Republika (28/6/2019) |
Operasi lintas udara pasukan TNI pada dini hari, diketahui pasukan Fretilin. Apa yang terjadi?
Baucau, kota kedua terbesar di Timor Leste, setelah Dili. Jaraknya sekitar 122 km dari Dili, ibu kota negara Timor Leste. Pada masa Timor Portugis, Baucau disebut Vila Salazar. Salazar adalah nama diktator Portugis, Antonio de Oliveira Salazar.
Kota ini sangat strategis, karena memiliki lapangan terbang terbesar. Lebih besar daripada Dili.
Baucau menjadi sasaran kedua bagi pasukan Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) TNI. Pada 10 Desember 1975, dilakukan penerjunan pasukan payung Brigade Infanteri (Brigade)-17/Linud (Lintas Udara) Kostrad.
Terdiri dari Batalyon Infanteri (Yonif) 328, Yonif 401, Detasemen Para Komando (Den Parako) Kopasandha, Batalyon Pasukan Marinir (Yon Pasmar)-2 AL, Tim B Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) AU, dan 1 peleton kompi Zeni Tempur (Zipur) 9 Para Menzipur Kostrad.
Mereka mendarat di lapangan terbang Baucau. Pasukan ini, seperti tertulis di buku Operasi Seroja Jilid II A, mendapatkan perlindungan udara dari pesawat pembom serbu B-26 Invader. Serbuan ke Baucau ini lebih matang dibandingkan dengan serbuan yang dilaksanakan di kota Dili pada 7 Desember 1975. Penerjunan yang dimulai pukul 07.20 itu merupakan pendadakan bagi Antonio Reis da Silva Nunes sebagai komandan asrama Baucau.
“Mereka tidak sempat mengkoordinasi pasukannya untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan gabungan. Pasukan Fretilin melarikan diri dari Baucau dan meninggalkan penjagaannya di lapangan terbang. Nyaris tidak ada perlawanan sama sekali. Fretilin segera meninggalkan Baucau,” seperti ditulis Nugroho Hariadi, Paratroops: Pasukan Penyergap dari Udara.
Diketahui Fretilin
Kondisi itu berbeda jauh dengan penyerbuan di Dili, tiga hari sebelumnya. Pada 7 Desember 1975, Operasi Seroja mulai masuk pada tahap serbuan. Operasi terbuka untuk pertama kalinya berlangsung dengan melakukan serbuan ke kota Dili yang merupakan jantung kota Timor Portugis. Kapal-kapal perang TNI-AL sudah siap merapat di perairan dekat Dili beber apa hari sebelum 7 Desember 1975. Sebelumnya telah dilaksanakan rapat gabungan secara tertutup pada 4 Desember 1975 di Kupang.
Baucau, kota kedua terbesar di Timor Leste, setelah Dili. Jaraknya sekitar 122 km dari Dili, ibu kota negara Timor Leste. Pada masa Timor Portugis, Baucau disebut Vila Salazar. Salazar adalah nama diktator Portugis, Antonio de Oliveira Salazar.
Kota ini sangat strategis, karena memiliki lapangan terbang terbesar. Lebih besar daripada Dili.
Baucau menjadi sasaran kedua bagi pasukan Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) TNI. Pada 10 Desember 1975, dilakukan penerjunan pasukan payung Brigade Infanteri (Brigade)-17/Linud (Lintas Udara) Kostrad.
Terdiri dari Batalyon Infanteri (Yonif) 328, Yonif 401, Detasemen Para Komando (Den Parako) Kopasandha, Batalyon Pasukan Marinir (Yon Pasmar)-2 AL, Tim B Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) AU, dan 1 peleton kompi Zeni Tempur (Zipur) 9 Para Menzipur Kostrad.
Mereka mendarat di lapangan terbang Baucau. Pasukan ini, seperti tertulis di buku Operasi Seroja Jilid II A, mendapatkan perlindungan udara dari pesawat pembom serbu B-26 Invader. Serbuan ke Baucau ini lebih matang dibandingkan dengan serbuan yang dilaksanakan di kota Dili pada 7 Desember 1975. Penerjunan yang dimulai pukul 07.20 itu merupakan pendadakan bagi Antonio Reis da Silva Nunes sebagai komandan asrama Baucau.
“Mereka tidak sempat mengkoordinasi pasukannya untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan gabungan. Pasukan Fretilin melarikan diri dari Baucau dan meninggalkan penjagaannya di lapangan terbang. Nyaris tidak ada perlawanan sama sekali. Fretilin segera meninggalkan Baucau,” seperti ditulis Nugroho Hariadi, Paratroops: Pasukan Penyergap dari Udara.
