18 June 2019

POLITIK MATARAM MEMILIH PANGLIMA

Oleh: Selamat Ginting

Kekuasaan Soeharto sebagai representasi dari kepemim-pinan Jawa. Nuansa jawa sentris sangat dominan dalam kekuasaannya.

Pada 8 Juni 2011 lalu di Museum Purna Bhakti Pertiwi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, sebuah keluarga terpandang dan berpengaruh di republik ini berkumpul. Hari itu ada peristiwa peluncuran buku, judulnya The Untold Stories


Ya, keluarga mantan presiden Soeharto, yang dipimpin putri sulungnya, Tutut, menyelenggarakan acara mengenang 90 tahun HM Soeharto sekaligus peluncuran buku The Untold Stories. Buku itu menceritakan tentang kehidupan Pak Harto yang tidak terungkap ke publik.


Almarhum Soeharto selama 32 tahun menjadi penguasa Orde Baru dikenal sebagai sosok yang berpengaruh dan kontroversi. "Tetapi, di balik itu semua, ternyata Pak Harto merupakan pribadi sederhana, apa adanya, dan tegas. Pak Harto memiliki karakter kepemimpinan yang kuat," ungkap mantan wakil presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno.


Buku yang diterbitkan oleh Keluarga Cendana itu tak pelak membangkitkan kenangan masyarakat akan kepemimpinan Soeharto. Apalagi, menurut survei Indobarometer, Soeharto menjadi presiden paling populer dan dirindukan kepemimpinannya. Dalam buku itu, antara lain, diceritakan saat Indonesia memasuki masa Pembangunan Lima Tahun tahap kedua pada 1973-1978, Presiden Soeharto kerap melakukan kunjungan rahasia. Dia hanya mengajak ajudan Kolonel Try Sutrisno, Komandan Grup Paspampres Kolonel Munawar, komandan pengawal, dokter Mardjono, dan mekanik kendaraan Istana Biyanto.


"Rencana perjalanan selama dua pekan, menggunakan tiga mobil, ditutup rapat sampai Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean pun tidak diberi tahu. Hanya kalangan terbatas yang boleh diberi tahu, antara lain, pejabat, intelijen Mayjen Benny Moerdani," ungkap Try.


Soeharto memang memiliki pola tersendiri untuk memilih orang yang akan dipercaya menjadi lingkaran kekuasaannya. Kekuasaan Soeharto disebut-sebut sebagai representasi dari kepemimpinan Jawa. Nuansa jawasentris sangat dominan dalam kekuasaannya.


Kepemimpinan Soeharto, berdasarkan perspektif teleologi (tujuan), memang penuh dengan simbol-simbol kepemimpinan dalam budaya Jawa (Tunjung W Sutirto, 2008). Dalam memimpin, Soeharto menguatkan ketokohannya sebagai pemimpin yang berkuasa sesuai dengan falsafah "raja berkuasa tidak boleh dibantah."


Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja, seperti dalam konsep Kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan, kekuasaan besar seperti kekuasaan dewa, pemelihara hukum, dan penguasa dunia. Soeharto membangun sistem kekuasaan sentralistik, feodalis, dan otoriter.


Kebijakan-kebijakan nasional sepenuhnya di bawah pengaruh presiden, bahkan DPR-MPR dipilih langsung oleh Soeharto. Hal ini membuat langkah jenderal besar itu mulus menjadi presiden selama 32 tahun. Ketika Soeharto berkehendak, tidak ada satu pun yang berani membantah. Jawasentrisme ini juga akhirnya menyebabkan gejolak daerah karena merasa Jawa terlalu mendominasi sehingga kebudayaan lain cenderung terabaikan.


Tujuh jenderal


Bagaimana pola Soeharto memilih panglima TNI? Selama 32 tahun kepemimpinannya, tujuh jenderal dipercaya menjadi panglima TNI, saat itu masih bernama panglima ABRI. Ia tidak langsung menyerahkan jabatan panglima kepada orang lain. Ia memimpin sendiri posisi sebagai orang nomor satu di lingkungan Angkatan Darat dan ABRI sejak 1966 hingga 1973. Usia Soeharto memang masih di bawah usia pensiun perwira saat itu, 55 tahun.


