi, ketiga gubernur itu sedang melakukan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, memiliki akibat politik, dan berpengaruh terhadap perilaku politik pemilih atau khalayak pemilih.

Terbius

Upaya memengaruhi khalayak pemilih tersebut, antara lain dilakukan melalui media massa, seperti dengan agenda setting politik, analisis retorika politik, serta wacana politik. 

Sehingga ceramah mereka secara verbal maupun non verbal, tersembunyi atau terang-terangan, disadari maupun tidak disadari, isinya mengandung bobot politik.

Mereka sebagai komunikator politik,  tentu saja menginginkan masyarakat seperti terbius obat dari jarum suntik, sehingga terbius untuk menentukan pilihannya kepada mereka. Dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah teori jarum suntik maupun teori peluru.


/selamatgintingofficial


31 January 2022

One Way Ticket

Foto: Panglima Mandala Trikora, Mayjen Soeharto mengunjungi pasukan Zeni di Morotai, Kepulauan Maluku, yang sedang membuat pangkalan udara darurat untuk menyerang tentara Belanda di Papua


Tulisan Lawas (31 Januari 2014)

"Operasi ini hanya untuk satu kali jalan, tidak untuk kembali. Saya perkirakan, 60 persen dari kalian akan mati, hanya 40 persen yang selamat dan bisa kembali. Jika tidak sanggup, mundur!. Saya beri waktu hanya satu menit untuk berpikir ulang."

Itulah salah satu amanat Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat, Mayor Jenderal Soeharto kepada para prajurit yang tergabung dalam Operasi Mandala Trikora di Morotai, Kepulauan Maluku, pada pertengahan 1962.
Tetapi tidak ada satu pun prajurit yang mundur. Semua menyatakan siap mati demi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu dari prajurit itu adalah ayahanda yang saat itu masih bujangan dan berusia 22 tahun. Sersan Dua Sampit Ginting, komandan regu dari kesatuan Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 7 Kostrad. Saat itu Kostrad masih bernama Korps Tentara 1 Tjadangan Umum Angkatan Darat (Korra 1/Tjaduad).

Untuk menghadapi tentara Belanda, pada 1962-1963 Kostrad membentuk delapan batalyon zeni tempur (yonzipur) dan batalyon zeni konstruksi (yonzikon), terdiri dari Yonzipur 7, Yonzipur 9/Para, Yonzipur 10/Amfibi, Yonzikon 11, Yonzikon 12, Yonzikon 13, Yonzikon 14, dan Yonzikon 15. (Dulu masih disebut Yonzikon 1, 2, 3, 4, dan 5).

Tugas yonzipur maupun yonzikon, antara lain membuat pangkalan udara maupun pangkalan laut darurat. Darurat, karena dibuat dari bahan-bahan yang ada di pulau seluas sekitar 1.800 kilometer persegi itu. Pangkalan udara untuk penyerangan yang berada di bibir Pasifik itu, dibuat dari batang-batang pohon kelapa.

Sebagai komandan regu di Yonzipur 7 yang bertugas di Morotai, selain membuat pangkalan untuk penyerangan, ayahanda juga disiapkan untuk melakukan penyerbuan darat ke Papua, tempat tentara Belanda bercokol. Begitu juga dengan pasukan yonzikon.

Sementara Yonzipur 9/Para juga mendapatkan tugas menyerang lewat cara penerjunan dari udara. Sedangkan Yonzipur 10/Amfibi juga bertugas menyerang lewat pendaratan amfibi, seperti pasukan KKO/Marinir TNI-AL.

Namun, pasukan yang berpangkalan di Morotai itu tidak jadi melakukan penyerbuan ke Papua, karena terjadi perundingan diplomatik pada Januari 1963. Belanda khawatir dengan kekuatan militer Indonesia saat itu, baik Angkatan Darat dibantu Brimob Polri, Angkatan Laut, apalagi Angkatan Udaranya. Pada masa itu, kekuatan militer Indonesia adalah yang terkuat di belahan Selatan dunia. Indonesia berwibawa di kancah diplomasi internasional, karena memiliki militer yang kuat.

Pasukan 'one way ticket' itu, setelah bertugas selama sekitar satu tahun, tanpa logistik memadai, memperoleh Satyalencana Satya Dharma. Dan kelak, mereka menjadi Veteran Irian Barat. Kini sebagian besar, termasuk ayahanda, sudah almarhum. Hormat kami padamu, prajurit sejati!

Kini, kita bisa melihat diplomasi RI lemah, karena peralatan dan kekuatan militernya pun lemah. Sehingga negara-negara lain tidak lagi takut kepada Indonesia. Tak usah jauh-jauh Singapura, Malaysia dan Australia sering bertindak kurangajar menginjak-injak kedaulatan RI.

/selamatgintingofficial


19 January 2022

Tiga Kelompok Jenderal Calon Pangkostrad

Foto: Divisi Infanteri 2 Kostrad


"Pimpinan TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (19/1/2021).

Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, ada tiga kelompok calon kuat panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Pertama, kelompok jenderal profesional dan berpengalaman di Kostrad. Kedua, kelompok jenderal lulusan Akademi Militer (Akmil) terbaik. Ketiga, kelompok jenderal yang terkoneksi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok di luar ketiganya.

“Pimpinan TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (19/1/2021).

Profesional dan Berpengalaman

Menurut Selamat Ginting, kelompok pertama, adalah Mayor Jenderal (Mayjen) Achmad Marzuki (55 tahun) dan Mayjen Agus Suhardi (56,5 tahun). Keduanya bertugas di Kostrad selama sekitar 23 tahun. Marzuki abituren (lulusan) Akmil 1989, saat ini sebagai Asisten Teritorial (Aster) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sedangkan Agus Suhardi, abituren Akmil 1988-A, saat ini sebagai Panglima Kodam Sriwijaya di Sumatra Selatan.

