03 June 2019

Habis Manis, Kivlan Dibuang (Bagian ke-1 dari 2 tulisan)

Foto: Republika Online
Oleh Selamat Ginting

Para purnawirawan tentu tidak ingin Kivlan hanya sebagai tokoh ikonik. Hadir ketika pemerintah membutuhkan jasanya saja. Setelah itu?

Pekan keempat April 2016. Selama beberapa hari, saya mengikuti perjalanan dinas Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ke Indonesia Timur. Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Namun jadwal kunjungan dipercepat satu hari dari jadwal semula. Panglima harus segera ke Jakarta, malam itu juga. Ada apakah? Semua perwira tinggi terdiam. Tak ada yang bisa memberikan penjelasan.
Begitu pesawat mendarat di Halim Perdana Kusuma, Gatot langsung masuk jeep yang menjemputnya. Ia segera pergi meninggalkan komplek militer Halim. Malam itu juga saya mencari tahu ada berita penting apa di Jakarta, sehingga Gatot tergopoh-gopoh?
Akhirnya saya mendapatkan jawaban. Terjadi penyenderaan kapal penarik tongkang batubara di perairan Laut Sulu, Filipina. “Betul, Bang. Yang disandera warga Indonesia,” kata seorang kolonel senior, saat saya hubungi via telepon. Awak kapal yang disandera sebanyak 10 orang.

Diplomasi jenderal
Seketika saya ingat seseorang jenderal yang kontroversial. Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Ingatan itu melambung ke tahun 1995-1996. Ketika itu di sebuah hotel di Jakarta. Saya berkenalan dengan sosok Kivlan, jenderal bintang satu (brigjen). Saya meminta tolong kepada jenderal lulusan Akademi Militer (Akmil) 1971 agar bisa mewawancarai Nur Misuari, seorang revolusioner pemimpin Front Pembebasan Nasional Moro.
Saya terkejut, Kivlan dengan mudah membawa Misuari ke sebuah ruangan untuk bertemu dengan saya, wartawan muda. Padahal, Misuari adalah Gubernur Wilayah Otonomi Muslim Mindanao. Misuari begitu ‘menurut’ apa yang diminta Kivlan, anak Medan keturunan Minang dan lahir di Langsa Aceh. Kultur tiga daerah itu melekat pada diri Kivlan menjadi lelaki nekat.
Ini jenderal unik, pikirku saaat itu. Entah belajar diplomasi dari mana, tentara kelahiran 1946 tersebut. Saat itu saya juga mewawancarai Kivlan tentang resepnya bisa ‘menundukkan’ Misuari. “Ah gampang itu. Model gertak anak Medan. Aku ancam, kalau tidak mau menerima 8 dari 10 poin, kau tidak akan dapat apa-apa. Lebih baik, terima saja tawaran pemerintah Filipina,” ujar Kivlan seraya terkekeh-kekeh.
Akhirnya Misuari memang menerima saran Kivlan. Sejak itu nama Kivlan cukup dikenal oleh keluarga Misuari di Filipina Selatan. Ia saat itu menjadi pengamat militer Indonesia untuk perdamaian di Filipina Selatan. Jabatan sebelumnya adalah Kepala Staf Divisi Infanteri 1 Kostrad.

Urakan
Kivlan juga pernah menjadi Komandan Brigade Infanteri 6 Divisi Infanteri 2 Kostrad, serta Komandan Resimen Candra Dimuka Akmil, Magelang. Riwayat jabatan militernya lebih dari separuhnya dihabiskan di baret hijau Kostrad. Maka wajar jika ia pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad, dan kemudian menjadi Kepala Staf Kostrad. Panglima Kostrad saat itu, Letjen Prabowo Subianto. Karier militer Kivlan ‘jalan di tempat’ bersamaan pergantian rezim.

Kivlan juga pernah bertugas cukup lama di Brigif Linud 18 Kostrad, serta Danyonif 303 Brigif 13 Kostrad. Ia pun matang bertugas di Papua saat perwira pertama di Yonif 753 Kodam Cendrawasih. Menjadi penegak kedaulatan NKRI di Papua pada 1972-1983, serta penegak kedaulatan NKRI di Timor Timur pada 1985-1988. Untuk tugas teritorial, ia pernah menjadi Kepala Staf Kodam Wirabuana, Sulawesi Selatan.
Gaya Kiv, panggilan akrab teman-temannya di Akmil 1971, memang cenderung urakan. Ia kadang terlihat seperti aktivis mahasiswa daripada purnawirawan tentara. Sebelum masuk taruna Akmil, Kiv memang sempat kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sumatra Utara.

