Selamat Ginting
Jurnalis
Kawasan Ancol menjadi tempat latihan penanggulangan terorisme. Latihan itu melibatkan sekitar 500 prajurit dari tiga pasukan khusus TNI. Terdiri dari Satuan-81 Kopassus TNI AD, Detaseman Jala Mangkara (Denjaka) TNI AL dan Satbravo-90 Paskhas TNI AU.
Usai meninjau Latihan Satgultor TNI, Panglima TNI Marsekal Hadi
Tjahjanto mengatakan TNI beserta jajarannya tetap komitmen dan siap mengamankan Pemilihan Legislatif (Pilleg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019.
Marsekal Hadi didampingi tiga kepala staf angkatan. KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, dan KSAU Marsekal Yuyu Sutisna. Selain itu tampak Kasum TNI Letjen Joni Supriyanto, dan Irjen TNI Letjen Muhammad Herindra. Mereka menggunakan pakaian dinas lapangan (PDL) loreng tempur dan topi pet loreng,
Kemudian foto bersama ditambah Komandan Korps Marinir, Mayjen Suhartono, selaku direktur latihan. Ada pula Komandan Korps Pasukan Khas Marsda Eris Widodo Yuliastono, serta Wakil Komandan Jenderal Kopassus Brigjen Mohammad Hasan.
Latar belakangnya perwakilan prajurit dari tiga Satgultor TNI. Mereka menggunakan PDL loreng dan baret kebanggaan masing-masing. Kopassus merah, Marinir ungu, dan Kopaskhas jingga.
Usai foto bersama, Marsekal Hadi menyampaikan pesan penting. Ia dan para petinggi TNI yang mendampinginya menunjukkan wajah serius. Bahkan sambil bertolak pinggang. Sekali lagi, bertolak pinggang.
"Saya ingin memastikan bahwa jika ada pihak-pihak yang mengganggu stabilitas politik, jalannya demokrasi, mengganggu NKRI, menganggu Pancasila, mengganggu UUD 1945, dan mengganggu Bhinneka Tunggal Ika, maka akan berhadapan dengan TNI," ujar Hadi, lulusan Akademi Angkatan Udara 1986.
"Saya ulangi, akan berhadapan dengan TNI. Ingat, TNI adalah bentengnya NKRI. "NKRI, harga mati!," seru Hadi sambil diikuti para prajuritnya. Semua mengepalkan tangan di depan dada.
Awalnya, pada Selasa (9/4) lalu itu, kepada para jurnalis, Hadi mengirimkan pesan. “TNI akan Netral dalam pelaksanaan Pilleg dan Pilpres tahun 2019 dan siap menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata marsekal berkumis hitam dan tebal.
Mantan KSAU itu berbicara di depan layar televisi yang disiarkan jaringan publik. Disaksikan rakyat yang sedang bersiap menghadapi pesta demokrasi. Berkomunikasi tidak selalu menggunakan lisan. Juga dapat menggunakan simbol-simbol tertentu. Bahasa tubuh merupakan salah satu simbol yang dapat dikenali makna di baliknya.
Tidak simpatik
Berbicara sambil bertolak pinggang, menunjukkan gestur orang yang sedang terlalu percaya diri atau over confidence. Bahkan menimbulkan kesan karakter yang arogan dan sombong. Mau sombong kepada siapa, Marsekal?
Tampilan para petinggi TNI itu justru menunjukkan sikap tidak simpatik kepada rakyat. Sekaligus mengumumkan kepada publik ada kegentingan. Apalagi diungkapkan dengan nada cenderung meninggi. Tidak ada lagi argumen. Anda sedang mengintimidasi.
Bahasa tubuh atau istilah kerennya body language, sesungguhnya 80 persen dari bentuk komunikasi. Bahasa tubuh memiliki arti, namun tidak semua orang bisa memahaminya.
Bertolak pinggang atau berkecak pinggang menunjukkan sikap defensif. Jika sedang berkomunikasi dan lawan bicara Anda berkecak pinggang, sebaiknya Anda mundur pelan-pelan dan hindari orang itu. Ia sedang terpojok. Percuma berbicara dengan orang seperti itu. Tidak ada lagi argumen. Tidak menghargai ruang gerak orang lain.
Buat apa berkomunikasi dengan orang berbahasa tubuh seperti itu? Saya pun tidak nyaman melihat video petinggi TNI berkecak pinggang. Apalagi bukan secara tidak sadar, tetapi dilakukan kompak. Dengan kesadaran, karena difoto berulang-ulang pula. Seragam.
