02 January 2019

Ambarawa dan Hilangnya Dua Nama Jenderal

Oleh 
Selamat Ginting
Jurnalis


Taiching: 
Palagan Ambarawa memunculkan nama-nama besar sesepuh TNI. Nama-nama legendaris. Namun, dua nama jenderal tidak terpatri di markas besar tentara. Mengapa? 

Sekitar 40 kilometer dari Kota Semarang, Jawa Tengah. Di situlah Ambarawa. Sebuah daerah di Kabupaten Semarang yang dikenal  memiliki sejarah militer yang melegenda. Legenda itu bisa dilihat pada Monumen Palagan Ambarawa. Simbol sejarah pertempuran pada 12 Desember hingga 15 Desember 1945. 

Saat itu, pasukan Sekutu (Belanda dan Inggris) terdesak di Magelang. Mereka mundur ke Ambarawa. Pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dipimpin Panglima Besar TKR, Jenderal  Soedirman berhasil menghancurkan Sekutu pada 15 Desember 1945.  Hari tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Infanteri TNI Angkatan Darat. Infanteri adalah korps induk tentara. 

“Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 163/1999, Hari Infanteri kemudian diganti dengan nama Hari Juang Kartika,” seperti diungkap dalam catatan Dinas Sejarah Angkatan Darat.

Museum Palagan Ambarawa Semarang, dengan latar belakang lukisan besar, menggambarkan jalannya pertempuran dahsyat tersebut. Foto hitam putih tokoh-tokoh penting yang terlibat dalam pertempuran Ambarawa bisa dilihat di museum ini.  Di antaranya; Wakil Panglima Besar TKR, Kolonel (Infanteri) AH Nasution;  Panglima Divisi IV, Kolonel (Zeni) GPH Jati Kusumo. Djatikusumo memainkan peran penting dalam pengepungan dan pengejaran tentara Sekutu. Ada pula nama, Panglima Divisi V, Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto. Gatot aktif melakukan pengejaran tentara Sekutu dari Magelang.

Ambarawa penuh kenangan perjuangan para tokoh-tokoh tersebut.  Soedirman mengakui sejumlah kemampuan militer, teknik, serta bahasa dan diplomasi  dari Kolonel (Zeni) GPH Djatikusumo. Ia pun mengusulkan Gubrnur Akademi Militer Yogyakarta, Djatikusumo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang pertama, 1948-1949. Usulan itu disetujui Presiden Sukarno.

Tanpa KSAD

Dua pekan lalu, TNI Angkatan Darat kembali memeringati Hari Juang Kartika 2018 di Ambarawa. Namun ada peristiwa janggal. KSAD, Jenderal Andika Perkasa (Akmil 1987/Infanteri), berhalangan hadir pada hari bersejarah tersebut. Sebagai inspektur upacara pengganti, Wakil KSAD, Letjen Tatang Sulaiman (Akmil 1986/Infanteri) didampingi Pangdam Diponegoro, Mayjen M Effendi (Akmil 1986/Zeni). 

Andika bersama Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto mendampingi Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja ke Sumatra. Antara lain menemui para Babinsa (Bintara Pembina Desa). Acara bertemu Babinsa memang penting, namun memimpin puncak peringatan Hari Juang Kartika, tak bisa diabaikan, karena nilai sejarahnya yang tinggi. 

Peristiwa tak hadirnya KSAD, bagaikan Hari Proklamasi, tidak dihadiri Presiden RI. Seperti juga Hari TNI namun tidak dihadiri Panglima TNI. “Sebenarnya bisa saja, KSAD menunda upacara Hari Juang Kartika, pada sore atau malam hari. Atau diundur satu hari, agar ia bisa menghadiri hari bersejarah tersebut,” sesal seorang perwira tinggi bintang tiga purnawirawan.

“Bukankah Hari Juang Kartika sudah jauh terjadwal daripada mendampingi kunjungan kerja presiden? Bukankah sudah ada tiga pangdam sebagai petinggi Angkatan Darat di Sumatra? Mengapa hari bersejarah itu diabaikan,” kata perwira tinggi bintang dua lainnya.