“Marzuki sebelum menjadi Aster KSAD, adalah Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh. Ia pernah menjadi Inspektur Kostrad, Panglima Divisi Infanteri (Divif) 3 Kostrad. Dua kali dengan pangkat mayjen menduduki jabatan di Kostrad,” ujar Selamat Ginting yang berpengalaman meliput di lingkungan militer selama lebih dari 25 tahun.

Marzuki, lanjutnya, mengawali karier militernya pada 1990 di Batalyon Infanteri (Yonif) 503 Brigade Infanteri (Brigif) 18, Divif 2 Kostrad.  Ia termasuk perwira tinggi Angkatan Darat yang paling banyak tugas operasi tempurnya sekitar 12-13 kali. “Marzuki sangat layak menjadi Panglima Kostrad dengan beragam tugas dan jabatannya di Kostrad. Profesional dan berpengalaman,” ungkap Ginting.

Ada pun Agus Suhardi, hanya pada saat pangkat mayor, dia tidak sempat bertugas di Kostrad. Selebihnya ia malang melintang di Kostrad. Ia mengawali dinas militernya pada 1989 di Yonif Lintas Udara (Linud) 501, Brigif 18, Divif 2 Kostrad.   

“Pernah menjadi komandan peleton, komandan kompi, dua kali menjadi komandan batalyon, asisten operasi Divif 1, komandan Brigif Linud, Kepala Staf Divif 1 dan Divif 2 sampai Panglima Divif 2 Kostrad. Namun, Agus Suhardi kalah banyak dalam tugas operasi dibandingkan Marzuki. Jadi, Agus Suhardi juga sangat layak menjadi Pangkostrad. Profesional dan berpengalaman pula,” jelas Ginting.


Simak video "DEKAT DENGAN JOKOWI MENANTU LUHUT CALON KUAT PANGKOSTRAD"


Lulusan Terbaik

Kelompok kedua, menurut Selamat Ginting, adalah perwira tinggi lulusan Akmil terbaik. Ada dua orang, yakni Mayjen I Nyoman Cantiasa (54,5 tahun), lulusan terbaik Akmil 1990 dan Mayjen Teguh Pudjo Rumekso, lulusan terbaik Akmil 1991.

Mayjen Cantiasa, kini menjadi Panglima Kodam Kasuari di Papua Barat. Sedangkan Mayjen Teguh Pudjo (54 tahun), saat ini sebagai Panglima Kodam Mulawarman di Kalimantan Timur. Cantiasa yang berasal dari Korps Infanteri Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pernah tugas di Kostrad sebagai komandan peleton dan komandan kompi di Yonif Linud 328 Brigif 17, Divif 1 Kostrad.

“Usai bertugas di Yonif 328 Kostrad, Cantiasa malang melintang tugas di Kopassus hingga menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Jadi, Cantiasa juga punya peluang menjadi Pangkostrad,” ujar Selamat Ginting.

Ada pun Mayjen Teguh Pudjo, lanjut Ginting, memang belum pernah bertugas di Kostrad. Namun bukan berarti dia tidak punya peluang. Jenderal Dudung Abdurachman, misalnya, belum pernah tugas di Kostrad, namun bisa menjadi Pangkostrad. Begitu juga dengan sejumlah pangkostrad lainnya.

“Teguh Pudjo adalah perwira spesialis intelijen tempur. Ia pernah menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infaneri serta Komandan Pusat Penerbang Angkatan Darat. Ia tetap punya pelaung menjadi Pangkostrad.”

Koneksi Presiden Jokowi

Selamat Ginting mengungkapkan, kelompok ketiga adalah jenderal yang terkoneksi dengan Presiden Jokowi karena pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Jokowi. Mereka adalah Mayjen Agus Subiyanto (54,5 tahun) dan Mayjen Maruli Simanjuntak (52 tahun).

Agus Subiyanto, abituren Akmil 1991 dari Infanteri Kopassus, pertama kali terkoneksi dengan Jokowi, saat ia menjadi Komandan Kodim di Solo, Jawa Tengah pada 2009-2011. Saat itu Jokowi masih sebagai Walikota Solo. Ia kembali terkoneksi dengan Jokowi sebagai Komandan Paspampres pada 2020-2021. Kini ia menjadi Panglima Kodam Siliwangi di Jawa Barat.

Agus Subiyanto pernah tugas di Kostrad pada 2011 sebagai Wakil Asisten Operasi Divisi Infanteri 2/Kostrad. Di Kopassus, antara lain pernah menjadi Komandan Batalyon 22 Grup 2 Kopassus dan Kepala Penerangan Kopassus.

“Ia masih tergolong lulusan muda, yakni abituren Akmil 1991 bersama Mayjen Teguh Pudjo. Peluang Mayjen Agus Subiyanto besar, karena dia darah biru istana. Presiden Jokowi tentu berkepentingan Panglima Kostrad adalah orang yang dikenalnya dengan baik,” ungkap Ginting.

Sedangkan Mayjen Maruli Simanjuntak merupakan calon Pangkostrad paling muda. Abituren Akmil 1992 dari Korps Infanteri Kopassus ini pernah menjadi Komandan Detasemen Tempur Cakra pada 2002. Detasemen ini merupakan gabungan Kopassus dan Kostrad. Selebihnya, Maruli lama bertugas di Kopassus. Antara lain sebagai Danyon 21 Grup 2/Sandi Yudha (2008-2009), Komandan Sekolah Komando Pusdikpassus (2009-2010), Wakil Komandan Grup 1/Para Komando (2010-2013), Komandan Grup 2/Sandi Yudha (2013-2014), serta Asisten Operasi Danjen Kopassus (2014).

