17 December 2019

Dominasi 1986 dan Langkah Cegah Nepotisme Militer


Tulisan ini diterbitkan di Harian Republika, 16 Desember 2019 Rubrik Teraju



Oleh: Selamat Ginting
Dominasi abituren Akademi TNI 1986 menjadi ciri pola kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto. Mengapa muncul kekhawatiran pola tersebut akan menjadi nepotisme dalam tubuh militer?

Berawal dari Surat Keputusan Panglima TNI, Nomor  Kep/1055/IX/2019, tertanggal 24 September 2019.  Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto melakukan mutasi dan promosi jabatan perwira tinggi (pati) TNI.

Dalam keputusan tersebut, Panglima TNI menunjuk tiga pati untuk memimpin Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Jabatan untuk pati bintang tiga (letnan jenderal/letjen, laksamana madya/laksdya, marsekal madya/marsdya).

Ketiga pati tersebut adalah Laksda Yudo Margono, Marsda Fadjar Prasetyo, dan Mayjen Ganip Warsito. Masing-masing sebagai Panglima Kogabwilhan I, II, dan III. Ketiganya mendapatkan promosi bintang tiga.

Yudo maupun Fadjar, sama-sama lulusan 1988. Yudo lulusan AAL 1988-A (pola pendidikan empat tahun: masuk 1984, keluar 1988). Sedangkan Fadjar lulusan AAU 1988-B (pola pendidikan tiga tahun: masuk 1985, keluar 1988).  Mereka mendapatkan promosi bintang tiga pertama kali bagi abituren (lulusan sekolah militer) Akademi TNI 1988.

Di luar dugaan, untuk pati dari Angkatan Darat. Ternyata bukan lulusan 1988 maupun 1987, melainkan 1966. Ya, Ganip lebih senior, lulusan Akmil 1986. Satu angkatan kelulusan dengan Panglima TNI Marsekal Hadi, AAU 1986.

Ganip sebelumnya sebagai asisten operasi (asops) panglima TNI. Dengan promosi jabatan itu, ia harus menanggalkan jabatan asops panglima TNI. Dalam keputusan dengan nomor yang sama. Jabatan asops panglima TNI diserahkakan kepada Mayjen Tiopan Aritonang.

Tiopan juga sama-sama lulusan Akmil 1986. Ada pun jabatan Tiopan sebelumnya adalah Panglima Kodam Merdeka di Manado, Sulawesi Utara. Namun dalam surat keputusan panglima TNI tersebut, belum ada pengganti jabatan panglima Kodam Merdeka.

Kini, hampir tiga bulan jabatan Asops Panglima TNI dan Pangdam Merdeka dibiarkan mengambang. Tiopan belum menyerahkan tongkat komando kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. Mengapa? Karena belum ada penggantinya. 

Apakah wilayah Kodam Merdeka, yang terdiri dari tiga provinsi: Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah, tidak begitu penting untuk diisi oleh seorang panglima Kodam?

Padahal, Kodam Merdeka wilayahnya antara lain berbatasan dengan negara tetangga, Filipina. Jika tidak penting, untuk apa dibentuk Kodam Merdeka yang merupakan pemekaran dari Kodam Hasanuddin? Kodam Hasanuddin sebelumnya bernama Kodam Wirabuana.

Apakah jabatan Asops Panglima TNI juga bisa dikosongkan untuk waktu yang cukup panjang?  Bagaimana pengendalian operasi pasukan TNI?

Saat Panglima TNI Hadi Tjahjanto mendampingi Presiden Jokowi mengunjungi Papua pada 28-29 Oktober 2019 lalu, Ganip Warsito masih dalam posisi sebagai Asops Panglima TNI.

Kasus tersebut memperlihatkan bagaimana lemahnya perencanaan penempatan personel oleh pimpinan TNI. Sekaligus mengabaikan rantai komando organisasi pada level panglima komando utama strategis.

Dari kasus ini patut diduga ada ketidak harmonisan antara pimpinan Mabes TNI dengan Mabesad. Ada deadlock dalam mutasi dan promosi perwira tinggi TNI. Patut diduga ada gesekan yang keras dalam siding dewan jabatan dan kepangkatan tinggi, antara pimpinan Mabes TNI dengan Mabesad.

