19 April 2019

Kegentingan Memaksa, Jenderal! (1)

Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis

Bagian I

Mengunakan baret hitam, lengkap dengan tanda bintang tiga dan wing terjun lintas udara.  Wajahnya yang keras dibalut pakaian loreng lengan pendek dan celana gelap. Suaranya lantang menggelegar dan berapi-api. Menggema di sebuah gelanggang remaja.  
Ia memang bukan perwira remaja lagi. Tapi jenderal gaek. Jenderal yang sarat dengan pengalaman di medan tempur. Setidaknya empat kali ia mengikuti operasi Seroja di Timor Timur dalam kurun waktu 1975 hingga 1985.

Pensiunan jenderal bintang tiga korps infanteri itu, tampil sebagai orator yang ‘membakar’. Membakar semangat di Gelanggang Remaja Otista (Oto Iskandar Dinata), Jakarta Timur, pertengahan Maret 2019 lalu. Dia adalah Letnan Jenderal (Purn) Romulo Simbolon, mantan Sekretaris Menko Polhukam, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (SBY).

“Perubahan itu butuh pemimpin!,” kata Romulo dengan suara menggelegar.  Gelanggang remaja bergetar dengan gemuruh tepuk tangan dalam acara ‘Silaturrahmi Prabowo dengan Purnawirawan TNI, Polri dan Relawan’ oleh Sekoci Padi (Prabowo Sandi) tersebut. Pidato itu viral di jagat maya, dalam beberapa hari terakhir ini.  

Romulo bersama  Prabowo, SBY, Ryamizard dkk sama-sama masuk Akademi Militer  (Akmil) atau AKABRI Darat pada 1970.  Mereka sudah bersahabat sejak sama-sama menjadi prajurit taruna di lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Romulo dan SBY, lulus 1973. Sedangkan Prabowo dan Ryamizard, lulus 1974.

Romulo mewakili para perwira tinggi TNI dan Polri menjadi pembicara dalam silaturahmi itu. Sedikitnya 100 perwira tinggi TNI dan Polri hadir. Mulai dari bintang satu hingga bintang empat.  Di antaranya mantan KSAU  Marsekal (Purn) Imam Sufaat, dan mantan KSAL Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno. Mereka bertekad membantu pemenangan Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019. 

Judul pidato tanpa teks itu dinamai ‘Old Solidiers Never Die dan  Perubahan’. Ia menguraikan perjuangan para serdadu yang kini sudah tua dalam sejumlah operasi pasca kemerdekaan. Mulai dari Trikora Irian Barat , Dwikora ganyang Malaysia, PKI, PGRS Paraku, dan Timor Timur.  “Apakah kita bisa melupakan para pahlawan yang gugur?” ujar mantan Deputi bidang Pertahanan Negara, Kemenko Polhukam.

Ia meminta hadirin mengingat kembali semangat juang rekan-rekannya yang mengorbankan jiwa raga. “Hari ini kita ingin perubahan, tapi ada apa dengan bangsa ini?” kata Romulo. 

Menurutnya, ketahanan nasional sedang tercabik-cabik. Retak. Retak di bidang ideologi. Pancasila mulai akan dipingggirkan. Paham komunis berkembang. Ada juga yang ingin memasukkan paham dari Timur Tengah yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Di bidang politik. Keretakan kekuatan politik sangat mengkhawatirkan. Kalau tidak ada perubahan di bidang ekonomi, bangsa ini akan terjajah atau sudah terjajah.  Penjajahan ekonomi kedua. VOC hadir selama 350 tahun. “Tapi hari-hari ini, ekonomi kita luar biasa dicengkeram oleh oligarki ekonomi.” 

Ia mempertanyakan bunyi: keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Sila kelima Pancasila. Sekarang ditaruh di mana?  Sebab, yang ada sekarang bukan daulat ekonomi rakyat. Melainkan daulat ekonomi pasar. Belum lagi ada invasi besar-besaran dalam pembangunan (infrastruktur). Ia meminta masyarakat bisa membedakan membangun di Indonesia dengan membangun Indonesia.

“Dia (Cina) membangun ekonominya di Indonesia, berarti dia (Cina) yang punya. Relakah itu ada rumah kita? Relakah kita jadi bangsa pesuruh? Kita ingin jadi bangsa majikan!” ujar mantan Kepala Staf Kodam Jaya itu.

Ia menegaskan tidak senang dengan adanya rencana (pembangunan infrastruktur) kereta api Indonesia oleh Cina. Berapa ratus tahun (kemungkinan) tak akan kembali modalnya. Mereka akan terus di Indonesia. Berdaulat ekonominya di Indonesia. Inilah penjajahan!
Di bidang sosial budaya. Apa yang dirasakan sekarang ini? Dulu bangsa ini kaget membaca berita ditemukan 1 kg heroin, karena sangat banyak. Tapi, hari ini, sekian ton heroin ditemukan. Diselundupkan ke Indonesia. Sumbernya dari satu negara, Cina. “Apa maunya Cina? Apa mau menjajah Indonesia?” ujar mantan Komandan Brigif 1 Ibukota Jakarta, dengan suara gemetar.

Ia mengaku sangat prihatin. Prihatin, karena kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, rendah. Terjadi  diskriminasi hukum, tebang pilih hukum, dan hukum untuk kekeuasaan. “Hilang kepercayaan rakyat, bahaya negara ini!”. 

Yang paling menyedihkan, lanjutnya, apakah konflik di Timur Tengah akan pindah ke Indonesia? Agama sedang dicabik-cabik. Diadu domba antar-umat beragama. Sangat menyedihkan.

“Keretakan-keretakan yang menganga seperti kata Pak Prabowo.  Apakah Republik Indonesia masih akan ada pada tahun 2030? Menurut saya, bisa-bisa tahun 2025. Apalagi Cina sedang membangun angkatan bersenjatanya.”

