Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

12 February 2020

Malari, Konsinyir, dan Konflik Horizontal

Foto: Republika


Oleh Selamat Ginting

Truk militer reo berwarna hijau, dengan posisi setir sebelah kiri, berhenti di depan rumah, Komplek TNI AD Berland, Jalan Kesatrian IX, Kelurahan Kebon Manggis, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Kendaraan angkut militer beroda 10  itu, memang setiap pagi dan sore hari berhenti di depan rumah. Itulah kendaraan bekas pakai tentara Amerika Serikat dalam perang Vietnam yang menjadi kendaraan jemputan ayahku.

Dari belakang truk turun seorang sersan dan mengetuk pintu rumah. Dengan sikap tegap memberi hormat dan menyerahkan surat perintah. “Perintah konsinyir, komandan!” kata sang sersan kepada ayahku, perwira seksi operasi Yonzikon 13, Resimen Zeni 2. Kesatuan bantuan tempur Angkatan Darat yang bermarkas di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
“Tunggu saya berpakaian lima menit,” jawab ayahku (saat itu berusia 34 tahun), seorang perwira berpangkat letnan satu Korps Zeni Angkatan Darat.

Sekejap  ayah pun berpakaian lapangan tempur hijau, lengkap dengan pistol FN  di pinggang kanan dan pisau belati di pinggang sebelah kiri.  Termasuk helm baja menutupi kepalanya.  Ransel yang memang sudah diletakkan di dekat pintu, langsung digendongnya. Menyalami dan mencium pipi ibu dan kami anak-anaknya, satu per satu. Lalu memeluk erat-erat. Kemudian setengah berlari, naik truk berpenggerak 6x6, persis di samping sopir. 

Sebagai perwira seksi operasi batalyon, tentu saja ayahku punya peran untuk menentukan langkah operasi untuk menggerakkan pasukannya di lapangan. Di bagian belakang, sudah terisi penuh sejumlah bintara dan tamtama batalyon lengkap dengan pakaian tempur lapangan, termasuk senjata laras panjang jenis SP. 

Saat itu saya yang duduk di kelas 1 sekolah dasar, tidak tahu apa-apa. Tidak tahu apa yang dimaksud dengan istilah konsinyir. Tidak tahu apa yang terjadi pada pertengahan Januari 1974 itu. Juga belum mengetahui kalau Pasar Senen, Jakarta Pusat terbakar.

Konsinyir adalah istilah militer dimana para prajurit dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk.  Apabila keadaan ini diberlakukan, acap kali para prajurit sama sekali tidak diperkenankan keluar kesatriaan atau kompleks. Tidak diizinkan memberitahukan kepada keluarga dan dilarang berkomunikasi dengan keluarga. Untuk menghibur keluarga prajurit, biasanya kesatuan menyiapkan layar tancap semalam suntuk. Jadi kalau ada layar tancap, kemungkinan itulah tanda-tanda konsinyir. 

Anak-anak tentara sudah paham itu. Namun jangan heran jika istri atau anak-anak tentara tidak mengetahui penugasan yang sedang dijalani oleh suami maupun sang bapak. Sudah jadi milik negara, bukan lagi milik keluarga. 
Jangan ditanya, kapan pulangnya.  Tunggu saja kabar dari utusan batalyon, apakah mengantarkan kalung identitas dan bendera  merah putih atau foto-fotonya saja. Itu artinya gugur di medan tugas. Jenazahnya di mana? Itu urusan negara! Titik.

Sebenarnya pada Januari 1974 itu menjadi hari-hari menyenangkan bagi kami. Kumpul kembali dengan sang ayah. Sebab sebelumnya selama 1,5 tahun, ia  ditugaskan ke Irian Jaya. Membangun lapangan terbang Wagette di hutan belatara, sekaligus operasi keamanan di ujung timur, Indonesia. Logistik maupun peralatannya diterjunkan dari pesawat terbang lewat parasut maupun kapal laut dan sungai-sungai. Melawan ganasnya alam dan ancaman malaria.

Rupanya baru beberapa bulan saja menikmati kebersamaan, sudah menghadapi perintah operasi lagi. Untungnya tidak lama, hanya menghadapi demonstrasi para mahasiswa dan para perusuh yang membakar sejumlah kawasan di Jakarta.
Pasukannya bergabung ke Markas Kodam V Jayakarta di kawasan Cililitan, Jakarta Timur, sebelum disebar ke titik-titik kerusuhan di Jakarta. Saat itu Panglima Kodam adalah Mayjen GH Mantik. Jenderal bintang dua berdarah Manado, Sulawesi Utara. Sementara komandan Korps Zeni AD, Brigjen Bambang S. Sedangkan Komandan Yonzikon 13, Letnan Kolonel (Zeni) Parwoto Wirjo Pranowo, alumni  Akmil Jurtek Bandung, 1960. Seangkatan dengan Soedibyo yang kelak menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin)

Peristiwa Malari, baru saya pahami dengan lengkap saat kuliah semester lima di jurusan ilmu politik di Fisip Unas, Jakarta.  Pembahasan masalah itu terungkap dalam mata kuliah konsensus dan konflik politik. Saat itu dosennya adalah Doktor Maswadi Rauf.
Itulah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Tokoh-tokohnya, antara lain  Hariman Siregar dan Syahrir. Peristiwa yang terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta, 14-17 Januari 1974.
Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Karena dijaga ketat ABRI, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. 