Sampai kapan mau dibiarkan seperti ini? Kasus ini bukan cuma merugikan organisasi TNI saja. Tetapi juga merugikan rakyat sebagai pemilik sah negeri ini. Rakyat yang membiayai TNI untuk mengawal kedaulatan negeri.

Akademi 1986

Masih hangat mutasi sebelumnya, juga untuk abituren Akmil 1986. Antara lain,  Sesmenko Polhukam diberikan kepada Tri Soewandono, melalui keputusan panglima TNI pada pertengahan September 2019 lalu. Artinya Tri Soewandono berhak mendapatkan kenaikan pangkat menjadi letjen. Ia menggantikan Letjen Agus Surya Bakti yang pensiun September 2019 lalu.

Sebenarnya ada bintang tiga aktif yang belum mendapatkan jabatan. Dia adalah Letjen Dodik Wijanarko, Akmil 1985. Bekas Komandan Puspom TNI itu, kini diparkir untuk waktu yang cukup lama. Hanya sebagai staf khusus panglima TNI, sejak Maret 2018. Ini yang disebut jenderal bintang tiga, tetapi ‘mengganggur’, hampir dua tahun, lantaran tidak diberikan jabatan.

Sebelumnya pula ketika dibentuk Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI pada Juni 2019. Lagi-lagi posisi itu diberikan kepada abituren Akmil 1986, Mayjen Rochadi. Rochadi resmi menjadi Komandan Koopssus TNI pada Juli 2019 lalu.

Sebelumnya, lulusan terbaik Akmil 1986, Letjen (Purn) Hinsa Siburian, juga menduduki posisi strategis setingkat menteri, yakni  Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Hinsa merupakan lulusan Akmil 1986 pertama yang meraih pangkat letjen.

Kini ada enam letjen aktif lulusan Akmil 1986. Mereka adalah Letjen Tatang Sulaiman (wakil KSAD), Letjen Joni Supriyanto (kasum TNI), Letjen Besar Harto Karyawan (pangkostrad), Letjen Ganip Warsito (pangkogabwilhan III TNI), dan Letjen Tri Soewandono (sesmenko polhukam). Total ada tujuh orang yang berhasil menjadi letjen.

Untuk jabatan strategis, seperti panglima Kodam, abituren Akmil 1986 dan 1987 sama-sama menduduki empat jabatan pangdam. Abituren 1985 masih menyisakan satu pangdam (Kodam Hasanuddin). Abituren Akmil 1989 diwakili satu orang (kodam Jayakarta). Sedangkan abituren 1988 tujuh orang, terdiri dari 1988-A tiga orang dan 1988-B dua orang.

Sementara panglima divisi infanteri (Divif) Kostrad untuk abituren 1988 dan 1989. Panglima Divif 1 Kostrad, Mayjen Agus Rohman (Akmil 1988-A). Panglima Divif 2 Kostrad, Mayjen Tri Yunianto (Akmil 1989). Panglima Divif 3 Kostrad, Mayjen Ahmad Marzuki (Akmil 1989).

Di luar 1986

Bagaimana dengan lulusan Akademi di luar 1986? Abituren Akmil 1985 hanya empat orang yang menjadi letjen. Mereka adalah; Letjen (Purn) Edy Rahmayadi (mantan pangkostrad, kini gubernur Sumatra Utara), Letjen Doni Monardo (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB), Letjen Tri Legiono Suko (Rektor Unhan), dan Letjen Dodik Wiajanarko (nonjob/staf khusus panglima TNI).

Kemudian Akmil 1987, ada Jenderal Andika Perkasa yang menjadi KSAD. Ada pula Letjen M Herindra (Irjen TNI), dan Letjen AM Putranto (komandan kodiklatad). Terbaru, berdasarkan surat keputusan panglima TNI, Nomor Kep/1351/XI/2019, tertanggal 26 November 2019. Mayjen Ida Bagus Purwalaksana dipromosikan dari Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemhan menjadi Irjen Kemhan.

Dengan promosi itu, maka dalam waktu dekat IB Purwalaksana akan mendapatkan promosi kenaikan pangkat menjadi letjen. Purwalaksana merupakan anak dari mendiang Letjen (Purn) IB Sujana, mantan Kasum ABRI dan Sekjen Dephankam. Juga pernah menjadi menteri pertambangan dan energi era Presiden Soeharto. 