Menurutnya, ada yang sedang berhadap-hadapan di sana. Tempatnya bukan  di Suriah, Irak, atau Yaman. Dilihat dari geo-staretgis, geo-politik, geo-ekonomi, maka Indonesia kemungkinan yang akan jadi kancah konflik. Konflik pasifik. Indonesia terancam!

Pertahanan
Bidang hankam. Menurutnya moral prajurit  sedang turun. Jiwa juang prajuritnya juga turun. Ada yang menyanyi menghina Mars ABRI (TNI). Bubarkan saja. Ganti dengan Menwa atau Pramuka.  Namun, dijawab  (Mabes TNI) sebagai masukan dan kritik. “Bullshit (omong kosong), hati ini sakit.”

Dikemukakan, mungkin yang memelesetkan lagu mars ABRI tersebut tidak melihat prajurit-prajutit yang  gugur demi bangsa dan negara.  Doktrin TNI dilatih, dididik, dipersenjatai untuk bertempur.  Kini, TNI sedang dilemahkan.  “Bagaimana mungkin prajurit tempur dari Kopassus, Kostrad,  Raider dan lain-lain di daerah operasi, namanya satgas penegakan hukum?”.

Padahal doktrin dan latihan operasi melawan gerilya adalah: cari, kejar, bunuh. Ia merasa sedih sekali. Karena telah merasakan berkali-kali  pertempuran sejak 1975 hingga 1985. “Saya bertemu Pak Prabowo di medan tempur di Kota Ailiu, Timor Timur,  tahun 1976. Beliau baru selesai pendidikan Kopassus.”

Sekarang, katanya lagi, pertahanan mulai dipinggirkan. Back to barrack (kembali ke barak). Ini sebuah penghinaan.  Kalau back to basic it’s okay.  “Belum lagi kawan kita. Democratic policing.  Pertahanan keamanan dan HAM (hak asasi manusia) dianggap tidak penting. Keretakan-keretakan  terjadi di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan. Padahal ancaman ada di depan mata.” 

Apa yang harus dilakukan?  Jawabannya, kata Romulo adalah perubahan.  “Kita mau perubahan. Prabowo sudah menyampaikan reorientasi pembangunan nasional. Kita dukung! Kembali ke UUD 1945 yang disempurnakan dengan adendum. Bukan dengan melakukan perubahan menjadi UUD 2002. Kita dukung.  Tapi perubahan perubahan perlu pemimpin! Perubahan perlu pemimpin!” katanya menggema dan disambut tepuk tangan riuh. 

Ia minta para purnawirawan sebagai old solidier (prajurit tua) jangan ragu.  Purnawirawan masih ditunggu, semangatnya masih ditunggu.  Tidak menunggu diberlakukannya UU pertahanan negara yang menyatakan purnawirawan adalah komponen cadangan pertahanan negara. 

“Begitu keadaan darurat, kita semua (gunakan) pakaian dinas dan bawa senjata. Tapi kita tidak tunggu itu. Tidak tunggu keadaan darurat. Perubahan perlu pemimpin!”
“Pemimpin itu adalah Prabowo. Prabowo!” jawab sejumlah hadirin di gelanggang remaja itu. Sejumlah purnawirawan pun berdiri bertepuk tangan, membahana. 

(bersambung)

Jangan Takuti Rakyat, Marsekal!

Oleh 
Selamat Ginting
Jurnalis


Kawasan Ancol menjadi tempat latihan penanggulangan terorisme. Latihan itu melibatkan sekitar 500 prajurit dari tiga pasukan khusus TNI. Terdiri dari Satuan-81 Kopassus TNI AD, Detaseman Jala Mangkara (Denjaka) TNI AL dan Satbravo-90 Paskhas TNI AU.

Usai meninjau Latihan Satgultor TNI, Panglima TNI Marsekal Hadi
Tjahjanto mengatakan TNI beserta jajarannya tetap komitmen dan siap mengamankan Pemilihan Legislatif (Pilleg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019.

Marsekal Hadi didampingi tiga kepala staf angkatan. KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, dan KSAU Marsekal Yuyu Sutisna. Selain itu tampak Kasum TNI Letjen Joni Supriyanto, dan Irjen TNI Letjen Muhammad Herindra. Mereka menggunakan pakaian dinas lapangan (PDL) loreng tempur dan topi pet loreng,

Kemudian foto bersama ditambah Komandan Korps Marinir, Mayjen Suhartono, selaku direktur latihan. Ada pula Komandan Korps Pasukan Khas Marsda Eris Widodo Yuliastono, serta Wakil Komandan Jenderal Kopassus Brigjen Mohammad Hasan. 

Latar belakangnya perwakilan prajurit dari tiga Satgultor TNI. Mereka menggunakan PDL loreng dan baret kebanggaan masing-masing.  Kopassus merah, Marinir ungu, dan Kopaskhas jingga.
  
Usai foto bersama, Marsekal Hadi menyampaikan pesan penting. Ia dan para petinggi TNI yang mendampinginya menunjukkan wajah serius.  Bahkan sambil bertolak pinggang. Sekali lagi, bertolak pinggang. 

"Saya ingin memastikan bahwa jika ada pihak-pihak yang mengganggu stabilitas politik, jalannya demokrasi, mengganggu NKRI, menganggu Pancasila, mengganggu UUD 1945, dan mengganggu Bhinneka Tunggal Ika, maka akan berhadapan dengan TNI," ujar Hadi, lulusan Akademi Angkatan Udara 1986. 

"Saya ulangi, akan berhadapan dengan TNI. Ingat, TNI adalah bentengnya NKRI. "NKRI, harga mati!," seru Hadi sambil diikuti para prajuritnya. Semua mengepalkan tangan di depan dada. 