Pada 17 Januari 1974, pukul 08.00 WIB, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar langsung oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya,  kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Usai demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, sebagian wilayah Jakarta terbakar. Tentara pun diperintahkan untuk konsinyir, terutama yang berdinas di kesatuan tempur maupun bantuan tempur. 

Akhir dari peristiwa itu, Presiden Soeharto memberhentikan Jenderal Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, dan langsung mengambilalih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan, termasuk membebas tugaskan Mayjen Ali Moertopo.  Kepala Bakin, Letnan Jenderal Sutopo Juwono digantikan oleh Mayjen Yoga Soegomo.

Itulah salah satu konflik elite politik pertama yang sangat mencuat di era pemerintahan Orde Baru. Konflik elite militer akan berimbas ke mana-mana dan mengancam stabilitas nasional. Tidak bisa dibayangkan jika konflik ini melibatkan kesatuan-kesatuan militer. Mereka hanya tahu perintah atasannya. Perintah adalah segalanya!

Presiden Soeharto saat itu 53 tahun, masih belum pensiun kendati sudah menjadi presiden. Ia masih militer aktif. Jenderal bintang empat. Karena itulah jabatan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, langsung diambilalihnya. 

Kita tidak bisa membayangkan jika punya presiden lemah saat terjadinya konflik elite. Apalagi yang melibatkan petinggi militer sekaligus memegang kendali mata rantai komando.  Bisa-bisa terjadi perang saudara.
Saat ini gejala konflik horizontal terjadi di depan mata kita. Antar-komponen anak bangsa bertikai. Seperti ada yang mengadu domba. Entahlah. Kita tidak ingin konflik ini terus berlangsung. Kita ingin konflik segera berakhir dan semua komponen bangsa bisa bergandengan tangan. 

Semoga pemimpin nasional kita bisa membaca suasana batin masyarakat yang sedang keruh. Belajarlah dari sejarah bangsa, Tuan Presiden.

/selamatgintingofficial

11 July 2019

Air Kaca Jenderal Tua

File lawas, diterbitkan di Republika Online: Jumat 29 Apr 2016 18:00 WIB

Foto: Tirto.ID
 
Oleh: Selamat Ginting

Apa yang dikhawatirkan Arthur tentang Cina, akhirnya terbukti hingga sekarang.


Pada 19 April 1951 atau 65 tahun silam, seorang jenderal legendaris, Douglas Mac Arthur mengucapkan kata-kata terkenal di depan Kongres Amerika Serikat. Ia menutup karier militernya selama 52 tahun dengan mata berkaca-kaca.

"Old soldiers never die, they just fade away". Prajurit tua tidak pernah mati, mereka hanya memudar. Itulah kalimat lantang dari veteran Perang Dunia I dan II tersebut.

Dalam diri Douglas Mac Arthur memang mengalir darah militer. Ia lahir di asrama tentara di Little Rock, Arkansas, pada 26 Januari 1880. Terlahir dari keluarga militer dan politikus. Ayahnya, seorang perwira militer, Letnan Jenderal Arthur Mac Arthur, Jr. Sedangkan kakeknya adalah Arthur Mac Arthur, Sr, seorang politikus Amerika.

Douglas Mac Arthur kemudian masuk Akademi Militer West Point pada 1898. Ia menjadi lulusan terbaik dari 93 kadet pada Juni 1903. Dalam ketentuan Angkatan Darat Amerika Serikat, lulusan terbaik dimasukkan dalam Army Corps of Engineers atau Korps Zeni. Ia pun mengawali kariernya dengan pangkat Letnan Zeni AD di Batalion Zeni Konstruksi Tempur.

Misi pertamanya adalah pengintaian dalam pertempuran Veracruz yang terjadi pada 1914. Pertempuran tersebut dalam sejarah ditulis sebagai pemberontakan Mexico atas AS. Kariernya terus menanjak hingga menjadi Kolonel Zeni dengan jabatan kepala Staf Divisi Rinbow.

Pada Perang Dunia I, pangkatnya naik menjadi brigadir jenderal. Ia dinominasikan meraih Medal of Honor. Selama perang ini, ia terlibat dalam Pertempuran di Reim (Battle of Reims/Battle of the Marne), pertempuran Saint-Mihiel dan pertempuran Meuse-Argonne atau yang dikenal juga dengan Battle of the Argonne Forest.

Seusai perang, ia ditugaskan sebagai pengawas termuda dalam sejarah Akademi Militer AS. Kemudian menjadi Komandan Brigade Infanteri 23 Divisi Filipina pada 1924-1925. Dalam usia 44 tahun, ia dipromosikan menjadi mayor jenderal termuda dalam Angkatan Darat AS. Sebagai Komandan Korps ke IV di Atlanta.

Pada 1930, ia dipercaya menjadi kepala Staf AD dalam usia 50 tahun. Menjadi KSAD selama lima tahun.  Setelah itu, diminta menjadi penasihat militer Presiden AS. Lalu Presiden Filipina Manuel Quezon memintanya menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Filipina. Sekaligus membentuk Akademi Militer Filipina.

Pada awal invasi Jepang di Filipina, Jenderal ini sempat terdesak hingga mendirikan markas pertahanan terakhir di Bataan dan Cooregidor. Kemudian Washington memerintahkannya bergeser ke Australia. Saat itu ucapannya yang terkenal adalah "I came out of Bataan and I shall return". 

Walaupun sempat terusir dari Filipina, atas perannya menahan invasi Jepang di Filipina, Mac Arthur dianugerahi Medal of Honor yang telah sempat dua kali dinominasikan sebelumnya.

