Tanggapan Selamat Ginting, pengamat
komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta
mengenai surat presiden (surpres) yang mengusulkan Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD) Jenderal Andika Perkasa menjadi calon Panglima TNI.
Foto: Cover Buku Achmad Yani Tumbal Revolusi Amelia A. Yani
Letnan
Jenderal Achmad Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat meminta stafnya
untuk mengkaji usulan Ketua Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI)
DN Aidit. Aiditmengusulkan Angkatan
Kelima di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan
Kepolisian. Angkatan Kelima adalah buruh dan tani dipersenjatai untuk membantu
ABRI dalam menghadapi ancaman nekolim (neo kolonialisme) yang terus memperkuat
tentaranya di Malaysia.
Jenderal
Yani menugaskan lima orang jenderal, yakni: Mayor Jenderal Siswondo Parman,
Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan,
dan Brigadir Jenderal Soetoyo Siswomihardjo.
“Angkatan
Kelima tidak perlu, oleh karena kita telah mempunyai pertahanan sipil (hansip)
yang telah dan selalu bisa menampung semua kegiatan bela negara,” begitulah
hasil rumusan dari tim perumus yang terdiri dari lima jenderal yang bertugas di
Markas Besar Angkatan Darat tersebut.
Penolakan
Jenderal Yani dan lima jenderal terhadap Angkatan Kelima harus dibayar mahal.
Keenamnya bersama Jenderal Abdul Haris Nasution diisukan sebagai Dewan Jenderal
yang anti Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan tidak mendukung kebijakan
Presiden Sukarno. Padahal Sukarno menyetujui pembentukan Angkatan Kelima
tersebut.
Bahkan pada
pidato Presiden Sukarno 17 Agustus 1965 yang ditulis Wakil Ketua CC PKI Nyoto,
Bung Karno justru menyatakan, mempersenjatai massa buruh dan tani merupakan
gagasan pribadinya. “Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang
diberikan kepada gagasan saya untuk mempersenjatai buruh dan tani,” ujar
Sukarno.
Kemudian
Sukarno menambahkan, ”Saya akan
mengambil keputusan mengenai ini, dalam kapasitas saya selaku Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata…”. Entah keputusan apa yang dimaksud Sukarno
tersebut.
Simak video "Konflik Jenderal A. Yani dengan Bung Besar"
Yani
menyadari keputusan Angkatan Darat bertentangan langsung dengan Presiden
Sukarno dan PKI. Tapi ia meyakini bahwa inilah sikap Angkatan Darat. DN Aidit
memang cemas, karena PKI tidak punya tentara, seperti di RRT. Padahal kata pemimpin
partai komunis Cina, Mao Tse Tung, kekuasaan itu lahir dari ujung bedil. Karena
itulah PKI merasa perlu mempersenjatai buruh dan tani. Jumlahnya sekitar 15
ribu orang dengan rincian buruh 5.000 dan tani 10 ribu orang.
Yani kecewa,
karena Sukarno terpengaruh bahkan sangat mesra dengan komunis. Angkatan Darat
mencatat, PKI sejak Mei 1965 terlihat begitu intensif melakukan aksi massa
sepihak yang dibungkus dengan pelaksanaan landreform. Misalnya di
Mantingan Jawa Timur, massa komunis yang dipelopori anggota Barisan Tani
Indonesia (BTI) berusaha mengambil paksa tanah wakaf milik Pondok Pesantren
Gontor di Ponorogo. Terjadi konflik massa para santri melawan BTI serta massa
PKI.
Yani juga sangat
marah ketika PKI mengeroyok dan mencincang Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono
di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara. Aidit berkelit bahwa tindakan PKI
di Bandar Betsy sebagai tindakan revolusioner sebagai awal dari pelaksanaan
tuntutan landreform untuk memenuhi komando Presiden Sukarno.
“Kami
diminta Bapak mencari koran yang memberitakan kasus Pelda Sujono tewas dibantai
PKI di Bandar Betsy, Sumatra Utara,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari
Jenderal Achmad Yani dalam perbincangan dengan Selamat Ginting yang ditayangkan
chanel youtube SGinting Offcial akhir Oktober 2021 lalu.
Bagaikan
Ibukota Komunis
Peristiwa 14
Mei 1965 di Bandar Betsy dianggap angin lalu oleh PKI. Sepanjang Mei 1965, PKI
justru gencar melempar isu Dewan Jenderal sebagai jenderal-jenderal yang akan
menggulingkan Presiden Sukarno. Mereka terus memaksakan Angkatan Kelima. Dalam
merayakan ulang tahun PKI tahun 1965, kaum komunis merayakannya besar-besaran.
Tamu-tamu
berdatangan dari negara-negara komunis, seperti Republik Takyat Tiongkok atau
Cina, Albania, Korea Utara, Vietnam Utara, dan Partai Komunis dari Uni Soviet.
Jakarta saat itu seperti ibukota negara komunis. Gambar Sukarno, DN Aidit,
Lenin, dan Karl Marx, Engels, Stalin dipajang di sejumlah jalan utama Ibukota.
“Kami
terkejut, ternyata pembantu rumah kami adalah simpatisan PKI. Dia membawa
bendera palu arit dan ikut dalam pawai di Gelora Senayan. Belakangan kami baru
menyadari, jangan-jangan dia PKI yang memantau aktivitas Pak Yani di rumah.
Sebab setelah peristiwa pembunuhan terhadap bapak, pembantu itu menghilang,”
ujar Amelia Yani.
Pawai
besar-besaran membuat Jakarta dan seluruh Pulau Jawa menjadi merah oleh bendera
palu arit. Presiden Sukarno menyambut gembira dengan suasana gemuruh di stadion
Gelora Senayan, Jakarta. Menggunakan pakaian Panglima Tertinggi lengkap dengan
pita tanda jasa, brevet dan tongkat komandonya. Ia memeluk Ketua CC PKI DN
Aidit dengan mesra. Disambut ratusan ribu massa seperti menggoyang Stadion
Senayan.
“Apa sebab
PKI bisa jadi demikian besar? Oleh karena PKI konsekuen progresif revolusioner.
Aku berkata, PKI yo sanakku, ya kadang-ku, yen mati aku melu kelangan,”
kata Bung Karno bersemangat.PKI pada
1965 beranggotakan tiga juta orang, Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) tiga juta
orang, dan simpatisan 20 juta orang.