Awalnya, pada Selasa (9/4) lalu itu, kepada para jurnalis, Hadi mengirimkan pesan. “TNI akan Netral dalam pelaksanaan Pilleg dan Pilpres tahun 2019 dan siap menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata marsekal berkumis hitam dan tebal.

Mantan KSAU itu berbicara di depan layar televisi yang disiarkan jaringan publik. Disaksikan rakyat yang sedang bersiap menghadapi pesta demokrasi. Berkomunikasi tidak selalu menggunakan lisan. Juga dapat menggunakan simbol-simbol tertentu. Bahasa tubuh merupakan salah satu simbol yang dapat dikenali makna di baliknya.

Tidak simpatik
Berbicara sambil bertolak pinggang, menunjukkan gestur orang yang sedang terlalu percaya diri atau over confidence. Bahkan menimbulkan kesan karakter yang arogan dan sombong.  Mau sombong kepada siapa, Marsekal?

Tampilan para petinggi TNI itu justru menunjukkan sikap tidak simpatik kepada rakyat. Sekaligus mengumumkan kepada publik ada kegentingan. Apalagi diungkapkan dengan nada cenderung meninggi. Tidak ada lagi argumen. Anda sedang mengintimidasi.

Bahasa tubuh atau istilah kerennya body language, sesungguhnya 80 persen dari bentuk komunikasi. Bahasa tubuh memiliki arti, namun tidak semua orang bisa memahaminya. 

Bertolak pinggang atau berkecak pinggang menunjukkan sikap defensif.  Jika sedang berkomunikasi dan lawan bicara Anda berkecak pinggang, sebaiknya Anda mundur pelan-pelan dan hindari orang itu. Ia sedang terpojok. Percuma berbicara dengan orang seperti itu. Tidak ada lagi argumen. Tidak menghargai ruang gerak orang lain. 

Buat apa berkomunikasi dengan orang berbahasa tubuh seperti itu? Saya pun tidak nyaman melihat video petinggi TNI berkecak pinggang. Apalagi bukan secara tidak sadar, tetapi dilakukan kompak. Dengan kesadaran, karena difoto berulang-ulang pula. Seragam. 

Mestinya para petinggi TNI mencairkan suasana yang cenderung memanas jelang hari H pelaksanaan pemilu. Lebih mendengarkan pendapat rakyat. Berpakaian yang lebih bersahabat, bukan gunakan pakaian lapangan tempur. Anda mau bertempur dengan siapa? Berbeda jika itu diungkapkan dalam latihan tempur gabungan TNI untuk menjaga kedaulatan RI dan ancaman invasi asing. Lawan bicaranya adalah pihak asing.

Fungsi teritorial

Jika pesan disampaikan untuk rakyat dan dilihat rakyat di layar media, tentu akan menimbulkan kesan tidak respek. Padahal TNI memiliki fungsi teritorial, di antara lima fungsi lainnya, yakni: intelijen, operasi, personel, dan logistik.  

Fungsi teritorial memiliki tugas membina dan mendayagunakan unsur-unsur geografi, demografi, dan kondisi sosial menjadi ruang, alat, dan kondisi (RAK) juang yang tangguh dalam mencapai tugas pokok TNI.  

Apa itu tugas pokok TNI? Menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan negara.

TNI adalah tentara rakyat. Berasal dari rakyat. Dan akan kembali menjadi rakyat setelah purna tugas. Sikap teritorial mewajibkan TNI dekat dengan rakyat. Karena itu penting untuk mengintensifkan komunikasi sosial (Komsos) TNI terhadap rakyat. Misalnya dengan menyerap aspirasi rakyat, bagaimana caranya agar rakyat respek dengan TNI. 

Kehadiran TNI jangan justru menjadi momok menakutkan bagi rakyat. Menimbulkan antipasti rakyat. Sebab sikap territorial, makna sesungguhnya adalah bagaimana TNI bisa ‘menembak’ hati rakyat, menghayati kemauan rakyat.

Ada Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan delapan wajib TNI yang harus diimplementasikan dalam tingkah laku dan bahasa tubuh yang ramah. Apa saja itu gesture tubuh yang harus ditampilkan dalam delapan wajib TNI itu? Jelas tertulis: murah senyum, tegur sapa, rasa hormat dan terima kasih, kenali adat istiadat, larut diri di setiap lapisan masyarakat, positif dalam tata susila, kesediaan untuk membantu, dan selalu ikut kegiatan keagamaan.

Duhai luar biasa filosofi-filosofi TNI.Hal itu harus diterjemahkan dalam komunikasi sosial dengan komponen masyarakat. Bukan komunikasi tempur (kompur). Tidak ada istilah kompur yang ada saat menyampaikan pesan kepada rakyat adalah komsos.    

Mestinya, Marsekal Hadi menyampaikan imbauan untuk mengajak komponen masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam pesta demokrasi dengan gembira walau pun ada perbedaan pilihan. Komunikasi adalah kata mutlak dalam kehidupan. Tanpa komunikasi artinya mati.

Petinggi TNI, beradaptasilah dengan situasi. Kedepankanlah komunikasi sosial agar memudahkan tugasmu saat berhadapan dengan rakyat. Berinteraksilah dengan kerendahan hati untuk membangun suasana yang kondusif. Tanggalkan simbol keangkuhan ketika berkomunikasi dengan rakyat. 

Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman jimatnya cuma satu: ikhlas berjuang untuk rakyat. Ia tahu penderitaan rakyat. Ia pun miskin bersama rakyatnya. Segala perhiasan istrinya dijual untuk bergerilya demi rakyat dan bangsanya. Saat sakit keras dan Presiden Sukarno memintanya tinggal di kota, Sudirman menolak. Ia memilih tetap bergerilya dan berkumpul dengan rakyatnya.

