19 April 2019

Kegentingan Memaksa, Jenderal! (1)

Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis

Bagian I

Mengunakan baret hitam, lengkap dengan tanda bintang tiga dan wing terjun lintas udara.  Wajahnya yang keras dibalut pakaian loreng lengan pendek dan celana gelap. Suaranya lantang menggelegar dan berapi-api. Menggema di sebuah gelanggang remaja.  
Ia memang bukan perwira remaja lagi. Tapi jenderal gaek. Jenderal yang sarat dengan pengalaman di medan tempur. Setidaknya empat kali ia mengikuti operasi Seroja di Timor Timur dalam kurun waktu 1975 hingga 1985.

Pensiunan jenderal bintang tiga korps infanteri itu, tampil sebagai orator yang ‘membakar’. Membakar semangat di Gelanggang Remaja Otista (Oto Iskandar Dinata), Jakarta Timur, pertengahan Maret 2019 lalu. Dia adalah Letnan Jenderal (Purn) Romulo Simbolon, mantan Sekretaris Menko Polhukam, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (SBY).

“Perubahan itu butuh pemimpin!,” kata Romulo dengan suara menggelegar.  Gelanggang remaja bergetar dengan gemuruh tepuk tangan dalam acara ‘Silaturrahmi Prabowo dengan Purnawirawan TNI, Polri dan Relawan’ oleh Sekoci Padi (Prabowo Sandi) tersebut. Pidato itu viral di jagat maya, dalam beberapa hari terakhir ini.  

Romulo bersama  Prabowo, SBY, Ryamizard dkk sama-sama masuk Akademi Militer  (Akmil) atau AKABRI Darat pada 1970.  Mereka sudah bersahabat sejak sama-sama menjadi prajurit taruna di lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Romulo dan SBY, lulus 1973. Sedangkan Prabowo dan Ryamizard, lulus 1974.

Romulo mewakili para perwira tinggi TNI dan Polri menjadi pembicara dalam silaturahmi itu. Sedikitnya 100 perwira tinggi TNI dan Polri hadir. Mulai dari bintang satu hingga bintang empat.  Di antaranya mantan KSAU  Marsekal (Purn) Imam Sufaat, dan mantan KSAL Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno. Mereka bertekad membantu pemenangan Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019. 

Judul pidato tanpa teks itu dinamai ‘Old Solidiers Never Die dan  Perubahan’. Ia menguraikan perjuangan para serdadu yang kini sudah tua dalam sejumlah operasi pasca kemerdekaan. Mulai dari Trikora Irian Barat , Dwikora ganyang Malaysia, PKI, PGRS Paraku, dan Timor Timur.  “Apakah kita bisa melupakan para pahlawan yang gugur?” ujar mantan Deputi bidang Pertahanan Negara, Kemenko Polhukam.

Ia meminta hadirin mengingat kembali semangat juang rekan-rekannya yang mengorbankan jiwa raga. “Hari ini kita ingin perubahan, tapi ada apa dengan bangsa ini?” kata Romulo. 

Menurutnya, ketahanan nasional sedang tercabik-cabik. Retak. Retak di bidang ideologi. Pancasila mulai akan dipingggirkan. Paham komunis berkembang. Ada juga yang ingin memasukkan paham dari Timur Tengah yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Di bidang politik. Keretakan kekuatan politik sangat mengkhawatirkan. Kalau tidak ada perubahan di bidang ekonomi, bangsa ini akan terjajah atau sudah terjajah.  Penjajahan ekonomi kedua. VOC hadir selama 350 tahun. “Tapi hari-hari ini, ekonomi kita luar biasa dicengkeram oleh oligarki ekonomi.” 

Ia mempertanyakan bunyi: keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Sila kelima Pancasila. Sekarang ditaruh di mana?  Sebab, yang ada sekarang bukan daulat ekonomi rakyat. Melainkan daulat ekonomi pasar. Belum lagi ada invasi besar-besaran dalam pembangunan (infrastruktur). Ia meminta masyarakat bisa membedakan membangun di Indonesia dengan membangun Indonesia.

“Dia (Cina) membangun ekonominya di Indonesia, berarti dia (Cina) yang punya. Relakah itu ada rumah kita? Relakah kita jadi bangsa pesuruh? Kita ingin jadi bangsa majikan!” ujar mantan Kepala Staf Kodam Jaya itu.

