26 May 2019

Trisakti dan Polisi tak Berdaya

Tragedi Trisakti (Republika)
Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

26 Mei 2017

Sebanyak 15 anggota Brimob telah dihukum dengan vonis bervariasi, dua hingga enam tahun penjara, oleh pengadilan militer pada 1999-2001. Itulah pelaku penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti yang menyebabkan empat mahasiswa gugur pada peristiwa 12 Mei 1998. Sebuah pemicu tragedi kerusuhan Mei 1998 silam.

Mengingat peristiwa kelam tesebut membuat saya termenung jika melintasi TPU Pondok Ranggon, wilayah perbatasan Jakarta Timur dengan Depok dan Kota Bekasi. Di situlah jenazah para mahasiswa Trisakti beristirahat dengan tenang sebagai pahlawan reformasi.

Cukup lelah bagi saya untuk mencari saksi peristiwa penembakan yang dilakukan oknum Brimob dari Kelapa Dua Depok tersebut. Sampai akhirnya saya bertemu seorang kapten Angkatan Darat di Grogol. Dua tahun lalu saya masih berjumpa dengan yang bersangkutan. Ia menjelang pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Saya jadi bersahabat dengan tentara ini. Dari dia, sumber berita yang saya dapat tentang pelaku penembakan.

Lelaki berpostur sedang berkulit sawo matang itu merasa lega saat akan pensiun. "Bang, terima kasih kita sudah bekerja sama dan menyimpan rahasia dengan baik. Saya lega dan sebentar lagi pensiun. Allah memerintahkan saya untuk memberikan informasi yang sebenarnya kepada negara. Juga kepada abang yang mau mendengarkan kesaksian saya," katanya kepada saya pada awal 2015 di Kementerian Pertahanan.

Apa yang diungkapkannya 19 tahun lalu itu akhirnya terbukti di pengadilan. Oknum-oknum Brimob pelaku penembakan tersebut terbukti secara sah dan sengaja melakukan penembakan yang menyebabkan tewasnya empat mahasiswa Trisakti.

Saat itu Kapolres Jakarta Barat, Letkol Polisi Timur Pradopo gagal membendung personel Brimob untuk menghentikan tembakan membabi buta dari atas jembatan layang Grogol. Padahal ia sudah memerintahkan tidak boleh ada penembakan.

Yang menjadi pertanyaan saya sebagai wartawan, siapa yang memerintahkan tembakan? Siapa yang berinisiatif melakukan penembakan? Mengapa menggunakan peluru tajam? Sebab beberapa hari sebelumnya, sejumlah komandan batalyon ABRI (termasuk Polri) dikumpulkan dan dalam pengarahannya pimpinan ABRI memerintahkan hanya boleh menggunakan peluru karet dan peluru hampa.

Penelusuran juga saya lakukan di seputar Kelapa Dua Depok. Saat itu menurut sumber, bunyi sirine meraung-raung di Mako Brimob. Sejumlah prajurit berlarian berkumpul di lapangan kesatrian. Sejumlah prajurit, ternyata belum sempat sarapan pagi. Mereka pun diberangkatkan menuju lokasi demonstrasi mahasiswa. Di tengah terik matahari yang panas itu dimanfaatkan para prajurit Brimob untuk​ makan siang seadanya. Membeli dari pedagang makanan di lokasi demonstrasi, seperti bakso, siomay dan lain-lain. Entahlah mungkin karena logistik belum tiba. Sore itu sebenarnya mereka hendak balik ke markasnya di Depok. Namun aksi demonstrasi belum berakhir. Bahkan semakin panas, karena ada mahasiswa drop out dari kampus tersebut memprovokasi adik-adik kelasnya. Di situlah mahasiswa terpancing. Hal yang sama terjadi dengan petugas keamanan mulai kelelahan, hilang kendali dan saling ejek dengan mahasiswa.

Dari situlah tragedi dimulai. Berondongan​ peluru tanpa ampun menghujani kampus tersebut. "Kok jadi seperti ini? Ini kacau balau dan polisi tidak terkendali," kata kapten yang menjadi saksi kunci peristiwa tersebut, menceritakan kepada saya.
Malam itu Jakarta berduka. Empat mahasiswa gugur sebagai Kusuma Bangsa. Saat SBY menjadi presiden, keempat almarhum mahasiswa tersebut dianugerahi Bintang Jasa Pratama.