Tempat terbaik baginya adalah berada di tengah-tengah anak buahnya. Menyatu bersama rakyat. Itulah kehormatan tertinggi baginya. Panglima Besar Sudirman lusuh dan lemah, karena sakit yang dideritanya. Tapi ia terus rendah hari, menyampaikan permohonan maaf kepada rakyat. Meminta maaf jika merepotkan rakyat.

Rakyat menangis melihat Bapak TNI yang rendah hati. Prajurit berlinang air mata melihat sosok jenderalnya yang miskin harta, namun terus bergerilya dengan gagah berani.  Jangan sekali-kali menakuti, apalagi menyakiti rakyat.

/selamatgintingofficial

04 April 2019

Khilafah?

Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis

Anda yang kuliah di jurusan ilmu politik, program studi politik pemerintahan, maka wajib mengambil mata kuliah Pemikiran Politik Islam serta Lembaga-lembaga Islam. Saat saya kuliah, dosen yang mengajar, Herman Hidayat. Kini profesor riset bidang sosiologi di LIPI. Kebetulan beliau dosen pembimbing akademik saya.

Dosen kutu buku yang kerap memberikan tugas meresensi buku. Ia ingin mahasiswanya paham betul tentang khilafah. Sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Seperti umat Katolik, kekhalifahannya di Vatikan. 

Herman Hidayat yang S1-nya dari IAIN dan S-3 di Jepang, ingin mahasiswanya paham  tentang Khulafaur Rasyidin. Sebuah kekhalifahan yang terdiri atas empat khalifah pertama dalam sejarah Islam. 

Pada puncak kejayaannya, Kekhalifahan Rasyidin membentang dari Jazirah Arab, sampai ke Levant, Kaukasus dan Afrika Utara di barat. Serta sampai ke dataran tinggi Iran dan Asia Tengah di timur.

Kekhalifahan Rasyidin merupakan negara terbesar dalam sejarah sampai masa tersebut. 

Jadi, Nabi Muhammad SAW tidak mengajarkan secara langsung bagaimana memilih pemimpin setelah beliau wafat. Secara tidak langsung, Islam memberikan kebebasan untuk membuat model pemilihan khalifah atau sistem pemerintahan. 

Kepemimpinan keempat Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) pun berbeda-beda sesuai dengan karakter pribadi dan situasi masyarakatnya. Umat Islam diminta belajar dari sistem pemerintahan itu. Tak ada keharusan mengikuti model tertentu. 

Prof Dr Herman Hidayat sudah mengingatkan. Kelak pasti ada yang mendistorsi tentang khilafah. Padahal semua sistem ada plus dan minusnya. Di situ mahasiswa diminta membuat plus minusnya dan perbandingan dengan Pancasila.

Khilafah kami pelajari. Komunisme, liberalisme dan isme-isme lainnya pun wajib dipelajari. Tapi yang tidak belajar sistem-sistem pemerintahan tersebut, saat ini berkoar-koar di media sosial. Menakut-nakuti seolah-olah akan membangkitkan khilafah. Mereka menggunakan contohnya dengan ISIS. 

Siapa yang mau seperti ISIS? Siapa yang mau seperti kondisi Suriah yang runyam? Isu-isu yang didistorsi untuk marketing politik. Tidak laku jual. Isu politik lima tahunan ini tak laku sebagai gorengan.

Kita semua Pancasila. Kita semua juga cinta NKRI. Saat ini kandidat capresnya juga masih sama dengan lima tahun lalu. Catat dan nilai saja antara janji dan realisasi serta bagaimana implementasinya.

/selamatgintingofficial

01 April 2019

Polisi Muluskan Game Over Jokowi!

Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis

Sama seperti pilkada DKI Jakarta dan Sumatra Utara. Polisi memobilisasi massa untuk dukung Ahok dan Djarot. Kasat mata! Kini mereka melakukan cara yang sama. Dukung Jokowi dalam pilpres 2019.

Ahok, Djarot dan kini Jokowi elektabilitasnya tidak bisa melebihi 50 persen. Kendati tinggal dua pekan lagi pemilu. Dulu, Ahok tidak percaya saat saya bilang dia akan kalah. Alasannya, sebagai pejawat, elektabilitasnya mangkrak di angka 42-44 persen. Ia bilang, "tim saya yakin menang telak."

Masyarakat sudah tahu hasilnya. Ahok dan Djarot justru kalah telak! Beda dua digit dengan rivalnya.

Maka kini, game over (istilah kalah dalam game milenial) juga untuk Jokowi. Cara polisi semakin memuluskan kekalahan, karena rakyat tidak suka baju coklat turut menjadi pemain. Tidak netral!

Mata publik nasional terbelalak. Terbelalak ketika polisi membuat acara Millenial Road Safety Festifal (MRSF) 2019. Acara digelar Polda Jawa Timur di Jembatan Suramadu, 17 Maret lalu. Acara serupa  diagendakan digelar di Sulawesi Selatan, Jakarta, Kalimantan Utara, Banten, dan Jawa Tengah.

Publik melihat dengan mata terang benderang. Acara polisi justru menjadi ajang kampanye dukung Jokowi. Lagu yang diputar pun 'Jokowi Wae'.

Polisi memantik persoalan. Menjadi bagian tim kampanye 01. Akhirnya, keesokan harinya, Kapolri Jenderal Muhamad Tito Karnavian membuat surat edaran. Polisi harus netral! Acara MRSF di sejumlah provinsi pun diundur, usai pemilu. 