Out of the Box
Pada 31 Desember 1937, Mayor Jenderal Douglas Mac Arthur resmi pensiun dari Angkatan Darat AS. Namun, hal yang tak terduga muncul. Jepang menyerang Port Harbor di Hawai pada 7 Desember 1941. Presiden Roosevelt pun tidak punya pilihan lain. 

Ia memanggil kembali Mac Arthur yang sudah pensiun 3,5 tahun lalu. Surat pensiunnya pun dicabut dan Arthur diberikan kenaikan pangkat menjadi letnan jenderal. Sekaligus menjadi panglima AD kawasan Timur Jauh untuk melawan Jepang. Cara berpikir Arthur dianggap out of the box, tetapi hasilnya selalu gemilang.

Dari Australia, Arthur bersama Laksamana Chester W Nimitz merancang operasi kontra ofensif terhadap Jepang. Titik balik pertama adalah 'Battle of Midway' yang terjadi pada 1942. Dari kode sandi yang berhasil dipecahkan Amerika, diketahui detail rencana dan kekuatan ofensif Jepang yang saat itu bertujuan menduduki Port Moresby.

April 1942, ia dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal bintang empat sebagai panglima tertinggi Sekutu wilayah Pasifik Barat Daya. Berturut-turut Arthur berhasil menguasai New Guinea, rangkaian kepulauan Pasifik, Morotai, dan merebut kembali Filipina. Arthur kemudian diangkat sebagai panglima Angkatan Darat Amerika di Pasifik.

Rencana untuk menduduki tanah Jepang kemudian disiapkan, namun Jepang keburu menyerah. Ia memimpin upacara penyerahan Jepang di atas kapal perang USS Missouri pada 2 Desember 1945. 

Arthur kemudian terlibat dalam Perang Korea pada 1950. Memimpin pasukan perdamain PBB dan memukul mundur pasukan Korea Utara yang dibantu Cina. Ia mengusulkan rencana merebut beberapa wilayah di Cina, tetapi ditolak oleh Presiden Harry S Truman. 

Arthur kemudian ditarik kembali ke Washington. Puncaknya, pada 11 April, 1951, Presiden Truman mencopot Mac Arthur dari struktur kemiliteran dan dipensiunkan kembali dalam usia 71 tahun. Apa yang dikhawatirkan Arthur tentang Cina, akhirnya terbukti hingga sekarang.

Jenderal legendaris itu meninggal pada 5 April 1964 dalam usia 84 tahun. Dunia mengenang prestasinya dalam beragam pertempuran dan teater perang serta pidato-pidatonya yang membekas dalam sanubari militer. Beberapa relief didirikan untuk menghormati dan mengenangnya, termasuk patung Jenderal Bintang Lima Mac Arthur di Akademi Militer West Point.

Kenangannya di Morotai pun tersusun dalam Museum PD II bekerja sama dengan Yayasan Douglas Mac Arthur. Begitu juga dengan Pulau Zum-zum. Pulau kecil yang dapat ditempuh 10 menit berperahu ke arah barat dari Daruba. Di situ, terdapat monumen Mac Arthur. Sayang kondisi tidak terawat. Ada patung torso Arthur, tapi sudah mengelupas. 

Ada pula Air Kaca yang merupakan sebuah ceruk mata air alami di Lingkungan Joubela Desa Totodoku, Kabupaten Pulau Morotai. Mata air ini memiliki peran penting bagi Mac Arthur dan anak buahnya. Beningnya mata air bagaikan cermin. Situs sejarah ini pun tak sebening namanya. Letaknya tak jauh dari Bandar Udara Pitu, basis pertahanan Sekutu yang kini dikenal sebagai Bandara Leo Wattimena.

Air kaca, seperti itu pula saat Mac Arthur memberikan ucapan perpisahannya sebagai prajurit militer. "Prajurit tua tak pernah mati, dia hanya memudar," katanya dengan mata berkaca-kaca.

(Selamat Ginting, berbagai sumber)

09 July 2019

Lompat Katak Si Zenis

File lawas, released di Republika Online: Senin 15 Desember 2014
Oleh: Selamat Ginting
 
Morotai yang kini menjadi kabupaten di wilayah Provinsi Maluku Utara pernah menjadi markas militer sekutu yang dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur. Morotai bagian barat daya dijadikan basis untuk membebaskan Filipina dari aneksasi tentara Jepang.
 
Morotai adalah sebuah pulau kecil yang terletak di Halmahera Utara, Kepulauan Maluku. Sebagian besar pulau masih tertutup hutan lebat. Jepang menduduki Morotai pada awal 1942, tetapi tidak menempatkan pasukannya di Morotai ataupun mengembangkannya.

Pada awal 1944 Morotai muncul sebagai wilayah yang penting bagi militer Jepang ketika mulai mengembangkan pulau-pulau di Halmahera sebagai titik fokus untuk mempertahankan Filipina.

Pada Mei 1944 divisi ke-32 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang tiba di Halmahera untuk mempertahankan pulau dan sembilan landasan udaranya. Pertempuran Morotai terjadi pada 15 September 1944 saat  akhir Perang Dunia (PD) II. 

Pertempuran dimulai ketika tentara Amerika Serikat dan Australia yang dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur mendarat di Morotai bagian barat daya. Pertempuran terus berlanjut hingga akhir perang dengan tentara Jepang menderita korban jiwa yang besar akibat penyakit dan kelaparan. 