Ia tergolong perwira tinggi yang paling lama terkoneksi dengan Presiden Jokowi. Bisa dilihat dari sejunlah jabatan yang harus dekat dengan keluarga Jokowi. Antara lain sebagai Komandan Grup A Paspampres (2014-2016), Komandan Korem di Solo (2016-2017), Wakil Komandan Paspampres pada 2017-2018. Selain itu Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) IV/Diponegoro (2018), serta Komandan Paspampres (2018-2020).

“Kini Maruli menjadi Panglima Kodam Udayana sejak November 2020. Dari track record terkoneksi dengan Presiden Jokowi, maka Mayjen Maruli darah biru sekali. Dia calon paling favorit dan paling popular untuk menjadi Pangkostrad dibandingkan calon lain,” ungkap Ginting.

Strategis

Sementara kelompok keempat, bukan kelompok yang diprediksi untuk menjadi pangkostrad. Mereka ini adalah para panglima Kodam maupun mantan panglima Kodam, khususnya dari Korps Infanteri. Dalam sejarah Kostrad, seluruh panglimanya berasal dari Korps Infanteri.  

Antara lain Mayjen Muhammad Nur Rahmad, dan Mayjen Ainurrahman. Keduanya abituren Akmil 1988-A. Saat ini Mayjen Nur Rahmad sebagai Kepala Staf Kostrad. Sebelumnya menjadi Panglima Kodam Tanjungpura (2019-2021), serta Asisten Pengamanan KSAD (2017-2019).

Sedangkan Kepala Staf Kostrad sebelumnya, yakni Mayjen Ainurrahman juga pernah menjadi Panglima Divif 1 Kostrad. Kini sebagai Asisten Operasi KSAD. Sayangnya, Ainur belum pernah menjadi Panglima Kodam.

Siapa pun Presidennya, tentu sangat berkepentingan dengan Panglima Kostrad. Kostrad merupakan satuan militer terbesar di TNI.  Kostrad sebagai komando utama TNI merupakan satuan pemukul strategis. Memiliki sekitar 40-an batalyon tempur, bantuan tempur, dan bantuan administrasi. 


/selamatgintingofficial

24 November 2021

Separatisme di Bumi Papua Domain Militer

Foto: Liputan di Distrik Citak, Mitak
Kab. Mappi, Papua 2013

Dalam delapan bulan terakhir, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua gencar melakukan aksi penyerangan di sejumlah wilayah secara masif. Mereka kerap menyatakan perang terhadap militer Indonesia. Eskalasi yang kian memuncak sampai membuat pemerintah Indonesia memberikan cap kelompok dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sebagai teroris pada 29 April 2021 lalu.

Istilah KKB merupakan sebutan aparat terhadap kelompok militan OPM yang melakukan gerakan dan perlawanan separatis dengan membawa senjata. Terbaru pada Sabtu (20 November 2021 lalu. Seorang prajurit dari satuan Koramil persiapan Suru-Suru di Kabupaten Yahukimo, Papua, gugur setelah diserang KKB. Anggota TNI tersebut adalah Sertu Ari Baskoro. Satu anggota TNI yang terluka dalam penyerangan tersebut yakni, Kapten (Infanteri) Arviandi S.

Paling heboh pada akhir tahun 2018 lalu, menewaskan 31 jiwa Karyawan dan Pekerja PT. Istaka Karya yang sedang membangun Jembatan di Kabupaten Nduga. Termasuk gugurnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Mayjen TNI (Anumerta), I Gusti Putu Danny Nugraha Karya di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Ahad (25 April 2021) lalu. Termasuk sejumlah peristiwa penyanderaan yang dilakukan KKB terhadap masyarakat, terutama masyarakat pendatang.

Sebelumnya pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018 di Papua dan Papua Barat, rombongan petugas penyelenggara Pilkada ditembaki saat berada di pesawat yang akan terbang dari Bandara Keneam, Kabupaten Nduga dan saat berada di perahu motor. Namun, lagu-lagi, semua pelakunya disederhanakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata. Tuujuannya juga ‘di-politisasi’, hanya untuk mengganggu penyelenggaraan Pilkada.

Padahal sungguh naif, jika nyaris tidak ada yang memahami bahwa pelakunya adalah Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua Merdeka. Tujuannya apalagi kalau bukan disintegrasi atau memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Berarti mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara. Bukan hanya kekuatannya yang semakin berkembang, tetapi juga akibat keterbelakangan dan homogenitas penduduk di kedua provinsi.

Jangan lupa, sesungguhnya mereka juga telah diistimewakan dengan mendapat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta digelontorkan dana otsus (otonomi khusus) yang sangat besar. Termasuk menerima perlakuan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang sama dengan daerah lain. Juga adanya percepatan pembangunan infrastruktur. Terakhir pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) dengan pembangunan stadion dan infrastruktur olahraga lainnya.

Simak video "SEPARATIS DI BUMI PAPUA DOMAIN MILITER"


Amanat Konstitusi

Aksi ofensif gerakan separatisme di Papua, selalu diakhiri dengan melarikan diri ke hutan maupun gunung. Ini merupakan taktik dan teknik perang gerilya, sehingga sulit dikejar oleh aparat keamanan. Belum lagi jika mereka mencairkan diri dalam masyarakat di kampung-kampung atau di daerah basis perlawanan mereka. Karena itulah merupakan suatu kesalahan fatal, jika mereka hanya dikategorikan sebagai kelompok kriminal bersenjata.

Sudah jelas sesungguhnya mereka adalah kelompok bersenjata dari gerakan separatis. Gerakan separatisme di seluruh dunia, tujuannya satu memisahkan diri dan merupakan ancaman konsepsional yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara.