Hingga kini, komando atasan anggota Brimob pelaku penembakan tersebut memang belum tersentuh hukum. Artinya, pelaku dianggap melanggar perintah dan melakukan tembakan atas inisiatif sendiri. Pangkat tertinggi yang dihukum adalah komandan kompi Brimob berpangkat Lettu Polisi. Komandan batalyon-nya tidak dihukum. Aneh! Peluru tajam yang berhasil dibuktikan melalui uji balistik di sebuah negara Eropa membuktikan dari senjata personel yang dihukum tersebut.

Kasus ini awalnya terlalu banyak spekulasi. Saya anggap itu sebagai informasi yang harus dikesampingkan. Kunci-kunci seperti saksi mahkota, komandan penyidik serta hakim pengadilan, cukup bagi saya untuk menyusun puzzle2 ini.

Esoknya, 13 Mei 1998, massa mulai turun ke jalan-jalan ibukota negara. Polisi menjadi sasaran amuk massa. Batu-batu beterbangan. Seperti pertempuran intifada. Polisi-polisi pun meniggalkan pos-posnya. Kocar-kacir. Hari itu, Jakarta seperti tidak ada polisi. Kapolda Metro Jaya, Mayjen Polisi Hamami Natta pun meminta bantuan Kodam Jaya. Saat itulah Polda  Metro Jaya dijaga aparat keamanan dari Kostrad, Kopassus, dan Kodam Jaya. Pos-pos polisi pun diisi personel Angkatan Darat, Marinir Angkatan Laut dan Kopaskhas Angkatan Udara. Jakarta seperti darurat militer pada 13 Mei tersebut. Begitulah laporan pandangan mata jurnalis 19 tahun lalu.
Terima kasih kapten. Eh maaf, letkol. Nikmati pensiun Anda dan kita saling mengunjungi. Kapan siap untuk disebutkan jati dirimu? Saya tunggu kabarnya. 
Itulah sebagian puzzle tragedi Trisakti Mei 1998 versi saya sebagai wartawan investigasi yang bisa  diinformasikan.

24 May 2019

Yunus dan Quadro Politica: Mungkin banyak yang belum tahu

 video: siq

Oleh: Selamat Ginting

Letnan Jenderal (Purn) Muhammad Yunus Yosfiah. Dia yang membuka kran kebebasan pers saat menjadi Menteri Penerangan era Presiden BJ Habibie (1998-1999). Tidak ada lagi aturan ketat untuk mendirikan lembaga pers, seperti SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). Selama era Orde Baru, SIUPP menjadi momok. Tak mudah membuat lembaga pers.

Maka pada era Refornasi, pers menunjukkan tajinya sebagai pilar keempat demokrasi. Selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang disebut sebagai Trias Politica. Pembagian kekuasaan negara berdasarkan tiga fungsi. Di sinilah lahir Quadro Politica: eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers (media massa).
Jadi, Yunus Yosfiah, mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI, berperan melahirkan pers yang bebas di Indonesia. Jenderal bintang tiga purnawirawan ini, berada di kubu pasangan capres-cawapres 02, Prabowo Sandi. Yunus adalah guru bagi para pasukan komando. Ia menjadi komandan pertama batalyon infanteri 744 di Dilli, Timor Timur. Termasuk perwira terlama yang bertugas di Bumi Loro Sae tersebut. Istrinya pun berasal dari Timor Timur.  Yunus menjadi perwira paling senior yang mendukung Prabowo. Ia lulusan Akademi Militer 1965.
"Saya mendukung pemilu yang jujur dan adil. Bukan pemilu yang curang," kata sang jenderal, sambil berjalan keluar gedung usai acara..... di Jakarta, Selasa (14/5/2019).