Ya, jalan berlapis koral di Morotai merupakan peninggalan Korps Zeni Angkatan Laut Amerika Serikat. Jalan itu masih kukuh dan menjadi tumpuan utama transportasi di Pulau Morotai. Itulah jalan warisan Jenderal Douglas Mac Arthur

Setelah Jepang dan Amerika Serikat, tentara Indonesia pun menjadikan Morotai sebagai pangkalan untuk menyerang lawan. Dimulai saat penumpasan PRRI-Permesta hingga Trikora. Korps Zeni Angkatan Darat Indonesia membangun pangkalan darurat di lautan Morotai untuk landasan pesawat tempur yang akan menyerang wilayah Papua yang diduduki tentara Belanda. 

Siapa sesungguhnya Douglas Mac Arthur? Ia adalah seorang jenderal dari Korps Zeni Angkatan Darat Amerika Serikat. Dari Morotai wilayah Indonesia, ia kemudian ditugaskan untuk memimpin invasi ke Jepang pada November 1945. Sekaligus, menerima penyerahan Jepang kepada Sekutu pada 2 September 1945. Mac Arthur mengurus pendudukan Jepang dari 1945 sampai 1951 dan dianggap berjasa menerapkan berbagai perubahan demokratis.
 
Ia pun memimpin tentara PBB di Korea dari 1950–1951 melawan invasi Korea Utara. Mac Arthur dicabut dari jabatan pemimpin oleh Presiden Harry S Truman pada April 1951 karena menentang kebijakan Truman dalam Perang Korea di depan umum. Mac Arthur bertempur dalam tiga perang besar, PD I, PD II, dan Perang Korea.
 
Membahas strategi perang Mac Arthur saat di Morotai, dunia terhenyak ketika ia memperkenalkan Leapfrog Strategy atau strategi lompat katak saat bertugas mengawal pangkalan Amerika di Pasifik. Pasifik merupakan kawasan yang unik karena hampir 90 persen merupakan lautan luas dengan pulau-pulau kecil dan sedang di dalamnya.
 
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi di wilayah kontinen di mana pergerakan pasukan dapat dengan mudah dilakukan melalui jalan darat atau udara. Lautan luas tentu menyulitkan pergerakan pasukan karena membutuhkan energi yang luar biasa untuk merengkuhnya satu demi satu. Ada beberapa pelajaran menarik yang dapat diambil dari strategi tersebut. 
 
Pertama, ketika tentara Jepang semakin kuat dan mendekati pangkalannya di Filipina, Mac Arthur segera memindahkan pasukannya ke Australia. Lebih baik mundur selangkah daripada bertahan sia-sia mengingat kekuatan Amerika lumpuh setelah Pearl Harbour dihajar Jepang. 

Dengan ucapannya yang terkenal, "I shall return", Mac Arthur mulai menyusun strategi untuk kembali meraih Filipina sekaligus menaklukkan Jepang.
 
Kedua, ketika kekuatan mulai pulih, rencana besar mulai disusun. Langkah awal, menaklukkan pulau-pulau karang atau atol yang dikuasai Jepang di Pasifik. Ia tidak langsung merebut pulau-pulau besar karena kondisi alam berupa lautan memerlukan kekuatan besar untuk merebut sebuah pulau besar. Terbukti kemudian, pertempuran di Midway dan Kwajalein menjadi titik balik kemenangan Amerika di Pasifik.
 
Ketiga, setelah menguasai pulau karang, langkah selanjutnya adalah menguasai kepulauan berukuran sedang, seperti Kepulauan Solomon dan New Guinea (Papua Nugini). Barulah, setelah itu melangkah lebih jauh, merebut Filipina dari genggaman tentara Jepang.
 
Ya, semua berjalan terstruktur. Langkah demi langkah, sabar dan konsisten. Itulah kunci kemenangan pasukan Mac Arthur di Pasifik atas Jepang. Begitulah si Zenis (Korps Zeni) Mac Arthur dengan pangkat terakhir jenderal besar bintang lima terkenal dengan penampilannya menempelkan cangklong besar di bibirnya.
 
Mac Arthur, satu-satunya jenderal yang bertempur di tiga perang besar: PD I, PD II, dan Perang Korea. Dengan rekam jejaknya, sesungguhnya ia pantas menjadi Presiden Amerika Serikat. Tapi, hal itu tidak pernah terjadi.

Bahkan, karier militernya berakhir secara tragis. Dia dipecat oleh Presiden Harry S Truman karena menentang kebijakan dalam Perang Korea. Truman sebetulnya musuh politik Mac Arthur yang sangat khawatir bersaing secara terbuka.

Kendati demikian, Mac Arthur tidak sakit hati atau memelihara dendam terhadap Truman. Dia sebetulnya merupakan saingan utama Truman untuk menduduki kursi Gedung Putih. Dia juga tidak berusaha melengserkan Truman dari kekuasaan.

McArthur meninggal pada 1964 tanpa pernah memperoleh rehabilitasi. Tapi, namanya tetap harum. Ucapan-ucapannya mengandung filosofi.
"I shall return" dan "old soldiers never die, they are just fading away" merupakan dua ungkapan Mac Arthur yang paling kesohor di dunia. "I shall return" diungkapkannya ketika Presiden AS Franklin D Roosevelt mengungsikannya ke Australia dari Filipina.