Ia menegaskan tidak senang dengan adanya rencana (pembangunan infrastruktur) kereta api Indonesia oleh Cina. Berapa ratus tahun (kemungkinan) tak akan kembali modalnya. Mereka akan terus di Indonesia. Berdaulat ekonominya di Indonesia. Inilah penjajahan!
Di bidang sosial budaya. Apa yang dirasakan sekarang ini? Dulu bangsa ini kaget membaca berita ditemukan 1 kg heroin, karena sangat banyak. Tapi, hari ini, sekian ton heroin ditemukan. Diselundupkan ke Indonesia. Sumbernya dari satu negara, Cina. “Apa maunya Cina? Apa mau menjajah Indonesia?” ujar mantan Komandan Brigif 1 Ibukota Jakarta, dengan suara gemetar.

Ia mengaku sangat prihatin. Prihatin, karena kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, rendah. Terjadi  diskriminasi hukum, tebang pilih hukum, dan hukum untuk kekeuasaan. “Hilang kepercayaan rakyat, bahaya negara ini!”. 

Yang paling menyedihkan, lanjutnya, apakah konflik di Timur Tengah akan pindah ke Indonesia? Agama sedang dicabik-cabik. Diadu domba antar-umat beragama. Sangat menyedihkan.

“Keretakan-keretakan yang menganga seperti kata Pak Prabowo.  Apakah Republik Indonesia masih akan ada pada tahun 2030? Menurut saya, bisa-bisa tahun 2025. Apalagi Cina sedang membangun angkatan bersenjatanya.”

Menurutnya, ada yang sedang berhadap-hadapan di sana. Tempatnya bukan  di Suriah, Irak, atau Yaman. Dilihat dari geo-staretgis, geo-politik, geo-ekonomi, maka Indonesia kemungkinan yang akan jadi kancah konflik. Konflik pasifik. Indonesia terancam!

Pertahanan
Bidang hankam. Menurutnya moral prajurit  sedang turun. Jiwa juang prajuritnya juga turun. Ada yang menyanyi menghina Mars ABRI (TNI). Bubarkan saja. Ganti dengan Menwa atau Pramuka.  Namun, dijawab  (Mabes TNI) sebagai masukan dan kritik. “Bullshit (omong kosong), hati ini sakit.”

Dikemukakan, mungkin yang memelesetkan lagu mars ABRI tersebut tidak melihat prajurit-prajutit yang  gugur demi bangsa dan negara.  Doktrin TNI dilatih, dididik, dipersenjatai untuk bertempur.  Kini, TNI sedang dilemahkan.  “Bagaimana mungkin prajurit tempur dari Kopassus, Kostrad,  Raider dan lain-lain di daerah operasi, namanya satgas penegakan hukum?”.

Padahal doktrin dan latihan operasi melawan gerilya adalah: cari, kejar, bunuh. Ia merasa sedih sekali. Karena telah merasakan berkali-kali  pertempuran sejak 1975 hingga 1985. “Saya bertemu Pak Prabowo di medan tempur di Kota Ailiu, Timor Timur,  tahun 1976. Beliau baru selesai pendidikan Kopassus.”

Sekarang, katanya lagi, pertahanan mulai dipinggirkan. Back to barrack (kembali ke barak). Ini sebuah penghinaan.  Kalau back to basic it’s okay.  “Belum lagi kawan kita. Democratic policing.  Pertahanan keamanan dan HAM (hak asasi manusia) dianggap tidak penting. Keretakan-keretakan  terjadi di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan. Padahal ancaman ada di depan mata.” 

Apa yang harus dilakukan?  Jawabannya, kata Romulo adalah perubahan.  “Kita mau perubahan. Prabowo sudah menyampaikan reorientasi pembangunan nasional. Kita dukung! Kembali ke UUD 1945 yang disempurnakan dengan adendum. Bukan dengan melakukan perubahan menjadi UUD 2002. Kita dukung.  Tapi perubahan perubahan perlu pemimpin! Perubahan perlu pemimpin!” katanya menggema dan disambut tepuk tangan riuh. 

Ia minta para purnawirawan sebagai old solidier (prajurit tua) jangan ragu.  Purnawirawan masih ditunggu, semangatnya masih ditunggu.  Tidak menunggu diberlakukannya UU pertahanan negara yang menyatakan purnawirawan adalah komponen cadangan pertahanan negara. 

“Begitu keadaan darurat, kita semua (gunakan) pakaian dinas dan bawa senjata. Tapi kita tidak tunggu itu. Tidak tunggu keadaan darurat. Perubahan perlu pemimpin!”
“Pemimpin itu adalah Prabowo. Prabowo!” jawab sejumlah hadirin di gelanggang remaja itu. Sejumlah purnawirawan pun berdiri bertepuk tangan, membahana. 

(bersambung)

No comments:

Post a Comment

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...