Selain
memuji PKI, Sukarno kembali menegaskan sikapnya mengenai Nasakom, seperti tahun
1926. Awalnya Sukarno menggunakan istilah Nasionalis, Islam, Marxis. Kemudian
diubah menjadi Nasionalis, Agama, dan Marxis (Nasamarx). Akhirnya menjadi
Nasakom. Ide yang ditentang mantan Wakil Presiden Moh Hatta, Jenderal AH
Nasution dan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan ABRI.
Pujian terhadap
PKI kemudian diimplementasikan Sukarno dengan memberikan Bintang Mahaputra
untuk DN Aidit pada 17 Agustus 1965. PKI semakin mendapatkan angin menjadi anak
emas Presiden Sukarno. Dua pekan setelah itu, massa PKI melakukan demonstrasi
besar-besaran di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Inggris di Jakarta.
Bahkan masa
menerobos dan membakar kedutaan besar Inggris. Menghadapi massa yang tidak
terkendali, Angkatan Darat menyelamatkan sejumlah diplomat Inggris dari amukan
massa yang beringas. “Terima kasih dari saya seorang nekolim (neo
kolonialisme),” begitulah karangan bunga yang dikirimkan Duta Besar Inggris di
Jakarta Andrew Graham Gilsrist.
“Karangan
bunga itu diberikan, karena personel Angkatan Darat menyelamatkan para diplomat
dari amukan massa dan api yang membakar kedutaan Inggris. Tapi kemudian
dijadikan isu oleh PKI bahwa Jenderal Yani sebagai antek Inggris. Sekaligus
menjadi dasar dibuatnya dokumen Gilchrist yang berbunyi ‘our local army
friends’ oleh biro khusus PKI yang dipimpin Syam Kamaruzaman,’ kata Amelia Yani.
Jenderal
Yani memang pernah bersekolah militer di Inggris pada 1955. Tentu saja dikirim
oleh negara untuk memperdalam ilmu militer. Namun di depan Sukarno, Yani membantah sebagai
antek Amerika maupun Inggris. “Anti komunis bukan berarti menjadi antek Amerika
dan Inggris. Negara yang menyekolahkan saya ke Amerika dan Inggris. Bukan
maunya saya sebagai tentara harus sekolah di mana,” kata Amelia Yani menirukan
ucapan ayahandanya yang ditulis dalam buku catatan Yani.
Hubungan
dengan Sukarno
Yani yang semula
akrab dengan Presiden Sukarno, lama-lama akhirnya berpisah jalan. Ia menolak
ide Nasakom, karena sudah ada ideologi negara, Pancasila. Sebagai personel TNI
telah ia disumpah untuk menjunjung ideologi Pancasila. Bukan ideologi lain. Ia
juga menolak ide Angkatan Kelima yang digagas PKI dan Bung Karno.
Seperti
diungkap di atas, tim Yani di Staf Umum Angkatan Darat sudah mengkaji masalah
Nasakom dan Angkatan Kelima. Hasilnya menolak dua hal tersebut. Kelima Jenderal
dalam tim tersebut bersama dengan Jenderal Yani dan Jenderal AH Nasution
akhirnya harus menelan pil pahit, masuk dalam daftar penculikan dan akhirnya
dibunuh pada 1 Oktober 1965. Hanya Jenderal Nasution yang selamat.
Amelia Yani
juga menceritakan bahwa hubungan keluarganya dengan keluarga Sukarno tergolong
baik dan akrab. Bahkan Yani dan istri kerap membantu Ibu Negara Fatmawati yang
keluar dari istana, karena kecewa Sukarno kawin lagi. “Ibu saya suka membantu
Bu Fatmawati yang tinggal di rumah kecil menyendiri, tidak lagi di Jalan Sriwijaya.
Bapak juga beberapa kali meminta ajudan Mayor Subardi mengirimkan makanan dan
bantuan lain untuk Bu Fatmawati,” ujar Amelia.
Setelah
peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Yani, lanjut Amelia,
istri-istri Bung Karno juga mengunjungi rumah keluarga Yani di Jalan Lembang.
Terutama Hartini dan Dewi. Bahkan Dewi yang berasal dari Jepang, hampir tiap
hari menghibur istri Jenderal Yani. “Bu Dewi tentu saja ke sini atas perintah
Presiden Sukarno sekaligus menawarkan agar Ibu kami bersedia mengelola Sarinah
Jaya. Tapi ibu menolak, karena sudah terlanjut kecewa dengan sikap Presiden
Sukarno.”
Nyawa tidak
bisa ditukar dengan harta. Yayuk Ruliah Sutodiwiryo kehilangan respek pada
Presiden Sukarno setelah kematian suaminya yang tragis. Padahal sebelumnya, ia
merasa senang sekali tatkala Bung Karno hadir dalam acara syukuran rumah baru
keluarga Yani di Jalan Suropati. Namun rumah tersebut hanya dihuni selama satu
tahun. Yayuk juga kerap menampung curahan hati Fatmawati, istri ketiga Presiden
Sukarno.
“Setelah
bapak gugur, Ibu tidak mau lagi bicarakan tentang Bung Karno, sudah terlanjur
kecewa,” ujar Amelia dengan rasa sedih. Ungkapan-ungkapan Amelia Yani dapat
disaksikan dalam channel youtube SGinting Official.
Buku Agenda Jenderal A. Yani tentang Dewan Jenderal Foto: Dokumen Pribadi
Kamis malam,
30 September 1965. Kolonel Soegandhi Kartosoebroto, bekas ajudan senior
Presiden Sukarno mendatangi rumah Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan
Jenderal TNI Achmad Yani di Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat.
Ia bermaksud memberitahukan kepada Jenderal Yani bahwa Presiden Sukarno marah-marah di istana. “Apa itu Dewan Jenderal?! Apa itu Dewan Jenderal?!” kata Kolonel Sugandhi menirukan ucapan Sukarno yang sedang marah.
Kolonel Soegandhi, anggota DPR Gotong Royong itu menceritakan hal tersebut kepada Mayor CPM (Corps Polisi Militer) Subardi, ajudan dari Jenderal Achmad Yani, di rumah Panglima Angkatan Darat.
Soegandhi urung melaporkan langsung kepada Jenderal Yani. Ia menyampaikan hal tersebut kepada Mayor Subardi untuk disampaikan kepada orang nomor satu di Markas Besar Angkatan Darat. Alasannya masih ada tamu di kediaman Jenderal Yani.