Saat SMA, ia bergabung dengan Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan, selama tiga tahun. Di situ ia sudah menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang anti komunis. Saat kuliah, ia bergabung dalam  Himpunan Mahasiswa Islam  (HMI) Cabang Medan, selama tiga tahun. 
Ia berani menentang seniornya untuk berdebat terbuka. Sekitar dua bulan lalu, Kiv tertangkap kamera sedang beradu mulut dengan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto di acara Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). “Abang jangan begitulah…” kata Kiv kepada Wiranto.

Adu mulut itu dilerai Ketua Umum PPAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri. Kiki merupakan teman seangkatan Kivlan di Akmil 1971. Ada beberapa jenderal cukup terkenal dari lulusan tersebut, misalnya: Letjen (Purn) Slamet Supriyadi, Letjen (Purn) Dhamari Chaniago, Letjen (Purn) Sugiyono, dan Letjen (Purn) Suadi Marasabessy. Ada pula Mayjen (Purn) Sang Nyoman Suwisma, dan almarhum Mayjen (Purn) Ismet Yuzairi.

Diminta TNI
Kivlan memang kontroversial. Namun jasanya dicatat oleh Mabes TNI. Saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo mempersiapkan operasi militer untuk membebaskan sandera di laut Sulu, Filipina, pada April 2016 lalu. Panglima Kostrad, Komandan Jenderal Kopassus, Komandan Korps Marinir, dan Komandan Korps Pasukan Khas, serta Kepala Bais TNI sudah dipanggil. Termasuk merancang operasi besar-besaran di luar negeri (Filipina).
Bukan hanya melalui cara militer saja, tetapi juga dicoba dari sisi diplomasi. Untuk itu, Mabes TNI meminta bantuan Kivlan. Ia diminta membantu Bais TNI untuk menjadi negosiator dengan pelaku penyanderaan, kelompok Abu Sayaf.
Memang peran Kivlan kali ini, tidak seperti tahun 1995-1996. Suasana di Filipina Selatan sudah berubah. Sejumlah pihak juga berusaha membebaskan sandera, seperti Yayasan Sukma, milik Surya Paloh. Dan tentu saja Bais TNI sebagai operator di lapangan.
Dua gelombang sandera bisa dibebaskan dengan peran masing-masing negosiator.  Apa pun, Mabes TNI ingat peran dan jasa Kivlan di Filipina Selatan. Ia senior yang dimintai pendapat untuk kasus-kasus penyanderaan yang hingga kini masih sering terjadi.
Bukan kali itu saja pimpinan TNI memanggil Kivlan dan memerlukan jasanya. Pada November 1998, misalnya. Ia diminta Panglima TNI Jenderal Wiranto membentuk pengamanan swakarsa atau Pam Swakarsa untuk membantu pengamanan Sidang Istimewa MPR. Padahal saat itu Mayjen Kivlan Zen tidak punya jabatan. Jabatannya sebagai Kas Kostrad dicopot oleh Wiranto bersamaan dengan pencopotan jabatan Pangkostrad untuk Prabowo serta Danjen Kopassus untuk Mayjen Muchdi PR.

Wiranto meminta Kivlan, karena memiliki kemampuan penggalangan yang cukup baik ke kelompok-kelompok Islam. Namun dalam perkembangannya, Kivlan mengaku justru ‘dikerjain’ Wiranto, karena dana yang dijanjikan tidak kunjung tiba. Akhirnya ia harus membayar utang ke sejumlah rumah makan dan keperluan Pam Swakarsa lainnya dengan cara menjual rumah serta hartanya.  (Bersambung)

02 June 2019

Narko, Tragedi Jenderal Parako

Headline Republika Online

Oleh: Selamat Ginting

Siapa sutradara di balik penahanan mantan Komandan Jenderal Kopassus?

Narko. Begitulah panggilan akrab teman-temannya. Lelaki Jawa kelahiran Medan 65 tahun lalu. Ia  berperawakan sedang, agak gempal dan  berkulit sawo matang. Ciri khasnya, berkumis hitam dan tebal.

Itulah sosok Soenarko, perwira komando, lulusan Akademi Militer (Akmil) 1978.  Soenarko dari korps infanteri dan Erfi Triassunu dari korps zeni, sejak lulus pendidikan komando pada 1979, bersama-sama di Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha). Nama lain sebelum berganti menjadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus).

Saat bintang dua (mayor jenderal), keduanya dipercaya menjadi panglima Kodam. Soenarko sebagai Pangdam Iskandar Muda. Erfi sebagai Pangdam Cendrawasih. Soenarko memang lebih banyak tugas operasi di Aceh. Sedangkan Erfi lebih banyak bertugas operasi di Papua.