Surat edaran Kapolri justru menyiratkan, polisi memang tidak netral. Sebab UU Kepolisian mengamanatkan polisi harus netral! Netral bukan cuma di kertas dan di mulut, tetapi terpenting dalam tindakan. 

Mabes Polri keluarkan 14 poin netralitas sebagai aparatur negara. Lalu yang bermain di bawah, siapa? Atas perintah siapa? Petinggi yang mana? Jika menyimak operasi intelijen, tentu saja apabila ketahuan, akan dibantal. Disangkal! 

Kampanye terbuka sudah berjalan beberapa hari. Beda dengan tahun 2014, massa membludak ingin melihat Jokowi. Aura itu, kini sirna. Sirna termakan tingkah polah kerjamu yang tak memuaskan bagi lebih dari separuh pemilih negeri. Pesona Mas Joko sudah pudar.

Saya mengamati pemilu sejak 1992, dan 1997 era Orde Baru. Kemudian pemilu era reformasi sejak 1999 hingga saat ini. Aura kekalahan para pejawat atau juara bertahan. Golkar keok pada pemilu 1999, saya saksikan di lapangan. Begitu pula aura kekalahan Megawati, saya saksikan pada 2004. Juga aura kekalahan Foke di pilkara Jakarta pada 2012. 

Kini, saya menjadi saksi aura kekalahan Jokowi pada 2019. Sakit memang, tapi itulah roda kehidupan. Tanggapi saja dengan bijak, tak perlu irasional. Apalagi emosional. Tidak percaya dengan ungkapan saya, juga tidak apa-apa. Silakan buat tulisan juga berdasarkan keyakinan sebagai sesama netizen. Bebas Merdeka!

Berkemaslah ke Solo, Tuan Jokowi. Rantai sepedamu sudah putus. Tak bisa lanjut ke etape berikutnya.  Pestamu saatnya berhenti sampai di sini. Ya, game over Jokowi!

/selamatgintingofficial

02 January 2019

Ambarawa dan Hilangnya Dua Nama Jenderal

Oleh 
Selamat Ginting
Jurnalis


Taiching: 
Palagan Ambarawa memunculkan nama-nama besar sesepuh TNI. Nama-nama legendaris. Namun, dua nama jenderal tidak terpatri di markas besar tentara. Mengapa? 

Sekitar 40 kilometer dari Kota Semarang, Jawa Tengah. Di situlah Ambarawa. Sebuah daerah di Kabupaten Semarang yang dikenal  memiliki sejarah militer yang melegenda. Legenda itu bisa dilihat pada Monumen Palagan Ambarawa. Simbol sejarah pertempuran pada 12 Desember hingga 15 Desember 1945. 

Saat itu, pasukan Sekutu (Belanda dan Inggris) terdesak di Magelang. Mereka mundur ke Ambarawa. Pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dipimpin Panglima Besar TKR, Jenderal  Soedirman berhasil menghancurkan Sekutu pada 15 Desember 1945.  Hari tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Infanteri TNI Angkatan Darat. Infanteri adalah korps induk tentara. 

“Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 163/1999, Hari Infanteri kemudian diganti dengan nama Hari Juang Kartika,” seperti diungkap dalam catatan Dinas Sejarah Angkatan Darat.

Museum Palagan Ambarawa Semarang, dengan latar belakang lukisan besar, menggambarkan jalannya pertempuran dahsyat tersebut. Foto hitam putih tokoh-tokoh penting yang terlibat dalam pertempuran Ambarawa bisa dilihat di museum ini.  Di antaranya; Wakil Panglima Besar TKR, Kolonel (Infanteri) AH Nasution;  Panglima Divisi IV, Kolonel (Zeni) GPH Jati Kusumo. Djatikusumo memainkan peran penting dalam pengepungan dan pengejaran tentara Sekutu. Ada pula nama, Panglima Divisi V, Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto. Gatot aktif melakukan pengejaran tentara Sekutu dari Magelang.

Ambarawa penuh kenangan perjuangan para tokoh-tokoh tersebut.  Soedirman mengakui sejumlah kemampuan militer, teknik, serta bahasa dan diplomasi  dari Kolonel (Zeni) GPH Djatikusumo. Ia pun mengusulkan Gubrnur Akademi Militer Yogyakarta, Djatikusumo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang pertama, 1948-1949. Usulan itu disetujui Presiden Sukarno.

Tanpa KSAD

Dua pekan lalu, TNI Angkatan Darat kembali memeringati Hari Juang Kartika 2018 di Ambarawa. Namun ada peristiwa janggal. KSAD, Jenderal Andika Perkasa (Akmil 1987/Infanteri), berhalangan hadir pada hari bersejarah tersebut. Sebagai inspektur upacara pengganti, Wakil KSAD, Letjen Tatang Sulaiman (Akmil 1986/Infanteri) didampingi Pangdam Diponegoro, Mayjen M Effendi (Akmil 1986/Zeni). 

Andika bersama Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto mendampingi Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja ke Sumatra. Antara lain menemui para Babinsa (Bintara Pembina Desa). Acara bertemu Babinsa memang penting, namun memimpin puncak peringatan Hari Juang Kartika, tak bisa diabaikan, karena nilai sejarahnya yang tinggi. 

Peristiwa tak hadirnya KSAD, bagaikan Hari Proklamasi, tidak dihadiri Presiden RI. Seperti juga Hari TNI namun tidak dihadiri Panglima TNI. “Sebenarnya bisa saja, KSAD menunda upacara Hari Juang Kartika, pada sore atau malam hari. Atau diundur satu hari, agar ia bisa menghadiri hari bersejarah tersebut,” sesal seorang perwira tinggi bintang tiga purnawirawan.

