04 July 2023

Tiga Letnan Jenderal ‘Darah Biru’ Menguak Takdir jadi KSAD

Photo: Dokumen Selamat Ginting Official
 

Tiga letnan jenderal (letjen) Angkatan Darat berpeluang besar menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menggantikan Jenderal Dudung Abdurachman, dalam waktu dekat. Ketiga letjen tersebut memiliki hubungan spesial dengan Presiden Jokowi, karena pernah bertugas di istana.

Letjen Suharyanto, Letjen Agus Subiyanto, dan Letjen Maruli Simanjuntak paling berpeluang menjadi KSAD menggantikan Jenderal Dudung Abdurachman, dalam waktu dekat ini. Mereka memiliki hubungan patron klien dengan Presiden Jokowi. 

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Suharyanto (abituren Akademi Militer 1989) pernah menjadi sekretaris militer presiden pada 6 September 2019 hingga 21 Oktober 2020.

Wakil KSAD Letjen Agus Subiyanto (abituren Akademi Militer 1991) pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden pada 18 November 2020 hingga 2 Agustus 2021.

Panglima Kostrad Letjen Maruli Simanjuntak (abituren Akademi Militer 1992) pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden pada 29 November 2018 hingga 18 November 2020. 

Dari teori patron klien, ada ikatan khusus yang bersifat dikotomis dan hierarkis antara yang lebih tinggi atau patron dalam hal ini Presiden Jokowi dan yang lebih rendah atau klien dalam hal ini para pembantunya, jenderal di istana presiden.  

Sehingga, Presiden Jokowi memiliki pengaruh dan sumberdaya manusia yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan para jenderal kepercayaannya di TNI. Hal ini berdasarkan teori James Scoot tentang interaksi patron dan klien yang melibatkan persahabatan instrumental yang memiliki penaruh kuat dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.   

Dikemukakan, dari tiga nama itu, Letjen Suharyanto paling senior, berikutnya Letjen Agus Subiyanto, dan Letjen Maruli Simanjuntak. Suharyanto dalam posisi sebagai Kepala BNPB yang statusnya setara dengan menteri kabinet, atasan langsungnya adalah Presiden Jokowi. Letjen Agus Subiyanto sebagai Wakil KSAD merupakan jabatan nomor dua di Markas Besar Angkatan Darat.

Sedangkan Letjen Maruli Panjaitan sebagai Panglima Kostrad, peluangnya juga besar. Sebab empat KSAD terakhir, semuanya berasal dari Panglima Kostrad, mulai dari Jenderal Gatot Nurmantyo, Jenderal Mulyono, Jenderal Andika Perkasa, dan Jenderal Dudung Abduracman.

Dari teori patron klien, mungkin Letjen Maruli paling diuntungkan, sebab ayah mertuanya adalah menteri senior paling dipercaya Presiden Jokowi, yakni Jenderal (Purn) Luhut Bisar Panjaitan. Ini yang tidak dimiliki oleh Suharyanto maupun Agus Subiyanto.

Selain ketiga letjen tersebut, masih ada beberapa letjen yang dari segi usia masih memungkinkan untuk menjadi kandidat KSAD. Mereka adalah Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Letjen Rudianto, Komandan Kodiklat TNI Letjen Eko Margiyono, dan Komandan Pusterad Letjen Teguh Muji Angkasa (ketiganya abituren Akmil 1989).

Selain itu, Koordinator Staf Ahli KSAD Letjen I Nyoman Cantiasa (abituren Akmil 1990), Sekretaris Menko Polhukam Letjen Teguh Pudjo Rumekso (abituren Akmil 1991), dan Irjenad Letjen Richard M Tampubolon (abituren Akmil 1992).

Di luar Suharyanto, Agus Subiyanto, dan Maruli Simanjuntak, peluangnya tipis.


/sgo

02 July 2023

Netralitas Polri Jangan di Panggung Depan Saja

HUT Bhayangkara ke-77
Photo: jatim.viva.co.id

Hari Bhayangkara 1 Juli 2023 mestinya dijadikan momentum bagi Polri untuk bersikap netral dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2024. Netral jangan hanya di panggung depan saja, melainkan juga di panggung belakang sesuai realitas politik.

Berulang kali pimpinan Polri menyatakan akan bersikap netral dalam Pemilu. Pernyataan itu jangan hanya di panggung depan untuk konsumsi pers dan publik. Tetapi juga harus di panggung belakang, sesuai realitas politik.