Oase Jenderal Hoegeng


Polisi & Kapolri Paling Jujur (merdeka.com)












Oleh: Selamat Ginting


(Tulisan lawas: Mei 2017)

Ada joke legendaris, hanya tiga polisi Indonesia yang jujur: polisi tidur (tanggul), patung polisi, dan polisi Hoegeng. Tanpa mengecilkan polisi yang lain, termasuk Jenderal Soekanto, kepala pertama Polri yang legendaris dan sangat dihormati. Namun Hoegeng begitu populer sebagai Kapolri yang jujur, bersahaja, berkarakter dan tidak mau tunduk kepada tekanan kekuasaan.

"Saya ini kepala kepolisian negara, bukan kepala kepolisian pemerintah apalagi kepala kepolisian rezim," ujar Hoegeng.

Ia bukan hanya bicara untuk pencitraan, melainkan menunjukkan kapasitas dan kapabilitasnya. Termasuk rela dicopot sebagai Kapolri dan pensiun saat usianya masih 50 tahun.  Demi membela seorang penjual telur ayam di Yogyakarta, Sumarijem (18 tahun). Ia ikhlas dicopot dari jabatannya. Sumarijem, kemudian dikenal dengan istilah kasus Sum Kuning, pada 1970-1971 menjadi kasus unik.

Sum diperkosa sejumlah pemuda. Salah satunya putra seorang jenderal, salah seorang pahlawan bangsa ini. Si pemerkosa mendapatkan perlindungan dari sejumlah pejabat tinggi negara, sampai akhirnya kasus ini ditangani Kopkamtib. Salah satu lembaga paling ditakuti di era Orde Baru.  Terjadilah kriminalisasi terhadap Sum dan orang-orang kecil, termasuk seorang tukang bakso yang dipaksa untuk mengakui sebagai pemerkosa. Tentu saja dengan siksaan luar biasa. Hal yang sama juga terjadi pada Sum yang malang itu. Polisi dan jaksa melakukan rekayasa-rekayasa hukum, termasuk tudingan Sum melakukan laporan palsu. Beruntung, hakim mencium bau rekayasa tersebut, dan membebaskan Sum serta tukang bakso tersebut.

Mengetahui adanya rekayasa hukum, Kapolri Jenderal Hoegeng marah. Ia berang dan membuat tim khusus. Hoegeng tak peduli dengan backing-backingan. Pelakunya harus ditangkap. Kasus ini akhirnya sampai di meja Presiden Soeharto.  Tetapi Hoegeng tidak peduli. Baginya jabatan bukan segalanya. "Saya ini sebagai polisi negara, bukan polisi rezim pemerintahan. Bersumpah atas nama Allah, bukan demi presiden."

Ia ditawari jabatan sebagai duta besar. Baginya ini sebuah penistaan. Lebih baik pensiun saja. Dengan diplomatis, ia menjawab, "Saya tidak biasa minum cocktails atau minuman lain gaya diplomat. Jabatan itu tidak cocok buat saya. Lebih baik pensiun saja," kata Hoegeng kepada Presiden Soeharto seperti tertuang dalam buku biografinya.

Hoegeng memang galak untuk kasus-kasus korupsi, penyelundupan, narkoba dll. Hidupnya bersahaja. Ia ikhlas dicopot demi kasus Sum Kuning.  Kasus ini pernah difilmkan dan sukses. Sutradara Frank Rorimpandey mengangkat cerita ini dengan judul 'Perawan Desa'. Film yang dibintangi Yatti Surrachman ini sukses menyabet empat piala Citra pada 1980.

Ah, Hoegeng memang bagai oase jika kita bandingkan dengan Kapolri di era-era selanjutnya. Bagaimana dengan Jenderal Tito yang tiba-tiba jadi Kapolri dengan melompati empat abang kelasnya di Akademi Kepolisian? Sungguh saya tidak mau komentar atau menuliskannya. Saya tunggu berakhirnya masa dinas Tito. Saya cuma berharap polisi kita semakin profesional dan berlaku sebagai polisi negara, bukan polisi penguasa.

Hormat untuk almarhum Pak Hoegeng. Terima kasih keluarga Pak Hoegeng, saya sempat mencicipi teh manis hangat di teras rumah keluarga saat mewawancarai Pak Hoegeng.

/selamatgintingofficial

Palangkaraya dan Angan Sukarno


Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

Wacana pemindahan ibukota negara, kini kembali ramai dibahas. Presiden Sukarno sesungguhnya sudah mencanangkan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Palangkaraya pada 1957. Bahkan pemerintah kolonial Belanda pada 1920-an juga pernah merencanakan ibukota ke Bandung. Ada apa dengan Jakarta?