Ya, di Sumatra sudah ada Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Teguh Arif Indratmoko (Akmil 1988 A/Infanteri); Pangdam Bukit Barisan, Mayjen M Sabrar Fadhilah (Akmil 1988 A/Infanteri; dan Pangdam Sriwijaya, Mayjen Irwan Zaini (Akmil 1987/Zeni).

Almarhum Jenderal Besar Soedirman dan Jenderal Kehormatan (Purn) GPH Djatikusumo mungkin akan bersedih hati jika mengetahui kejanggalan tidak hadirnya KSAD pada Hari Juang Kartika 2018 lalu. 

Tapi sudahlah. Itu sudah terjadi. Ini kali pertama dalam sejarah, KSAD tidak hadir dalam puncak acara Hari Juang Kartika. Semoga tidak aka ada peristiwa seperti itu lagi di kemudiain hari.

Hari Juang Kartika bukan sekadar peringatan belaka, makna sejarahnya tinggi sekali. Di situ pula TNI, ketika masih bernama TKR, menyatu dengan rakyat mengusir penjajah dalam mempertahankan kemerdekaan. 

Tanpa pamrih

Para petinggi TKR, seperti: Soedirman, Kepala Staf Umum  TKR Letjen Oerip Soemohardjo, Kolonel (Zeni) GPH Djatikusmo, Kolonel (Infanteri) AH Nasution, Kolonel (Zeni) TB Simatupang, Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto dalam perjuangannya, selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Menyatu bersama rakyat.

Model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya itu kemudian menjadi konsep operasi teritorial. Wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman pada 1950, dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.

Jika membuka sejarah, maka sesungguhnya, jabatan Panglima TNI, pertama kali dijabat Jenderal Soedirman. Saat itu bernama Panglima Besar TKR. Sebagai panglima pertama, Jenderal Soedirman tidak dipilih oleh Presiden Sukarno, melainkan dipilih para panglima divisi TKR. 

Melalui sebuah rapat dipimpin Oerip Soemohardjo dan disebut Konferensi TKR pada 2 November 1945. Kurang dari tiga tahun Oerip sebagai Kasum TKR mendampingi Soedirman. Pada 1948 Letjen Oerip mengundurkan diri dari dinas militer.   

Setelah Jenderal Soedirman wafat, tidak dipilih panglima baru. Sebagai gantinya dipilih Kolonel (Zeni) TB Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) pada 1950-1953. Ia membawahi para kepala staf angkatan (ADRI, ALRI, AURI). 

Pada 1955 jabatan KSAP dihapus. Sebagai gantinya dibentuk jabatan Gabungan Kepala-Kepala Staf. AH Nasution menduduki jabatan ini dari 1955-1959. Kemudian digantikan Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma pada 1959-1961. 

Soerjadarma awalnya perwira Korps Infanteri Angkatan Darat Belanda. Kemudian pindah menjadi personel AD Indonesia dan kemudianan diminta Presiden Sukarno membentuk Angkatan Udara. Ia lulusan Akmil Breda Belanda pada 1934. Soerjadarma adalah KSAU pertama pada 1946-1962). 

Pada 1962 jabatan Gabungan Kepala-Kepala Staf dihapus dan dibentuk jabatan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). AH Nasution kembali menjadi orang pertama yang menjadi  KSAB. Jabatan ini berlangsung hingga Maret 1966. 

Letnan Jenderal TB Simatupang dan Jenderal AH Nasution adalah alumni Akademi Militer Belanda di Bandung, tahun 1942. Saat kadet, Nasution memilih jurusan infanteri dan Simatupang memilih jurusan zeni.

Nah, jika mengunjungi Mabesad maupun Mabes TNI, terasa ada yang aneh dari sisi sejarah. Sebab tidak ada gedung yang menggunakan nama GPH Djatikusumo maupun TB Simatupang. Aneh, sebab Djatikusumo adalah orang pertama yang menjdi KSAD. Simatupang pun orang pertama yang menjadi KSAP, nama lain sebelum diubah menjadi KSAB, dan Panglima ABRI (Pangab).  

Memang ada gedung GPH Djatikusumo, namun adanya di Pusdik Zeni Angkatan Darat di Bogor. Baik GPH Djatikusumo, TB Simatupang, AH Nasution, Soedirman, Oerip Soemohardjo, dan Gatot Subroto, masing-masing telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui keputusan Presiden RI. 