Kasus terakhir yang menewaskan prajurit Koramil, Sabtu (20/11/2021) lalu, semestinya dapat dijadikan sebagai momentum bagi Panglima TNI yang baru Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, Jenderal Dudung Abdurachman. Termasuk seluruh elemen bangsa dan orang asli Papua. Hal ini penting, agar kita semua memiliki satu kesamaan sikap dan semangat untuk memerangi gerakan separatism sampai ke akar-akarnya. Tidak boleh lagi ada pro-kontra atau bahkan berseberangan. Jangan sampai pula akan menimbulkan stigma sebagai pembela gerakan separatisme.

Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua/Papua Barat, bukan hanya melakukan aksi ofensif berupa Gangguan Keamanan Bersenjata (GPK) saja. Melainkan juga membentuk kekuatan pasukan melalui pendidikan militer dan membangun daerah basis atau pangkal perlawanan. Seperti lazimnya gerakan separatism di dunia, umumnya terdiri beberapa kelompok atau front perjuangan.

Jadi, selain kelompok atau front bersenjata, masih ada front politik, baik di dalam maupun luar negeri. Tugasnya melakukan rekruitmen kader, pembentukan opini dan kegiatan diplomasi dengan mendirikan perwakilan di luar negeri. Ada pula front logistik melalui aksi kejahatan atau kriminal. Terakhir front psikologis bertugas melakukan aksi teror dan gerakan clandestein. Sehingga, ancaman gerakan separatisme di Bumi Papua tidak selalu bersifat militer saja. Melainkan juga bersifat non-militer, bahkan ancaman nir-militer.

Berdasarkan amanat konstitusi, pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI terdiri dari TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU, sebagai alat negara bertugas untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sehingga semua hakekat ancaman yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara adalah bidang tugas, wewenang dan tanggungjawab atau domain TNI.

Oleh karena itulah sebagai Pejuang Prajurit Saptamarga, tidak sepatutnya TNI lepas tangan dan menghianati amanat konstitusi. Artinya, TNI juga tidak boleh menyerahkan penanganan ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab (domain) Polri. Justru ini adalah jelas-jelas sebagai domain TNI.

Jangan sampai hanya karena kesalahannya di era Orde Baru, kemudian TNI menurut saja dengan irama gendang LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau pihak asing. Mereka gencar dan sistematik menuntut agar TNI mengurangi kekuatan pasukan di daerah-daerah. Sehingga hanya tinggal satuan organik Kodam di Papua maupun papua Barat saja.

Tujuan agar TNI mengurangi pasukan di Papua maupun Papua Barat, tentu saja supaya gerakan separatisme ini menjadi lebih leluasa, tanpa ada gangguan dalam melakukan gerakan bawah tanah (clandestein). Sehingga mereka bisa lebih bebas membangun kekuatan. TNI juga ditakut-takuti agar tidak melakukan operasi apapun, agar tidak melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Jadi ini jelas upaya untuk menjatuhkan moral TNI.

Di Papua maupun Papua Barat hanya mengandalkan pasukan Batalyon Infanteri (Yonif), Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) maupun Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) saja. Di Papua hanya ada empat Yonif dan tiga Denzipur ditambah satu Detasemen kavaleri (Denkav). Mestinya tiga Denzipur ini ditingkatkan menjadi tiga Yonzipur. Sehingga bisa terbentuk Resimen Zipur. Untuk mendukung Brigade Infanteri di Papua. Sedangkan di Papua Barat, hanya ada tiga Yonif dan satu Yonzipur saja.

Jelas kekuatan ini kurang jika untuk menghadapi perang gerilya oleh Gerakan separatisme. Perlu penambahan pasukan-pasukan dari Kostrad maupun Raider Kodam untuk mengepung tentara separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sementara pasukan khusus memang bertugas secara rahasia masuk ke daerah musuh.

Strategi

Menghadapi ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab TNI, walau tidak selalu bersifat militer atau operasi tempur. Maka kebijakan dan strategi penaggulangannya, jangan membuat Papua dan papua Barat sebagai DOM (Daerah Operasi Militer). Jika dengan kebijakan DOM, maka tindakannya akan bersifat represif. Di sini TNI dapat terprovokasi melakukan tindakan di luar batas kepatutan sebagai pelanggaran HAM berat.

Oleh karena itu, dalam menghadapi aksi ofensif gerakan separatisme yang bersifat non-tempur, maka kebijakan dan strateginya dengan melakukan tindakan yang bersifat pencegahan (preventif), dan penangkalan (deterence). Misalnya dengan mendayagunakan seluruh personil dan peralatan Zeni, seperti buldozer, escafator, pailloder, dump-truk, penjernih air, alat pertukangan dll. Melalui kegiatan operasi Bhakti TNI untuk membantu pemerintah daerah yang telah menerima dana Otsus.

Dalam mempercepat jalannya roda pembangunan yang harus dilakukan TNI, di antaranya: Pertama; membangun infrastruktur kewilayahan seperti jalan dan jembatan dari kampung ke kampung serta membangun rumah maupun permukiman. Kedua; menyukseskan program pencetakan lahan pertanian atau perkebunan di sekitar kampung-kampung sambal membangun bendungan, dan saluran irigasi.

Ketiga; menggelar program TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa) dan kegiatan sejenis untuk membatasi ruang gerak front bersenjata dalam melakukan manuver, bersembunyi dan membangun daerah basis perlawanan.

Keempat, membantu penambahan jumlah penduduk dan jumlah desa. Sehingga wilayah tersebut menjadi sentra pengembangan wilayah agro. Antara lain melalui program tranmigrasi, termasuk Transmigrasi Angkatan Darat (Transad), Transmigrasi Angkatan Laut (Transal), Transmigrasi Angkatan Udara (Transau) maupun program swa-sembada pangan dll. Hal ini penting agar hutan dan gunung tidak lagi dikuasai gerakan separatis. Kemudian terwujud pula peningkatan heterogenitas penduduk, untuk memperkokoh wawasan kebangsaan Indonesia.