Republika/Harun Husein
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Republika/Harun Husein)

Presiden Sukarno yang pertama kali melontarkan ide memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Tengah. Tepatnya di kota Palangkaraya. Kota ini dibelah oleh sungai Kahayan. Keinginan Sukarno memindahkan ibukota negara dilontarkan pada 1950-an. Ia sudah meramalkan Jakarta akan tumbuh tak terkendali.  
"Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Sukarno saat pertama kali menancapkan tonggak pembangunan kota ini pada 17 Juli 1957.
Apa alasan Sukarno memilih Palangkaraya?  Pertama; Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Kedua; menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga; pembangunan di Jakarta dan Jawa adalah konsep peninggalan Belanda. Ia ingin membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil.
Keempat; Jakarta punya sungai Ciliwung, Palangkaraya juga punya sungai Kahayan. Sukarno ingin memadukan konsep transportasi sungai dan jalan raya. Ia ingin Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai.
"Janganlah mendirikan bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Sebab lahan itu hendaknya diperuntukkan bagi taman, sehingga pada malam hari terlihat kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," kata Sukarno dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka. Penulis Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990.

Bantuan Uni Soviet
Untuk mewujudkan ide tersebut, Sukarno bekerjasama dengan Uni Soviet. Para insinyur dari negara komunis terbesar itu didatangkan untuk membangun  jalan raya di lahan gambut di Palangkaraya. Pembangunan ini berjalan dengan baik. Tapi seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia di awal 1960-an, pembangunan Palangkaraya terhambat.
Puncaknya pasca 1965, stabilitas politik, ekonomi, sosial dan keamanan negara terguncang.  Sukarno pun dilengserkan dari singasana kekuasaannya. Maka, sejak itu, Palangkaraya tinggal kenangan. 
Kini, ramalan Sukarno menjadi kenyataan: Jakarta semakin semrawut! Sementara pembangunan di Palangkaraya berjalan lambat. Nyaris tak ada tanda-tanda kota ini pernah akan menjadi ibukota Republik. Yang ada hanya sebuah monumen sejarah. Sejarah sebagai pengingat Sukarno pernah punya mimpi besar memindahkan ibukota ke Palangkaraya.
Memang Jakarta sebagai ibukota negara, semakin tidak layak. Siapa pun yang menjadi gubernurnya, akan kesulitan mengatasi segudang masalah. Mulai dari kemacetan akut, kepadatan penduduk, pembangunan tak terencana, hingga banjir yang selalu mengintai jika musim hujan datang.

Jakarta Kota Rawa
Rawa Mangun, Rawa Angke, Rawa Gede, Rawa Belong, dan beberapa nama lain yang menggunakan kata rawa. Nama-nama itu menunjukkan beberapa wilayah Jakarta secara alami memang kawasan rawa. Sehingga tidak tepat dijadikan pemukiman atau pusat kota. Orang Belanda yang pertama kali membangun Batavia memahami wilayah ini berawa-rawa. Namun Belanda memiliki keahlian khusus di bidang hidrologi.  
Para arsitek Negeri Kincir Angin itu membangun Batavia mengacu pada pembangunan di negerinya. Negeri  Belanda, tiga perempat lahannya awalnya berada di bawah permukaan air laut. Namun disulap, dibuat bendungan (dam) menjadi kota untuk tempat tinggal. Jadilah Amsterdam, Roterdam dan lain-lain. Pengetahuan dan teknologi itu pula yang digunakan merekayasa Batavia. Dari rawa-rawa itu menjadi satu kota yang besar.