“Bukankah Hari Juang Kartika sudah jauh terjadwal daripada mendampingi kunjungan kerja presiden? Bukankah sudah ada tiga pangdam sebagai petinggi Angkatan Darat di Sumatra? Mengapa hari bersejarah itu diabaikan,” kata perwira tinggi bintang dua lainnya.

Ya, di Sumatra sudah ada Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Teguh Arif Indratmoko (Akmil 1988 A/Infanteri); Pangdam Bukit Barisan, Mayjen M Sabrar Fadhilah (Akmil 1988 A/Infanteri; dan Pangdam Sriwijaya, Mayjen Irwan Zaini (Akmil 1987/Zeni).

Almarhum Jenderal Besar Soedirman dan Jenderal Kehormatan (Purn) GPH Djatikusumo mungkin akan bersedih hati jika mengetahui kejanggalan tidak hadirnya KSAD pada Hari Juang Kartika 2018 lalu. 

Tapi sudahlah. Itu sudah terjadi. Ini kali pertama dalam sejarah, KSAD tidak hadir dalam puncak acara Hari Juang Kartika. Semoga tidak aka ada peristiwa seperti itu lagi di kemudiain hari.

Hari Juang Kartika bukan sekadar peringatan belaka, makna sejarahnya tinggi sekali. Di situ pula TNI, ketika masih bernama TKR, menyatu dengan rakyat mengusir penjajah dalam mempertahankan kemerdekaan. 

Tanpa pamrih

Para petinggi TKR, seperti: Soedirman, Kepala Staf Umum  TKR Letjen Oerip Soemohardjo, Kolonel (Zeni) GPH Djatikusmo, Kolonel (Infanteri) AH Nasution, Kolonel (Zeni) TB Simatupang, Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto dalam perjuangannya, selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Menyatu bersama rakyat.

Model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya itu kemudian menjadi konsep operasi teritorial. Wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman pada 1950, dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.

Jika membuka sejarah, maka sesungguhnya, jabatan Panglima TNI, pertama kali dijabat Jenderal Soedirman. Saat itu bernama Panglima Besar TKR. Sebagai panglima pertama, Jenderal Soedirman tidak dipilih oleh Presiden Sukarno, melainkan dipilih para panglima divisi TKR. 

Melalui sebuah rapat dipimpin Oerip Soemohardjo dan disebut Konferensi TKR pada 2 November 1945. Kurang dari tiga tahun Oerip sebagai Kasum TKR mendampingi Soedirman. Pada 1948 Letjen Oerip mengundurkan diri dari dinas militer.   

Setelah Jenderal Soedirman wafat, tidak dipilih panglima baru. Sebagai gantinya dipilih Kolonel (Zeni) TB Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) pada 1950-1953. Ia membawahi para kepala staf angkatan (ADRI, ALRI, AURI). 

Pada 1955 jabatan KSAP dihapus. Sebagai gantinya dibentuk jabatan Gabungan Kepala-Kepala Staf. AH Nasution menduduki jabatan ini dari 1955-1959. Kemudian digantikan Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma pada 1959-1961. 

Soerjadarma awalnya perwira Korps Infanteri Angkatan Darat Belanda. Kemudian pindah menjadi personel AD Indonesia dan kemudianan diminta Presiden Sukarno membentuk Angkatan Udara. Ia lulusan Akmil Breda Belanda pada 1934. Soerjadarma adalah KSAU pertama pada 1946-1962). 

Pada 1962 jabatan Gabungan Kepala-Kepala Staf dihapus dan dibentuk jabatan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). AH Nasution kembali menjadi orang pertama yang menjadi  KSAB. Jabatan ini berlangsung hingga Maret 1966. 

Letnan Jenderal TB Simatupang dan Jenderal AH Nasution adalah alumni Akademi Militer Belanda di Bandung, tahun 1942. Saat kadet, Nasution memilih jurusan infanteri dan Simatupang memilih jurusan zeni.

Nah, jika mengunjungi Mabesad maupun Mabes TNI, terasa ada yang aneh dari sisi sejarah. Sebab tidak ada gedung yang menggunakan nama GPH Djatikusumo maupun TB Simatupang. Aneh, sebab Djatikusumo adalah orang pertama yang menjdi KSAD. Simatupang pun orang pertama yang menjadi KSAP, nama lain sebelum diubah menjadi KSAB, dan Panglima ABRI (Pangab).  

Memang ada gedung GPH Djatikusumo, namun adanya di Pusdik Zeni Angkatan Darat di Bogor. Baik GPH Djatikusumo, TB Simatupang, AH Nasution, Soedirman, Oerip Soemohardjo, dan Gatot Subroto, masing-masing telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui keputusan Presiden RI. 

Mengapa TNI lalai terhadap sesepuhnya sendiri? Bacalah sejarah bagaimana para pionir TNI dengan rela dan ikhlas turun pangkat dan jabatan. Kecuali Soedirman, semuanya pernah mengalami penurunan pangkat dan jabatan. Mereka, Soedirman dkk berjuang tanpa pamrih.

Operasi Binter TNI Hadapi Proxy War

Oleh: 
Selamat Ginting
Jurnalis Republika


Model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya, menjadi konsep operasi teritorial. Wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman pada 1950, dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.

Kemudian dilanjutkan dan dikembangkan lagi oleh Jenderal Abdul Haris Nasution yang mengenalkan konsep operasi terstruktur. Dikenal dengan sebutan Operasi Pembinaan  Teritorial (Binter) TNI melalui metode komunikasi sosial (Komsos) TNI.