/selamatgintingofficial

Payung Berdarah di Kota Dili

Republika (28/6/2019)

Operasi lintas udara pasukan TNI pada dini hari, diketahui pasukan Fretilin. Apa yang terjadi?

Baucau, kota kedua terbesar di Timor Leste, setelah Dili. Jaraknya sekitar 122 km dari Dili, ibu kota negara Timor Leste. Pada masa Timor Portugis, Baucau disebut Vila Salazar. Salazar adalah nama diktator Portugis, Antonio de Oliveira Salazar.

Kota ini sangat strategis, karena memiliki lapangan terbang terbesar. Lebih besar daripada Dili.

Baucau menjadi sasaran kedua bagi pasukan Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) TNI. Pada 10 Desember 1975, dilakukan penerjunan pasukan payung Brigade Infanteri (Brigade)-17/Linud (Lintas Udara) Kostrad.

Terdiri dari Batalyon Infanteri (Yonif) 328, Yonif 401, Detasemen Para Komando (Den Parako) Kopasandha, Batalyon Pasukan Marinir (Yon Pasmar)-2 AL, Tim B Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) AU, dan 1 peleton kompi Zeni Tempur (Zipur) 9 Para Menzipur Kostrad.

Mereka mendarat di lapangan terbang Baucau. Pasukan ini, seperti tertulis di buku Operasi Seroja Jilid II A, mendapatkan perlindungan udara dari pesawat pembom serbu B-26 Invader. Serbuan ke Baucau ini lebih matang dibandingkan dengan serbuan yang dilaksanakan di kota Dili pada 7 Desember 1975. Penerjunan yang dimulai pukul 07.20 itu merupakan pendadakan bagi Antonio Reis da Silva Nunes sebagai komandan asrama Baucau.

“Mereka tidak sempat mengkoordinasi pasukannya untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan gabungan. Pasukan Fretilin melarikan diri dari Baucau dan meninggalkan penjagaannya di lapangan terbang. Nyaris tidak ada perlawanan sama sekali. Fretilin segera meninggalkan Baucau,” seperti ditulis Nugroho Hariadi, Paratroops: Pasukan Penyergap dari Udara.

Diketahui Fretilin
Kondisi itu berbeda jauh dengan penyerbuan di Dili, tiga hari sebelumnya. Pada 7 Desember 1975, Operasi Seroja mulai masuk pada tahap serbuan. Operasi terbuka untuk pertama kalinya berlangsung dengan melakukan serbuan ke kota Dili yang merupakan jantung kota Timor Portugis. Kapal-kapal perang TNI-AL sudah siap merapat di perairan dekat Dili beber apa hari sebelum 7 Desember 1975. Sebelumnya telah dilaksanakan rapat gabungan secara tertutup pada 4 Desember 1975 di Kupang.

Serbuan pertama pasukan dengan penerjunan direncanakan di Dili, Baucau, dan Laga. Dalam serbuan kota Dili, pasukan yang bertugas adalah Grup Parako, Yonif 501 Linud, 1 kompi plus dari Yonif 502, tim Tuti, Yon Pasmar-1, dan partisan yang berjumlah 843 orang dari Linud, dan 906 dalam serbuan Amphibi.

Pukul 02.00, pada 7 Desember 1975 kapal-kapal Komando Tugas Amphibi TNI AL tiba di lepas pantai Dili. Namun tiba-tiba pukul 03.00 seluruh listrik di kota Dili telah dipadamkan. Peristiwa ini menandakan serangan dadakan telah diketahui Fretilin. Hal ini seperti dituliskan Etri Ratnasari, Operasi Seroja 1975-1978 di Timor Timur: kajian tentang ABRI-AD. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.

Rupanya, pasukan Fretilin telah siap siaga menghimpun kekuatan mereka untuk bertempur dan menghadang pasukan yang akan mendarat itu. Maka diputuskan oleh Brigjen Suweno kepada Komando Tugas Amphibi untuk melakukan penembakan ke pantai dengan pertimbangan menurunkan moril lawan dan mengangkat moril pasukannya dengan menggunakan meriam 76mm frigat.

Dili dihujani tembakan meriam oleh armada TNI-AL. Satu jam kemudian sejumlah pesawat terbang melintas di atas kota Dili dengan menerjunkan ratusan pasukan payung dari Kopasandha dan Brigif 18 Linud menggunakan pesawat C-130 Hercules. Bersamaan dengan penerjunan, juga dilakukan pendaratan ke pantai oleh satu pasukan Brigade Marinir TNI-AL.

Buruknya komunikasi
Penerjunan-penerjunan sempat mengalami kekacauan, terjadi baku tembak antara pasukan penerjun dengan anggota marinir, karena kurangnya komunikasi. Pasukan penerjun mengira pasukan yang di bawah adalah Fretilin. Ternyata pasukan di darat adalah pasukan marinir. 

Seharusnya operasi amfibi yang dilakukan TNI AL mendapatkan perlindungan udara. Namun, Mustang P-51 dari Skuadron-3 yang seharusnya mengawak, seluruhnya sudah dinyatakan grounded akibat kecelakaan yang menewaskan Mayor (Penerbangan) Sriyono pada 1974. Hal ini dikemukakan dalam tulisan Petrik Matanasi dan F Huda Kurniawan, Hantu Laut: KKOMarinir Indonesia.

Operasi pendaratan hanya dilindungi Patroli Udara Tempur (Combat Air PatrolCAP) dan Bantuan Tembakan Udara (BTU) dilakukan dengan dua pesawat AC-47 Gunship dan dua pembom udara serbu B-26 invader. Penyerbuan kota Dili juga melibatkan pasukan gabungan pejuang Timor. Mereka merupakan partisan-partisan dari Operasi Seroja melalui pendaratan laut.

