Foto: Republika Online |
Para purnawirawan tentu tidak ingin Kivlan hanya sebagai tokoh ikonik. Hadir ketika pemerintah membutuhkan jasanya saja. Setelah itu?
Pekan keempat April 2016. Selama beberapa hari, saya mengikuti perjalanan dinas Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ke Indonesia Timur. Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Namun jadwal kunjungan dipercepat satu hari dari jadwal semula. Panglima harus segera ke Jakarta, malam itu juga. Ada apakah? Semua perwira tinggi terdiam. Tak ada yang bisa memberikan penjelasan.
Begitu pesawat mendarat di Halim Perdana Kusuma, Gatot langsung masuk jeep yang menjemputnya. Ia segera pergi meninggalkan komplek militer Halim. Malam itu juga saya mencari tahu ada berita penting apa di Jakarta, sehingga Gatot tergopoh-gopoh?
Akhirnya saya mendapatkan jawaban. Terjadi penyenderaan kapal penarik tongkang batubara di perairan Laut Sulu, Filipina. “Betul, Bang. Yang disandera warga Indonesia,” kata seorang kolonel senior, saat saya hubungi via telepon. Awak kapal yang disandera sebanyak 10 orang.
Diplomasi jenderal
Seketika saya ingat seseorang jenderal yang kontroversial. Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Ingatan itu melambung ke tahun 1995-1996. Ketika itu di sebuah hotel di Jakarta. Saya berkenalan dengan sosok Kivlan, jenderal bintang satu (brigjen). Saya meminta tolong kepada jenderal lulusan Akademi Militer (Akmil) 1971 agar bisa mewawancarai Nur Misuari, seorang revolusioner pemimpin Front Pembebasan Nasional Moro.
Saya terkejut, Kivlan dengan mudah membawa Misuari ke sebuah ruangan untuk bertemu dengan saya, wartawan muda. Padahal, Misuari adalah Gubernur Wilayah Otonomi Muslim Mindanao. Misuari begitu ‘menurut’ apa yang diminta Kivlan, anak Medan keturunan Minang dan lahir di Langsa Aceh. Kultur tiga daerah itu melekat pada diri Kivlan menjadi lelaki nekat.
Ini jenderal unik, pikirku saaat itu. Entah belajar diplomasi dari mana, tentara kelahiran 1946 tersebut. Saat itu saya juga mewawancarai Kivlan tentang resepnya bisa ‘menundukkan’ Misuari. “Ah gampang itu. Model gertak anak Medan. Aku ancam, kalau tidak mau menerima 8 dari 10 poin, kau tidak akan dapat apa-apa. Lebih baik, terima saja tawaran pemerintah Filipina,” ujar Kivlan seraya terkekeh-kekeh.
Akhirnya Misuari memang menerima saran Kivlan. Sejak itu nama Kivlan cukup dikenal oleh keluarga Misuari di Filipina Selatan. Ia saat itu menjadi pengamat militer Indonesia untuk perdamaian di Filipina Selatan. Jabatan sebelumnya adalah Kepala Staf Divisi Infanteri 1 Kostrad.
Urakan
Kivlan juga pernah menjadi Komandan Brigade Infanteri 6 Divisi Infanteri 2 Kostrad, serta Komandan Resimen Candra Dimuka Akmil, Magelang. Riwayat jabatan militernya lebih dari separuhnya dihabiskan di baret hijau Kostrad. Maka wajar jika ia pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad, dan kemudian menjadi Kepala Staf Kostrad. Panglima Kostrad saat itu, Letjen Prabowo Subianto. Karier militer Kivlan ‘jalan di tempat’ bersamaan pergantian rezim.
Kivlan juga pernah bertugas cukup lama di Brigif Linud 18 Kostrad, serta Danyonif 303 Brigif 13 Kostrad. Ia pun matang bertugas di Papua saat perwira pertama di Yonif 753 Kodam Cendrawasih. Menjadi penegak kedaulatan NKRI di Papua pada 1972-1983, serta penegak kedaulatan NKRI di Timor Timur pada 1985-1988. Untuk tugas teritorial, ia pernah menjadi Kepala Staf Kodam Wirabuana, Sulawesi Selatan.
