20 June 2019

Sidang MK Buka Tabir Hilangnya Roh Demokrasi


 
Video: Youtube Imam Chanafi


Oleh: Selamat Ginting

Sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk pemilihan presiden (pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam beberapa hari ini, membuka mata publik. Betapa dugaan kecurangan mencederai roh demokrasi. Kecurangan berpotensi dilakukan pejawat atau petahana. Sang pejabat yang tengah memerintah.  Bahasa kerennya, incumbent. 

Saat berlangsungnya kampanye pemilu 2019, publik dikejutkan dengan istilah ‘perang total’. Istilah yang dikemukakan seorang elite istana. Segala justifikasi dikemukakannya, saat pers mengonformasi kepada yang bersangkutan. Ia seorang pensiunan jenderal di istana. 

Kemarin, saat sidang di MK, anak muda bernama Hairul Anas membocorkan materi pelatihan tim kampanye nasional (TKN) milik incumbent. Dalam keterangannya kepada majelis hakim, Anas mengawali ceritanya ketika ia menghadiri pelatihan saksi yang diselenggarakan TKN pada 20-21 Februari 2019 lalu di kawasan Kelapa Gading. 

Dalam pelatihan rahasia itu, pada slide materi pertama ada keterangan yang mengatakan, kecurangan merupakan bagian dari demokrasi. Garis bawahi: kecurangan merupakan bagian dari demokrasi. 

Anas mengemukakan materi tersebut disampaikan ketika ketua harian TKN, Moeldoko memberikan paparannya.  Ia meminta agar materi yang dimaksud ditunjukkan dalam sidang tersebut. Menurutnya, materi ini masih bisa diunduh hingga sekarang.

Keponakan Prof Dr Mahfud MD itu mengaku terkejut mendengarkan dan melihat langsung materi tersebut. Pernyataan Anas yang dikemukakan di bawah sumpah sebagai saksi itu, tentu saja mengejutkan publik. Bagi penulis, sekaligus mengonfirmasi kalimat ‘kecurangan merupakan bagian dari demokrasi’, patut diduga sebagai terjemahan dari kata: ‘perang total’ yang dikemukakan elite istana tersebut.

Kita patut mengutuk kalimat: kecurangan sebagai bagian dari demokrasi!

Kampanye permanen
Dari peristiwa yang tersaji di MK tersebut, sesungguhnya tidak ada hal baru dalam dunia  komunikasi politik. Incumbent (siapa pun dia) memang selalu diuntungkan dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. Kita tidak bicara soal pasangan 01 atau 02. Namun spesifik bicara siapa pun yang menjadi incumbent.

Incumbent sedari awal sudah mencuri start dalam kampanye. Bahasa komunikasi politiknya: kampanye permanen. Sebuah pola atau bentuk kampanye yang dilakukan pejabat yang tengah memerintah. Baik presiden, gubernur, bupati, maupun wali kota. Termasuk yang telah menjadi anggota DPD, DPR maupun DPRD.

Menurut dosen komunikasi politik pasca sarjana ilmu komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr Achmad Jamil MSi, kampanye permanen dilakukan secara terus-menerus dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pekerjaan incumbent tersebut.   “Incumbent bisa melakukan kampanye sepanjang waktu, saat ia menjabat. Misalnya saja mengadakan jumpa pers, kunjungan kerja, wawancara dengan media dan sebagainya.” 

Apa yang dikemukakan Achmad Jamil masuk akal. Secara teoritis, pejabat yang tengah memerintah lebih mempunyai kemungkinan untuk terpilih kembali. Hal ini karena incumbent bisa memanfaatkan sumber daya yang dipunyai untuk menarik dukungan pemilih. 

Di Amerika dan Eropa, sejumlah studi menunjukkan secara jelas hal tersebut (lihat Doherty, 2007; Norris, 2000; Steger, 1999). Misalnya, anggota Dewan Perwakilan (house of representative), senator atau gubernur yang tengah memerintah, rata-rata lebih dari 80% terpilih kembali ketika maju dalam pemilihan.

Kampanye permanen (permanent campaign) adalah bentuk kampanye yang dilakukan oleh pejabat yang tengah memerintah dengan memanfaatkan posisi dan kantor pemerintahannya (lihat Steger, 1999).