Operasi Binter melalui Komsos semakin terlembaga setelah Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI menggantikan Presiden Sukarno. Binter yang berfokus pada Komsos  dijadikan instrumen penting oleh Presiden Soeharto untuk menanggulangi ancaman dan berbagai gerakan anti Pancasila yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

“Satuan Komando Teritorial TNI AD yang tergelar dari  tingkat pusat sampai tingkat kecamatan dan desa menjadi pelaksana Binter yang difokuskan pada kegiatan komunikasi sosial dan pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta Bakti TNI,” kata Mayjen (Purn) Wiyarto (Akmil 1985 / Infanteri). Ia pernah menjadi Aster Panglima TNI, Pangdam Pattimura, Aster KSAD, Kasdam Mulawarman, dan Wakil Aspers KSAD. 

Pasca pemerintahan Orde Baru, TNI semakin mengedepankan pendekatan komunikasi sosial dengan masyarakat.  Saat TNI dipimpin Jenderal Gatot Nurmantyo,  dicanangkan  program  binter yang komprehensif. Dikenal dengan istilah Serbuan Teritorial. 

“Ini merupakan implementasi komitmen TNI dalam membantu pemerintah mempercepat program pembangunan guna mewujudkan tatanan masyarakat yang berkembang maju dan sejahtera,” ujar Wiyarto.

Antara lain, lanjutnya, melalui berbagai program sinergi lintas sektoral antar-pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan. Seperti bakti TNI, karya bakti, pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta komunikasi sosial untuk pemberdayaan masyarakat.

Dukungan rakyat

Di sisi lain, menurut Mayjen Agung Risdhianto (Akmil 1985 / Infanteri), pada era reformasi, TNI memandang penting untuk benar-benar membangun kesepahaman dengan rakyat melalui komunikasi sosial. Hal ini disadari sebagai prasyarat dalam mewujudkan keamanan dan keselamatan bangsa. 

“Beratnya tugas dan tanggung jawab TNI dalam mewujudkan sistem pertahanan, terlebih dalam sistem pertahanan darat, merupakan tugas pokok TNI-AD yang harus direalisasikan dengan sishanta (sistem pertahanan semesta,” ujar Agung, perwira tinggi staf khusus KSAD. 

Agung pernah menjadi Komandan Kodiklat TNI, Asops Panglima TNI, Pangdam Tanjungpura, Komandan Pusterad, Wadan Kodiklatad, serta Komandan Seskoad. 

Sishanta, menurut Agung, mensyaratkan adanya dukungan mutlak secara langsung dari rakyat. Hal ini membuat TNI berkomitmen membangun komunikasi sosial kemasyarakatan yang lebih dialogis dan persuasif.

Argumen Wiyarto dan Agung Risdhianto tentang konsep terotorial TNI, bisa dipahami. Sebab dalam konteks pertahanan Indonesia, sejatinya perang hanya untuk mempertahankan kedaulatan negara. Dilakukan secara ‘semesta’, yakni, melibatkan semua komponen sumber daya negara, termasuk rakyat.  

Pada tataran ini, TNI perlu menjalin komunikasi yang erat dan harmonis dengan rakyat. Sinergi TNI-Rakyat dalam model pertahanan khas Indonesia ini diwujudkan secara implementatif di mana TNI akan berperan sebagai komponen utama. Sedangkan rakyat sebagai komponen pendukung. 

Untuk itu, TNI dan rakyat harus memiliki semangat rasa persatuan yang solid dan manunggal. Perwujudan kondisi ini menjadi semakin penting dan mendesak mengingat spektrum ancaman di era global ini sangat berat dan kompleks, berupa ancaman proxy war. Bentuk peperangan antarnegara yang bersifat halus, tidak menggunakan kekuatan militer.

01 January 2019

Mediacracy dan Realitas Media Jelang Pilpres 2019

Oleh: Selamat Ginting

Detik-detik pergantian waktu  di depan mata.  Ganti tahun 2019!  Saya harus baca ulang, agar tidak menulis seperti bunyi tagar yang popular belakangan ini.  Tagar yang jauh lebih popular daripada tagar tandingannya. Tagar-tagar itu popular melalui media sosial daripada media arus utama. 

Ya, media dalam sebuah komunikasi politik mempunyai peranan  sangat penting. Sebab media memiliki peran sebagai publisitas politik terhadap masyarakat. Tujuannya, agar khalayak mengetahui agenda politik. Setelah itu harapannya, publik akan jatuh simpatik. Menentukan pilihannya kepada pihak yang dianggap terbaik dari calon presiden dan wakil presiden yang ada.

Karena itulah, politikus sebagai komunikator politik berupaya menguasai media. Sekali lagi, menguasai media! Bukankah ada pemeo: barang siapa menguasai media, maka satu kaki sudah memenangi pertarungan politik.

Fenomena memanfaatkan media untuk mendongkrak popularitas, sesungguhnya dimulai sejak pemilihan presiden secara langsung pada 2004 lalu. Era itu mengikuti kemajuan teknologi dan informasi yang revolusioner. Media cetak maupun elektronik menjadi senjata ampuh mengirimkan pesan politik kepada masyarakat pemilih. 

Susilo Bambang Yudhoyono menjadi bintangnya kala itu. Ia mempu mengungguli pejawat presiden, Megawati Soekarnoputri. SBY begitu popular di kalangan emak-emak. Jangan lupa, emak-emak-lah penguasa televisi di rumah. Jangan coba-coba saat emak-emak sedang nonton, lalu kaum babe-babe mencoba mengganti saluran. Bisa kelar hidup lu! 

Entah, karena kegantengannya SBY atau apalah, tiba-tiba saat itu emak-emak bisa bicara politik. Kapan kuliah di program studi ilmu politik? Rupanya mereka kuliah ‘ekstensi’ di televisi. Bukankah saat itu, segala kegiatan yang ada nuansa politiknya diangkat media?

Nah, era sekarang. Bintangnya emak-emak di televisi, tak pelak adalah Sandiaga Salahuddin Uno. Jika stasiun televisi memblokirnya pun, emak-emak dapat menyaksikannya di jaringan media sosial yang masif.