Dengan kenaikan pangkat IB Purwalaksana, maka ada empat orang abituren Akmil 1987 yang berhasil menjadi bintang tiga ke atas. Sedangkan abituren Akmil 1988-A maupun 1988-B, belum ada yang berhasil menjadi bintang tiga.

TNI AL Seimbang

Berbeda dengan Angkatan Laut, ada laksdya lulusan AAL 1988-A, yakni Laksdya Yudo Margono (pangkogabwilhan I TNI). Sedangkan Angkatan Udara, ada marsdya lulusan AAU 1988-B, yakni Marsdya Fadjar Prasetyo (pangkogabwilhan II TNI). 

Di Angkatan Laut, relatif seimbang pembagian jabatan bintang tiga. Abituren AAL 1984 Laksdya Achmad Djamaludin (sekjen Wantannas). AAL 1985, Laksamana Siwi Sukma Adji (KSAL), Laksdya Agus Setiadji (sekjen kemhan). AAL 1986 Laksdya Mintoro Yulianto (wakil KSAL). AAL 1987, Laksdya Aan Kurnia (danjen akademi TNI). Serta 1988-A, Laksdya Yudo Margono (pangkogabwilhan I TNI). AAL 1988-B, belum ada yang meraih bintang tiga.

Untuk jabatan strategis seperti panglima armada diberikan kepada tiga abituren berbeda. Panglima Armada 1, Laksda Muhammad Ali (AAL 1989). Panglima Armada II, Laksda Heru Kusmanto (AAL 1988-B). Panglima Armada III, Laksda I Nyoman Gede Ariawan (AAL 1986). 

TNI AU 1986

Dominasi lulusan 1986, begitu terlihat di Angkatan Udara. Ada empat marsekal yang berhasil menempati posisi bintang tiga ke atas. Mereka adalah Marsekal Hadi Tjahjanto (panglima TNI), Marsekal Yuyu Sutisna (KSAU), Marsdya Wieko Syofyan (wagub Lemhannas), dan Marsdya Fahru Zaini Isnanto (wakil KSAU).

Abituren AAU 1984, masih tersisa Marsdya Bagus Puruhito (Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan/BNPP. Sebelumnya disebut Basarnas). AAU 1985 diwakili Marsdya Dedy Permadi (komandan sesko TNI). Namun, tidak ada satu pun dari lulusan AAU 1987 yang menempati jabatan bintang tiga. Setelah itu lulusan AAU 1988-B, yakni Marsdya Fadjar Prasetyo (pangkogabwilhan II TNI).

Sedangkan jabatan pangkotama dibagi tuntuk tiga abituren berbeda. Panglima Koopsau 1, Marsda M Khairil Lubis (AAU 1990). Panglima Koopsau 2, Marsda Donny Ermawan Taufanto (AAU 1988-A). Panglima Koopsau 3, Marsda Andyawan Martono (AAU 1989).

Polisi malah jauh meninggalkan TNI. Kepala Polri Janderal Idham Aziz, lulusan Akpol 1988-A. Wakil Kepala BSSN Komjen Dharma Pongrekun, juga lulusan Akpol 1988-A. Bahkan Kabaharkam Polri yang akan menjadi Ketua KPK, Komjen Firli Bahuri, lulusan Akpol 1990.   

Cegah Nepotisme

Kuatnya dominasi Marsekal Hadi dalam penempatan personel jabatan pati TNI diharapkan tidak menimbulkan nepotisme dalam tubuh militer. Kata nepotisme berasal dari bahasa Latin, nepos.  Secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan maupun pemberian hak istimewa (Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti  perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. Terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah. Dampaknya,  tentu saja akan  merugikan organisasi dan merusak sendi-sendi kebersamaan. 

Nepotisme hanya menguntungkan mereka yang memiliki akses seperti adanya hubungan kekerabatan, pertemanan dengan pengambil keputusan. Yang menjadi persoalan, jika tindakan nepotisme dikaitkan dengan pemberian posisi atau jabatan tertentu kepada orang yang mempunyai hubungan kekerabatan tanpa memperdulikan unsur-unsur seperti unsur keahlian atau kemampuan yang dimiliki.