Soeharto pascaperistiwa 30 September 1965 juga menjadi panglima Angkatan Darat, panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (pangkopkamtib), serta menteri Pertahanan Keamanan (menhankam)/kepala staf ABRI. Kemudian, sebagai pejabat presiden pada 1966, ia masih merangkap jabatan-jabatan militer tersebut. Ia memilih Letjen Maraden Panggabean sebagai wakil panglima Angkatan Darat hingga 1969.


Barulah pada 1969, Panggabean dipercaya menjadi panglima Angkatan Darat merangkap sebagai panglima kopkamtib. Namun, jabatan kepala staf ABRI masih dijabat Jenderal Soeharto. Pada 1973, Soeharto menyerahkan jabatan KSAB, kemudian istilah ini diganti menjadi panglima ABRI, kepada Jenderal Panggabean. Panggabean pun menjadi panglima ABRI merangkap sebagai menteri Pertahanan dan Keamananan (menhankam) untuk periode 1973-1978. Istilah panglima Angkatan Darat, Laut, dan Udara pun diganti menjadi kepala staf angkatan.


Mengapa Soeharto memilih Panggabean menjadi orang kepercayaannya sebagai panglima TNI? Di sinilah Soeharto mulai menunjukkan strategi kekuasaannya dalam memilih orang kepercayaannya, supaya tidak melawan kekuasaannya. Ia mempertimbangkan betul latar belakang pendidikan militer, pengalaman jabatan militer, suku, agama, dan golongan.


Panggabean dari sisi kemiliteran tak diragukan lagi. Namun, dari sisi suku dan agama, ia tergolong dalam kelompok minoritas. Panggabean berasal dari Sumatra Utara dan beragama Kristen Protestan. Dari sini. Panggabean akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses jika ingin melakukan gerakan yang membahayakan kekuasaan Soeharto. Mengingat dari segi antropologi sosial budaya, Indonesia didominasi penganut agama Islam dan suku Jawa.


Hal yang sama terjadi pada panglima ABRI berikutnya, yakni Jenderal Andi Muhammad Jusuf. Pengangkatan Jenderal Jusuf sebagai menhankam/pangab periode 1978-1983 itu juga mencengangkan banyak pihak. Mengingat Jusuf sudah tidak bertugas di lingkungan militer sejak 1964. Ia menjadi menteri perindustrian pada 1964 hingga 1973. Sedangkan jabatan militernya terakhir sebagai panglima Kodam Hasanuddin pada 1960-1964.


Dengan demikian, Jusuf dipandang memiliki kelemahan dari sisi pengalaman militer karena sudah 14 tahun meninggalkan dinas militer, kendati ia belum pensiun dari militer. Selain itu, dari sisi suku, Jusuf juga bukan orang Jawa. Ia berasal dari Sulawesi Selatan. Maka, tipis kemungkinan Jusuf menggalang kekuatan untuk menggoyang Soeharto. Jusuf pun selalu dibayang-bayangi Pangkopkamtib Laksamana Sudomo serta Asisten Intelijen Hankam Mayjen Benny Moerdani, yang mendapatkan tugas khusus dari Presiden Soeharto.


Langkah Soeharto selanjutnya adalah memilih Jenderal Benny Moerdani menjadi pangab periode 1983-1988. ia tidak diberikan jabatan menhankam. Jabatan itu diemban Jenderal Poniman, yang sebelumnya KSAD. Namun, Benny diserahi tugas sebagai pangkopkamtib menggantikan Laksamana Sudomo.


Benny merupakan lulusan Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD). Dia dikenal sebagai perwira komando dan perwira intelijen. Berbeda dengan Panggabean dan Jusuf, Benny tidak pernah memegang jabatan teritorial. Juga tidak pernah menjadi KSAD dan panglima Kodam. Bahkan, jabatan komandan yang diembannya hanya sampai komandan batalion di RPKAD.


Sementara, pada saat itu, sejumlah lulusan Akademi Militer (Akmil) Yogyakarta sudah banyak yang menjadi panglima komando wilayah pertahanan (pangkowilhan) serta jabatan bintang tiga lainnya. Seperti Letjen Soesilo Soedarman, Letjen Seno Hartono, Letjen Sayidiman, dan Letjen Himawan Sutanto. Namun. Soeharto lebih memilih Benny yang bukan lulusan akademi militer.