Kelima; mendayagunakan pasukan Kostrad maupun Kodam yang sedang bertugas dalam operasi pengamanan perbatasan, melalui program pembangunan Desa-Saptamarga. Sekaligus berfungsi sebagai titik kuat dari pembangunan desa-desa yang mengelilinginya. Apalagi dalam kasus terakhir pada sabtu (20/11/2021) lalu diungkap bahwa senjata-senjata OPM diperoleh dari negara Papua Nugini. Sehingga wilayah perbatasan harus semakin diperkuat lagi dengan pasukan TNI.

/selamatgintingofficial

17 November 2021

Tantangan Jenderal Dudung Sebagai KSAD Baru

Foto: Dokumen Kostrad

Selamat Ginting, pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta. 

Spekulasi tentang siapa yang akan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) akhirnya terjawab. Dudung Abdurachman (DAR) menjadi pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menduduki posisi KSAD. Ia menggantikan Jenderal Andika Perkasa, KSAD sebelumnya. Andika menjadi Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto.

Jenderal DAR abituren (lulusan) Akademi Militer (Akmil) 1988-B memang sejak awal menjadi favorit kuat untuk menjadi KSAD dibandingkan dengan pesaingnya, seperti Letjen Teguh Arief Indratmoko (1988-A), Letjen Arif Rahman (1988-B), dan Letjen Eko Margiyono (1989). Diperkirakan empat nama inilah yang disorongkan Mabes TNI kepada Presiden untuk dipilih menjadi KSAD.  

Jadi keputusan Presiden Jokowi sesungguhnya bukan kejutan bahkan sudah diperkirakan sejak awal. Apalagi pada era reformasi, dari 12 KSAD sebelumnya, separuhnya berasal dari Panglima Kostrad (enam orang), kemudian sisanya dari Wakil KSAD (tiga orang), Sekjen Kemhan (satu orang), Sesmenko Polhukam (satu orang), dan Kepala BAIS TNI (satu orang). Sehingga propabilitas Pangkostrad untuk menjadi KSAD lebih besar. 

DAR memenuhi persyaratan untuk menduduki jabatan KSAD. Ia terbilang cukup lama bertugas di satuan lapangan (batalyon infanteri) sekitar 13 tahun, sejak 1989. Ia kenyang menjalani berbagai operasi militer, baik saat menjadi komandan peleton, kepala seksi operasi, komandan kompi, wakil komandan batalyon hingga menjadi komandan batalyon di Lampung. 

Ia juga pernah menjadi komandan Kodim, dua kali.  Di Lubuk Linggau dan Palembang, Sumatra Selatan. DAR kemudian menjadi perwira pembantu madya di Mabesad. Lalu menjadi Asisten Personel Kasdam Wirabuana. Setelah itu Komandan Resimen Induk Kodam Sriwijaya. 

Pada jabatan perwira tinggi, DAR menduduki jabatan beragam, mulai Wakil Gubernur Akmil (2015-2016). Namun sempat parkir selama satu tahunan (2016-2017) sebagai perwira tinggi khusus KSAD. Akhirnya, ia kembali mendapat jabatan sebagai Wakil Asisten Teritorial KSAD (2017-2018). Setelah itu menjadi Gubernur Akmil (2018-2020) dengan pangkat mayor jenderal. Dari situlah ia kemudian dipercaya menjadi Panglima Kodam Jayakarta selama sembilan bulan hingga Mei 2021.

Promosi kembali menjadi Panglima Kostrad dengan pangkat letnan jenderal. Ia menduduki jabatan Pangkostrad selama enam bulan (Mei 2021-November 2021). Hingga pada Rabu 17 November 2021, ia mendapatkan surat keputusan presiden menjadi KSAD.

Lalu, apa catatan dan tantangan terhadap KSAD Jenderal DAR?

Pertama, secara legal-formal DAR telah menjadi KSAD. Selayaknya semua pihak dapat menerima keputusan Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU. Prajurit TNI-AD tentu wajib mendukungnya sepanjang DAR berada dalam garis Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Hal ini penting agar sebagai KSAD baru, DAR dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal demi kepentingan TNI, bangsa, dan negara. 

Kedua, sesuai dengan fungsi utama TNI AD, sebagai KSAD DAR bertugas melakukan pembinaan kesiapan tempur satuan jajarannya serta pembinaan teritorial. Wajib hukumnya KSAD menguasai pembinaan satuan meliputi aspek doktrin, personel, materiil, perlengkapan, keuangan, dan lain-lain. 

Ketiga, DAR sebagai KSAD menjadi pemimpin terdepan dalam pembinaan personel. Ia harus bisa membentuk, memelihara, dan meningkatkan jati diri prajurit sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara professional. 

Keempat, DAR sebagai KSAD harus bisa mendekatkan diri dengan rakyat apa pun identitas rakyat tersebut. Ini sebagai wujud TNI adalah tentara rakyat. Sehingga prajurit TNI-AD bersama-sama rakyat bekerja untuk kepentingan rakyat. 

Kelima, sebagai tentara nasional, DAR harus berorientasi pada tugas negara, tidak boleh partisan, apalagi terpancing masuk dalam kancah politik praktis. 

Keenam, sebagai tentara professional, DAR harus menguasai manajemen pembinaan doktrin, pendidikan, dan latihan. Termasuk uji ketrampilan siap tempur.

Ketujuh, sebagai KSAD DAR harus menguasai konsep pertahanan di era industry 4.0. Memahami dunia ketahanan dan pertahanan global dan penguasaan dunia siber yang mumpuni.