Semoga kekhawatiran itu tidak terjadi pada organisasi TNI yang kini dipimpin marsekal berkumis hitam dan tebal. Hitam dan tebal justru harus menjadi kunci bagi Hadi harus meninggalkan jejak professional. Bukan sebaliknya jejak nepoitisme  bagi lulusan Akademi TNI 1986.  


TABEL


PANGLIMA  ARMADA  2019


Armada | Nama | Abituren | Korps

Armada I | Muhammad Ali | 1989 | Pelaut

Armada II | Heru Kusmanto | 1988-B | Pelaut

Armada III | I Nyoman Gede Ariawan | 1986 | Pelaut


PANGLIMA KOOPSAU / KOMANDO OPERASI UDARA 2019


Koopsau | Nama | Abituten | Korps



Koopsau 1 | M Khairil Lubis | 1990 | Penerbang

Koopsau 2 | Donny Ermawan T |1988-A | Penerbang

Koopsau 3 | Andyawan Martono | 1989 | Penerbang



Penulis adalah Jurnalis Senior Republika
Pemerhati Komunikasi Politik Militer

17 November 2019

Doni Calon Kuat KSAD



Foto: pojoksatu.id

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Republika Rabu, 13 November 2019)

Sisa waktu dinas aktif, satu tahun dua bulan. Idham Aziz masih bisa menjadi orang nomor satu di Mabes Polri. Jenderal Idham Aziz (56 tahun, 10 bulan), ternyata masih bisa menjadi Kepala Polri. Ia menggantikan Jenderal Tito Karnavian yang kini menjadi menteri dalam negeri. 

Melihat fenomena Idham Aziz, maka perwira tinggi TNI AD dengan pangkat letjen dengan usia 56, enam bulan ke atas,  masih berpeluang menjadi calon KSAD mendatang. Ini dengan catatan jika KSAD Jenderal Andika Perkasa dipilih Presiden Jokowi menjadi Wakil Panglima (Wapang) TNI. Jabatan ini kembali dihidupkan melalui peraturan presiden nomor 66 tahun 2019 tentang struktur organisasi TNI. 

KSAD Jenderal Andika (54 tahun, 11 bulan) menjadi kandidat terkuat untuk menjadi Wapang TNI, jika Panglima TNI masih dijabat Marsekal Hadi Tjahjanto (56 tahun, 0 bulan). Hadi masih dua tahun lagi usia pensiunnya. 

Tipis kemungkinan bagi KSAU Marsekal Yuyu Sutisna (57 tahun, 5 bulan) untuk menjadi wapang TNI, mengingat Panglima TNI juga berasal dari Angkatan Udara. Sedangkal KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji (57 tahun, 6 bulan), enam bulan lagi akan memasuki masa pensiun.  Jadi, baik Marsekal Yuyu maupun Laksamana Siwi akan pensiun bersamaan. Begitu juga dengan Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman (57 tahun, 7 bulan), peluangnya menjadi calon KSAD nyaris pupus.

Peluang terbesar

Peluang paling besar untuk kandidat KSAD ada pada Letjen Doni Monardo, lulusan Akmil 1985. Ini merupakan kesempatan kedua bagi Doni. Kesempatan pertama, ia ‘kalah bersaing’ dari Andika Perkasa. Jabatan sebagai Kepala BNPB, setingkat menteri, apakah masih memiliki peluang? Tentu itu menjadi kewenangan Presiden Jokowi. 

Begitu juga dengan Letjen M Herindra (Irjen TNI) dan Letjen AM Putranto (Dankodiklatad). Keduanya sama dengan Andika, lulusan Akmil 1987. Kali ini merupakan kesempatan kedua bagi mereka untuk menjadi KSAD.

Di luar itu, kini peluang terbuka lebar justru bagi empat letjen lulusan Akmil 1986. Satu lulusan dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, AAU 1986. Mereka adalah Letjen Joni Supriyanto (Kasum TNI), Letjen Besar Harto Karyawan (Pangkostrad), Letjen Tri Soewandono (Sesmenko Polhukam), serta Letjen Ganip Warsito (Pangkogabwilhan III TNI).

Marsekal Hadi, mungkin lebih ‘merasa senang’  jika KSAD berasal dari lulusan Akmil 1986. Sebaliknya Jenderal Andika, mungkin ‘lebih cocok’ jika penggantinya berasal dari Akmil 1987. Namun, kewenangan itu berada di tangan Jokowi, karena merupakan hak prerogratif presiden.