Pasukan payung dapat menduduki kota Dili pada pukul 12.30. Serangan ini menyebabkan para pimpinan Fretilin memindahkan markasnya ke kota Aileu oleh Nicolau Lobato dan adiknya, Antonio Lobato. “Mereka membentuk pertahanan di daerah perbukitan untuk menghambat maju pasukan gabungan. Tetapi komandan tertinggi Falintil, Rogerio Lobato telah melarikan diri ke Australia. Sebagian anggota Fretilin ada yang menyerahkan diri kepada pasukan gabungan, tetapi sebagian lainnya melarikan diri ke hutan,” kata Hendro Subroto dalam bukunya ‘Saksi mata Perjuangan Integrasi Timor Timur’, Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Kota Dili yang sudah dikuasai dijadikan sebagai pusat markas Kogasgab Seroja. Hal ini untuk memudahkan pemberian komando operasi dan pengawasan beserta kantor untuk staf-staf Kogasgab Seroja. Pasukan penerjun yang menduduki kota Dili, kemudian digantikan oleh pasukan dari Brigif-4 KTAD (Komando Taktis Angkatan Darat). Mereka bertugas melakukan gerakan sapu bersih terhadap musuh. Serbuan-serbuan dilanjutkan dengan menduduki kota-kota strategis lainnya.

Pengungsi 
Diawali dari perang saudara yang semakin gencar dilakukan di Timor Portugis sepanjang September - Oktober 1975. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya migrasi besar-besaran ke dalam wilayah Indonesia. Menurut laporan Kodam XVI/Udayana, pada 11 September 1975 jumlah pengungsi sudah mencapai 27.858 orang suku Timor dan 489 orang warga negara asing di Atambua dan daerah sekitarnya.

Pada 22 September 1975, jumlah pengungsi telah mencapai 32 ribu orang. Pengungsian terus mengalami peningkatan dan telah mencapai 40 ribu orang. 

Tentu saja peristiwa ini menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Portugis. Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan mengatasi segala perubahan yang terjadi di wilayah yang rentan konflik tersebut. Hal itu terungkap dalam buku Soekanto, Integrasi: Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur.

Namun, secara tiba-tiba, pada 28 November 1975, Fretilin menyatakan Kemerdekaan Republik Demokratik Timor Lorosae di gedung pemerintahan pusat di Dili. Hari berikutnya, Xavier do Amar al diambil sumpahnya sebagai Presiden Republik Demokratik Timor Lorosae. Proklamasi sepihak itu ditolak empat partai lain.

Dua hari kemudian, pada 30 November 1975, empat partai mengeluarkan komunike yang dinamakan Deklarasi Balibo. Isi pernyataan: atas nama rakyat Timor Portugis memproklamasikan pengintegrasian ke negara kesatuan RI sebagai propinsi ke-27 dengan nama Timor Timur. Mereka juga meminta Pemerintah RI menyempurnakan perumusan dan implementasi deklarasi bersama-sama rakyat Timor Timur.

Batugade
Perintah melaksanakan Operasi Seroja sudah ada sejak 31 Agustus 1975. Tetapi, pasukan TNI sebagai sukarelawan, baru mulai melaksanakan tugasnya Oktober 1975. Diawali serangan Fretilin di Batugade, pada 24 September 1975. Batugade merupakan daerah perbatasan yang dijadikan basis pertahanan partai UDT yang terakhir.

Serangan itu menewaskan enam orang Timor Portugis dan satu warga Indonesia, serta beberapa penduduk luka-luka. Batugade kemudian dijadikan basis Fretilin. Bahk an Fretilin kerap memberikan tembakan mortir kaliber 80 mm ke daerah Mo- taain. Sebuah daerah penghubung antara Atambua, NTT Indonesia dengan Batugade.

Pasukan gabungan pejuang Timor berusaha merebut kembali benteng Batugade dengan dibantu sukarelawan Indonesia. Serangan balik pada 7 Oktober 1975. Inilah tugas pertama yang dilaksanakan sukarelawan Indonesia dalam rangka membantu pasukan gabungan pejuang Timor. Hal ini diungkap dalam buku Sejarah TNI AD 1974-1975, Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, 2005.

Sasaran utama markas Fretilin di Benteng Batugade dan pos pengintaian Fretilin di atas bukit. Pasukan gabungan dibagi menjadi dua. Satu regu merupakan sukarelawan dari Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) menyerang benteng Batugade. Sedangkan dua pleton UDT menyerang pos pengintaian Fretilin.

Sekitar pukul 04.00, Batugade digempur dari beberapa arah dengan RPG-2, menyebabkan Fretilin melarikan diri. Sedangkan pos pengintaian Fretilin telah dikosongkan pada malam sebelumnya. Situasi ini memungkinkan sukarelawan Indonesia turun tangan dalam perebutan wilayah yang strategis itu.

Perebutan kembali Benteng Batugade merupakan langkah awal bagi pasukan gabungan merealisasikan integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Untuk menghan- curk an Fretilin, pasukan gabungan menyerbu basis-basis musuh. Setiap daerah yang telah berhasil direbut, pasukan gabungan segera menancapkan bendera Merah Putih dalam wilayah tersebut. Hal ini sebagai simbol rakyat di daerah tersebut mendukung integrasi dengan Indonesia. ■

/selamatgintingofficial

18 June 2019

Rezim Murka Lawan Jenderal Pembangkang


Foto: Republika Online

Oleh Selamat Ginting
Mengapa jenderal kritis harus dilawan dengan hukum subversif dan tuduhan makar?