Mengapa TNI lalai terhadap sesepuhnya sendiri? Bacalah sejarah bagaimana para pionir TNI dengan rela dan ikhlas turun pangkat dan jabatan. Kecuali Soedirman, semuanya pernah mengalami penurunan pangkat dan jabatan. Mereka, Soedirman dkk berjuang tanpa pamrih.

Operasi Binter TNI Hadapi Proxy War

Oleh: 
Selamat Ginting
Jurnalis Republika


Model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya, menjadi konsep operasi teritorial. Wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman pada 1950, dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.

Kemudian dilanjutkan dan dikembangkan lagi oleh Jenderal Abdul Haris Nasution yang mengenalkan konsep operasi terstruktur. Dikenal dengan sebutan Operasi Pembinaan  Teritorial (Binter) TNI melalui metode komunikasi sosial (Komsos) TNI.

Operasi Binter melalui Komsos semakin terlembaga setelah Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI menggantikan Presiden Sukarno. Binter yang berfokus pada Komsos  dijadikan instrumen penting oleh Presiden Soeharto untuk menanggulangi ancaman dan berbagai gerakan anti Pancasila yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

“Satuan Komando Teritorial TNI AD yang tergelar dari  tingkat pusat sampai tingkat kecamatan dan desa menjadi pelaksana Binter yang difokuskan pada kegiatan komunikasi sosial dan pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta Bakti TNI,” kata Mayjen (Purn) Wiyarto (Akmil 1985 / Infanteri). Ia pernah menjadi Aster Panglima TNI, Pangdam Pattimura, Aster KSAD, Kasdam Mulawarman, dan Wakil Aspers KSAD. 

Pasca pemerintahan Orde Baru, TNI semakin mengedepankan pendekatan komunikasi sosial dengan masyarakat.  Saat TNI dipimpin Jenderal Gatot Nurmantyo,  dicanangkan  program  binter yang komprehensif. Dikenal dengan istilah Serbuan Teritorial. 

“Ini merupakan implementasi komitmen TNI dalam membantu pemerintah mempercepat program pembangunan guna mewujudkan tatanan masyarakat yang berkembang maju dan sejahtera,” ujar Wiyarto.

Antara lain, lanjutnya, melalui berbagai program sinergi lintas sektoral antar-pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan. Seperti bakti TNI, karya bakti, pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta komunikasi sosial untuk pemberdayaan masyarakat.

Dukungan rakyat

Di sisi lain, menurut Mayjen Agung Risdhianto (Akmil 1985 / Infanteri), pada era reformasi, TNI memandang penting untuk benar-benar membangun kesepahaman dengan rakyat melalui komunikasi sosial. Hal ini disadari sebagai prasyarat dalam mewujudkan keamanan dan keselamatan bangsa. 

“Beratnya tugas dan tanggung jawab TNI dalam mewujudkan sistem pertahanan, terlebih dalam sistem pertahanan darat, merupakan tugas pokok TNI-AD yang harus direalisasikan dengan sishanta (sistem pertahanan semesta,” ujar Agung, perwira tinggi staf khusus KSAD. 

Agung pernah menjadi Komandan Kodiklat TNI, Asops Panglima TNI, Pangdam Tanjungpura, Komandan Pusterad, Wadan Kodiklatad, serta Komandan Seskoad. 

Sishanta, menurut Agung, mensyaratkan adanya dukungan mutlak secara langsung dari rakyat. Hal ini membuat TNI berkomitmen membangun komunikasi sosial kemasyarakatan yang lebih dialogis dan persuasif.

Argumen Wiyarto dan Agung Risdhianto tentang konsep terotorial TNI, bisa dipahami. Sebab dalam konteks pertahanan Indonesia, sejatinya perang hanya untuk mempertahankan kedaulatan negara. Dilakukan secara ‘semesta’, yakni, melibatkan semua komponen sumber daya negara, termasuk rakyat.  

Pada tataran ini, TNI perlu menjalin komunikasi yang erat dan harmonis dengan rakyat. Sinergi TNI-Rakyat dalam model pertahanan khas Indonesia ini diwujudkan secara implementatif di mana TNI akan berperan sebagai komponen utama. Sedangkan rakyat sebagai komponen pendukung. 