Mengenai Dewan jenderal, Jenderal Yani sesungguhnya sudah menjelaskan kepada Presiden Sukarno. Yani dalam buku agendanya menyebutkan, Presiden Sukarno terpengaruh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengembuskan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden pada 5 Oktober 1965.
“Isu dewan jenderal, jenderal-jenderal Pentagon berkulit sawo matang, serta dokumen Gilshrist tentang Our Local Army Friend dibuat oleh PKI untuk menyudutkan saya,” kata Yani dalam tulisan di agendanya.
Yani memang lulusan sekolah militer di Amerika Serikat dan Inggris saat berpangkat letnan kolonel senior. Ia mengikuti Pendidikan di US Army Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. Kemudian melanjutkan pendidikan di Warfare Trainning di Inggris pada 1955.
Simak video "Firasat & Telepon Misterius di Rumah Jenderal A. Yani"
Mengenai isu-isu miring terhadap dirinya, Jenderal Yani mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno.
“Isunya diputarbalikkan, seakan-akan kami (karena disekolahkan oleh negara ke Amerika) pro-Amerika, mata-mata Amerika dan akan menyingkirkan Presiden. Beberapa kali info tersebut disampaikan (PKI) pada Bapak Presiden bahwa AD (Angkatan Darat) akan coup, akan ini dan itu. Lama-lama kalau Bapak (Presiden RI) mendengar soal ini juga mulai percaya (PKI). Anti PKI tidak berarti otomatis pro Amerika, sebaliknya anti-Barat otomatis pro-Timur,” ujar Yani dalam suratnya kepada Presiden Sukarno.
Padahal, kata Yani, bukti-bukti ketaatan TNI sudah cukup diberikan terhadap setiap penyelewengan dari tujuan nasional, dari mana pun datangnya telah dan akan kita hadapi. (Semua pemberontakan dan pergolakan di Tanah Air ditumpas oleh TNI atas nama negara).
Dewan jenderal yang dimaksud sesungguhnya adalah rapat para jenderal senior untuk menentukan sejumlah kolonel yang akan dipromosikan menjadi brigadir jenderal. Sejak berpangkat brigadir jenderal, Yani menjadi sekretaris Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Rapat biasanya dipimpin Letjen Gatot Subroto dan Mayor Jenderal GPH Djatikusumo.
Nasakom dan Angkatan Kelima
Kembali soal kedatangan Kolonel Soegandhi. Ia tidak bisa masuk rumah Yani, karena Panglima Angkatan Darat masih menerima tamu hingga pukul 22.00 WIB. Sehingga Soegandhi menyampaikan pesan tersebut kepada ajudan Yani.
Tamu
istimewa Yani malam itu adalah Panglima Kodam Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Basuki
Rachmat. Basuki melaporkan kepada Yani bahwa aktivis Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia) dari PKI melakukan perusakan kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim).
Malam itu, Jenderal Yani sekalian mengajak Jenderal Basuki Rachmat untuk ikut menghadap Presiden Sukarno pada Jumat pagi, 1 Otober 1965 tentang situasi di Jawa Timur tersebut.
Yani juga sudah memberitahukan kepada ajudan bahwa Jumat pagi akan menghadap Presiden Sukarno. Sekaligus memberitahukan kepada istrinya bahwa kemungkinan hari itu juga akan dicopot dari jabatan sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.
“Bapak sudah
memberitahukan kepada Ibu bahwa akan diganti oleh Mayor Jenderal TNI Moersid,”
kata Amelia Yani, putri ketiga dari delapan bersaudara, anak kandung dari
pasangan Jenderal Yani dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo. Keluarga mengetahui hal tersebut dari Mayor Subardi.
Ketidakcocokan
dengan Presiden Sukarno mengenai konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan
sikap keras Achmad Yani menolak Angkatan Kelima, menjadi sinyal retaknya
hubungan Yani dengan Presiden Sukarno. Angkatan Kelima yang digagas PKI dan
kemudian mendapatkan dukungan dari Presiden Sukarno ditentang keras oleh
Angkatan Darat.
Angkatan
Kelima di luar dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan
Kepolisian. Angkatan Kelima yang diminta PKI agar buruh dan tani turut
dipersenjatai untuk membantu perjuangan Indonesia dalam melawan Inggris yang
mendirikan negara Federasi Malaysia. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang, terdiri
dari 5.000 buruh dan 10.000 tani.
Peringatan
Haryono MT
Jenderal
Yani marah besar ketika anak buahnya Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di
Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara, tewas. Sujono gugur pada 14 Mei 1965 setelah
kepalanya dicangkul oleh aktivis tiga organisasi sayap PKI, yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia), PR (Pemuda
Rakyat) dan Gerwani.
Sepekan
setelah peristiwa Bandar Betsy tersebut, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan
Darat, Mayor Jenderal TNI MT Haryono menyarankan kepada Yani untuk bertindak
terhadap PKI. “Kalau (Panglima Angkatan Darat) tidak mulai mengambil tindakan
(terhadap PKI), tak pelak Anda akan dibunuh mereka,” kata Mayjen Haryono kepada
Letjen Yani pada 20 Mei 1965.
Malam
semakin larut. Mayjen Basuki Rahmat pun pamit sambil memberikan hormat militer.
Yani langsung menuju kamar tidurnya untuk istirahat. Mempersiapkan diri
menerima keputusan untuk diganti oleh Mayor Jenderal Moersjid, Deputi I Menteri/Panglima
Angkatan Darat.
Saat Yani
tidur, malam itu, dua kali telepon di rumahnya berdering. Setelah diangkat oleh
putri keduanya, Emi Yani, di ujung telepon menanyakan “Bapak ada di rumah?”
Tidak merasa curiga, sang putri menjawab, “Bapak ada di rumah sudah tidur.”
Pada malam
Jumat itu, jelang pergantian hari, telepon dari orang tidak dikenal, kembali
berdering. Lagi-lagi menanyakan posisi Jenderal Yani. “Bapak ada di rumah?”
Kembali dijawab oleh Emi Yani, “Bapak ada di rumah sedang tidur.”
Kisah-kisah
di malam kelam itu diceritakan Amelia Yani, putri ketiga dari pahlawan revolusi
Jenderal Achmad Yani, kepada penulis di kediaman Jenderal Yani, Jl Lembang
D-58, Menteng, Jakarta Pusat, 28 Oktober 2021 lalu. Rumah ketika Jenderal Yani
diculik dan dibunuh oleh Pasukan Gerakan 30 September (G-30-S) yang dibantu
Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI.