Jika terjadi pergantian KSAD dalam waktu dekat ini, maka promosi dan mutasi perwira tinggi  akan mengalami gelombang besar-besaran di lingkungan TNI AD. Mengingat ada sejumlah jabatan bintang tiga yang harus segera diisi. Jabatan itu adalah Irjenad, Koorsahli KSAD, Danpusterad, Danpuspomad, Ka RSPAD Gatot Subroto, Danpussenif. 

Apakah pejabat yang sekarang akan otomatis naik pangkat, belum tentu juga. Yang sudah mendapatkan ‘durian runtuh’ dari Perpres No. 66 tahun 2019 adalah Terawan Agus Putranto, lulusan Sepawamil TNI 1990. Bersamaan dengan dilantiknya sebagai menteri kesehatan, bekas kepala RSPAD Gatot Subroto itu, dinaikkan pangkatnya menjadi letjen.

Bukan cuma untuk bintang tiga, perpres baru tersebut juga menaikkan posisi pimpinan lembaga militer dari brigjen menjadi mayjen. Di antaranya untuk kepala pusat atau komandan korps, seperti: kavaleri, artileri medan (armed), artileri pertahanan udara (arhanud), zeni, perhubungan, peralatan, serta pembekalan dan angkutan (bekang).

Begitu juga dengan jabatan yang sebelumnya untuk kolonel, kini menjadi untuk bintang satu di lingkungan korps. Termasuk Komandan Denma Mabesad, dari kolonel menjadi brigjen. Begitu juga para asisten di Markas Kostrad, para inspektur di sejumlah lembaga korps, termasuk beberapa komandan pusat pendidikan korps. 


Kandidat kuat calon KSAD jika Jenderal Andika menjadi Wakil Panglima TNI. Dengan catatan usia pensiunnya masih 1,5 tahun ke atas dan pernah menjadi panglima Kodam:
  1. Letjen Doni Monardo (56 tahun, 6 bulan) Kepala BNPB, Akmil 1985. 
  2. Letjen Joni Supriyanto (55 tahun, 5 bulan) Kasum TNI, Akmil 1986.
  3. Letjen Besar Harto Karyawan (56 tahun, 6 bulan) Pangkostrad, Akmil 1986.
  4. Letjen Tri Soewandono (55 tahun, 11 bulan) Sesmenko Polhukam, Akmil 1986.
  5. Letjen Ganip Warsito, 56 tahun, 0 bulan) Pangkogabwilhan III TNI, Akmil 1986.
  6. Letjen M Herindra (55 tahun, 0 bulan) Irjen TNI, Akmil 1987.
  7. Letjen AM Putranto (55 tahun, 9 bulan) Dankodiklatad, Akmil 1987).

/selamatgintingofficial

Perpres Obral Jenderal


Foto : NusantaraNews

Oleh: Selamat Ginting
(tulisan ini telah dimuat di Harian Republika Rabu, 13 November 2019)

Beberapa jabatan dipaksakan menjadi bintang tiga, terutama di lingkungan TNI AD. Apakah sudah sesuai dengan beban tugas, beban kerja, serta risiko jabatan?

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 18 Oktober 2019 lalu. Ada beberapa jabatan yang naik, termasuk dari bintang dua menjadi bintang tiga.

Kini ada lima posisi bintang empat, setelah jabatan wakil panglima TNI dihidupkan kembali. Jabatan-jabatan tersebut adalah: Panglima TNI, Wakil Panglima (Wapang) TNI, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).

Sedangkan posisi bintang tiga, kini ada 25 jabatan. Untuk AD sembilan jabatan; Wakil KSAD, Irjenad, Koorsahli KSAD, Panglima Kostrad, Komandan Kodiklatad, Komandan Pussenif, Komandan Pusterad, Komandan Puspomad, serta Kepala RSPAD Gatot Subroto.

AL empat jabatan; Wakil KSAL, Panglima Komando Armada RI, Komandan Pushidros, serta Komandan Kodiklatal. AU tiga jabatan; Wakil KSAU, Panglima Komando Operasi Udara Nasional, serta Komandan Kodiklatau.