Gaya Kiv, panggilan akrab teman-temannya di Akmil 1971, memang cenderung urakan. Ia kadang terlihat seperti aktivis mahasiswa daripada purnawirawan tentara. Sebelum masuk taruna Akmil, Kiv memang sempat kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sumatra Utara.
Saat SMA, ia bergabung dengan Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan, selama tiga tahun. Di situ ia sudah menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang anti komunis. Saat kuliah, ia bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Medan, selama tiga tahun.
Ia berani menentang seniornya untuk berdebat terbuka. Sekitar dua bulan lalu, Kiv tertangkap kamera sedang beradu mulut dengan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto di acara Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). “Abang jangan begitulah…” kata Kiv kepada Wiranto.
Adu mulut itu dilerai Ketua Umum PPAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri. Kiki merupakan teman seangkatan Kivlan di Akmil 1971. Ada beberapa jenderal cukup terkenal dari lulusan tersebut, misalnya: Letjen (Purn) Slamet Supriyadi, Letjen (Purn) Dhamari Chaniago, Letjen (Purn) Sugiyono, dan Letjen (Purn) Suadi Marasabessy. Ada pula Mayjen (Purn) Sang Nyoman Suwisma, dan almarhum Mayjen (Purn) Ismet Yuzairi.
Diminta TNI
Kivlan memang kontroversial. Namun jasanya dicatat oleh Mabes TNI. Saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo mempersiapkan operasi militer untuk membebaskan sandera di laut Sulu, Filipina, pada April 2016 lalu. Panglima Kostrad, Komandan Jenderal Kopassus, Komandan Korps Marinir, dan Komandan Korps Pasukan Khas, serta Kepala Bais TNI sudah dipanggil. Termasuk merancang operasi besar-besaran di luar negeri (Filipina).
Bukan hanya melalui cara militer saja, tetapi juga dicoba dari sisi diplomasi. Untuk itu, Mabes TNI meminta bantuan Kivlan. Ia diminta membantu Bais TNI untuk menjadi negosiator dengan pelaku penyanderaan, kelompok Abu Sayaf.
Memang peran Kivlan kali ini, tidak seperti tahun 1995-1996. Suasana di Filipina Selatan sudah berubah. Sejumlah pihak juga berusaha membebaskan sandera, seperti Yayasan Sukma, milik Surya Paloh. Dan tentu saja Bais TNI sebagai operator di lapangan.
Dua gelombang sandera bisa dibebaskan dengan peran masing-masing negosiator. Apa pun, Mabes TNI ingat peran dan jasa Kivlan di Filipina Selatan. Ia senior yang dimintai pendapat untuk kasus-kasus penyanderaan yang hingga kini masih sering terjadi.
Bukan kali itu saja pimpinan TNI memanggil Kivlan dan memerlukan jasanya. Pada November 1998, misalnya. Ia diminta Panglima TNI Jenderal Wiranto membentuk pengamanan swakarsa atau Pam Swakarsa untuk membantu pengamanan Sidang Istimewa MPR. Padahal saat itu Mayjen Kivlan Zen tidak punya jabatan. Jabatannya sebagai Kas Kostrad dicopot oleh Wiranto bersamaan dengan pencopotan jabatan Pangkostrad untuk Prabowo serta Danjen Kopassus untuk Mayjen Muchdi PR.
Wiranto meminta Kivlan, karena memiliki kemampuan penggalangan yang cukup baik ke kelompok-kelompok Islam. Namun dalam perkembangannya, Kivlan mengaku justru ‘dikerjain’ Wiranto, karena dana yang dijanjikan tidak kunjung tiba. Akhirnya ia harus membayar utang ke sejumlah rumah makan dan keperluan Pam Swakarsa lainnya dengan cara menjual rumah serta hartanya. (Bersambung)