Dari sisi suku, Benny memang orang Jawa. Namun dari segi agama, dia adalah pemeluk Katolik Roma. Dengan demikian, Soeharto merasa tidak khawatir kendati Benny disebut-sebut kerap mengendalikan operasi intelijen. Saat Soeharto mulai khawatir terhadap Benny, ia pun mencopot jabatan Benny sebagai pangab, hanya tiga bulan menjelang sidang umum MPR 1993.


Posisinya digantikan Jenderal Try Sutrisno yang sebelumnya menjadi KSAD pada 1986-1988. Pergantian Benny ke Try ini dilakukan saat situasi politik memanas menjelang penentuan nama wakil presiden (wapres). Soeharto menginginkan Ketua Umum Partai Golkar Letjen (Purn) Sudharmono sebagai calon wapres menggantikan Jenderal (Purn) Umar Wirahadikusumah. Namun, Benny tidak setuju Sudharmono menjadi wapres dengan berbagai alasan.


Sang ajudan Try Sutrisno memang sudah diperkirakan akan menjadi pucuk pimpinan TNI atau pangab periode 1988-1993. Ia juga merangkap menjadi Kepala Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakostanas) yang menggantikan lembaga Kopkamtib. Karier militer Try tergolong cemerlang. Ia menjadi alumni Akmil Bandung 1959 pertama yang berhasil meraih bintang empat.


Ia, antara lain, pernah menjadi komandan batalion zeni, ajudan Presiden Soeharto, kasdam Udayana. Pangdam Sriwijaya, pangdam Jaya, wakil KSAD, dan puncaknya KSAD. Dari sisi antropologi sosial budaya, Try tergolong sangat kuat karena ia Muslim dan dari suku Jawa (Timur). Namun, ia diperkirakan tidak akan mengkhianati Soeharto, apalagi ia empat tahun menjadi ajudan Presiden Soeharto.


Selanjutnya pada 1993, Try digantikan Jenderal Edi Sudradjat, yang sebelumnya menjadi KSAD pada 1988-1993. Namun, Edi harus merelakan jabatan itu yang hanya diembannya selama tiga bulan. Edi harus pensiun pada usia 55 tahun. Presiden Soeharto tidak memperpanjang usia pensiunnya. Selanjutnya, Edi hanya diserahi tugas sebagai menhankam menggantikan Benny Moerdani.


Padahal, Edi adalah jenderal yang sangat matang dan berasal dari pasukan komando. Ia juga lulusan terbaik Akmil Magelang 1960. Edi juga pernah menjadi pangkopur Linud Kostrad, pangdam Bukit Barisan, pangdam Siliwangi, asops Kasum TNI, wakil KSAD, dan KSAD.


Walau dari sisi karier militer mumpuni, begitu juga dari segi agama, Edi beragama Islam. Namun, ia bukan orang Jawa. Edi kelahiran Jambi, ayahnya berasal dari suku Sunda, Jawa Barat.


Sebagai pengganti Edi Sudradjat adalah Jenderal Feisal Tanjung yang sebelumnya kasum TNI. Nama Tanjung juga mengejutkan karena calon kuat sebelumnya adalah KSAD saat itu, Jenderal Wismoyo Arismunandar. Tanjung memang lebih senior dari Wismoyo. Tanjung merupakan lulusan Akmil 1961, sedangkan Wismoyo lulusan Akmil 1963.


Nama Tanjung mencuat tatkala menjadi Komandan Seskoad. Ia dipercaya Presiden Soeharto menjadi ketua Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk kasus Santa Cruz 1991. Ia kemudian dipromosikan menjadi kasum TNI.


Sebelumnya, ia juga pernah menjadi komandan Brigif Linud 17 Kostrad, komandan Pusat Kesenjataan Infanteri, dan pangdam Tanjungpura. Tanjung yang beragama Islam dan kelahiran Tarutung, Sumatra Utara, itu dianggap tidak akan mengganggu stabilitas kekuasaan Presiden Soeharto.


Terakhir, pada akhir masa jabatannya sebagai presiden, Soeharto menunjuk KSAD Jenderal Wiranto sebagai menhankam/pangab. Wiranto merupakan lulusan Akmil 1968 dan tergolong perwira yang melejit karier militernya selepas menjadi ajudan Presiden Soeharto pada 1987-1991. Setelah itu, ia menjadi kasdam Jaya, pangdam Jaya, panglima Kostrad, dan KSAD. Sama seperti Try Sutrisno, Wiranto juga dianggap akan menunjukkan loyalitasnya kepada Soeharto.

No comments:

Post a Comment

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...