Peristiwa 26 tahun lalu.  Tepatnya, Juni 1993. Salah satu liputan politik paling menarik perhatian penulis saat awal menjadi wartawan. Ketika itu, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) BJ Habibie mengundang Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dkk berkunjung ke PT PAL Surabaya.
Apa menariknya? Sangat menarik, karena mantan Gubernur DKI Jakarta bersama sejumlah jenderal dan politikus masuk dalam daftar kaum ‘pembangkang’. Membangkang terhadap pemerintah Orde Baru, pimpinan Jenderal (Purn) Soeharto. Kelompok pembangkang di antaranya adalah jenderal-jenderal militer dan polisi yang tergabung dalam penandatangan Petisi 50, tahun 1980.
Sebut saja, mantan Menko Hankam / Kepala Staf ABRI, Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution; mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Darsono, mantan Panglima Kostrad, Letjen (Purn) A Kemal Idris, mantan Menteri / Wakil Panglima Angkatan Laut, Letjen (Purn) Ali Sadikin; mantan Kepala Polri, Jenderal (Purn) Hoegeng dll.
Selama 13 tahun, kelompok Petisi 50 menjadi oposisi terhadap Presiden Soeharto. Undangan Habibie kepada para pembangkang itu menarik perhatian pers. Tentu saja ingin mengetahui apa reaksi Jenderal Soeharto. Di luar dugaan, kata Habibie, Pak Harto justru merestui inisiatif tersebut.

"Habibie, mereka adalah kawan seperjuangan saya. Mereka adalah Angkatan 45 yang berperan menjadikan kamu seperti sekarang ini," begitu ucapan Pak Harto yang dikutip Habibie. Sejak itulah hubungan antara pemerintah dan penggagas Petisi 50 yang semula kaku dan membeku, perlahan mulai cair. Babak baru percaturan politik era Orde Baru dimulai.
Jenderal kritis
Petisi 50, bukan orang sembarangan. Mereka seperti diakui Soeharto, mempunyai jasa untuk bangsa dan negara. Gerakan oposisi ini diawali dari kelompok Brasildi.  Nama ini tidak ada hubungannya dengan negara paling banyak menjadi juara dunia sepakbola, Brasil. Brasildi adalah akronim dari divisi yang kemudian menjadi komando daerah militer (kodam). Brawijaya, Siliwangi, dan Diponegoro. Komando utama militer di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. 
Grup diskusi ini beranggotakan sejumlah pensiunan elite dari tiga divisi tersebut.  Brawijaya diwakili antara lain Letjen (Purn) GPH Djatikusumo, Letjen (Purn) Sudirman dan Letjen (Purn) M. Yassin. Djatikusumo adalah orang pertama yang menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Dari Siliwangi, ada nama-nama seperti:  Letjen (Purn) Kemal Idris, Brigjen (Purn) Alex Kawilarang, Letjen (Purn) AY Mokoginta. Dari Diponegoro ada nama-nama seperti: Mayjen (Purn) Moenadi H, Mayjen (Purn) Brotosewoyo, dan Mayjen (Purn) Iskandar Ranuwiharjo.
Para purnawirawan kritis itu aktif melakukan diskusi saat situasi politik memanas jelang pemilu 1977. Brasildi kemudian menjadi Fosko (Forum Studi Komunikasi) TNI AD 1978, Yayasan Kartika Eka Paksi. Pimpinannya adalah GPH Djatikusumo.  Salah satu kesimpulan diskusi  para jenderal pensiunan itu menilai suasana politik ‘kurang sehat’. Bahkan Sidang Umum MPR 1978, mirip perang!
Mereka juga mengritik TNI/ABRI belum menempatkan dirinya di atas semua golongan. Menyimpang dari semangat politik TNI adalah politik negara.  Belakangan mantan Panglima Siliwangi yang juga Sekjen ASEAN, Letjen (Purn) HR Dharsono masuk ke dalam Fosko dan diangkat menjadi sekjen mendampingi Djatikusumo.
Kritik mereka terhadap Mabes ABRI semakin keras dan mempertanyakan arah kebijakan Dwifungsi ABRI. Juga protes keras terhadap langkah politik Golkar sebagai partai pemerintah yang membuat sejumlah rekayasa ‘kecurangan’ pemilu dan sidang umum.
Langkah berani para purnawirawan membuat KSAD Jenderal Widodo serba salah.  Ia tak bisa lagi mengendalikan para seniornya yang sudah purnawirawan.  Widodo serba salah harus menjelaskannya kepada Presiden Soeharto. Akhirnya ia membubarkan Fosko pada Mei 1979. Namun membiarkan para jenderal gaek itu membuat wadah baru Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha (FKS).
Dituduh makar
Para senior ini ingin langsung menemui Presiden Soeharto, tanpa melalui KSAD. Jenderal Widodo mempersilakan. Momentumnya saat Soeharto ke Jawa Tengah, November 1979. Di luar dugaan, mereka malah dituduh hendak makar terhadap pemerintah. Sekali lagi dituding akan melakukan makar. Pertemuan pun tidak jadi berlangsung.
Setelah itu, Jenderal (Purn) AH Nasution berinisiatif memperlebar para tokoh, bukan hanya pensiunan TNI Angkatan Darat. Mengundang pensiunan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, serta sejumlah tokoh bangsa. Lahirlah Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB),  pada Juli 1978. Proklamator Mohamad  Hatta, Sunario, Ahmad Subardjo, Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso, dll.
AH Nasution dkk mengritik Orde Baru belum menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara benar.  Kemudian Ali Sadikin dkk bertemu DPR dan mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintahan Orde Baru yang dinilainya cenderung semakin otoriter.
Presiden Soeharto pun murka. Murka saat rapat pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980 di Pekanbaru. Dilanjutkan pada hari jadi ke 28 tahun Kopassanda, kini Kopassus, 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta. Soeharto mengingatkan jajaran TNI/ABRI akan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Ia mengaku tak ingin ada konflik bersenjata.
“… (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai,” kata Soeharto.
Aku Pancasila
Soeharto mulai ‘mempersonifikasikan’ dirinya sebagai Pancasila. ‘Akulah’ Pancasila. Sehingga yang berseberangan dengan dirinya dianggap bukan Pancasila.  Soeharto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada diri dan keluarganya.