Menurut pandangan ilmuwan sosial dari Kanada, Erving Goffman dalam konsep dramaturgi politik, sifat politik bagaikan panggung teater. Ada panggung depan (front stage) dan ada pula panggung belakang (back stage).

Panggung depan adalah realitas yang telah disortir dan dipertunjukkan kepada audiens, baik media massa dan publik. Sementara panggung belakang justru realitas politik yang sesungguhnya. Jadi netralitas Polri itu jangan seperti panggung sandiwara saja. Harus dibuktikan hingga panggung belakang.

Presiden Jokowi dalam pidato Hari Bhayangkara 2023 mengingatkan Polri, saat ini masyarakat ikut mengawasi kinerja Polri sehingga gerak-geriknya tidak akan bisa ditutupi. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri yang berulang tahun ke 77 merupakan hal yang penting.

Kepala Negara juga menyampaikan apresiasi terhadap Polri yang berhasil meningkatkan kepercayaan dari masyarakat, dari sebelumnya 60 persen menjadi di atas 70 persen.

Kepercayaan masyarakat itu harus dibuktikan Polri, khususnya dalam kontestasi pemilu 2024 yang sudah berjalan tahapannya sejak Juni 2022 lalu. Netral itu jangan hanya dibibir saja, tapi juga di hati setiap insan Polri sebagai aparatur negara.


Konsolidasi Demokrasi

Netralitas Polri dalam Pemilu merupakan salah satu syarat terciptanya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Parlemen, media massa, akademisi, dan masyarakat harus ikut mengawasi Polri agar dapat menjadi aktor negara yang profesional.

Haram hukumnya bagi Polri dan juga TNI terlibat dalam politik praktis, termasuk saat berlangsungnya Pemilu.

Dikemukakan, untuk mengetahui kualitas konsolidasi demokrasi, antara lain bisa dilihat dari kebijakan, perilaku insan Polri, baik di panggung depan maupun panggung belakang tentang sikap netralitasnya dalam pemilu. Hal ini, karena Polri mempunyai tugas dalam keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Mereka istilahnya wasit yang menjaga keamanan berlangsungnya pemilu. Jika penjaga keamanannya tidak netral, maka turut menghancurkan citra bangsa sebagai negara demokratis. Badan pengawas pemilu (Bawaslu) juga bisa memberikan teguran kepada Polri jika diduga tidak netral dalam pemilu.

Dia mengingatkan Polri, karena memiliki aparat bintara pembina (babin) kamtibmas hingga desa-desa, sehingga diharapkan bisa mendeteksi apabila ada potensi terjadinya gangguan terhadap penyelenggaraan pemilu.

Apalagi, Polri sudah memiliki regulasi yang mengatur netralitas personelnya. Misalnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal 28 ayat (1) berbunyi: Polri bersikap netral dalam kehidupan politik tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. 

Pimpinan Polri sudah beberapa kali mengeluarkan telegram arahan netralitas saat pemilu. Tapi jangan hanya di panggung depan saja, dalam aplikasinya juga harus netral. Jangan ikut cawe-cawe negatif dalam pemilu, pileg, pilkada, maupun pilpres.

Contohnya, jangan cawe-cawe seperti ikut-ikutan menyuruh atau memasang baliho, spanduk tanda partai politik dan caleg, atau calon presiden dan wakil presiden. Termasuk menghadiri undangan deklarasi caleg, capres/cawapres, dan sejenisnya.


/sgo

30 June 2023

Motif Politik RK dalam Pembangunan Patung Sukarno

Photo: Groundbreaking Patung Sukarno
cnnindonesia.com
 

Rencana pembangunan patung tertinggi Bung Karno di Indonesia yang digagas Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK), tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa politik dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sekaligus ekspresi simbolis terhadap sang tokoh proklamator. 

Tidak ada yang kebetulan dalam politik, pasti ada relasi kuasa yang dilakukan RK dalam pembangunan patung seorang tokoh, sekaligus ada kuasa simbolik politik.

Seperti diketahui, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menghadiri groundbreaking pembangunan Monumen Plaza Dr (HC) Sukarno di kompleks GOR Saparua Bandung, Rabu (28/6). Patung tersebut diklaim menjadi patung Sukarno paling tinggi di Indonesia. Tingginya 22,3 meter dan biayanya sekitar Rp15 miliar. 