Mereka bersama Budiman (zeni), Marciano Norman (kavaleri), Leonardus JP Siegers (artileri pertahanan udara), dan Andi Geerhan Lantara (infanteri) berhasil menjadi pangdam. Budiman sebagai Pangdam Diponegoro, Marciano menjadi Pangdam Jaya, Siegers selaku Pangdam Bukit Barisan, dan Geerhan menggapai Pangdam Tanjung Pura.

Budiman puncak kariernya sebagai KSAD, Norman menjadi  Kepala BIN, Erfi selaku  Wakil Kepala BIN, Geerhan sebagai  Irjen Mabes TNI,  Siegers menjadi  Koorsahli Panglima TNI, dan Soenarko sebagai Komandan Pussenif.

Jabatan-jabatan Narko adalah mimpi atau keinginan dari para perwira komando. Sebab tidak semua perwira komando bisa menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Begitu juga bagi para infanteris. Tentu semua berkeinginan menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri. Komandan Korps Infanteri.

Infanteri adalah korps induk militer. Sekitar 75-80 persen personel TNI AD adalah infanteri.  Narko spesial, karena berhasil menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Pangdam Iskandar Muda, serta Komandan Pussenif. Walau berhenti pada pangkat mayor jenderal, semua mengakui kemampuan tempur Narko.

Sekurangnya ia sembilan kali bolak balik ke medan tempur di Timor Timur, Papua, dan Aceh. Sikap nan tegap, waspada dan wibawa, melekat pada diri Soenarko sebagai prajurit komando yang berjiwa satria. Bagi nusa bangsa dan negara, ia pantang menyerah di medan laga.

Di bawah panji Merah Putih, di atas persada negeri. Para prajurit komando, berjanji demi Tuhan: rela binasa membela Ibu Pertiwi. Memuja Indonesia, mencintai Tanah Air. Sebagai warga baret merah jiwanya bergelora, lebih baik pulang nama daripada gagal di medan laga.

Namun, kini ia seperti dizalimi. Menghadapi mimpi buruk! Jenderal Narko ditetapkan sebagai tersangka makar! Ia disangka menyelundupkan senjata untuk memancing kerusuhan aksi protes terhadap hasil pemilu presiden 21-22 Mei 2019. Prajurit para komando (parako)  itu kini harus mendekam di rumah tahanan Polisi Milter Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan.

Kasus ini tentu mengherankan bagaimana polisi bisa menetapkannya sebagai tersangka?

Semula pada 18 Mei 2019, Narko diminta hadir ke Markas Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI di Cilangkap. Dia menjadi saksi kasus dugaan kepemilikan senjata illegal. Namun ketika ia diperiksa sebagai saksi, muncul surat penangkapan dan penahanan dari Mabes Polri terhadap dirinya. Ironis!

Bagaimana sesungguhnya  koordinasi pimpinan Mabes Polri dengan pimpinan Mabes TNI, sehingga bisa menetapkan seorang mantan Komandan Jenderal Kopassus dari saksi menjadi tersangka?  Mengapa sedemikian mudah pimpinan TNI menyerahkan jenderal mantan komandan pasukan elite-nya  kepada polisi untuk ditahan?  Siapa berada di balik penetapan Jenderal Soenarko sebagai tersangka? Mengapa sampai berani menuduh salah satu putra terbaik TNI sebagai tersangka makar dan kepemilikan senjata illegal?

Sebegitu nistakah seorang Soenarko yang hidupnya didarmabaktikan untuk bangsa dan negaranya. Lalu berbuat konyol menyelundupkan sepucuk senjata? Pertanyaan-pertanyaan itu menggangu pikiran saya sebagai wartawan.

Saya tidak kenal Jenderal Soenarko. Jumpa pun belum pernah. Tetapi saya tidak bisa menerima informasi begitu saja, termasuk dari pemerintah, sekali pun. Ada sesuatu yang ‘janggal’ dalam konferensi pers yang dilakukan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, dan Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko, pada 21 Mei 2019 lalu.

Sebuah pernyataan yang harus ditelusuri, kerena menyangkut nama baik seseorang bahkan Korps TNI dan Kopassus. Bagi saya terlalu prematur untuk menyebut seorang jenderal Kopassus dengan dugaan melakukan makar dengan alasan penyelundupan satu pucuk senjata api.

Strategi media

Sebagai praktisi media yang mempelajari ilmu komunikasi, saya paham bagaimana strategi media mengonstruksi berita, sehingga tertanam di benak publik.  Guru besar ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Profesor Dr Ibnu Hamad, membagi strategi media menjadi tiga, yakni: priming, framing, dan signing.