Pernyataan Soeharto dibalas oleh para senior, terutama purnawirawan TNI dan Polri. Ali Sadikin, Hoegeng, Mayjen (Purn) Aziz Saleh dkk kemudian mengundang AY Mokoginta dan M Yassin dari FKS Purna Yudha. Mereka merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan. Surat itu ditandatangani pada 5 Mei 1980. Sejumlah tokoh bangsa yang ikut andatangan, antara lain: Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, dan Slamet Bratanata.
Ada 50 orang yang ikut menandatangani surat keprihatinan, maka dinamai Petisi 50. Surat itu dikirim ke DPR dan meminta lembaga legislatif menanggapinya.  Sejumlah anggota DPR dari F-PP dan F-PDI memimta Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, Slamet Bratanata, pimpinan DPR meneruskan pertanyaan kepada pemerintah.  
Lalu, pada 14 Juni 1980, Ketua DPR Daryatmo meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden. Dua bulan kemudian, Presiden Soeharto menjawab melalui Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono.  Namun  dianggap oleh kelompok Petisi 50 bukan merupakan jawaban. Ali Sadikin dkk menganggap persoalan belum selesai.
"Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri Petisi 50, tidak saya sukai," kata Pak Harto dalam otobiografi ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’.
Perang pun dimulai. Pemerintah Soeharto mencekal (cegah tangkal) ke luar negeri bagi semua anggota Petisi 50 yang tidak bersedia mencabut pernyataannya. Bukan cuma itu, sejumlah hak perdatanya juga ditutup. Misalnya, Ali Sadikin tidak bisa mendapat kredit dari bank.  Perusahannya, PT Arkalina terpaksa ditutup.
Ayah Ton


Konflik antara Presiden Soeharto dengan kelompok Petisi 50 terus berlanjut. Puncaknya pada 1984. Terjadi peristiwa Tanjung Priok dan pengeboman Bank BCA di Jakarta. Dua peristiwa itu menjadi pintu masuk bagi rezim Soeharto memberangus kelompok oposisi, baik Petisi 50 maupun gerakan Islam.

Dua tokoh Petisi 50, mantan Menteri Perindustrian (1966-1968) M Sanusi dan Letjen (Purn) HR Dharsono ditangkap Kopkamtib. Keduanya dituduh terkait pengeboman itu.  Sanusi dituduh sebagai koordinator para pelaku teror yang melakukan pengeboman dan gerakan makar lainnya. 

Dalam persidangan terungkap, adanya rekayasa terhadap peran Sanusi. Para saksi mencabut kesaksian mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka mengaku diintimidasi dan disiksa di penjara saat membuat BAP.  

Sedangkan Jenderal Dharsono dituduh memimpin rapat-rapat para teroris setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok.  Sang  jenderal pun dipenjara selama hampir enam tahun.  Padahal ia hanya memprotes tindakan ABRI yang menembaki rakyat di Tajung Priok.  Tindakan sewenang-wenang yang menewaskan sejumlah orang. Ia minta pemerintah dari pimpinan ABRI harus bertanggung jawab terhadap hilangnya nyawa rakyat.

Begitulah saat rezim panik. Semua lawan politik dikriminalisasi dengan rekayasa hukum.  Oposisi diberangus tanpa ampun. Tak peduli dengan jasa-jasa para bekas menteri maupun pensiunan jenderal.  

Pada 1990, sebagai mahasiswa, penulis turut simpati dan menyambut bebasnya Letnan Jenderal (Purn) Hartono Rekso Dharsono atau dikenal sebagai HR Dharsono dari penjara LP Cipinang. Memakai kaos putih bergambar HR Dharsono dan menyambutnya bagai pahlawan menang perang.
 
Setelah bebas dari penjara, ia mengalami penyakit bronchitis dan kanker. Tentu saja dampak penderitaan yang dialaminya selama di penjara. Ia wafat pada pertengahan 1996.  Ironisnya, pemerintah melarang jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ia hanya dimakamkan di pemakaman umum.

Letjen (Purn) Kemal Idris sampai menangis melihat perlakuan pemerintah terhadap HR Dharsono. “Ini seperti pemakaman kucing. Padahal dia pahlawan.”  Sebab, semua tanda kehormatan negara, tanda jasa, serta pensiunnya sebagai jenderal, tidak pernah dicabut oleh negara.     

/selamatgintingofficial






Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...