/selamatgintingofficial

13 November 2021

Membasuh Darah Jenderal Yani (Bagian 4)

Pertemuan dengan Keluarga Besar Jenderal A. Yani
di Museum Sasmita Loka
Foto: dokumen pribadi

“Cukup Bapakmu saja yang menjadi tumbal negara. Jadi anak-anak jangan ada lagi yang jadi tentara,” begitulah pesan yang diungkapkan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo kepada dua anak lelakinya, Untung Mufreni Yani (Untung), dan Irawan Sura Edi Yani (Edi).

Yayuk merupakan ibu delapan anak dari perkawinannya dengan pahlawan revolusi Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani. Yani adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1962-1965. Saat ini jabatan tersebut disebut Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Untung (67 tahun) merupakan anak ketujuh dan Edi (63 tahun) anak bungsu pasangan tersebut. Dalam peristiwa 1 Oktober 1965, Edi yang diminta pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno untuk membangunkan ayahnya sekitar pukul 04.00-an WIB. Ia tidak tahu kalau pasukan itu justru akan menculik dan membunuh ayahnya.

Anak-anak Yani tidak sampai hati melihat ibunya membasuh wajahnya dengan darah Jenderal Yani. Darahnya menggumpal di lantai dekat ruangan makan keluarga akibat tembakan membabi buta dari pasukan Tjakrabirawa.

Pesan dari ibunda dikemukakan oleh Untung kepada penulis dalam pertemuan keluarga besar Jenderal A Yani di Museum Sasmita Loka Jenderal A Yani, Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/11/2021). 

“Kami sebenarnya ingin menjadi tentara seperti Bapak (Jenderal A Yani), tapi kami tidak ingin membantah pesan dari Ibu,” ujar Edi. “Takut kualat membantah petuah Ibu,” kata Untung, melengkapi.

Batal Jadi Tentara

Bukan hanya Untung dan Edi saja yang hadir, melainkan empat kakaknya. Anak pertama; Indriyah Ruliati Yani (Ruli), anak ketiga; Amelia Yani (Amel), anak kelima; Widna Ani Yani (Nanik), dan anak keenam; Reni Ina Yuniati (Yuni). Sementara anak kedua; Herliah Emmy Yani (Emmi) wafat tahun 2007, dan anak keempat; Elina Elastria (Elina/Juwita) berhalangan hadir. 

Bahkan lanjut Untung, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang merupakan sahabat ayahnya, beberapa kali menawarkan dirinya dan Edi untuk mendaftar ke Akademi Militer (Akmil). “Om Sarwo akan memberikan rekomendasi, tapi kami tetap ingat petuah Ibu,” ungkap Untung.

Nanik (70 tahun) menceritakan almarhum ayahnya kerap menceritakan tentang para taruna Akmil di Magelang maupun Bandung yang gagah, pintar, dan calon patriot bangsa. Misalnya saat keluarga mengunjungi Jawa Tengah, yang tidak pernah dilupakan adalah cerita tentang taruna di Magelang. 

“Sepertinya bapak ingin anak perempuannya menikah dengan tentara lulusan Akmil,” ujar Nanik sambil tersenyum, penuh arti. Namun, lanjut Nanik, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merenggut nyawa ayahnya (Jenderal A Yani), ibunya meminta agar anak-anaknya menjauh dari kehidupan tentara. “Kalau perlu tidak ada yang menikah dengan taruna, walau lulusan Akmil sekalipun,” ungkap Nanik.

Namun, takdir berkata lain. Dua anak perempuan pasangan Jenderal Yani dan Yayuk Riliyah, ternyata mendapatkan jodoh tentara lulusan Akmil. Anak pertama; Ruli suaminya adalah Brigadir Jenderal TNI (Purn) Soedarsono, lulusan Akmil 1965 dari Korps Infanteri. Satu kelas dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar. 

“Kalau saya sudah kepalang tanggung. Karena waktu bapak masih hidup, calon suami saya masih taruna dan sudah pernah ke rumah. Juga sudah berkenalan dengan bapak dan ibu saya. Bahkan pada 30 September 1965, Mas Soedarsono sempat menemui Bapak,” ujar Ruli (76 tahun), mengenang masa lalunya. 

Brigjen Soedarsono terakhir berdinas militer di Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang kini menjadi BIN. Ia juga sempat menjadi anggota DPR RI setelaj pensiun dari militer.

Lain lagi cerita Nanik. Suaminya adalah Mayor Jenderal TNI (Purn) Judi Magio Jusuf. Lulusan Akmil 1973 dari Korps Infanteri. Teman satu kelas dengan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono. Mayjen Judi M Jusuf terakhir dalam dinas militer sebagai Asisten Pengamanan KSAD. Jadi dua menantu Jenderal Yani memiliki keahlian di bidang intelijen. 

“Saya terus terang ingat pesan Ibu, jangan menikah dengan tentara. Tapi Mas Judi yang desak terus. Akhirnya saya menyerah sambil minta maaf kepada Ibu,” ungkap Naik yang disambut gelak tawa saudara-saudaranya. 

Sahabat Sarwo

Yuni (68 tahun) juga menceritakan bagaimana keluarganya tersobsesi kehidupan Angkatan Darat dengan segala suka dan dukanya. Setelah ayahnya gugur, banyak anggota masyarakat silih berganti mengunjungi rumah duka selama satu tahun. 

“Om Sarwo (Sarwo Edhie Wibowo) juga kerap datang mengunjungi kami. Datang dikawal panser. Menanyakan keadaan kami. Ibu selama sekitar satu tahun terus berduka dan lebih banyak berada di dalam kamar,” kenang Yuni.

Sarwo Edhie merupakan teman satu kelas dengan Yani waktu pendidikan Shodanco (komandan kompi) bagi tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor, Oktober 1943. Yani sebelumnya sempat menjadi Sersan pada Dinas Topografi KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger), Belanda dan berdinas di Bandung. Sempat bertempur dengan Jepang di Ciater, sebagai pengalaman pertamanya dalam perang. 