Diketahui Fretilin
Kondisi itu berbeda jauh dengan penyerbuan di Dili, tiga hari sebelumnya. Pada 7 Desember 1975, Operasi Seroja mulai masuk pada tahap serbuan. Operasi terbuka untuk pertama kalinya berlangsung dengan melakukan serbuan ke kota Dili yang merupakan jantung kota Timor Portugis. Kapal-kapal perang TNI-AL sudah siap merapat di perairan dekat Dili beber apa hari sebelum 7 Desember 1975. Sebelumnya telah dilaksanakan rapat gabungan secara tertutup pada 4 Desember 1975 di Kupang.
Serbuan pertama pasukan dengan penerjunan direncanakan di Dili, Baucau, dan Laga. Dalam serbuan kota Dili, pasukan yang bertugas adalah Grup Parako, Yonif 501 Linud, 1 kompi plus dari Yonif 502, tim Tuti, Yon Pasmar-1, dan partisan yang berjumlah 843 orang dari Linud, dan 906 dalam serbuan Amphibi.
Pukul 02.00, pada 7 Desember 1975 kapal-kapal Komando Tugas Amphibi TNI AL tiba di lepas pantai Dili. Namun tiba-tiba pukul 03.00 seluruh listrik di kota Dili telah dipadamkan. Peristiwa ini menandakan serangan dadakan telah diketahui Fretilin. Hal ini seperti dituliskan Etri Ratnasari, Operasi Seroja 1975-1978 di Timor Timur: kajian tentang ABRI-AD. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.
Rupanya, pasukan Fretilin telah siap siaga menghimpun kekuatan mereka untuk bertempur dan menghadang pasukan yang akan mendarat itu. Maka diputuskan oleh Brigjen Suweno kepada Komando Tugas Amphibi untuk melakukan penembakan ke pantai dengan pertimbangan menurunkan moril lawan dan mengangkat moril pasukannya dengan menggunakan meriam 76mm frigat.
Dili dihujani tembakan meriam oleh armada TNI-AL. Satu jam kemudian sejumlah pesawat terbang melintas di atas kota Dili dengan menerjunkan ratusan pasukan payung dari Kopasandha dan Brigif 18 Linud menggunakan pesawat C-130 Hercules. Bersamaan dengan penerjunan, juga dilakukan pendaratan ke pantai oleh satu pasukan Brigade Marinir TNI-AL.
Buruknya komunikasi
Penerjunan-penerjunan sempat mengalami kekacauan, terjadi baku tembak antara pasukan penerjun dengan anggota marinir, karena kurangnya komunikasi. Pasukan penerjun mengira pasukan yang di bawah adalah Fretilin. Ternyata pasukan di darat adalah pasukan marinir.
Seharusnya operasi amfibi yang dilakukan TNI AL mendapatkan perlindungan udara. Namun, Mustang P-51 dari Skuadron-3 yang seharusnya mengawak, seluruhnya sudah dinyatakan grounded akibat kecelakaan yang menewaskan Mayor (Penerbangan) Sriyono pada 1974. Hal ini dikemukakan dalam tulisan Petrik Matanasi dan F Huda Kurniawan, Hantu Laut: KKOMarinir Indonesia.
Operasi pendaratan hanya dilindungi Patroli Udara Tempur (Combat Air PatrolCAP) dan Bantuan Tembakan Udara (BTU) dilakukan dengan dua pesawat AC-47 Gunship dan dua pembom udara serbu B-26 invader. Penyerbuan kota Dili juga melibatkan pasukan gabungan pejuang Timor. Mereka merupakan partisan-partisan dari Operasi Seroja melalui pendaratan laut.
Pasukan payung dapat menduduki kota Dili pada pukul 12.30. Serangan ini menyebabkan para pimpinan Fretilin memindahkan markasnya ke kota Aileu oleh Nicolau Lobato dan adiknya, Antonio Lobato. “Mereka membentuk pertahanan di daerah perbukitan untuk menghambat maju pasukan gabungan. Tetapi komandan tertinggi Falintil, Rogerio Lobato telah melarikan diri ke Australia. Sebagian anggota Fretilin ada yang menyerahkan diri kepada pasukan gabungan, tetapi sebagian lainnya melarikan diri ke hutan,” kata Hendro Subroto dalam bukunya ‘Saksi mata Perjuangan Integrasi Timor Timur’, Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Kota Dili yang sudah dikuasai dijadikan sebagai pusat markas Kogasgab Seroja. Hal ini untuk memudahkan pemberian komando operasi dan pengawasan beserta kantor untuk staf-staf Kogasgab Seroja. Pasukan penerjun yang menduduki kota Dili, kemudian digantikan oleh pasukan dari Brigif-4 KTAD (Komando Taktis Angkatan Darat). Mereka bertugas melakukan gerakan sapu bersih terhadap musuh. Serbuan-serbuan dilanjutkan dengan menduduki kota-kota strategis lainnya.