Berbeda dengan kandidat lain, kandidat politik (DPR, presiden, kepala daerah) yang tengah memerintah (tengah menjabat) mempunyai kedudukan yang memungkinkan mereka melakukan kampanye secara terus-menerus sepanjang masa pemerintahannya. 

Contohnya: kunjungan kerja, mendatangi pemilih, membuat kebijakan, mendengarkan keluhan dan aspirasi publik, selain menjadi tugas pejabat yang tengah memerintah juga bisa dilihat sebagai bentuk kampanye agar kandidat bisa terpilih kembali dalam periode pemilihan berikutnya.

Bukalah panca indera Anda dengan cara saksama (teliti). Incumbent juga memanfaatkan sumber daya yang terdapat di kantor (kantor, staf, dana) untuk menjangkau pemilih. Jangan heran jika kuat dugaan memanfaatkan aparat sipil negara (ASN), karyawan BUMN, BUMD, dan yang terkait dengan pemerintah. Serta tentu saja dana yang ada pada lembaga-lembaga di bawah pemerintah maupun BUMN. Perhatikan materi gugatan pemohon di MK sambil menunggu keputusannya. 

Kampanye punya potensi dilakukan secara terus menerus. Inilah wujud kampanye permanen. Hal ini untuk membedakan dengan kampanye yang dilakukan oleh kandidat yang bukan incumbent. Umumnya kampanye dilakukan menjelang pemilihan. Dalam pilpres 2019, misalnya, sang penantang baru bisa kampanye pada Oktober 2018 lalu. Sang penantang, tidak bisa melakukan kampanye di kantor pemerintahan, seperti halnya kampanye terselubung yang diakukan incumbent.

Dampak langsung
Kampanye permanen yang dijalankan kandidat incumbent punya dampak langsung terhadap kemungkinan terpilihnya kembali  kandidat. Steger (1999) mencatat  di Amerika Serikat sekitar 90% anggota Dewan Perwakilan (House of Representative) dan 80% anggota senat terpilih kembali pada pemilihan selanjutnya. 

Hebatnya, rata-rata kandidat menang dengan margin (selisih dengan kandidat lawan) sangat besar, di atas 60%. Data ini menunjukkan potensi kemungkinan kandidat yang tengah memerintah (incumbent) untuk terpilih kembali sangat besar.

Menurut Steger (1999), faktor terpenting yang menyebabkan kandidat incumbent terpilih kembali adalah karena mereka menjalankan kampanye permanen (permanent campaign). Kandidat incumbent mempunyai keuntungan  dan akses yang tidak dipunyai oleh kandidat penantang. 

Pertama, keuntungan finansial. Kampanye membutuhkan dana yang besar, untuk kepentingan logistik, biaya perjalanan untuk menjagkau pemilih hingga biaya staf kampanye. Pejabat incumbent diuntungkan karena semua kegiatan itu bisa ditanggung oleh dana dari kantor pemerintah. Pejabat incumbent bisa memanfaatkan staf di kantor, perjalanan dinas hingga fasilitas surat untuk menjangkau pemilih. Biaya kampanye menjadi lebih murah dan efektif. 

Kedua, kandidat incumbent punya kesempatan untuk mendatangi pemilih sepanjang waktu, tidak terbatas hanya menjelang hari pemilihan. Sepanjang masa kerjanya, incumbent bisa datang ke daerah-daerah, mendengarkan suara pemilih, mencatat keluhan mereka dan sebagainya. Dengan kesempatan yang besar dalam menjangkau pemilih, tidak mengherakan jikalau pengenalan pemilih pada kandidat umumnya sangat besar. 

Menurut catatan Steger (1999), rata-rata 90% pemilih di wilayah mengenal nama anggota Dewan Perwakilan (house opf representative) dan 95% mengenal nama senat.   Keuntungan semacam ini tidak dipunyai oleh kandidat penantang yang umumnya hanya berkampanye menjelang hari pemilhan. Kandidat penantang umumnya harus berjuang lebih dahulu agar bisa dikenal oleh pemilih.

Ketiga, akses media lebih besar. Pejabat yang tengah memerintah (incumbent) punya kesempatan untuk mendapatan akses liputan media yang lebih luas dibandingkan dengan kandidat penantang. Incumbent bisa membuat berbagai kegiatan, sepperti: konferensi pers, rilis agar mendapatkan liputan luas dari media. 