Untuk itu, TNI dan rakyat harus memiliki semangat rasa persatuan yang solid dan manunggal. Perwujudan kondisi ini menjadi semakin penting dan mendesak mengingat spektrum ancaman di era global ini sangat berat dan kompleks, berupa ancaman proxy war. Bentuk peperangan antarnegara yang bersifat halus, tidak menggunakan kekuatan militer.

01 January 2019

Mediacracy dan Realitas Media Jelang Pilpres 2019

Oleh: Selamat Ginting

Detik-detik pergantian waktu  di depan mata.  Ganti tahun 2019!  Saya harus baca ulang, agar tidak menulis seperti bunyi tagar yang popular belakangan ini.  Tagar yang jauh lebih popular daripada tagar tandingannya. Tagar-tagar itu popular melalui media sosial daripada media arus utama. 

Ya, media dalam sebuah komunikasi politik mempunyai peranan  sangat penting. Sebab media memiliki peran sebagai publisitas politik terhadap masyarakat. Tujuannya, agar khalayak mengetahui agenda politik. Setelah itu harapannya, publik akan jatuh simpatik. Menentukan pilihannya kepada pihak yang dianggap terbaik dari calon presiden dan wakil presiden yang ada.

Karena itulah, politikus sebagai komunikator politik berupaya menguasai media. Sekali lagi, menguasai media! Bukankah ada pemeo: barang siapa menguasai media, maka satu kaki sudah memenangi pertarungan politik.

Fenomena memanfaatkan media untuk mendongkrak popularitas, sesungguhnya dimulai sejak pemilihan presiden secara langsung pada 2004 lalu. Era itu mengikuti kemajuan teknologi dan informasi yang revolusioner. Media cetak maupun elektronik menjadi senjata ampuh mengirimkan pesan politik kepada masyarakat pemilih. 

Susilo Bambang Yudhoyono menjadi bintangnya kala itu. Ia mempu mengungguli pejawat presiden, Megawati Soekarnoputri. SBY begitu popular di kalangan emak-emak. Jangan lupa, emak-emak-lah penguasa televisi di rumah. Jangan coba-coba saat emak-emak sedang nonton, lalu kaum babe-babe mencoba mengganti saluran. Bisa kelar hidup lu! 

Entah, karena kegantengannya SBY atau apalah, tiba-tiba saat itu emak-emak bisa bicara politik. Kapan kuliah di program studi ilmu politik? Rupanya mereka kuliah ‘ekstensi’ di televisi. Bukankah saat itu, segala kegiatan yang ada nuansa politiknya diangkat media?

Nah, era sekarang. Bintangnya emak-emak di televisi, tak pelak adalah Sandiaga Salahuddin Uno. Jika stasiun televisi memblokirnya pun, emak-emak dapat menyaksikannya di jaringan media sosial yang masif.

Musik pun menjadi sarana politik yang ampuh untuk menggaet anak-anak muda. Kelompok masyarakat yang baru mengikuti pemilu pertama. SBY mampu menghipnosis emak-emak dengan satu lagu trend saat itu. Lagu ‘Pelangi di Matamu’ yang dipopulerkan grup musik Jamrud. “…dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini…”

Saya juga benci, harus jujur menuliskan tentang semua ini mengenai media massa, jelang pemilihan presiden 2019, kali ini. 
Tapi saya harus ungkap dari kacamata atau bahasa ilmiahnya perspektif orang yang bergumul sebagai praktisi pers.  

Dalam komunikasi politik, media massa dianggap sebagai 'the fouth estate' dalam kehidupan sosial ekonomi. Sebuah persepsi yang dapat dimainkan media massa dalam kehidupan sosial ekonomi dan poitik masyarakat. Begitulah kesimpulan diskusi ilmu komunikasi, mata kuliah Sosiologi Media yang saya dapatkan dari dosen, Dadan Anugrah.

Mengapa? Karena media sebagai alat untuk menyampaikan berita, penilaian atau gambaran umum tentang banyak hal. Bahkan ia memiliki kewenangan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Otomatis ia menjadi kelompok penekan. 

Dalam pelajaran ilmu politik, mata kuliah kekuatan-kekuatan politik, media massa dianggap sebagai salah satu ‘raksasa’ politik saat pemilihan umum. 