Bagaimana
kisah selegkapnya? Ikuti wawancara Selamat Ginting dengan Amelia Yani dalam
channel youtube SGinting Official.
"Operasi ‘memenggal’ GN dilakukan dengan tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Melalui upaya diam-diam, utusan istana mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR mengirimkan nama KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggantikan GN pada Desember 2017. Sebuah kejutan politik di akhir tahun 2017."
Kali ini Presiden Jokowi kesulitan menentukan siapa pengganti
Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menjadi Panglima TNI. Sesungguhnya jika
Jokowimau, pada Desember 2020 lalu,
bisa saja ia mengganti Hadi.
Mengingat pada Desember 2020 itu, Hadi sudah tiga tahunmenjadi Panglima TNI. Namun ternyata Hadi
terus melanjutkan kariernya hingga empat tahun kurang satu bulan.Padahal rata-rata masa jabatan Panglima TNI
di era reformasi pada kisaran 2-3 tahun.
Bagaimana sesungguhnya pola Jokowi memilih Panglima TNI? Mari
kita telusuri alurnya sejak periode pertama pemerintahannya.
Memang selama Jokowi menjadi presiden, baru dua kali ia memilih
panglima TNI. Pertama kali ia memilih Jenderal Gatot Nurmantyo (GN) menggantikan
Jenderal Moeldoko. Moeldoko merupakan panglima TNI pilihan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Ia menjadi panglima peralihan pemerintahan SBY ke
Jokowi.
Dimulai pada 30 Agustus 2013 hingga 8 Juli 2015. Sehingga Moeldoko
yang ikut pemerintahan SBY selama satu tahun dua bulan, lanjut ‘mencicipi’ awal
pemerintahan Jokowi selama kurang dari sembilan bulan. Di situ Jokowi mulai
kenal siapa Moeldoko, termasuk loyalitasnya terhadap dirinya.
Jadi, panglima TNI pertama pilihan Jokowi bukan Moeldoko, justru
Jenderal GN.Pilihan Jokowi terhadap Gatot
adalah kejutan politik bila dikaitkan dengan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.
Terutama pada pasal 13 yang berbunyi: "Jabatan Panglima dapat dijabat secara
bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau
pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan."
Jika dikaitkan dengan kalimat tersebut, maka rotasi dari
Moeldoko kepada Gatot, jelas tidak bergantian. Namun, ada multitafsir pada
kalimat ‘dapat dijabat secara bergantian’. Artinya bisa dapat, bisa juga tidak
dapat (bergantian).
Di sini dibuktikan, Moeldoko yang berasal dari matra darat
kembali ke Gatot yang juga berasal dari matra darat. Awalnya tentu
mengherankan. Sebab, Panglima TNI sebelum Moeldoko adalah Laksamana Agus
Suhartono.
Jadi, setelah Agus Suhartono dari matra laut maka diberikan
kepada Moeldoko dari matra darat. Sehingga diperkirakan yang akan menggantikan
Moeldoko dari matra udara, yakni Marsekal Agus Supriatna. Agus Supriatna alumni
AAU tahun 1983 dari Korps Penerbang Tempur, memenuhi persyaratan untuk menjadi
panglima TNI.
Kekurangannya memang satu, yakni bintang tiganya hanya
berumur tidak lebih dari sepekan. Jabatan bintang tiganya hanya selama dua hari
saja sebagai Kepala Staf Umum TNI. Jadi hanya sebagai persyaratan formal untuk
menjadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).
Sehingga kematangannya belum teruji untuk memimpin Mabes TNI.
Hal ini antara lain, membuat Jokowi memutuskan menunjuk KSAD Jenderal GN. Gatot
lulusan Akmil 1982. Satu tahun lebih senior daripada KSAU Marsekal Agus
Supriatna maupun KSAL Laksamana Ade Supandi, yang juga lulusan AAL 1983.
Gatot pun lebih matang dalam jabatan bintang tiga, sebagai
Komandan Kodiklatad serta Panglima Kostrad. Lebih berbobot dan lebih meyakinkan
untuk memimpin tiga matra daripada Agus Supriatna. Sedangkan Ade Supandi
‘terganjal’ jatah matra laut, sebab sebelum Moeldoko, Panglima TNI-nya adalah
Laksamana Agus Suhartono dari matra laut.
Jadi begitulah alur mengapa Jokowi akhirnya memilih GN. Namun
dalam perjalanannya, akhirnya Jokowi merasa tidak pas dengan GN. Ada kebijakan
politik Jokowi yang tidak sinkron dengan GN, terutama dalam menghadapi kelompok
‘Islam politik’. Keduanya berbeda sikap. Hal ini tampaknya menjadi jalan
pemisah keduanya.
Buntutnya, Jokowi mencopot GN, tiga bulan sebelum masa
pensiunnya tiba. Ia tidak memberikan kesempatan kepada GN untuk menuntaskan
jabatannya hingga Maret 2018. Gatot ‘dipenggal’ pada Desember 2017.
Operasi ‘memenggal’ GN dilakukan dengan tanpa memberitahukan
terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Melalui upaya diam-diam, utusan
istana mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR mengirimkan nama KSAU
Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggantikan GN pada Desember 2017. Sebuah
kejutan politik di akhir tahun 2017.
Gatot terperengah, ia coba ‘melawan’ dengan membuat keputusan
kontroversial. GN melakukan mutasi dan promosi jabatan perwira tinggi TNI yang
tidak ‘biasa’. Antara lain menjadikan Mayjen Sudirman sebagai panglima Kostrad
menggantikan Letjen Edy Rahmayadi. Edy sudah meminta pensiun dini kepada GN
untuk persiapan menjadi bakal calon gubernur Sumatra Utara.
Surat keputusan Panglima GN yang kontroversial di ujung kariernya
itu, langsung dibatalkan ketika Marsekal Hadi resmi dilantik dan memegang tongkat
komando Panglima TNI.
De-gatot-isasi pun terjadi. Orang-orang lebel GN tersingkir
dari pusaran. Mayjen Sudirman pun batal menjadi Panglima Kostrad dan otomatis
gagal naik pangkat menjadi letjen.