Pembangunan patung di ruang publik merupakan wujud ekspresi simbolis untuk menokohkan seseorang. Ini merupakan bagian dari upaya meneguhkan kekuasaan personal maupun kelompok mengatasnamakan kepentingan publik.

Keberadaan patung Sukarno, misalnya menjadi bukti bagaimana sistem simbolik dilakukan untuk melegitimasi kekuasaan oleh otoritas penguasa.

Dalam suasana tahapan pemilihan umum yang sudah berlangsung sejak pertengahan 2022, wajar saja jika peristiwa itu dikaitkan motif politik dengan relasi kuasa politik yang sedang dibangun RK. Apalagi selama ini PDIP belum bisa memenangkan pemilu di Jawa Barat. PDIP kalah dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). PDIP unggul tipis dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Apakah ini upaya RK untuk mendekat kepada PDIP jelang pilpres, walau dia kini sudah menjadi kader Partai Golongan Karya (Golkar)? Jawabannya bisa iya bisa juga tidak. Tapi ini bukan sebuah kebetulan, melainkan sudah dirancang.

Apalagi, nama RK selalu masuk radar survei urutan lima besar sebagai bakal calon wakil presiden. RK bersaing ketat dengan nama-nama seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Khofifah Indar Parawansa. 

Bakal calon presiden dari PDIP Ganjar Pranowo belum punya pasangan wakil presiden, jadi wajar saja pembangunan patung Bung Karno dikaitkan dengan motif politik.

Praktik kuasa simbolik melalui pembuatan patung seorang tokoh melalui sistem bahasa visual dan simbolisasi, menunjukkan bagaimana kekuasaan menyelinap di bawah ruang sadar publik.

Masyarakat, bisa saja tidak menyadari bagaimana sistem kekuasan bersembunyi di balik karya-karya patung di ruang publik. Dalihnya bisa bermacam-macam, seperti pewarisan nasionalisme, penghormatan kepada pahlawan, maupun peneguhan ideologisasi. 

Bukankah Bandung juga punya nilai sejarah bagi Sukarno, karena ia mengenyam pendidikan di Insitut Teknologi Bandung dan pernah ditahan pemerintah colonial Belanda di kota kembang ini. 

Dalam kurun waktu pemerintahan Presiden Jokowi, terjadi pembangunan patung-patung Sukarno di sejumlah tempat atau instansi pemerintah maupun negara. Misalnya di Akademi Militer Magelang yang digagas Wakil Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Muhammad Herindra dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman, saat masih menjadi Gubernur Akmil. Kemudian di Kementerian Pertahanan dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

Maka ada pihak-pihak yang menghubungkan pembangunan patung itu turut melambungkan nama Herindra dan Dudung Abdurachman menjadi petinggi militer. Itu sah-sah saja, meskipun bukan satu faktor itu saja yang melambungkan nama mereka.

Termasuk, posisi Menhan Prabowo Subianto yang aman tanpa gangguan serta Letjen (Purn) Agus Wijoyo yang enam tahun menjadi  Gubernur Lemhannas pada 2016-2022.

Semoga publik tidak disuguhi simbol tanpa makna dan semoga pula pembangunan patung-patung itu sesuai dengan kebutuhan publik, bukan sekadar niatan politik praktis seseorang untuk meraih kedudukan.


/sgo

29 June 2023

Prabowo Harus Mundur Sebagai Menhan Jika Maju Dalam Pilpres

Photo: republika.co.id


Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto harus mundur dari kabinet jika maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu sudah dideklarasikan akan maju sebagai bakal calon presiden (capres) oleh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Prabowo dan para menteri serta pejabat setingkat menteri wajib mundur dari kabinet jika ingin mengikuti kontestasi pemilihan presiden (pilpres). Setidaknya saat partai politik atau gabungan partai politik mendaftarkan namanya menjadi bakal capres maupun wapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Prabowo sebagai pejabat negara harus fokus menjalankan tugasnya, sehingga wajib mundur dari posisinya sebagai Menhan jika ingin mengikuti kontestasi pilpres. Tidak mungkin bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara jika ada keinginan menjadi presiden maupun wakil presiden. Begitu juga pejabat negara lainnya yang hendak mengikuti pemilihan legislatif, wajib mundur tidak bisa ditawar-tawar lagi. 