Sejak 1920-an
Wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke wilayah lain bukan hal baru. Bahkan sebelum Indonesia merdeka pada awal 1920-an, Belanda sudah merencanakan pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung.
Beberapa wilayah juga pernah dijadikan alternatif ibukota pengganti Jakarta. Misalnya Palangkaraya, Jonggol (Bogor, Jawa Barat), Purwokerto, Lampung, Karawang, dan Palembang.
Sejarah mencatat, Indonesia pernah memindahkan ibukotanya beberapa kali pada 1945-1950. Jatuhnya ibukota Jakarta yang dikuasai Belanda, membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan utusan dan menawarkan Yogyakarta menjadi ibukota negara. Saran ini disetujui Presiden Sukarno.  Pada 4 Januari 1946, ibukota Indonesia resmi pindah ke Yogyakarta. Istana Negara pindah ke Gedung Agung, berseberangan dengan Benteng Vredeburg.
Namun, saat Belanda melancarkan Agresi Militer II, Yogyakarta jatuh ke tangan tentara Belanda. Para pimpinan negara ditangkap. Dalam keadaan darurat, dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan ibukota kembali dipindahkan lagi. Dipilihlah Kota Bukittinggi, Sumatra Barat. Alasannya, karena Sjafrudin Prawiranegara disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat (presiden darurat) jika para pemimpin nasional ditangkap.
Pada 17 Agustus 1950, ibukota dikembalikan ke Jakarta berdasarkan UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46. Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia,  Nomor 10, Tahun 1964, ditetapkan Jakarta sebagai ibukota negara. Disahkan  pada 31 Agustus 1964 oleh Presiden Sukarno.
Sejak itu, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Pemerintah mulai melaksanakan program pembangunan proyek besar, seperti membangun pemukiman masyarakat, dan mengembangkan pusat-pusat bisnis kota. # end

20 May 2019

Kutipan hari ini: Mental Illness

"
photo source: Republika
"Penyakit mental di kalangan masyarakat kelas bawah, mudah dideteksi dan disembuhkan. Tetapi penyimpangan mental di kalangan elite, jauh lebih sulit untuk diidentifikasi dan disembuhkan secara berlarut-larut."

18 May 2019

Kutipan hari ini

wisdomquotes.com

Kutipan hari ini (sebagai sebuah renungan..)

"Ada banyak cara suatu bangsa bisa mati. Ia bisa mati karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, ketidakmampuannya untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah sendiri. Tapi ia juga bisa mati karena perselisihan internal, mencabik-cabik dirinya sendiri."

15 May 2019

Menguji Profesionalisme KPU


video source: @siq


Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

Ruangan serba guna di lantai 2 sebuah hotel di Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2019) sore, penuh sesak. Sulit untuk bisa masuk ke ruangan yang telah dipadati lebih dari 2.000 orang tersebut. Namun terlihat masih ada secercah harapan untuk bisa masuk. Peluang itu terbuka saat ada yang keluar ruangan. Di situ pula penulis berusaha masuk. Ini sebuah peristiwa penting dari proses pemilihan presiden yang paling keras.

Sekeras itu pula penulis ingin tahu, apa yang sedang terjadi. Ini memang pertemuan terbuka bagi masyarakat. Bukan hanya bagi pendukung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno saja.

Tim kampanye nasional (TKN) pasangan capres dan cawapres Jokowi dan Maruf Amin juga diundang. Termasuk KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).

"Masih ada harapan kepada KPU untuk memilih jalan yang baik. Yakni untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ikut bermain dalam kecurangan." kata Prabowo Subianto saat berbicara dalam acara 'Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pilpres 2019' di hotel tersebut.

Itu harapan Prabowo usai mengungkapkan kegundahannya yang paling dalam terhadap KPU. ketua Umum Partai Gerindra itu akan menolak hasil penghitungan suara Pemilu 2019 yang dilakukan KPU.

Prabowo menganggap telah terjadi kecurangan selama penyelenggaraan pemilu. Dimulai dari masa kampanye hingga proses rekapitulasi hasil perolehan suara yang saat ini masih berjalan.  "Saya akan menolak hasil penghitungan suara pemilu, hasil penghitungan yang curang," ujar mantan Panglima Kostrad itu.

Prabowo mengatakan, selama ini  Badan Pemenangan Nasional (BPN) telah mengumpulkan bukti terkait dugaan kecurangan yang terjadi. 