Ia ‘dimaafkan’ di akhir kariernya dengan tetap diberikan
promosi jabatan sebagai Komandan Kodiklat TNI dengan kenaikan pangkat bintang
tiga. Tapi hanya berumur tak lebih sepekan, kemudian pensiun.
Begitulah dramaturgi yang terjadi di Cilangkap, markas
besar TNI. Dramaturgi adalah sebuah teori yang mengemukakan bahwa teater dan
drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan
manusia.
Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas
Nasional (Unas) Jakarta. Kandidat doktor ilmu politik. Dosen Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. Wartawan senior yang banyak mengamati
masalah politIk pertahanan keamanan negara.
Baru kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat galau
untuk memilih Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), galau artinya: kacau tidak keruan.
Bahkan sampai tepat dua tahun pemerintahan Jokowi periode
kedua pada 21 Oktober 2021 ini, ia masih juga galau. Belum menunjukkan
kepastian.
Hadi tercatat sebagai panglima TNI terlama di era reformasi.
Ia menjabat selama empat tahun, kurang satu bulan. Terhitung sejak 8 Desember
2017 hingga 8 November 2021 mendatang.
Dari situ bisa disimpulkan Jokowi begitu percaya pada
Marsekal Hadi dibandingkan dengan perwira tinggi lainnya yang masih aktif saat
ini, baik Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Kepala
Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, maupun Kepala Staf Angkatan
Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.
Jadi pendapat Hadi tentu akan bisa mempengaruhi keputusan
Jokowi dalam memilih suksesor pengganti Hadi. Jokowi pastilah akan menanyakan
siapa yang paling pas menjadi suksesor Hadi. Jawabannya, akan mudah didapat.
Hadi lebih cenderung memilih Laksamana Yudo daripada Jenderal Andika. Tentu
juga bukan Marsekal Fadjar yang sama-sama dari matra udara.
Simak video "Jokowi Galau Pilih Panglima TNI"
Hal ini tentunya bisa dilihat dari komunikasi interpersonal, baik dari sisi sosiologi komunikasi, maupun psikologi komunikasi. Dalam relasi kuasa antara Hadi dengan Yudo, secara kasat mata bisa dilihat, jauh lebih cair daripada antara Hadi dengan Andika.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Hanya mereka berdua yang tahu.
Padahal keduanya pernah sama-sama membantu Presiden Jokowi di istana.
Hadi tentu saja ingin kebijakan dan ‘legacy’-nya bisa
diteruskan oleh suksesornya, sehingga ada kesinambungan. Ia tentu tidak ingin
bernasib serupa dengan Jenderal Gatot yang kebijakannya dibatalkan dirinya.
Bahkan terjadi ‘de-gatot-isasi’. Sehingga Hadi tidak ingin
mendapatkan ‘hukum karma’ mendapatkan perlakuan ‘de-hadi-isasi’ seperti dialami
Gatot.
Dari sinilah kegamangan Jokowi untuk tidak langsung memilih
Laksamana Yudo atau Jenderal Andika. Bahkan hingga pas dua tahun usia
pemerintahan Jokowi periode kedua (20-21 Oktober 2021), belum juga ada
kepastian tentang hal tersebut.
Kendati sebelumnya sudah ada jejak utusan istana, yakni
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno yang mengunjungi Markas Besar
Angkatan Darat (Mabesad) dan bertemu dengan KSAD Jenderal Andika pada Senin
(11/10/2021) lalu.
Dari sini sebenarnya ada sinyal berdasarkan teori komunikasi
tentang interaksi simbolik. Maklum, sebagai orang Jawa, Jokowi senang
menggunakan simbol-simbol dalam politik. Ingat, Menteri Pratikno tidak
mengunjungi Mabesal kantor Laksamana Yudomaupun Mabesau kantor Marsekal Fadjar. Padahal mereka bertiga merupakan
kandidat Panglima TNI.
Hal ini karena mereka sudah mencapai bintang empat aktif dan
menjadi kepala staf angkatan. Lain halnya bila dalam waktu dekat akan segera
ada pergantian kepala staf angkatan. Misalnya, dalam sisa waktu Oktober 2021
ini terjadi pergantian kepala staf angkatan. Maka siapa pun yang akan menjadi
kepala staf angkatan mempunyai peluang yang sama besarnya, kendati hanya dalam
hitungan satu hari sekali pun.
Tapi sinyal kedatangan Menteri Pratikno bisa mentah kembali,
karena hingga kini (21 Oktober 2021) pun belum ada pengumuman reshuffle
(pergantian) kabinet. Kemungkinan pergantian panglima TNI juga akan terkoneksi
dengan reshuffle kabinet.
Mengapa? Karena Jokowi tidak akan menelantarkan Marsekal Hadi
tanpa jabatan. Hadi diduga kuat akan masuk dalam kabinet kali ini. Kemungkinan
akan menjadi menteri perhubungan atau bisa juga sebagai Kepala Staf Presiden
(KSP). Sebab Hadi juga pernah bekerja di istana menjadi sekretaris militer
presiden.
Nah, yang menjadi masalah adalah pesan komunikasi politik apa
yang disampaikan Presiden Jokowi melalui Menteri Pratikno kepada Jenderal
Andika? Apakah kepastian Andika akan menggantikan Hadi sebagai Panglima TNI?
Ataukah justru memberitahukan bahwa Andika tidak akan menjadi Panglima TNI,
namun masuk dalam kabinet?
Pertarungan politik seperti apa yang terjadi di dalam istana?
Rasanya Jokowi pun tidak akan menelantarkan Andika jika akhirnya tidak
dipilihnya menjadi Panglima TNI, melainkan sebagai bagian dari kabinet.
Entahlah, mungkin sebagai KSP menggantikan Jenderal (Purn) Moeldoko, loyalis
SBY yang berbalik menjadi loyalis Jokowi.
Menjadi KSP dengan alasan, Andika juga pernah bekerja di
lingkungan istana menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sampai
di sini, Jokowi pun tidak akan menelantarkan Moeldoko.
Kemungkinan Moeldoko akan diberikan tempat di kabinet bersama
wakil dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini kemungkinan juga bersamaan
dengan politik Jokowi ‘menggusur’ kubu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Misalnya, kemarin (20 Oktober 2021) Jokowi
meminta komitmen pembantunya dalam memberantas mafia-mafia tanah. Ini sinyal
kuat. Apalagi dilanjutkan hari ini (21 Oktober 2021) Wakil Ketua Komisi II DPR
RI dari PDIP, Junimart Girsang mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengundurkan diri dari jabatannya. Alasannya,
hingga kini persoalan perebutan tanah antara pengusaha dan warga di Indonesia
tak kunjung selesai.