Mereka, harus menyertakan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali. Surat pengunduran diri sebagai pejabat negara disampaikan partai politik atau gabungan partai politik kepada KPU sebagai dokumen, persyaratan capres maupun cawapres, seperti amanat Pasal 170 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Otomatis ketua umum Partai Gerindra Prabowo dan menteri lainnya akan kehilangan kursinya di kabinet apabila maju dalam kontestasi pilpres. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 170 ayat (2) dari UU tentang Pemilu. 

Memang ada pengecualian jabatan yang tidak mengharuskan mundur jika mengikuti kontestasi pilpres. Jabatan itu adalah presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR/DPR/DPD. Selain itu juga gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota, seperti amanat Pasal 170 ayat (1) UU tentang Pemilu. 

Mengenai posisi pengganti menteri, menjadi kewenangan presiden yang memiliki hak prerogratif. Terserah hendak mengganti orang dari partai politik yang sama atau dari kalangan profesional. 

Ada nama-nama menteri yang berpotensi akan maju dalam pilres 2024, seperti Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Airlangga Hartarto dari Partai Golkar, Sandiaga Uni dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Termasuk Erick Thohir yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bisa maju dalam kontestasi pilpres. 

Selain pejabat negara dari bidang eksekutif dan legislatif, UU juga mengamanatkan pejabat negara lainnya mesti mundur jika akan maju dalam pilpres. Mereka adalah ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Termasuk kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, seperti duta besar luar biasa dan berkuasa penuh.

Untuk kepala daerah, seperti Ganjar Pranowo, bakal capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), harus meminta izin terlebih dulu kepada presiden untuk maju dalam pilpres.

Bagaimana jika presiden tidak memberikan izin kepala daerah? Ini menarik untuk diulas. Apabila sampai 15 hari presiden tidak memberikan izin, maka undang-undang menganggap izin dianggap sudah diberikan. Jadi presiden tidak boleh cawe-cawe menghalang-halangi kepala daerah yang akan maju dalam pilpres.

/sgo

Capres Tolak Mundur Sebagai Pejabat Negara, Timbulkan Konflik Kepentingan

Photos: istockphoto.com

Jika pejabat negara akan maju dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), namun menolak mengundurkan diri, akan menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan negara. Sulit dibedakan posisi sebagai pejabat negara atau bakal calon presiden atau wakil presiden (capres/cawapres).

Menjadi bias, apakah Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan atau sebagai bakal capres? Apakah Ganjar Pranowo sebagai gubernur atau sebagai bakal capres? Jika sebagai Gubernur Jawa Tengah, mengapa banyak beraktivitas di Jakarta? Ini yang disebut sebagai konflik kepentingan.

Contohnya, jelang pilpres 2014 Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan maju sebagai bakal cawapres, mengundurkan diri sebagai menteri kabinet. Saat itu Hatta Rajasa didampingi bakal capres Prabowo Subianto menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai menteri.

Apa yang dilakukan Hatta Rajasa pada 2014 lalu, mestinya sekarang diikuti Prabowo, Ganjar maupun para menteri yang akan mengikuti kontestasi pilpres. Apa yang dilakukan Presiden SBY mestinya juga ditiru Pesiden Jokowi. Tirulah yang bagus dan bukan berkelit mencari celah.

Contoh baik lainnya, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala daerah. Alasannya, Viktor akan maju sebagai anggota DPR periode 2024-2029 dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Pengunduran diri Viktor Laiskodat sebagai Gubernur NTT, karena persyaratan untuk maju sebagai caleg. Itu kan bagus dan bisa menjadi contoh baik. Mengapa tidak diikuti Ganjar.

Memang, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan menteri yang ingin maju sebagai capres atau cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya. Putusan ini berdasarkan permohonan dari Partai Garuda yang menguji Pasal 170 ayat (1) Undang Undang tentang Pemilu.

Keputusan MK yang ambigu, karena tidak sepenuhnya dikabulkan. Apalagi uji materi itu diajukan partai di luar parlemen dan partai itu tidak memiliki menteri. Dalam keputusan itu tetap dengan catatan harus mendapatkan izin dari Presiden. Masalahnya justru di sini, jika presiden bersikap tidak netral, atau cawe-cawe karena memiliki kandidat untuk pilpres, bagaimana?