Di samping itu, kegiatan dari incumbenmt itu sendiri juga puya nilai berita yang membuat media tertarik untuk meliput kegiatan-kegiatan incumbent. Ucapan, komentar, kunjungan incumbent dan sebagainya punya nilai berita jika dikemas dengan baik. Incumbent juga punya kesempatan untuk mendapatkan liputan dalam waktu yang panjang, sepanjang masa pemerintahannya, jika mampu mengelola hubungan dengan media dengan baik. 

Keempat, pejabat yang tengah memerintah (incumbent) juga punya hubungan dan akses lebih besar pada penyandang dana. Pekerjaan incumbent yang mengharuskan bertemu dengan elite, pengusaha dan perusahaan membuat mereka punya akses pada sumber-sumber dana yang bisa dimanfaatkan pada masa kampanye. Potensi mendapatkan dana jauh lebih besar dibandingkan dengan penantang. 

Dengan dana yang besar, kandidat incumbent bisa membuat kampanye menjadi massif.  Steger (1999:) mencatat di Amerika Serikat sebanyak 90% dari senat dan lebih dari 70% anggota Dewan Perwakilan beriklan lewat televisi. Kemampuan beriklan di televisi (yang mahal) ini tidak dipunyai oleh kandidat penantang. 

Keuntungan dan akses yang besar yang dimiliki oleh kandidat incumbent ini diiringi dengan kegiatan dari para incumbent itu yang berorientasi pada pemilihan. Steger (1999) menyebut kegiatan para incumbent itu sebagai ”berorientasi pemilihan kembali / re-election”. 

Artinya, seorang pejabat (kepala daerah, senator, anggota house of representative) selalu berpikir dalam masa kerjanya agar bisa terpilih kembali dalam periode berikutnya. Kegiatan yang dilakukan, mulai dari program kerja, kunjungan, mendatangi masyarakat diarahkan sebagai sarana untuk mendapat keuntungan agar dalam pemihan berikutnya  kandidat bisa terpilih kembali. 

Isu dan program yang diangkat misalnya, adalah isu yang menjadi masalah masyarakat pemilih. Kandidat juga aktif mengunjungi daerah, mendengarkan pendapat dan keluhan warga. Di samping itu tentu saja ‘bersembunyi’ untuk menjalankan tugas juga agar mendapat simpati dari warga agar memilih dia kembali dalam pemilihan berikutnya.

Itu contoh Amerika dan Eropa? Tentu saja berlaku juga di Indonesia. Cara-cara seperti itu juga digunakan para incumbent. Jarang sekali incumbent di Indonesia yang kalah dalam pemilu. Memang ada sejumlah pengecualian, seperti kemenangan pasangan penantang  Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang mengalahkan pasangan incumbent Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan Djarot Saiful Hidayat pada pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.

Abaikan filsafat
Namun celakanya, keuntungan-keuntungan incumbent dalam kampanye permanen tersebut, kerap kali mengabaikan nilai-nilai bijak (filsafat), seperti: logika, etika, estetika. Ditambah yang terakhir: metafisika.

Menurut filsuf Aristoteles, logika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan atau cara berpikir. Etika adalah filsafat nilai yang membicarakan perilaku seseorang dari sudut baik dan jahat. Semua perilaku mempunyai nilai. Estetika adalah filsafat tentang penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. 

Sedangkan metafisika adalah filsafat yang berkaitan dengan proses analisis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Ada kehendak Tuhan sebagai Sang Pencipta. 

Ketika diterjemahkan dalam perilaku politik, maka politikus tidak peduli logika. Cara berpikirnya abai terhadap kronologi berpikir sistematis. Misalnya dengan cara ‘ogah; cuti kampanye. Cuti kampanye hanya ‘jam-jam-an’ saja di saat melakukan kunjungan kerja. Alasannya tidak melanggar hukum. Di sini etika pun diabaikan. Tak peduli moral. Yang penting untung. Untung, karena menggunakan fasilitas negara. 

Secara estetika pun diabaikan. Mau baik atau buruk, yang penting untung mendapatkan perhatian publik. Terakhir, mengabaikan nilai-nilai hakikat ke-Tuhan-an sebagai implementasi metafisika. Mau curang atau tidak, tak lagi menjadi bagian yang melekat pada dirinya. Tak ada lagi nilai-nilai bijaksana seperti pengertian filsafat. Inilah yang menghacurkan roh demokrasi.

/selamatgintingofficial


No comments:

Post a Comment

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...