Petunjuk itu mengisyaratkan Sofyan Djalil berpotensi
akan dicopot dari posisi menteri. Sofyan dikenal sebagai‘orangnya’ JK. Dan yang akan menggantikannya,
kemungkinan Moeldoko.
Pertarungan Politik
Kembali ke soal siapa saja orang kuat yang akan
pengaruhi Jokowi untuk memilih kandidat Panglima TNI? Jika di awal dikemukakan
Jokowi akan meminta pendapat Marsekal Hadi. Walau hak prerogratif presiden,
namun kemungkinan Jokowi
akan meminta pendapat dari sekurangnya empat tokoh politik di luar Marsekal Hadi.
Empat orang tersebut adalah Ketua Umum PDI Perjuangan
Megawati Sukarnoputri sebagai pimpinan ‘kandang partai’ dimana Jokowi
berada.Alam pikiran politik Megawati,
tentu saja berkepentingan terhadap Andika yang punya potensi ke depan untuk
dipasangkan dengan anaknya, yakni Puan Maharani dalam pemilihan presiden 2024
mendatang.
Andika adalah jenderal aktif yang namanya masuk dalam bursa
bakal calon presiden maupun wakil presiden untuk periode 2024. Sementara
Marsekal Hadi, namanya sama sekali tidak diperhitungkan dalam sejumlah
survey.
Purnawirawan militer lainnya yang masuk dalam bursa bakal
capres maupun wapres adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga
ketua umum Partai Gerindra; kemudian Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti
Yudhoyono (AHY), dan deklataror Koalisi Aksi Menyelamatkan
Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo (GN).
Puan sangat mungkin dipasangkan dengan Prabowo maupun Andika.
Namun tidak dengan AHY dan GN sebagai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.
Di situlah Megawati berkepentingan terhadap posisi Andika
sebagai Panglima TNI atau jabatan lain yang setara di kabinet. Sama dengan
ketika Megawati ‘menyelamatkan’ muka Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG) yang
batal menjadi Kepala Polri, kemudian disubsitusi menjadi Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN).
Bahkan kini BG menjadi Kepala BIN terlama sejak era
reformasi. Lima tahun satu bulan, melewati rekor Mayjen (Purn) Syamsir Siregar
selama empat tahun 10 bulan. Nama BG pun kini masuk dalam bursa survey bakal
capres maupun cawapres 2024.
Kembai ke soal tokoh yang akan dimintai pendapat oleh Jokowi.
Rasanya tidak mungin Jokowi tidak minta pendapat Menteri Pertahanan Prabowo
Subianto. Prabowo juga ketua umum Gerindra, partai tiga besar dalam pemilu 2019
lalu. Panglima TNI mesti terkoneksi dengan Menteri Pertahanan.
Menteri Pertahanan memiliki kapasitas selaku
menteri bidang alutsista (alat utama sistem senjata) dan industri pertahanan
yang memegang amanah untuk mendesain dan menentukan kebijakan strategis
pembangunan alutsista TNI. Ada pun Panglima TNI sebagai pengguna kekuatan, dan
kepala staf angkatan sebagai pembina kekuatan. Jadi, presiden Jokowi
sepantasnya menanyakan masalah ini juga kepada menteri pertahanan.
Selain itu juga kemungkinan Jokowi akan menanyakan kepada
menteri senior ‘paling kuat’, yakni Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Serta ketua
dewan pertimbangan presiden, Wiranto. Kebetulan tiga nama yang disebut itu jenderal
yang berasal dari matra darat. Sehingga bisa saja memiliki kecenderungan lebih memilih Jenderal Andika
daripada Laksamana Yudo maupun Marsekal Fadjar.
Andika pun lebih senior daripada Yudo maupun Fadjar. Andika
lulusan Akademi Militer (Akmil) 1987, Yudo lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL)
1988-A, dan Fadjar lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1988-B. Namun masa
dinas Andika tinggal satu tahun satu bulan lagi. Hal ini jika dihitung sejak
November 2021, saat Hadi berusia 58 tahun.Sedangkan Yudo mempunyai waktu dua tahun lagi. Sedangkan Fadjar masih
sekitar 2,5 tahun lagi.
Dengan diulur-ulurnya waktu pergantian Panglima TNI, maka
sah-sah saja jika ada analisis politik sebagai upaya menjegal Andika menjadi
Panglima TNI. Sebab waktu satu tahun dianggap tidak efektif untuk menjalankan
tugas sebagai Panglima TNI. Di sinilah peluang Laksamana Yudo lebih terbuka.
Bisa jadi dengan alasan inilah Jokowi tidak memilih Andika.
Namun bisa juga seperti model Jenderal Polisi Idham Aziz menjadi Kepala Polri
pengganti Jenderal Tito Karnavian. Idham hanya sekitar satu tahun dua bulan
saja menjadi Kepala Polri. Semua kemungkinan bisa terjadi, tergantung pertarungan
politik di istana.
Jadi, skenario kuatnya, bisa empat pilihan. Pertama; Andika
sebagai Panglima TNI gantikan Hadi dengan waktu singkat, sekitar satu tahun
satu bulan saja. Kedua; Yudo langsung menjadi Panglima TNI menggantikan Hadi. Sedangkan
Andika ditarik ke kabinet.Ketiga;
win-win solutions. Andika menjadi Panglima TNI selama satu tahu satu bulan,
kemudian digantikan Yudo sebagai Panglima TNI selanjutnya dengan waktu yang
juga tersisa satu tahunan saja.
Keempat; pola jalan tengah. Bukan Andika dan bukan Yudo,
melainkan tokoh alternatif. Bisa jadi pengganti Andika sebagai KSAD, dengan
calon kuat Panglima Kostrad Dudung Abdurachman. Seandainya Dudung menjadi KSAD
pada akhir Oktober 2021 ini, maka ia pun berpeluang menjadi Panglima TNI pada
November 2021 jelang 58 tahun usia Marsekal Hadi. Sehingga Dudung hanya sepekan
saja menjadi KSAD dan langsung lompat menjadi Panglima TNI.