Conflict of Interest

Conflict of interest atau konflik kepentingan akan mencemari keputusan seseorang yang memiliki wewenang sebagai pejabat negara. Patut diduga pejabat tersebut mempunyai kepentingan pribadi dalam kewenangannya, sehingga akan mempengaruhi kualitas kinerja, termasuk dalam pelayanan kepada masyarakat.

Kepentingan pribadinya tidak akan bisa dihindari. Termasuk menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik praktisnya dalam meraih kekuasaan. Cara meraih kekuasaan seperti ini tidak elok dari segi etika politik.

Dalam Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan konflik kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan keputusan dilatari kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi, seperti ingin menjadi presiden atau wakil presiden, masuk dalam kategori konflik kepentingan.

Conflict of interest itu akan berujung pada gratifikasi atau suap untuk meraih kekuasaan. Maka kelemahan sistem jika pejabat negara menolak mundur saat maju dalam kontestasi pilpres, harus diperbaiki.

Mana mungkin, pejabat negara yang juga berperan sebagai bakal capres maupun cawapres bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen, dan akuntabel. Jelas kental sekali niat politiknya untuk meraih kekuasaan daripada menuntaskan pekerjaan utamanya sebagai pejabat negara dan pelayan masyarakat.

Penyalahgunaan wewenang yang tidak sesuai dengan tujuan pekerjaannya akan melampaui batas kewenangan dalam mengutamakan kepentingan publik, karena lebih kental kepentingan politik peibadi dan golongannya. 

Pejabat negara itu, setidaknya harus mengutamakan empat hal. Pertama, bekerja untuk kepentingan publik dan bukan bekerja memikirkan keuntungan pribadi dari jabatannya. Kedua, menciptakan keterbukaan dalam penanganan dan pengawasan, sehingga memiliki integritas tinggi. Ketiga, bertanggungjawab dan menjadi contoh teladan. Keempat, mampu menciptakan budaya kerja yang menolak konflik kepentingan.

Jika empat hal itu tidak sanggup dilaksanakan, sebaiknya tidak usah berpikir untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, seperti presiden atau wakil presiden.

/sgo

Seniman Butet Jangan Ikuti Gaya Lekra yang Aktif Lakukan Propaganda Politi

Photo: Butet Kertaredjasa membacakan puisi
 di peringatan Bulan Bung Karno di GBK. [Twitter]


Pantun atau puisi yang dibacakan seniman Butet Kartaredjasa, bernuansa propaganda politik dan mengingatkan publik pada gaya seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di tahun 1960-an.

Pantun atau puisi Butet Kartaredjasa bernuansa propaganda politik mirip gaya seniman Lekra tahun 1960-an.

Seniman Butet Kartaredjasa membacakan puisi atau pantun pada acara Bulan Bung Karno di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, baru-baru ini. Seniman yang berafiliasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menyindir dua bakal calon presiden, yakni Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Sebaliknya memuji bakal capres Ganjar Pranowo.

Pengalaman Lekra seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi para seniman saat ini agar bisa memisahkan karya seni dengan politik.

Boleh-boleh saja seniman aktif berpolitik dan masuk ke partai politik, karena itu hak warga negara. Namun harus punya kesantunan politik agar pesan karya seninya tetap tersampaikan.

Apalagi, puncak peringatan bulan Bung Karno 2023 temanya 'Kepalkan Tangan Persatuan Untuk Indonesia Raya'. Seharusnya puisi atau pantun yang disampaikan Butet Kartaredjasa selaras dengan tema acara. 

Bung Karno itu bukan hanya milik PDIP. Sebagai proklamator, otomatis Sukarno milik bangsa Indonesia. Jangan kerdilkan Sukarno yang mempersatukan bangsa dengan membuat pantun atau puisi yang justru memecah-belah, mengadu domba.

Puisi atau pantun yang dibacakan Butet Kartaredjasa bisa merusak citra PDIP di mata partai politik lainnya sekaligus merusak komunikasi politik di tahun politik jelang kontestasi pemilihan umum (pemilu).
 
Mengingat sejarah politik tentang kehebohan karya seniman Lekra yang membuat Presiden Sukarno harus turun tangan dan melarang perkembangan seniman Lekra di Indonesia.

Bung Karno sampai harus turun tangan menghentikan propaganda seniman Lekra yang membuat gaduh usai peristiwa G30S/PKI 1965.