Plus sembilan jabatan bintang tiga di Mabes TNI, yakni: Kasum TNI, Irjen TNI, Dan Sesko TNI, Danjen Akademi TNI, Kabais TNI,  Dankodiklat TNI, serta tiga Pangkogabwilhan TNI. 

Dari sembilan jabatan bintang tiga di lingkungan Mabes TNI tersebut, saat ini empat untuk AD (Kasum TNI, Irjen TNI, Dankodiklat TNI, serta  Pangkogabwilhan III TNI). Dua untuk AL (Danjen Akademi TNI, serta Pangkogabwilhan I TNI). Tiga untuk AU (Kabais TNI, Dan Sesko TNI, serta Pangkogabwilhan II TNI).   

Di luar lingkungan TNI, ada pula jabatan bintang tiga di lembaga lain, seperti: Wagub Lemhannas, Sestama Lemhannas, Sesmenko Polhukam, Sekjen Wantannas, Sekjen Kemhan, Irjen Kemhan, dan Rektor Unhan. 

Selain itu Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP), Kepala Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI). Serta ada jenderal bintang tiga aktif yang menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yakni Letjen Doni Monardo. 

Di luar itu ada Kepala Badan Sandi dan Siber Nasional (BSSN), yang kini dijabat jenderal bintang tiga purnawirawan, yakni Letjen (Purn) Hinsa Siburian. Ada pula Gubernur Lemhannas yang kini dijabat jenderal bintang tiga purnawirawan, yakni Letjen (Purn) Agus Widjojo. 

Korps kesehatan

Salah satu keanehan dalam struktur organisasi TNI kali ini, khususnya untuk korps kesehatan (CKM). Obral jabatan jenderal terjadi di lingkungan korps kesehatan. Kepala RSPAD Gatot Subroto (letjen), Waka RSPAD (mayjen), Ketua Komite Medik RSPAD (mayjen), Kepala Kelompok Staf Ahli Kepala RSPAD (mayjen), Direktur RSPAD (brigjen), Komite RSPAD (brigjen), Dokter Ahli RSPAD (brigjen). Artinya di komite medik ada beberapa brigjen, begitu juga kelompok staf ahli ada beberapa brigjen, beberapa dokter ahli juga berpangkat brigjen.
 
Ditambah lagi dengan Kapuskesad (mayjen), Wakapuskesad (brigjen), Inspektur Puskesad (brigjen), serta Direktur Puskesad (brigjen). Rinciannya; satu letjen, empat mayjen, serta lebih dari 10 brigjen. Jadi, total ada sekitar 20 jabatan perwira tinggi untuk korps kesehatan militer.

Bandingkan dengan Pusat Kesenjataan Infanteri (Pussenif). Komandan Pussenif (letjen), Wadan Pussenif (mayjen), Inspektur Pussenif (brigjen), Direktur Pussenif (brigjen), serta Danpusdik Infanteri (brigjen).Total lima jabatan perwira tinggi untuk korps infanteri.

Hal yang sama untuk korps kavaleri, armed, arhanud, dan polisi militer. Untuk zeni, perhubungan, peralatan, serta pembekalan dan angkutan, total ada empat jabatan perwira tinggi. 

Melihat fenomena di atas, ada yang janggal dari reformasi birokrasi militer. Lembaga militer di satuan tempur (infanteri), dan bantuan tempur (kavaleri, armed, arhanud, zeni, perhubungan, dan peralatan) jauh di bawah lembaga kesehatan. Perbandingannya, hanya ¼ bahkan  1/5  dari jumlah jenderal korps kesehatan. Padahal korps kesehatan merupakan bantuan administrasi dan hanya bagian pendukung dari tugas dan fungsi TNI AD. Ini di luar norma kepatutan struktur organisasi militer di dunia mana pun. 

Dengan kondisi tersebut, seolah-olah korps kesehatan justru sebagai korps utama dalam TNI AD. Sementara infanteri, kavaleri, armed, arhanud, dan zeni hanya sebagai komponen pendukung saja. Ini sudah salah kaprah.

Bisa di lihat di tingkat batalyon saja. Korps kesehatan, misalnya hanya memiliki dua batalyon saja, Sedangkan zeni, kavaleri, armed, arhanud, rata-rata memiliki 16-18 batalyon. Belum ditambah dengan detasemen lapangannya yang jumlahnya sekitar 10 detasemen lapangan (tempur). 