Mestinya para petinggi TNI mencairkan suasana yang cenderung memanas jelang hari H pelaksanaan pemilu. Lebih mendengarkan pendapat rakyat. Berpakaian yang lebih bersahabat, bukan gunakan pakaian lapangan tempur. Anda mau bertempur dengan siapa? Berbeda jika itu diungkapkan dalam latihan tempur gabungan TNI untuk menjaga kedaulatan RI dan ancaman invasi asing. Lawan bicaranya adalah pihak asing.
Fungsi teritorial
Jika pesan disampaikan untuk rakyat dan dilihat rakyat di layar media, tentu akan menimbulkan kesan tidak respek. Padahal TNI memiliki fungsi teritorial, di antara lima fungsi lainnya, yakni: intelijen, operasi, personel, dan logistik.
Fungsi teritorial memiliki tugas membina dan mendayagunakan unsur-unsur geografi, demografi, dan kondisi sosial menjadi ruang, alat, dan kondisi (RAK) juang yang tangguh dalam mencapai tugas pokok TNI.
Apa itu tugas pokok TNI? Menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan negara.
TNI adalah tentara rakyat. Berasal dari rakyat. Dan akan kembali menjadi rakyat setelah purna tugas. Sikap teritorial mewajibkan TNI dekat dengan rakyat. Karena itu penting untuk mengintensifkan komunikasi sosial (Komsos) TNI terhadap rakyat. Misalnya dengan menyerap aspirasi rakyat, bagaimana caranya agar rakyat respek dengan TNI.
Kehadiran TNI jangan justru menjadi momok menakutkan bagi rakyat. Menimbulkan antipasti rakyat. Sebab sikap territorial, makna sesungguhnya adalah bagaimana TNI bisa ‘menembak’ hati rakyat, menghayati kemauan rakyat.
Ada Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan delapan wajib TNI yang harus diimplementasikan dalam tingkah laku dan bahasa tubuh yang ramah. Apa saja itu gesture tubuh yang harus ditampilkan dalam delapan wajib TNI itu? Jelas tertulis: murah senyum, tegur sapa, rasa hormat dan terima kasih, kenali adat istiadat, larut diri di setiap lapisan masyarakat, positif dalam tata susila, kesediaan untuk membantu, dan selalu ikut kegiatan keagamaan.
Duhai luar biasa filosofi-filosofi TNI.Hal itu harus diterjemahkan dalam komunikasi sosial dengan komponen masyarakat. Bukan komunikasi tempur (kompur). Tidak ada istilah kompur yang ada saat menyampaikan pesan kepada rakyat adalah komsos.
Mestinya, Marsekal Hadi menyampaikan imbauan untuk mengajak komponen masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam pesta demokrasi dengan gembira walau pun ada perbedaan pilihan. Komunikasi adalah kata mutlak dalam kehidupan. Tanpa komunikasi artinya mati.
Petinggi TNI, beradaptasilah dengan situasi. Kedepankanlah komunikasi sosial agar memudahkan tugasmu saat berhadapan dengan rakyat. Berinteraksilah dengan kerendahan hati untuk membangun suasana yang kondusif. Tanggalkan simbol keangkuhan ketika berkomunikasi dengan rakyat.
Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman jimatnya cuma satu: ikhlas berjuang untuk rakyat. Ia tahu penderitaan rakyat. Ia pun miskin bersama rakyatnya. Segala perhiasan istrinya dijual untuk bergerilya demi rakyat dan bangsanya. Saat sakit keras dan Presiden Sukarno memintanya tinggal di kota, Sudirman menolak. Ia memilih tetap bergerilya dan berkumpul dengan rakyatnya.
Tempat terbaik baginya adalah berada di tengah-tengah anak buahnya. Menyatu bersama rakyat. Itulah kehormatan tertinggi baginya. Panglima Besar Sudirman lusuh dan lemah, karena sakit yang dideritanya. Tapi ia terus rendah hari, menyampaikan permohonan maaf kepada rakyat. Meminta maaf jika merepotkan rakyat.
Rakyat menangis melihat Bapak TNI yang rendah hati. Prajurit berlinang air mata melihat sosok jenderalnya yang miskin harta, namun terus bergerilya dengan gagah berani. Jangan sekali-kali menakuti, apalagi menyakiti rakyat.
/selamatgintingofficial