Lekra, tidak bisa dipisahkan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini, karena Lekra memang didirikan oleh tokoh-tokoh PKI, seperti DN. Aidit, Nyoto, AS Dharma pada 1950.

Gaya provokasi dari seniman Lekra menimbulkan kontra dengan para seniman lainnya seperti HB Jassin dan Taufiq Ismail. Mereka menolak provokasi Lekra dan membuat petisi Manifes Kebudayaan yang mengusung konsep kebudayaan humanisme universal dengan merujuk pada Pancasila.

Belajar dari peristiwa kelam tahun 1960-an, saya menyarankan partai politik sebaiknya tidak lagi menggunakan seniman partisan yang karyanya mengadu domba anak bangsa. Momentum Idul Adha mestinya dijadikan refleksi untuk mengorbankan ego seniman demi kepentingan bangsa yang lebih besar.

/sgo

Marketing Politik Haji Anies dan Haji Ganjar Menyejukkan

Photo: 2 Bacapres Berhaji

Beredar foto viral pertemuan dua bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo tampil bersama menggunakan pakaian ihram di sela rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Mekah, Arab Saudi, kemarin.  Pertemuan itu memang tidak membahas masalah politik.  Namun pertemuan dua bakal capres itu menjadi marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air.

Memang sama sekali tidak membahas masalah politik. Tapi pertemuan dua tokoh di Tanah Suci Mekah itu dalam perspektif komunikasi politik merupakan marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air.

Menyejukkan, karena pertemuan itu dapat menurunkan tensi politik sekaligus meniadakan fragmentsi politik yang berpotensi menimbulkan gesekan di antara para pendukung fanatik para kandidat bakal capres tersebut.

Marketing politik terhadap dua tokoh itu bertujuan mengemas pencitraan dalam kontestasi pemilihan presiden kepada masyarakat luas yang akan memilihnya. Tujuan marketing dalam politik sangat membantu partai politik atau koalisi politik dalam mengenalkan tokohnya kepada masyarakat.

Ummat Islam

Sasaran marketing politik dalam foto kedua tokoh yang viral itu, tidak lain adalah ummat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Ini menyejukkan sekaligus untuk menetralisasi agar tidak terjadi polarisasi yang dapat menimbulkan perpecahan menjadi sel-sel politik yang tidak sehat.

Polarisasi yang tercipta selama ini, Si A dipersepsikan lebih nasionalis.  Sedangkan Si B lebih religius. Bahkan ada dikotomi Islamis dan Nasionalis.  Seolah-olah jika Islam maka tidak nasionalis. Sedangkan jika nasionalis, kurang ke-Islam-annya.

Isu politik yang ingin dikemas dalam marketing politik tersebut, mereka dipersepsikan sebagai tokoh yang cukup religius, karena sedang menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni menunaikan ibadah haji.  Sehingga bagi tim suksesnya peristiwa di Tanah Suci memiliki segmentasi, target, serta posisi dalam marketing politik.

Dalam teori marketing politik, segmentasi yang disasar dalam foto yang viral itu, tentu saja pemilih pemeluk Islam. Segmentasi sangat diperlukan untuk menyusun program kerja tim pemenangan kandidat, terutama cara komunikasi politik dan membangun interaksi politik dengan masyarakat.

Tanpa segmentasi, partai politik akan kesulitan dalam penyusunan pesan politik, program kerja politik, kampanye politik, sosialisasi politik, dan produk politik.

Targeting politik memiliki standar jumlah dan besaran pemilih, wilayah, penduduk atau populasi yang dapat menjadi penyumbang suara terbanyak pada pemilihan umum. Sehingga target politik memerlukan bantuan tokoh penting yang dapat membentuk opini publik.

Jadi dalam marketing politik, memerlukan aktor politik yang dapat menjadi opinion leader dalam membentuk opini publik.

Sedangkan positioning politik dalam marketing politik, dapat membentuk image (citra) yang ditanamkan kepada pemilih, bahwa kandidatnya mudah diingat para pemilih. Sehingga membentuk citra politik memerlukan waktu yang tidak sebentar.

Image politiknya, Haji Anies atau Haji Ganjar layak dipilih sebagai presiden, karena dekat dengan kalangan Islam. Hal ini harus terus dibangun dalam jangka panjang. Sebab kesan positif itu membutuhkan konsistensi dalam jangka waktu yang lama.


/sgo

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...