Ia sempat meringkuk beberapa bulan di kamp tawanan perang Jepang, setelah tentara Negeri Matahari Terbit itu menundukkan tentara Belanda di Indonesia, pada 1942. Para tentara Belanda dan pribumi yang menjadi tentara KNIL pun menjadi tawanan perang. Sampai akhirnya dibebaskan dan pemuda Yani menjadi pengangguran. 

Yani dan Sarwo sempat berada dalam batalyon yang sama. Mayor Yani sebagai Komandan Batalyon 3 Resimen Magelang. Sedangkan Kapten Sarwo Edhie sebagai komandan kompi. Resimen ini berada di bawah Divisi V yang bermarkas di Purwokerto. Panglima Divisinya adalah Kolonel R Soedirman, kelak menjadi Panglima Besar.

Yani pula yang mempromosikan Sarwo menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) walau ditentang beberapa pihak. Kelak keputusan Yani justru benar dan Sarwo menjadi komandan penumpas PKI. 

Tamu dan Trauma

Yuni menceritakan, selama sekitar satu tahun, nyaris tamu tiada henti mendatangi rumah duka. Untuk menerima kedatangan tamu, mereka membuat seragam tentara khas Angkatan Darat. “Kami minta brevet wing para (terjun payung militer) kepada Om Sarwo untuk melengkapi seragam agar terlihat lebih gagah. Om Sarwo memberikan enam wing untuk kami berenam,” ujar Yuni. 

Jika para tamu datang, keenam anak Jenderal Yani menyambut dengan rasa hormat dengan berbaris rapi. Komandannya adalah Amelia yang punya bakat memimpin. Ia juga menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang mengritisi kepemimpinan Presiden Sukarno. Dalam lubuk hatinya sesungguhnya Amelia protes terhadap negara atas gugurnya ayahandanya sebagai kusuma bangsa. 

“Dua kakak kami pada Desember 1965 melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Bonn Jerman Barat. Sekaligus untuk melupakan trauma,” ujar Amel (72 tahun). Sehingga sebagai anak ketiga, Amelia menjadi yang tertua, ia memimpin adik-adiknya. 

Belakangan, Amel juga melanjutkan pendidikan tinggi ke Inggris. Hal ini setelah mendapatkan saran dari psikolog setelah Amel juga sakit-sakitan akibat trauma tidak bisa melupakan peristiwa terbunuhnya ayahanda di depan mata anak-anaknya. Kemudian Amel bekerja untuk UNDP (United Nations Development Programme).

“Wah itu (Amelia) komandan galak memimpin adik-adiknya,” celetuk Untung, disambut gelak tawa kakak-kakaknya. “Harus galak supaya nurut semua,” jawab Amelia, tersenyum. Beruntung kedelapan anak dari Jenderal Yani mengenyam pendidikan tinggi semuanya. Awalnya di Universitas Indonesia (UI), kemudian melanjutkan ke luar negeri dan Kembali lagi ke UI. Bahasa Inggris menjadi menu wajib bagi keluarga ini. Bahkan ibunda mereka, Yayuk Ruliyah juga mengikuti kursus bahasa Inggris selama sekitar dua tahun. 

“Bapak ingin agar ibu bisa berkomunikasi dengan para istri atase pertahanan asing di Indonesia. Sehingga ibu mengikuti kursus Bahasa Inggris,” kenang Amel. Sedangkan Jenderal Yani menguasai tiga bahasa asing, Inggris, Belanda, dan Jepang.

Misi dan Hukuman

Yani Sebagai tentara, Yani pernah mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat dan Inggris selama 1,5 tahun pada 1954-1956. Usai sebagai Komandan Operasi 17 Agustus 1958-1959, Yani menjadi bintang baru militer Indonesia. Ia juga pernah menjalankan program ‘Misi Yani’ ke Eropa Timur untuk membeli alat utama sistem senjata (alutsista) pada 1960. Alutsista itu untuk persiapan merebut Irian Barat dari tangan Belanda.

Misi rahasia Brigjen Yani ke sejumlah negara, termasuk Yusgoslavia. Belakangan Yugoslavia terpecah-belah pada tahun 1991 setelah runtuhnya rezim-rezim Komunis di Eropa Timur. Kroasia, dan Slovenia memilih merdeka. Kemudian diikuti pula oleh Bosnia dan Herzegovina pada 1992. Kelak nasib mengantarkan Amelia Yani menjadi Duta Besar RI di Bosnia dan Herzegovina pada 2016-2020. 

Jika remaja Amel aktif di KAPPI sejak di SMA Santa Ursula, maka kakak-kakaknya memilih organisasi mahasiswa yang berbeda-beda. “Ruli di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan ikut resimen mahasiswa. Emmi di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia),” ungkap Amel.

Kini Ruli juga masih mengajar di Fakultas Psikologi di Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjadi) di Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Perguruan tinggi swasta (PTS) di bawah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik Angkatan Darat. PTS yang menggunakan nama ayahandanya. Ia menjadi dosen istimewa dengan usia 76 tahun namun masih energik.

Sedangkan Emmi menikah dengan pengusaha Soebronto Laras. Sepulang dari Jerman, Emmi kembali melanjutkan pendidikan di UI. Kemudian berbisnis sebagai pemegang franchise sekaligus managing director restoran ayam goreng Church 's Texas Fried Chicken. Putri kedua Jenderal Yani ini meninggal pada awal Januari 2007, karena sakit komplikasi liver dan paru-paru yang dideritanya sejak lima bulan.

Jika Ruli dan Emmi melanjutkan kuliah di Jerman, lain lagi dengan adik-adiknya. Amel, Juwita serta Yuni melanjutkan kuliah di Inggris. Sedangkan Nanik melanjutkan kuliah di Prancis. Sementara dua adiknya yang lelaki, Untung dan Edi melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat. 