Kelompok Penekan

Media massa bisa menekan siapa saja. Menekan ide atau gagasan sekali pun. Pers menjadi suatu kelompok kepentingan. Ia bisa mengklaim dirinya sebagai representasi masyarakat. Masyarakat yang mana? Terserah dia.

Jadi, suka maupun tidak suka, media massa menjadi saluran komunikasi politik. Sebagai saluran komunikasi politik dalam konteks pemilihan presiden, ia menjadi sarana penyampaian pesan. Baik dalam bentuk lambang-lambang pembicaraan seperti kata, gambar, maupun tindakan. Bahkan pementasan drama pencitraan, seperti yang belakangan ini sering kita saksikan. 

Bahasa ilmu komunikasinya; siapa dapat berbicara kepada siapa, mengenai apa, dalam keadaan bagaimana, sejauh mana dapat dipercaya. Komunikator politik, siapapun ia dan apapun jabatannya, menjalani proses komunikasinya dengan mengalirkan pesan dari struktur formal dan non-formal kepada komunikan atau sasaran pesan di berbagai lapisan masyarakat. Itu kata dosen Perspektif Ilmu Komunikasi UMB, Ahmad Mulyana.

Begitu berkuasanya media dalam memengaruhi pikiran, peranan, dan perilaku penduduk. Fenomena itu menurut Kevin Philips dalam buku Responsibility in Mass Communication, “era sekarang lebih merupakan mediacracy, yakni pemerintahan media, daripada demokrasi pemerintahan rakyat.” 
Kekuatan media powerful  sebagai saluran komunikasi membentuk opini publik. 

Karena itu upaya mengooptasi media massa dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Oleh siapa? Tentu saja oleh yang punya kekuatan materi dan kekuasaan. Operasi intelijen untuk menguasai media, sesungguhnya sudah terbongkar oleh publik. Publik secara sadar telah mengetahui media-media mana saja yang sudah terkooptasi oleh kekuasaan politik maupun uang.

Elite-elite mana saja yang berusaha memanfaatkan media massa untuk publikasi dan pembentukan citra, juga sudah kasat mata. Atau pura-pura tidak tahu maupun ngeles. 

Media televisi menjadi sasaran utama, selain media cetak nasional yang jumlahnya tidak lebih dari 10 media.

Sebenarnya sudah ada pengaturan tentang tata cara beriklan di media massa, terutama di televisi. Namun tetap saja banyak terjadi ketidakadilan dalam peliputan berita, apalagi saat kampanye pilpres. 

Misalnya, kandidat tertentu mendapat durasi yang relatif lebih panjang dibanding kandidat yang lainnya.  Tidak peduli acaranya menarik atau tidak. Tidak peduli jumlah massanya. Bangku kosong pun tetap saja menarik untuk dipoles.

Kenapa bisa begitu? Ya, karena medianya sudah dikooptasi dengan gelontoran ‘dana’ kampanye yang cukup banyak. Baik melalui iklan terselubung atau pariwara maupun trik-trik lainnya yang wartawan pun sudah paham itu.

Begitulah. Sebagai suatu kekuatan politik, sikap media massa, sangat menentukan pencitraan opini publik.  Maka, jika Anda sudah memahami hal ini, ketahuilah bahwa sesungguhnya pesan politik yang disampaikan oleh media massa, bukanlah realitas yang sesungguhnya. 

Itu hanyalah realitas media. Sebuah realitas buatan. Realitas yang dibuat oleh wartawan dan redaktur atau produser yang mengolah peristiwa politik menjadi berita politik, melalui proses dan penyaringan seleksi. 

Anwar Arifin mengungkapkan hal itu dalam buku ‘Pencitraan Dalam Politik, Strategi Pemenangan Pemilu Dalam Perspektif Komunikasi Politik’. Sebagai ilmuwan komunikasi, Anwar Arifin telah membuka hal itu. Sebagai praktisi pers, saya tidak dapat mengelaknya. 

Itulah fakta politik. Fakta para komunikator politik menghipnosis khalayak dengan citra yang ditampilkan setiap saat melalui media. Jadi, jangan salah pula jika khalayak langsung mem-bully aktor-aktor politik dalam suasana kampanye saat ini.

Selamat datang 2019.

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...