Apalagi jika dibandingkan dengan infanteri. Infanteri adalah korps utama Angkatan Darat. Bahkan 80 persen batalyon adalah infanteri. Jumlah personel Angkatan Darat, terbanyak dari infanteri. Disusul zeni, kavaleri, armed, dan arhanud.

Jabatan kolonel

Kondisi  obral jenderal ini akan berdampak pada jabatan kolonel di lingkungan AD. Nantinya dari seluruh jumlah kolonel, separuhnya berasal dari korps kesehatan. Hal ini akan menimbulkan konflik kecemburuan korps lain. Padahal untuk menjadi kolonel terjadi persaingan yang ketat. Antara lain, telah menempuh pendidikan Seskoad. Padahal banyak kolonel kesehatan, justru tidak melalui pendidikan Seskoad. Kurikulum Seskoad juga tidak ada relevansinya dengan tugas pokok kesehatan.

Bantuan administrasi, seperti korps polisi militer dengan komandan bintang tiga, juga tidak jelas. Jumlah personel polisi militer jauh di bawah zeni, kavaleri, armed, arhanud, dan bekang. Mestinya komandan Puspomad cukup bintang dua saja, seperti komandan korps lainnya, seperti: kavaleri, armed, arhanud, zeni, perhubungan, peralatan, serta bekang.

Komandan Pusterad menjadi bintang tiga juga berlebihan. Sebab, pekerjaan teritorial sudah dilakukan oleh kodam-kodam. Pusterad hanya membina, menjaga, memelihara prinsip-prinsip teritorial ditegakkan dan dilaksanakan sesuai doktrinnya. Jadi, tidak ada beban kerja yang luar biasa. Jabatan Komandan Pusterad juga di bawah supervisi Aster KSAD. Jadi, lebih pantas untuk bintang satu daripada untuk bintang tiga, karena sedikitnya pekerjaan Danpusterad.

Perpres Nomor 66 tahun 2019 jika tidak direvisi, terutama di bagian RSPAD dan Puskesad, ke depan akan menimbulkan masalah besar. Padahal awalnya, baik Kepala RSPAD maupun Direktur Kesehatan, hanya untuk pangkat brigjen. Bahkan RSPAD menjadi bagian dari Ditkesad. 

Mestinya, perubahan jabatan harus dihitung dulu beban tugas, beban kerja, risiko jabatan, serta jumlah personelnya dihadapkan dengan tugas pokok dan fungsinya. Dari situlah baru bisa dihitung spesifikasi jabatan yang akan menjadi acuan. Jabatan pangdam, misalnya, risikonya sangat tinggi. Jika ada masalah di wilayahnya, bisa dicopot. Pangdam risikonya jauh lebih berat daripada Kepala RSPAD, Danpuspomad, Danpusterad, maupun Koorsahli KSAD.


JABATAN BINTANG TIGA TNI

MABES TNI

Unsur Pembantu Pimpinan

1.   Kepala Staf Umum TNI

2.   Inspektur Jenderal TNI

Badan Pelaksana Pusat

3.   Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI

4.   Komandan Jenderal Akademi TNI

5.   Kepala Badan Intelijen Strategis TNI

6.   Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI

Komando Utama Operasi

7.   Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I TNI

8.   Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan II TNI

9.   Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III TNI

10. Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD

11. Panglima Komando Armada Republik Indonesia

12. Panglima Komando Operasi Udara Nasional

13. Komandan Pusat Hidro-Oseanografi TNI AL

MABES TNI AD

Unsur Pimpinan

14. Wakil Kepala Staf AD

Unsur Pembantu Pimpinan

15. Inspektur Jenderal TNI AD

16. Koordinator Staf Ahli Kepala Staf AD

Badan Pelaksana Pusat

17. Komandan Pusat Teritorial TNI AD

18. Komandan Pusat Polisi Militer TNI AD

19, Kepala Rumah Sakit Pusat AD Gatot Soebroto

Komando Utama Pembinaan

20. Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI AD

21. Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri

MABES TNI AL

Unsur Pimpinan

22. Wakil Kepala Staf AL

Komando Utama Pembinaan

23. Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI AL

MABES TNI AU

Unsur Pimpinan

24. Wakil Kepala Staf AU

Komando Utama Pembinaan

25. Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI AU


/selamatgintingofficial




Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...