Musik pun menjadi sarana politik yang ampuh untuk menggaet anak-anak muda. Kelompok masyarakat yang baru mengikuti pemilu pertama. SBY mampu menghipnosis emak-emak dengan satu lagu trend saat itu. Lagu ‘Pelangi di Matamu’ yang dipopulerkan grup musik Jamrud. “…dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini…”

Saya juga benci, harus jujur menuliskan tentang semua ini mengenai media massa, jelang pemilihan presiden 2019, kali ini. 
Tapi saya harus ungkap dari kacamata atau bahasa ilmiahnya perspektif orang yang bergumul sebagai praktisi pers.  

Dalam komunikasi politik, media massa dianggap sebagai 'the fouth estate' dalam kehidupan sosial ekonomi. Sebuah persepsi yang dapat dimainkan media massa dalam kehidupan sosial ekonomi dan poitik masyarakat. Begitulah kesimpulan diskusi ilmu komunikasi, mata kuliah Sosiologi Media yang saya dapatkan dari dosen, Dadan Anugrah.

Mengapa? Karena media sebagai alat untuk menyampaikan berita, penilaian atau gambaran umum tentang banyak hal. Bahkan ia memiliki kewenangan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Otomatis ia menjadi kelompok penekan. 

Dalam pelajaran ilmu politik, mata kuliah kekuatan-kekuatan politik, media massa dianggap sebagai salah satu ‘raksasa’ politik saat pemilihan umum. 

Kelompok Penekan

Media massa bisa menekan siapa saja. Menekan ide atau gagasan sekali pun. Pers menjadi suatu kelompok kepentingan. Ia bisa mengklaim dirinya sebagai representasi masyarakat. Masyarakat yang mana? Terserah dia.

Jadi, suka maupun tidak suka, media massa menjadi saluran komunikasi politik. Sebagai saluran komunikasi politik dalam konteks pemilihan presiden, ia menjadi sarana penyampaian pesan. Baik dalam bentuk lambang-lambang pembicaraan seperti kata, gambar, maupun tindakan. Bahkan pementasan drama pencitraan, seperti yang belakangan ini sering kita saksikan. 

Bahasa ilmu komunikasinya; siapa dapat berbicara kepada siapa, mengenai apa, dalam keadaan bagaimana, sejauh mana dapat dipercaya. Komunikator politik, siapapun ia dan apapun jabatannya, menjalani proses komunikasinya dengan mengalirkan pesan dari struktur formal dan non-formal kepada komunikan atau sasaran pesan di berbagai lapisan masyarakat. Itu kata dosen Perspektif Ilmu Komunikasi UMB, Ahmad Mulyana.

Begitu berkuasanya media dalam memengaruhi pikiran, peranan, dan perilaku penduduk. Fenomena itu menurut Kevin Philips dalam buku Responsibility in Mass Communication, “era sekarang lebih merupakan mediacracy, yakni pemerintahan media, daripada demokrasi pemerintahan rakyat.” 
Kekuatan media powerful  sebagai saluran komunikasi membentuk opini publik. 

Karena itu upaya mengooptasi media massa dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Oleh siapa? Tentu saja oleh yang punya kekuatan materi dan kekuasaan. Operasi intelijen untuk menguasai media, sesungguhnya sudah terbongkar oleh publik. Publik secara sadar telah mengetahui media-media mana saja yang sudah terkooptasi oleh kekuasaan politik maupun uang.

Elite-elite mana saja yang berusaha memanfaatkan media massa untuk publikasi dan pembentukan citra, juga sudah kasat mata. Atau pura-pura tidak tahu maupun ngeles. 

Media televisi menjadi sasaran utama, selain media cetak nasional yang jumlahnya tidak lebih dari 10 media.

Sebenarnya sudah ada pengaturan tentang tata cara beriklan di media massa, terutama di televisi. Namun tetap saja banyak terjadi ketidakadilan dalam peliputan berita, apalagi saat kampanye pilpres. 

Misalnya, kandidat tertentu mendapat durasi yang relatif lebih panjang dibanding kandidat yang lainnya.  Tidak peduli acaranya menarik atau tidak. Tidak peduli jumlah massanya. Bangku kosong pun tetap saja menarik untuk dipoles.

Kenapa bisa begitu? Ya, karena medianya sudah dikooptasi dengan gelontoran ‘dana’ kampanye yang cukup banyak. Baik melalui iklan terselubung atau pariwara maupun trik-trik lainnya yang wartawan pun sudah paham itu.

Begitulah. Sebagai suatu kekuatan politik, sikap media massa, sangat menentukan pencitraan opini publik.  Maka, jika Anda sudah memahami hal ini, ketahuilah bahwa sesungguhnya pesan politik yang disampaikan oleh media massa, bukanlah realitas yang sesungguhnya. 

Itu hanyalah realitas media. Sebuah realitas buatan. Realitas yang dibuat oleh wartawan dan redaktur atau produser yang mengolah peristiwa politik menjadi berita politik, melalui proses dan penyaringan seleksi. 

Anwar Arifin mengungkapkan hal itu dalam buku ‘Pencitraan Dalam Politik, Strategi Pemenangan Pemilu Dalam Perspektif Komunikasi Politik’. Sebagai ilmuwan komunikasi, Anwar Arifin telah membuka hal itu. Sebagai praktisi pers, saya tidak dapat mengelaknya. 

Itulah fakta politik. Fakta para komunikator politik menghipnosis khalayak dengan citra yang ditampilkan setiap saat melalui media. Jadi, jangan salah pula jika khalayak langsung mem-bully aktor-aktor politik dalam suasana kampanye saat ini.

Selamat datang 2019.

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...