Priming berkaitan dengan waktu pemberitaan, kapan berita itu ditayangkan kepada publik. Framing atau pembingkaian, menonjolkan aspek pemberitaan tertentu yang dianggap mewakili kepentingan institusi media. Terakhir, signing. Sebuah tanda dalam pemberitaan, sehingga berita tepat sasaran dan publik mengingatnya.   

Melalui tiga strategi tersebut, sekecil apa pun beritanya dapat menghabisi seseorang.  Bahkan seorang pahlawan pun bisa dijungkirbalikkan sebagai pengkhianat negara. Kemudian masyarakat yang menelan mentah-mentah berita tersebut dipaksa membenarkan atau meng-amini berita tersebut.

Label yang dilemparkan media ke tengah publik itu dianggap sebuah kebenaran sempurna. Tanpa ada yang mengklarifikasi, mengonfirmasi dan memverifikasi data dan fakta yang sudah terlanjur dikonsumsi publik.

Itulah kelakuan buruk media yang berselingkuh dengan bisnis dan kekuasaan. Hak publik dinistakan. Tak peduli  hak-hak seorang Jenderal Soenarko, sekali pun. Seperti kata rekan saya, Doktor Dudi Iskandar, “Abang masih percaya dengan media mainstream? Berkoar-koar demi hak asasi manusia (HAM) di satu sisi, namun melakukan pelanggaran HAM publik pada sisi berlawanan.” Ia sedang menyindir kasus yang menerpa Soenarko.

Pantas saja jika mantan Kasum TNI Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo (Akmil 1976), mantan Sesmenko Polhukam Letjen (Purn) Yayat Sudrajat (Akmil 1982), dan mantan Kepala Bais TNI Mayjen (Purn) Zaky Anwar Makarim (Akmil 1971) yang duduk di meja konferensi pers pada 31 Mei 2019 lalu, berang terhadap awak media yang cenderung menjadi humas pemerintah. “Kalian jahat terhadap kami, purnawirawan!”

Sahabat Soenarko, yakni Erfi Triassunu juga geram atas perlakuan terhadap rekannya sesama lulusan Akmil 1978 dan sama-sama lulusan pendidikan komando. Mereka menuding telah terjadi pengadilan oleh pers terhadap Jenderal Soenarko.

Trial by the Press. Peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada. Beritanya menjadi tidak berimbang, sehingga tokoh yang diberitakan tidak diberikan pembelaan. Tanpa hak jawab dari versinya.

Teman-teman Soenarko yang umumnya berasal dari Kopassus melakukan pembelaan sebagai harga diri korps. Termasuk di antaranya mantan Komandan Jenderal Kopassus, Letjen (Purn) Agus Sutomo (Akmil 1984).

Kolonel Infanteri (Purn) Sri Radjasa Chandra mantan staf intelijen Kodam Iskandar Muda, saat Soenarko sebagai pangdam, menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya tentang senjata yang dituduhkan Menko Polhukam Wiranto dkk tersebut.

Tuduhan Polri yang merilis sengketa senjata api illegal jenis M4 Carbine milik Soenarko yang dikirim dari Aceh, 21 Mei 2019 lalu, dinilainya sangat bertolak belakang dengan faktanya. Yang benar adalah senjata yang dikumpulkan dari bekas kombatan GAM, yakni jenis M16 A1.  “Saya kaget dan tidak menyangka adanya kebohongan publik dan pemelintiran opini ke arah sana,” ujar Sri Radjasa.

Pantas pula jika Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu marah, karena purnawirawan jenderal disebut makar dan kini ditahan. Ia tidak setuju dengan langkah Wiranto dkk.

Bagi Ryamizard, Mayjen (Purn) Kivlan Zen maupun Soenarko adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang telah memperjuangkan keutuhan negara. “Tidak ada niat mereka mau kudeta atau pun makar. Mereka adalah pejuang sejati,” kata Ryamizard.

Menurut Suryo Prabowo, pengalaman tempur Soenarko di daerah operasi tidak sebanding dengan Wiranto. Tidak layak Wiranto dkk memperlakukan Soenarko seperti itu. 