Empat skenario itu sangat mungkin terjadi di tengah-tengah
pertarungan politik kali ini. Dudung adalah titik pertemuan beberapa
kepentingan politik, antara Jokowi, Megawati, Prabowo Subianto, LBP, dan Hadi
Tjahjanto.
Sedang ramai. Koran Tempo membuat laporan tentang korupsi jatah bantuan sosial (bansos). Tersangka utama, Juliari P Batubara, bekas menteri sosial.
Dalam laporannya, dari jatah 1,9 juta paket bantuan, Juliari diduga hanya mengutip untuk 600 ribu paket. Sebanyak 1,3 juta paket, menurut Tempo, disebut sebagai jatah dua anggota DPR dari partai berkuasa (PDIP), yakni Herman Hery dan Ihsan Yunus.
Kader partai ini memang masih di urutan nomor satu dalam hal korupsi. Sejak era reformasi hingga saat ini. Hal ini menurut catatan lembaga-lembaga anti korupsi. PDIP harus berbenah diri dalam masalah ini.
Kembali ke laptop. Untuk wilayah Jadebotabek, bansos Covid-19, didistribusikan sebanyak 12 kali dengan total santunan 22,8 juta paket senilai Rp6,8 triliun. Dalam laporan Tempo, jatah untuk Herman dan Ihsan tidak dipotong fee Rp10 ribu, karena itu menjadi bagian dari 'madame'.
Siapa madame tersebut? Bagi saya, ini sudah masuk ke ranah hukum. Perlu rekonstruksi hukum untuk membuka tabir tersebut. Tentu saya tak berani mendahului proses hukum melalui dugaan-dugaan atau spekulasi. Sebab bisa mengandung fitnah terhadap seseorang. Urusannya bisa sampai akhirat. Saya tak berani.
Yang lekat dalam ingatan saya soal madame di Indonesia, justru pada sosok bekas janda Presiden Sukarno. Dia adalah Naoko Nemoto asal Tokyo, Jepang. Setelah dijadikan istri kelima Presiden Sukarno, namanya menjadi Ratna Sari Dewi. Dikenal sebagai Dewi Sukarno atau Dewi Soekarno, dengan ejaan lama.
Saya menulis Sukarno dengan ejaan baru, bukan ejaan lama: Soekarno. Karena sang presiden yang meminta namanya ditulis: Sukarno. Dengan alasan U menjadi Oe, itu peninggalan kolonial Belanda. Tandatangannya ditulis: Soekarno. Memang tidak mungkin diubah, karena terkait dengan dokumen dan perbankan.
Kembali ke sang madame. Dewi Sukarno, pada Februari 2021 ini akan genap berusia 81 tahun. Saat saya baru menjadi wartawan, Indonesia digemparkan dengan buku berjudul 'Madame D Syuga'. Artinya, unggul dan molek.
Buku itu berisi foto-foto Ratna Sari Dewi dalam berbagai pose. Peluncuran buku itu sempat meramaikan media massa di Jepang dan Indonesia.
Mengapa? Tentu saja, karena yang jadi modelnya, bukan perempuan biasa. Ia dulu sangat suka disebut sebagai Madame Sukarno, istri presiden pertama Indonesia. Buku ini memang penuh sensasi.
Bahkan salah satu koran di Jepang menuliskannya dengan bombastis, "kejutan terbesar abad ini". Bah... ngeri kali lah. Sebuah majalah di Jepang, membuatnya sebagai laporan utama dengan judul "Telanjang di Usia 53". Di usia yang sepantaran saya, saat ini. Waduh...
Para wartawan di Indonesia pun berburu untuk mendapatkan buku tersebut. Termasuk saya. Ingin tahu apa sebenarnya isi buku yang menghebohkan itu. Kehebohan bukan hanya sampai redaksi media massa, tetapi juga sampai Kejaksaan Agung. Lembaga itu akhirnya mengeluarkan larangan atas buku itu pada November 1993.
Artinya hanya sekitar tiga bulan setelah buku itu terbit di Jepang. Walah... belum sempat dapatkan buku itu, malah sudah dilarang. Larangan terhadap buku-buku atau barang cetakan, bukan cuma ciri khas rezim Orde Baru Soeharto saja.
Sebab rezim Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) Sukarno juga sudah menerapkannya sejak 1963 melalui keputusan presiden. Kali ini justru menimpa terhadap bekas istri Sukarno. Menarik.
Kejaksaan Agung menyatakan, buku itu mengandung pornografi. Sekaligus bisa mencemarkan nama baik Presiden Sukarno. Sang Madame nan indah, protes. Dia tidak terima bukunya dilarang di Indonesia. Naoko Nemoto (saat itu 53 tahun) alias Dewi Sukarno, akhirnya datang ke Jakarta. Kedatangannya tentu saja menjadi pusat perhatian para jurnalis untuk melihat indahnya sang madame.
Madame (Pagi) yang indah sekali.
Membawa hati bernyanyi.
Walau gadisku telah pergi.
Dan tak kan mungkin kembali, hhhmm ya... (Koes Plus).
Kepada wartawan, ia membela diri. "Buku Madama d Syuga ditujukan bagi para perempuan yang menyukai keindahan dan citarasa seni yang tinggi. Bukan untuk kaum lelaki!". Nah... jadi kaum lelaki tak boleh lihat buku tersebut? Aya-aya wae madame...
Dewi juga tidak mau bukunya dikaitkan dengan mantan suaminya, Sukarno yang sangat dihormati bangsa Indonesia. Sebagai istri kelima dari sembilan istri Sukarno, bagi Dewi, buku itu tanggung jawab pribadinya. Bukan tanggung jawab keluarga Sukarno.
“Ini ekspresi seni. Demi keindahan, apa pun diizinkan. Saya kira orang yang mencintai seni tak akan mencela buku saya,” kata Ratna Sari Dewi, membela diri.
Kini dalam hal korupsi bansos, saya belum tahu, bagaimana sang madame bansos akan membela diri. Apakah terlibat dalam konspirasi jahat korupsi juga bagian dari ekspresi seni?
Ah ini pasti pertanyaan 'ngelantur', karena masih terbayang Madame Syuga... Semoga tidak lagi membuat foto telanjang di usia 81 tahun. Hahaha.
Berdasarkan
teori interaksi simbolik, diduga kuat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)
Jenderal Andika Perkasa akan diplot menjadi Panglima TNI menggantikan Marsekal
Hadi Tjahjanto. Pilihan pada Andika sudah melalui pertimbangan yang matang.