Dalam acara tersebut, tim teknis BPN menyampaikan pemaparan mengenai berbagai kecurangan yang terjadi sebelum, saat pemungutan suara, dan sesudahnya.  Di antaranya, permasalahan daftar pemilih tetap fiktif, politik uang, penggunaan aparat, surat suara tercoblos hingga salah hitung di website KPU.  "Kami tidak bisa menerima ketidakadilan dan ketidakjujuran," kata mantan Komandan Jenderal Kopassus.

Hak demokrasi

Pernyataan senada dikemukakan Ketua BPN Prabowo-Sandi, Jenderal (Purn) Djoko Santoso.  Menurutnya, BPN menolak penghitungan suara Pemilu 2019 yang sedang berjalan di KPU.  Ia menganggap Pemilu 2019 penuh kecurangan.

"Kami BPN bersama-sama rakyat Indonesia yang sadar demokrasi menolak hasil penghitungan suara dari KPU RI yang sedang berjalan. Sekali lagi kami BPN bersama rakyat Indonesia yang sadar hak-hak demokrasinya menyatakan menolak hasil penghitungan suara KPU RI yang sedang berjalan," kata Djoko pada acara yang sama.

Mantan Panglima TNI itu juga menolak proses penghitungan suara KPU. Dia mendesak Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU dihentikan. Permintaan penghentian itu telah disampaikan lewat surat ke KPU.

"Hadirin, beberapa waktu lalu kami BPN telah mengirim surat ke KPU dengan Nomor Surat 087/BPN/OS/V/2019 tanggal 1 Mei 2019 tentang audit terhadap IT KPU dan meminta serta mendesak menghentikan sistem penghitungan suara di KPU, yang substansinya agar KPU menghentikan penghitungan suara pemilu yang curang, terstruktur, sistematis, dan masif," tutur Djoko.

BPN menilai kecurangan Pemilu 2019 bersifat terstruktur, sistematis, dan masif atau biasa disingkat TSM. Ada pula yang menambahkan satu istilah lagi, yakni brutal.  

Mengapa BPN memiliki penilaian seperti itu?

Anggota Dewan Pakar BPN Laode Kamaluddin, mengungkapkan, berdasarkan data sistem informasi Direktorat Satgas BPN, perolehan suara pasangan nomor urut 02 itu unggul dari pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Hingga Selasa (14/5/2019), pasangan Prabowo - Sandi memperoleh suara sebesar 54,24 persen atau 48.657.483 suara. Sedangkan pasangan Jokowi-Ma-ruf Amin memperoleh suara sebesar 44,14 persen.  "Di tengah banyaknya kecurangan posisi kita masih ada di 54,24 persen," ujar Kamaluddin di acara yang sama.

Perolehan angka tersebut, lanjutnya,  berbasis pada penghitungan dokumen C1 dari 444.976 tempat pemungutan suara (TPS).  Adapun total TPS yang ada saat hari pemungutan suara berjumlah 810.329 TPS. Sementara data mentah dokumen C1 yang sudah dikumpukan BPN berjumlah 1.411.382.  "Posisi ini diambil dari total 444.976 TPS atau 54,91 persen. Sudah melebihi keperluan dari ahli statistik untuk menyatakan data ini sudah valid," kata dia.

Kamaluddin menuturkan, berdasakan data tersebut, BPN yakin pasangan Prabowo-Subianto telah memenangkan Pemilu 2019.  Menurutnya, kemenangan Prabowo-Sandiaga hanya dapat berubah jika terjadi kecurangan. Misalnya praktik pencurian perolehan suara paslon nomor urut 02.

"Angka ini bisa diubah kalau betul-betul dirampok. Inilah kondisi kita hari ini. Maka kita sampai pada keyakinan bahwa Prabowo-Sandi adalah pemenang," ujarnya.

Tentu kita masih harus menunggu hasil dari KPU, termasuk hasil sidang di Bawaslu tentang keberatan kubu 02. DKPP juga tidak akan tinggal diam jika memang terjadi dugaan kecurangan yang dilakukan personel KPU maupun Bawaslh, seperti dilaporkan kubu 02. Dari kubu 01, publik juga ingin tahu apa hasil dari tim IT-nya.  "Inilah buktiku. Mana buktimu?" pungkas La Ode Kamaluddin.

Semoga membuahkan keputusan yang baik bagi bangsa ini dalam pesta demokrasi mencari figur pemimpin nasional. # End

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...