Inilah era post-media, era post-journalisme.  Bukan lagi pers, namun publik yang kini harus mengklarifikasi, mengonfirmasi dan memverifikasi data dan fakta dari pers. Dunia sudah terbalik-balik. # End

26 May 2019

Trisakti dan Polisi tak Berdaya

Tragedi Trisakti (Republika)
Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

26 Mei 2017

Sebanyak 15 anggota Brimob telah dihukum dengan vonis bervariasi, dua hingga enam tahun penjara, oleh pengadilan militer pada 1999-2001. Itulah pelaku penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti yang menyebabkan empat mahasiswa gugur pada peristiwa 12 Mei 1998. Sebuah pemicu tragedi kerusuhan Mei 1998 silam.

Mengingat peristiwa kelam tesebut membuat saya termenung jika melintasi TPU Pondok Ranggon, wilayah perbatasan Jakarta Timur dengan Depok dan Kota Bekasi. Di situlah jenazah para mahasiswa Trisakti beristirahat dengan tenang sebagai pahlawan reformasi.

Cukup lelah bagi saya untuk mencari saksi peristiwa penembakan yang dilakukan oknum Brimob dari Kelapa Dua Depok tersebut. Sampai akhirnya saya bertemu seorang kapten Angkatan Darat di Grogol. Dua tahun lalu saya masih berjumpa dengan yang bersangkutan. Ia menjelang pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Saya jadi bersahabat dengan tentara ini. Dari dia, sumber berita yang saya dapat tentang pelaku penembakan.

Lelaki berpostur sedang berkulit sawo matang itu merasa lega saat akan pensiun. "Bang, terima kasih kita sudah bekerja sama dan menyimpan rahasia dengan baik. Saya lega dan sebentar lagi pensiun. Allah memerintahkan saya untuk memberikan informasi yang sebenarnya kepada negara. Juga kepada abang yang mau mendengarkan kesaksian saya," katanya kepada saya pada awal 2015 di Kementerian Pertahanan.

Apa yang diungkapkannya 19 tahun lalu itu akhirnya terbukti di pengadilan. Oknum-oknum Brimob pelaku penembakan tersebut terbukti secara sah dan sengaja melakukan penembakan yang menyebabkan tewasnya empat mahasiswa Trisakti.

Saat itu Kapolres Jakarta Barat, Letkol Polisi Timur Pradopo gagal membendung personel Brimob untuk menghentikan tembakan membabi buta dari atas jembatan layang Grogol. Padahal ia sudah memerintahkan tidak boleh ada penembakan.

Yang menjadi pertanyaan saya sebagai wartawan, siapa yang memerintahkan tembakan? Siapa yang berinisiatif melakukan penembakan? Mengapa menggunakan peluru tajam? Sebab beberapa hari sebelumnya, sejumlah komandan batalyon ABRI (termasuk Polri) dikumpulkan dan dalam pengarahannya pimpinan ABRI memerintahkan hanya boleh menggunakan peluru karet dan peluru hampa.

Penelusuran juga saya lakukan di seputar Kelapa Dua Depok. Saat itu menurut sumber, bunyi sirine meraung-raung di Mako Brimob. Sejumlah prajurit berlarian berkumpul di lapangan kesatrian. Sejumlah prajurit, ternyata belum sempat sarapan pagi. Mereka pun diberangkatkan menuju lokasi demonstrasi mahasiswa. Di tengah terik matahari yang panas itu dimanfaatkan para prajurit Brimob untuk​ makan siang seadanya. Membeli dari pedagang makanan di lokasi demonstrasi, seperti bakso, siomay dan lain-lain. Entahlah mungkin karena logistik belum tiba. Sore itu sebenarnya mereka hendak balik ke markasnya di Depok. Namun aksi demonstrasi belum berakhir. Bahkan semakin panas, karena ada mahasiswa drop out dari kampus tersebut memprovokasi adik-adik kelasnya. Di situlah mahasiswa terpancing. Hal yang sama terjadi dengan petugas keamanan mulai kelelahan, hilang kendali dan saling ejek dengan mahasiswa.

Dari situlah tragedi dimulai. Berondongan​ peluru tanpa ampun menghujani kampus tersebut. "Kok jadi seperti ini? Ini kacau balau dan polisi tidak terkendali," kata kapten yang menjadi saksi kunci peristiwa tersebut, menceritakan kepada saya.
Malam itu Jakarta berduka. Empat mahasiswa gugur sebagai Kusuma Bangsa. Saat SBY menjadi presiden, keempat almarhum mahasiswa tersebut dianugerahi Bintang Jasa Pratama.

Hingga kini, komando atasan anggota Brimob pelaku penembakan tersebut memang belum tersentuh hukum. Artinya, pelaku dianggap melanggar perintah dan melakukan tembakan atas inisiatif sendiri. Pangkat tertinggi yang dihukum adalah komandan kompi Brimob berpangkat Lettu Polisi. Komandan batalyon-nya tidak dihukum. Aneh! Peluru tajam yang berhasil dibuktikan melalui uji balistik di sebuah negara Eropa membuktikan dari senjata personel yang dihukum tersebut.

