26 May 2019

Trisakti dan Polisi tak Berdaya

Tragedi Trisakti (Republika)
Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

26 Mei 2017

Sebanyak 15 anggota Brimob telah dihukum dengan vonis bervariasi, dua hingga enam tahun penjara, oleh pengadilan militer pada 1999-2001. Itulah pelaku penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti yang menyebabkan empat mahasiswa gugur pada peristiwa 12 Mei 1998. Sebuah pemicu tragedi kerusuhan Mei 1998 silam.

Mengingat peristiwa kelam tesebut membuat saya termenung jika melintasi TPU Pondok Ranggon, wilayah perbatasan Jakarta Timur dengan Depok dan Kota Bekasi. Di situlah jenazah para mahasiswa Trisakti beristirahat dengan tenang sebagai pahlawan reformasi.

Cukup lelah bagi saya untuk mencari saksi peristiwa penembakan yang dilakukan oknum Brimob dari Kelapa Dua Depok tersebut. Sampai akhirnya saya bertemu seorang kapten Angkatan Darat di Grogol. Dua tahun lalu saya masih berjumpa dengan yang bersangkutan. Ia menjelang pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Saya jadi bersahabat dengan tentara ini. Dari dia, sumber berita yang saya dapat tentang pelaku penembakan.

Lelaki berpostur sedang berkulit sawo matang itu merasa lega saat akan pensiun. "Bang, terima kasih kita sudah bekerja sama dan menyimpan rahasia dengan baik. Saya lega dan sebentar lagi pensiun. Allah memerintahkan saya untuk memberikan informasi yang sebenarnya kepada negara. Juga kepada abang yang mau mendengarkan kesaksian saya," katanya kepada saya pada awal 2015 di Kementerian Pertahanan.

Apa yang diungkapkannya 19 tahun lalu itu akhirnya terbukti di pengadilan. Oknum-oknum Brimob pelaku penembakan tersebut terbukti secara sah dan sengaja melakukan penembakan yang menyebabkan tewasnya empat mahasiswa Trisakti.

Saat itu Kapolres Jakarta Barat, Letkol Polisi Timur Pradopo gagal membendung personel Brimob untuk menghentikan tembakan membabi buta dari atas jembatan layang Grogol. Padahal ia sudah memerintahkan tidak boleh ada penembakan.

Yang menjadi pertanyaan saya sebagai wartawan, siapa yang memerintahkan tembakan? Siapa yang berinisiatif melakukan penembakan? Mengapa menggunakan peluru tajam? Sebab beberapa hari sebelumnya, sejumlah komandan batalyon ABRI (termasuk Polri) dikumpulkan dan dalam pengarahannya pimpinan ABRI memerintahkan hanya boleh menggunakan peluru karet dan peluru hampa.

Penelusuran juga saya lakukan di seputar Kelapa Dua Depok. Saat itu menurut sumber, bunyi sirine meraung-raung di Mako Brimob. Sejumlah prajurit berlarian berkumpul di lapangan kesatrian. Sejumlah prajurit, ternyata belum sempat sarapan pagi. Mereka pun diberangkatkan menuju lokasi demonstrasi mahasiswa. Di tengah terik matahari yang panas itu dimanfaatkan para prajurit Brimob untuk​ makan siang seadanya. Membeli dari pedagang makanan di lokasi demonstrasi, seperti bakso, siomay dan lain-lain. Entahlah mungkin karena logistik belum tiba. Sore itu sebenarnya mereka hendak balik ke markasnya di Depok. Namun aksi demonstrasi belum berakhir. Bahkan semakin panas, karena ada mahasiswa drop out dari kampus tersebut memprovokasi adik-adik kelasnya. Di situlah mahasiswa terpancing. Hal yang sama terjadi dengan petugas keamanan mulai kelelahan, hilang kendali dan saling ejek dengan mahasiswa.

Dari situlah tragedi dimulai. Berondongan​ peluru tanpa ampun menghujani kampus tersebut. "Kok jadi seperti ini? Ini kacau balau dan polisi tidak terkendali," kata kapten yang menjadi saksi kunci peristiwa tersebut, menceritakan kepada saya.
Malam itu Jakarta berduka. Empat mahasiswa gugur sebagai Kusuma Bangsa. Saat SBY menjadi presiden, keempat almarhum mahasiswa tersebut dianugerahi Bintang Jasa Pratama.

Hingga kini, komando atasan anggota Brimob pelaku penembakan tersebut memang belum tersentuh hukum. Artinya, pelaku dianggap melanggar perintah dan melakukan tembakan atas inisiatif sendiri. Pangkat tertinggi yang dihukum adalah komandan kompi Brimob berpangkat Lettu Polisi. Komandan batalyon-nya tidak dihukum. Aneh! Peluru tajam yang berhasil dibuktikan melalui uji balistik di sebuah negara Eropa membuktikan dari senjata personel yang dihukum tersebut.

Kasus ini awalnya terlalu banyak spekulasi. Saya anggap itu sebagai informasi yang harus dikesampingkan. Kunci-kunci seperti saksi mahkota, komandan penyidik serta hakim pengadilan, cukup bagi saya untuk menyusun puzzle2 ini.

Esoknya, 13 Mei 1998, massa mulai turun ke jalan-jalan ibukota negara. Polisi menjadi sasaran amuk massa. Batu-batu beterbangan. Seperti pertempuran intifada. Polisi-polisi pun meniggalkan pos-posnya. Kocar-kacir. Hari itu, Jakarta seperti tidak ada polisi. Kapolda Metro Jaya, Mayjen Polisi Hamami Natta pun meminta bantuan Kodam Jaya. Saat itulah Polda  Metro Jaya dijaga aparat keamanan dari Kostrad, Kopassus, dan Kodam Jaya. Pos-pos polisi pun diisi personel Angkatan Darat, Marinir Angkatan Laut dan Kopaskhas Angkatan Udara. Jakarta seperti darurat militer pada 13 Mei tersebut. Begitulah laporan pandangan mata jurnalis 19 tahun lalu.
Terima kasih kapten. Eh maaf, letkol. Nikmati pensiun Anda dan kita saling mengunjungi. Kapan siap untuk disebutkan jati dirimu? Saya tunggu kabarnya. 
Itulah sebagian puzzle tragedi Trisakti Mei 1998 versi saya sebagai wartawan investigasi yang bisa  diinformasikan.

No comments:

Post a Comment

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...