Demikian
analisa pengamat komunikasi politik dan Militer dari Universitas Nasional
(Unas) Jakarta, Selamat Ginting dalam kanal youtubeSGinting
Official dan Hersubenopoint dari FNN,
yang ditayangkan pada Selasa (12/10) berjudul: Kompromi Politik Jokowi
Pilih Jenderal Andika sebagai Panglima TNI.
Setelah
Andika Perkasa pensiun pada Desember 2022 mendatang, kata Ginting, penggantinya
kemungkinan tidak dari TNI AD lagi. Sebab jika hal itu dilakukan, maka TNI AL
akan kehilangan kesempatan dua kali menjadi Panglima TNI.
“Ini
akan berakibat kurang bagus untuk soliditas TNI ke depan. Sebagai kompromi, ia
melihat kemungkinan Presiden Jokowi akan segera merealisasikan penggunaan
Peraturan Presiden (Perpres) No.66 tahun 2019. Dalam perpres tersebut, ada
posisi Wakil Panglima TNI. Kemungkinan Yudo Margono bisa menjadi Wakil Panglima
TNI, jika tidak ada perubahan dari dinamika politik yang berkembang,” tegasnya.
Posisi
Wakil Panglima TNI di era reformasi, lanjut Ginting, pernah digunakan dua kali.
Pertama era Presiden BJ Habibie. Panglima TNI Wiranto didampingi Wakil Panglima
TNI Laksamana Widodo AS. Kemudian saat Presiden Abdurachman Wahud (Gus Dur).
Panglima TNI dijabat Laksamana Widodo AS dan Wakil Panglima TNI Jenderal
Fachrul Razi.
Jadi,
papar Ginting, saat Andika jadi Panglima TNI, kemungkinan wakil Panglima TNI
bisa diisi oleh Yudo Margono. Sehingga harus ada KSAL sebagai
penggantinya. Karena publik juga bertanya, untuk ada ada Perpres
66/2019 jika tidak digunakan posisi orang nomor dua di Mabes TNI. Namun, jika
Perpres itu tidak digunakan, Yudo akan tetap menjadi KSAL.
“Mungkin
jika Laksamana Yudo boleh memilih, antara menjadi KSAL atau Wakil Panglima TNI,
kemungkinan dia akan lebih memilih menjadi KSAL. Kepala Staf Angkatan itu punya
kuasa di Mabes matra masing-masing. Sementara di Mabes TNI, kuasa dipegang
Panglima TNI, sedangkan Wapang TNI hanya cadangan saja.
Namun,
setelah Presiden Joko Widodo sukses menjadikan Andika Perkasa menjadi Panglima
TNI, tak serta-merta posisi orang nomor satu di Republik ini sudah kuat. Sebab
Andika hanya akan menjabat sekitar satu tahun dua bulan saja, dengan catatan
jika tidak ada perpanjangan masa pensiun.
Jokowi
harus memikirkan sosok pimpinan TNI yang sesuai dengan seleranya. Ia harus
mengkader pimpinan TNI, bahkan sampai peralihan kekuasaan pada Oktober 2024
mendatang.
Selamat
Ginting menegaskan bahwa Presiden Jokowi harus menyiapkan sosok pimpinan TNI
yang memiliki jejak hubungan baik dengannya. Letjen Dudung Abdurachman, kata
Ginting memiliki posisi kuat menduduki jabatan KSAD menggantikan Andika
Perkasa.
Solo
Conection
Yang
juga menarik, kata Ginting, justru siapa yang bakal menggantikan posisi
Pangkostrad yang ditinggalkan Dudung Abdurrahman. Menurut keyakinan Selamat
Ginting, calon Pangkostrad yang akan dipilih Jokowi adalah Mayjen Agus Subianto,
kini Pangdam Siliwangi. “Lulusan Akmil 1991 itu merupakan sosok yang paling
mungkin menduduki jabatan Pangkostrad, antara lain berdasarkan interaksi
komunikasi dengan Presiden Jokowi,” katanya.
Sementara
calon alternatif kedua yang bisa menduduki Pangkostrad, menurut Ginting, adalah
Mayjen Maruli Simanjuntak yang saat ini menjadi Pangdam Udayana. Maruli lulusan
Akmil 1992 dan menantu dari Menteri Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Marves.
“Agus
dan Maruli orang dekat lingkaran Jokowi. Keduanya kebetulan pernah menjadi
Komandan Pasukan Pengamanan Presiden. Agus Subianto juga pernah menjadi
Komandan Kodim di Solo pada 2009-2011, saat Walikota Solo dijabat Joko Widodo,”
ungkap Ginting yang malang melintang menjadi wartawan masalah pertahanan
keamanan selama sekitar 30 tahun.
Jadi,
kata dia, ada interaksi Solo Connection, istilahnya. Maruli
Simanjuntak juga Solo Connection, karena sebelumnya pernah menjadi
Komandan Korem Warastatama di Solo. Sebelumnya juga pernah menjadi Komandan
Grup A Paspampres, dimana pemegang kendali pengamanan presiden. Kalau Grup B
wakil presiden. Ini betul betul orang orang pilihan. Backround-nya
Kopassus,” papar Ginting.
Maruli,
lanjut Selamat Ginting, masih terlalu muda jika dilihat dari usianya yakni 51
tahun. Jadi masih panjang karier militernya. Sedangkan Agus Subiyanto sudah
berusia 54 tahun. Selisih usianya sekitar tiga tahun.
Sementara
untuk Pangdam Jaya, kata Ginting, Jokowi akan memilih pengganti Mayjen Mulyo
Aji. Dia seangkatan dengan Andika Perkasa, Akmil 1987. Mulyo Aji kemungkinan
akan mendapatkan promosi bintang tiga. Mulyo pernah menjadi Danrem di
Solo. Solo Connection juga. Jadi okowi betul-betul membutuhkan
lingkaran dekatnya untuk menopang kekuasaannya agar lebih aman dari kalangan
militer.
Kemungkinan,
lanjut Ginting, Mulyo Aji akan dipromosikan menjadi Sekretaris Menkopolhukan
menggantikan Letjen Tri Soewandono yang akan segera pensiun Desember 2021
ini.
“Jokowi
tidakakan mengabaikan orang-orang yang pernah bekerja sama dengan dia,” pungkas
Ginting.