Kasus ini awalnya terlalu banyak spekulasi. Saya anggap itu sebagai informasi yang harus dikesampingkan. Kunci-kunci seperti saksi mahkota, komandan penyidik serta hakim pengadilan, cukup bagi saya untuk menyusun puzzle2 ini.

Esoknya, 13 Mei 1998, massa mulai turun ke jalan-jalan ibukota negara. Polisi menjadi sasaran amuk massa. Batu-batu beterbangan. Seperti pertempuran intifada. Polisi-polisi pun meniggalkan pos-posnya. Kocar-kacir. Hari itu, Jakarta seperti tidak ada polisi. Kapolda Metro Jaya, Mayjen Polisi Hamami Natta pun meminta bantuan Kodam Jaya. Saat itulah Polda  Metro Jaya dijaga aparat keamanan dari Kostrad, Kopassus, dan Kodam Jaya. Pos-pos polisi pun diisi personel Angkatan Darat, Marinir Angkatan Laut dan Kopaskhas Angkatan Udara. Jakarta seperti darurat militer pada 13 Mei tersebut. Begitulah laporan pandangan mata jurnalis 19 tahun lalu.
Terima kasih kapten. Eh maaf, letkol. Nikmati pensiun Anda dan kita saling mengunjungi. Kapan siap untuk disebutkan jati dirimu? Saya tunggu kabarnya. 
Itulah sebagian puzzle tragedi Trisakti Mei 1998 versi saya sebagai wartawan investigasi yang bisa  diinformasikan.

24 May 2019

Yunus dan Quadro Politica: Mungkin banyak yang belum tahu

 video: siq

Oleh: Selamat Ginting

Letnan Jenderal (Purn) Muhammad Yunus Yosfiah. Dia yang membuka kran kebebasan pers saat menjadi Menteri Penerangan era Presiden BJ Habibie (1998-1999). Tidak ada lagi aturan ketat untuk mendirikan lembaga pers, seperti SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). Selama era Orde Baru, SIUPP menjadi momok. Tak mudah membuat lembaga pers.

Maka pada era Refornasi, pers menunjukkan tajinya sebagai pilar keempat demokrasi. Selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang disebut sebagai Trias Politica. Pembagian kekuasaan negara berdasarkan tiga fungsi. Di sinilah lahir Quadro Politica: eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers (media massa).
Jadi, Yunus Yosfiah, mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI, berperan melahirkan pers yang bebas di Indonesia. Jenderal bintang tiga purnawirawan ini, berada di kubu pasangan capres-cawapres 02, Prabowo Sandi. Yunus adalah guru bagi para pasukan komando. Ia menjadi komandan pertama batalyon infanteri 744 di Dilli, Timor Timur. Termasuk perwira terlama yang bertugas di Bumi Loro Sae tersebut. Istrinya pun berasal dari Timor Timur.  Yunus menjadi perwira paling senior yang mendukung Prabowo. Ia lulusan Akademi Militer 1965.
"Saya mendukung pemilu yang jujur dan adil. Bukan pemilu yang curang," kata sang jenderal, sambil berjalan keluar gedung usai acara..... di Jakarta, Selasa (14/5/2019).

Oase Jenderal Hoegeng


Polisi & Kapolri Paling Jujur (merdeka.com)












Oleh: Selamat Ginting


(Tulisan lawas: Mei 2017)

Ada joke legendaris, hanya tiga polisi Indonesia yang jujur: polisi tidur (tanggul), patung polisi, dan polisi Hoegeng. Tanpa mengecilkan polisi yang lain, termasuk Jenderal Soekanto, kepala pertama Polri yang legendaris dan sangat dihormati. Namun Hoegeng begitu populer sebagai Kapolri yang jujur, bersahaja, berkarakter dan tidak mau tunduk kepada tekanan kekuasaan.

"Saya ini kepala kepolisian negara, bukan kepala kepolisian pemerintah apalagi kepala kepolisian rezim," ujar Hoegeng.

Ia bukan hanya bicara untuk pencitraan, melainkan menunjukkan kapasitas dan kapabilitasnya. Termasuk rela dicopot sebagai Kapolri dan pensiun saat usianya masih 50 tahun.  Demi membela seorang penjual telur ayam di Yogyakarta, Sumarijem (18 tahun). Ia ikhlas dicopot dari jabatannya. Sumarijem, kemudian dikenal dengan istilah kasus Sum Kuning, pada 1970-1971 menjadi kasus unik.