Kedua anak lelaki Jenderal Yani dibantu oleh sahabat ayahnya Kolonel Benson. Teman sama-sama Yani waktu melajutkan sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Fort Leavenworth di Kansas. Benson juga sempat menjadi atase militer Amerika di Jakarta. “Kami sering berlatih bahasa Inggris walau masih ngawur-ngawuran di dalam mobil ketika mengikuti pesiar dengan bapak dan ibu ke puncak setiap Sabtu dan Minggu,” ujar Untung. 

Amel menceritakan, perjalanan ke puncak hampir dilakukan setiap pekan. Ayahnya menyetir mobil sendiri didampingi ibunya di depan, Sedangkan di belakangnya khususnya anak keenam, ketujuh, dan kedelapan. 

“Jadi Yuni, Untung dan Edi mendampingi bapak dan ibu satu mobil. Sementara yang lain berada dalam mobil lainnya berlima. Kemudian dikawal satu mobil ajudan dan pengawal serta mobil logistik,” ungkap Amel mengenang masa-masa indah bersama kedua orangtuanya.

Suatu ketika, kenang Yuni. Ia Bersama Untung dan Edi mencoba ikut-ikutan orang di kampung kawasan Cipayung, Puncak. Menghisap rokok dari daun kawung, namun tidak ada tembakaunya. Aksi ikut-ikutan itu diketahui ayahnya.

“Waduh saya dihukum harus menghisap pipa cangklong rokok tapi tanpa rokok dan tembakau, sampai bibir pegal. Itulah hukuman dari bapak agar anak-anaknya tidak merokok,” ujar Yuni. 

Akibat mengalami flu berkepanjangan, Brigjen Yani pada 1960 berhenti merokok. Karena itu ia tidak menginginkan anak-anaknya merokok sejak muda. “Hukuman dari bapak kepada anak laki-lakinya adalah menyentil telinga. Waduh sakit juga,” cerita Untung sambil terbahak-bahak.

Keenam anaknya mengakui ayahnya tidak galak. Justru ibunya yang lebih keras terhadap anak-anaknya. Mungkin Jenderal Yani menyadari jika dirinya tidak bisa selalu menemani anak-anaknya jika sedang melaksanakan tugas operasi, kunjungan kerja keliling Indonesia maupun luar negeri, serta sekolah militer di negara lain. 

Istri Jenderal Jual Sembako

Banyak yang tidak tahu bagaimana janda Achmad Yani itu harus menerima kenyataan pahit. Bukan lagi menjadi istri pejabat negara, Panglima Angkatan Darat. Ia harus menghidupi keluarganya, karena pension janda jenderal bintang empat hanya menerima sekitar Rp150 ribu, sejak akhir 1965.

“Anak-anakku…. Kalian bukan lagi anak Menteri Panglima Angkatan Darat. Kini kalian adalah anak pedagang sembako. Begitu kira-kira pesan ibuku,” kata Ruli mengenang beratnya beban hidup keluarganya.

Setiap hari sejak Senin hingga Jumat dari pagi hingga malam hari, ibunya mesti masuk pasar keluar pasar. Banting tulang untuk membiayai hidup keluarganya. Termasuk membiayai sekolah anak-anaknya. Menjual semacam bahan sembilan pokok dan barang-barang lainnya. Termasuk jual beli tanah di Kawasan Jakarta. Laba dari berdagang itu antara lain untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Mereka tidak lagi menerima fasilitas sekelas menteri dan jenderal. Semua fasilitas negara ditarik, baik rumah maupun kendaraan. Hanya menyisakan satu ajudan untuk keselamatan ibundanya. Semua sisa-sisa harta dijual agar bisa membeli rumah yang berada persis di depan rumah tempat peristiwa terbunuhnya Jenderal yani di Jalan Lembang.

“Ibu sulit melupakan rumah di Jalan Lembang ini. Karena darah bapak di lantai setelah ditembak pasukan Tjakrabirawa, langsung diusapkannya ke wajah dan tubuh ibu,” ungkap Amel.

Hidup Zig Zag

Ruli menceritakan, mungkin dia yang paling tahu bagaimana penderitaan sebagai anak kolong (tentara). Sebagai anak pertama, ia merasakan bagaimana ayahnya harus pindah ke sana kemari karena panggilan tugas. Termasuk tiba-tiba harus meninggalkan rumah dinas serta kendaraan dinas saat ayahnya harus sekolah ke Amerika dan Inggris.

“Ibuku yang biasa naik mobil dinas sebagai istri komandan, tiba-tiba harus naik sepeda membonceng kami ke sekolah dan membawakan makanan bekal untuk anak-anak di sekolah saat di Tegal.”

Begitulah pasang surut dan kehidupan zig zag begitu terasa. Tentunya yang utama kondisi setelah peristiwa G30S/PKI, Bagi Ruli dan adik-adiknya, paling menyakitkan dan tidak bisa dilupakan hingga saat ini adalah peristiwa dibunuhnya ayahanda.

Bagi keluarga besar, Jenderal Yani tentulah pahlawan luar biasa dengan segala plus minusnya sebagai manusia. Pahlawan revolusi itu mendapatkan tempat terhormat dalam panggung sejarah Indonesia. Peti jenazahnya di atas panser dikawal jenderal senior Letjen GPH Djatikusumo, KSAD pertama.

Hal ini menandakan penghormatan tertinggi TNI untuk segala bakti Yani “Een en militair” (seorang militer sampai ke tulang sumsumnya). Itulah pahlawan kusuma bangsa dari Jenar, Purworejo, Jawa Tengah. Jenderal yang memegang psinsip menolak Angkatan Kelima dan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), walau jabatan dan nyawa menjadi pertaruhannya.

/selamatgintingofficial

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...