Pengungsi
Diawali dari perang saudara yang semakin gencar dilakukan di Timor Portugis sepanjang September - Oktober 1975. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya migrasi besar-besaran ke dalam wilayah Indonesia. Menurut laporan Kodam XVI/Udayana, pada 11 September 1975 jumlah pengungsi sudah mencapai 27.858 orang suku Timor dan 489 orang warga negara asing di Atambua dan daerah sekitarnya.
Pada 22 September 1975, jumlah pengungsi telah mencapai 32 ribu orang. Pengungsian terus mengalami peningkatan dan telah mencapai 40 ribu orang.
Tentu saja peristiwa ini menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Portugis. Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan mengatasi segala perubahan yang terjadi di wilayah yang rentan konflik tersebut. Hal itu terungkap dalam buku Soekanto, Integrasi: Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur.
Namun, secara tiba-tiba, pada 28 November 1975, Fretilin menyatakan Kemerdekaan Republik Demokratik Timor Lorosae di gedung pemerintahan pusat di Dili. Hari berikutnya, Xavier do Amar al diambil sumpahnya sebagai Presiden Republik Demokratik Timor Lorosae. Proklamasi sepihak itu ditolak empat partai lain.
Dua hari kemudian, pada 30 November 1975, empat partai mengeluarkan komunike yang dinamakan Deklarasi Balibo. Isi pernyataan: atas nama rakyat Timor Portugis memproklamasikan pengintegrasian ke negara kesatuan RI sebagai propinsi ke-27 dengan nama Timor Timur. Mereka juga meminta Pemerintah RI menyempurnakan perumusan dan implementasi deklarasi bersama-sama rakyat Timor Timur.
Batugade
Perintah melaksanakan Operasi Seroja sudah ada sejak 31 Agustus 1975. Tetapi, pasukan TNI sebagai sukarelawan, baru mulai melaksanakan tugasnya Oktober 1975. Diawali serangan Fretilin di Batugade, pada 24 September 1975. Batugade merupakan daerah perbatasan yang dijadikan basis pertahanan partai UDT yang terakhir.
Serangan itu menewaskan enam orang Timor Portugis dan satu warga Indonesia, serta beberapa penduduk luka-luka. Batugade kemudian dijadikan basis Fretilin. Bahk an Fretilin kerap memberikan tembakan mortir kaliber 80 mm ke daerah Mo- taain. Sebuah daerah penghubung antara Atambua, NTT Indonesia dengan Batugade.
Pasukan gabungan pejuang Timor berusaha merebut kembali benteng Batugade dengan dibantu sukarelawan Indonesia. Serangan balik pada 7 Oktober 1975. Inilah tugas pertama yang dilaksanakan sukarelawan Indonesia dalam rangka membantu pasukan gabungan pejuang Timor. Hal ini diungkap dalam buku Sejarah TNI AD 1974-1975, Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, 2005.
Sasaran utama markas Fretilin di Benteng Batugade dan pos pengintaian Fretilin di atas bukit. Pasukan gabungan dibagi menjadi dua. Satu regu merupakan sukarelawan dari Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) menyerang benteng Batugade. Sedangkan dua pleton UDT menyerang pos pengintaian Fretilin.
Sekitar pukul 04.00, Batugade digempur dari beberapa arah dengan RPG-2, menyebabkan Fretilin melarikan diri. Sedangkan pos pengintaian Fretilin telah dikosongkan pada malam sebelumnya. Situasi ini memungkinkan sukarelawan Indonesia turun tangan dalam perebutan wilayah yang strategis itu.
Perebutan kembali Benteng Batugade merupakan langkah awal bagi pasukan gabungan merealisasikan integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Untuk menghan- curk an Fretilin, pasukan gabungan menyerbu basis-basis musuh. Setiap daerah yang telah berhasil direbut, pasukan gabungan segera menancapkan bendera Merah Putih dalam wilayah tersebut. Hal ini sebagai simbol rakyat di daerah tersebut mendukung integrasi dengan Indonesia. ■
/selamatgintingofficial