Sum diperkosa sejumlah pemuda. Salah satunya putra seorang jenderal, salah seorang pahlawan bangsa ini. Si pemerkosa mendapatkan perlindungan dari sejumlah pejabat tinggi negara, sampai akhirnya kasus ini ditangani Kopkamtib. Salah satu lembaga paling ditakuti di era Orde Baru.  Terjadilah kriminalisasi terhadap Sum dan orang-orang kecil, termasuk seorang tukang bakso yang dipaksa untuk mengakui sebagai pemerkosa. Tentu saja dengan siksaan luar biasa. Hal yang sama juga terjadi pada Sum yang malang itu. Polisi dan jaksa melakukan rekayasa-rekayasa hukum, termasuk tudingan Sum melakukan laporan palsu. Beruntung, hakim mencium bau rekayasa tersebut, dan membebaskan Sum serta tukang bakso tersebut.

Mengetahui adanya rekayasa hukum, Kapolri Jenderal Hoegeng marah. Ia berang dan membuat tim khusus. Hoegeng tak peduli dengan backing-backingan. Pelakunya harus ditangkap. Kasus ini akhirnya sampai di meja Presiden Soeharto.  Tetapi Hoegeng tidak peduli. Baginya jabatan bukan segalanya. "Saya ini sebagai polisi negara, bukan polisi rezim pemerintahan. Bersumpah atas nama Allah, bukan demi presiden."

Ia ditawari jabatan sebagai duta besar. Baginya ini sebuah penistaan. Lebih baik pensiun saja. Dengan diplomatis, ia menjawab, "Saya tidak biasa minum cocktails atau minuman lain gaya diplomat. Jabatan itu tidak cocok buat saya. Lebih baik pensiun saja," kata Hoegeng kepada Presiden Soeharto seperti tertuang dalam buku biografinya.

Hoegeng memang galak untuk kasus-kasus korupsi, penyelundupan, narkoba dll. Hidupnya bersahaja. Ia ikhlas dicopot demi kasus Sum Kuning.  Kasus ini pernah difilmkan dan sukses. Sutradara Frank Rorimpandey mengangkat cerita ini dengan judul 'Perawan Desa'. Film yang dibintangi Yatti Surrachman ini sukses menyabet empat piala Citra pada 1980.

Ah, Hoegeng memang bagai oase jika kita bandingkan dengan Kapolri di era-era selanjutnya. Bagaimana dengan Jenderal Tito yang tiba-tiba jadi Kapolri dengan melompati empat abang kelasnya di Akademi Kepolisian? Sungguh saya tidak mau komentar atau menuliskannya. Saya tunggu berakhirnya masa dinas Tito. Saya cuma berharap polisi kita semakin profesional dan berlaku sebagai polisi negara, bukan polisi penguasa.

Hormat untuk almarhum Pak Hoegeng. Terima kasih keluarga Pak Hoegeng, saya sempat mencicipi teh manis hangat di teras rumah keluarga saat mewawancarai Pak Hoegeng.

/selamatgintingofficial

Palangkaraya dan Angan Sukarno


Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

Wacana pemindahan ibukota negara, kini kembali ramai dibahas. Presiden Sukarno sesungguhnya sudah mencanangkan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Palangkaraya pada 1957. Bahkan pemerintah kolonial Belanda pada 1920-an juga pernah merencanakan ibukota ke Bandung. Ada apa dengan Jakarta?

Republika/Harun Husein
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Republika/Harun Husein)

Presiden Sukarno yang pertama kali melontarkan ide memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Tengah. Tepatnya di kota Palangkaraya. Kota ini dibelah oleh sungai Kahayan. Keinginan Sukarno memindahkan ibukota negara dilontarkan pada 1950-an. Ia sudah meramalkan Jakarta akan tumbuh tak terkendali.  
"Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Sukarno saat pertama kali menancapkan tonggak pembangunan kota ini pada 17 Juli 1957.
Apa alasan Sukarno memilih Palangkaraya?  Pertama; Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Kedua; menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga; pembangunan di Jakarta dan Jawa adalah konsep peninggalan Belanda. Ia ingin membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil.
Keempat; Jakarta punya sungai Ciliwung, Palangkaraya juga punya sungai Kahayan. Sukarno ingin memadukan konsep transportasi sungai dan jalan raya. Ia ingin Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai.
"Janganlah mendirikan bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Sebab lahan itu hendaknya diperuntukkan bagi taman, sehingga pada malam hari terlihat kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," kata Sukarno dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka. Penulis Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990.

Bantuan Uni Soviet
Untuk mewujudkan ide tersebut, Sukarno bekerjasama dengan Uni Soviet. Para insinyur dari negara komunis terbesar itu didatangkan untuk membangun  jalan raya di lahan gambut di Palangkaraya. Pembangunan ini berjalan dengan baik. Tapi seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia di awal 1960-an, pembangunan Palangkaraya terhambat.
Puncaknya pasca 1965, stabilitas politik, ekonomi, sosial dan keamanan negara terguncang.  Sukarno pun dilengserkan dari singasana kekuasaannya. Maka, sejak itu, Palangkaraya tinggal kenangan. 
Kini, ramalan Sukarno menjadi kenyataan: Jakarta semakin semrawut! Sementara pembangunan di Palangkaraya berjalan lambat. Nyaris tak ada tanda-tanda kota ini pernah akan menjadi ibukota Republik. Yang ada hanya sebuah monumen sejarah. Sejarah sebagai pengingat Sukarno pernah punya mimpi besar memindahkan ibukota ke Palangkaraya.
Memang Jakarta sebagai ibukota negara, semakin tidak layak. Siapa pun yang menjadi gubernurnya, akan kesulitan mengatasi segudang masalah. Mulai dari kemacetan akut, kepadatan penduduk, pembangunan tak terencana, hingga banjir yang selalu mengintai jika musim hujan datang.

Jakarta Kota Rawa
Rawa Mangun, Rawa Angke, Rawa Gede, Rawa Belong, dan beberapa nama lain yang menggunakan kata rawa. Nama-nama itu menunjukkan beberapa wilayah Jakarta secara alami memang kawasan rawa. Sehingga tidak tepat dijadikan pemukiman atau pusat kota. Orang Belanda yang pertama kali membangun Batavia memahami wilayah ini berawa-rawa. Namun Belanda memiliki keahlian khusus di bidang hidrologi.  
Para arsitek Negeri Kincir Angin itu membangun Batavia mengacu pada pembangunan di negerinya. Negeri  Belanda, tiga perempat lahannya awalnya berada di bawah permukaan air laut. Namun disulap, dibuat bendungan (dam) menjadi kota untuk tempat tinggal. Jadilah Amsterdam, Roterdam dan lain-lain. Pengetahuan dan teknologi itu pula yang digunakan merekayasa Batavia. Dari rawa-rawa itu menjadi satu kota yang besar.

Sejak 1920-an
Wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke wilayah lain bukan hal baru. Bahkan sebelum Indonesia merdeka pada awal 1920-an, Belanda sudah merencanakan pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung.
Beberapa wilayah juga pernah dijadikan alternatif ibukota pengganti Jakarta. Misalnya Palangkaraya, Jonggol (Bogor, Jawa Barat), Purwokerto, Lampung, Karawang, dan Palembang.
Sejarah mencatat, Indonesia pernah memindahkan ibukotanya beberapa kali pada 1945-1950. Jatuhnya ibukota Jakarta yang dikuasai Belanda, membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan utusan dan menawarkan Yogyakarta menjadi ibukota negara. Saran ini disetujui Presiden Sukarno.  Pada 4 Januari 1946, ibukota Indonesia resmi pindah ke Yogyakarta. Istana Negara pindah ke Gedung Agung, berseberangan dengan Benteng Vredeburg.
Namun, saat Belanda melancarkan Agresi Militer II, Yogyakarta jatuh ke tangan tentara Belanda. Para pimpinan negara ditangkap. Dalam keadaan darurat, dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan ibukota kembali dipindahkan lagi. Dipilihlah Kota Bukittinggi, Sumatra Barat. Alasannya, karena Sjafrudin Prawiranegara disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat (presiden darurat) jika para pemimpin nasional ditangkap.
Pada 17 Agustus 1950, ibukota dikembalikan ke Jakarta berdasarkan UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46. Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia,  Nomor 10, Tahun 1964, ditetapkan Jakarta sebagai ibukota negara. Disahkan  pada 31 Agustus 1964 oleh Presiden Sukarno.
Sejak itu, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Pemerintah mulai melaksanakan program pembangunan proyek besar, seperti membangun pemukiman masyarakat, dan mengembangkan pusat-pusat bisnis kota. # end

20 May 2019

Kutipan hari ini: Mental Illness

"
photo source: Republika
"Penyakit mental di kalangan masyarakat kelas bawah, mudah dideteksi dan disembuhkan. Tetapi penyimpangan mental di kalangan elite, jauh lebih sulit untuk diidentifikasi dan disembuhkan secara berlarut-larut."

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...