Photo: republika.co.id |
Kumpulan tulisan dan liputan sosial, politik, ketahanan dan keamanan negara
29 June 2023
Prabowo Harus Mundur Sebagai Menhan Jika Maju Dalam Pilpres
Capres Tolak Mundur Sebagai Pejabat Negara, Timbulkan Konflik Kepentingan
Photos: istockphoto.com |
Jika pejabat negara akan maju dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), namun menolak mengundurkan diri, akan menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan negara. Sulit dibedakan posisi sebagai pejabat negara atau bakal calon presiden atau wakil presiden (capres/cawapres).
Menjadi bias, apakah Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan atau sebagai bakal capres? Apakah Ganjar Pranowo sebagai gubernur atau sebagai bakal capres? Jika sebagai Gubernur Jawa Tengah, mengapa banyak beraktivitas di Jakarta? Ini yang disebut sebagai konflik kepentingan.
Contohnya, jelang pilpres 2014 Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan maju sebagai bakal cawapres, mengundurkan diri sebagai menteri kabinet. Saat itu Hatta Rajasa didampingi bakal capres Prabowo Subianto menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai menteri.
Apa yang dilakukan Hatta Rajasa pada 2014 lalu, mestinya sekarang diikuti Prabowo, Ganjar maupun para menteri yang akan mengikuti kontestasi pilpres. Apa yang dilakukan Presiden SBY mestinya juga ditiru Pesiden Jokowi. Tirulah yang bagus dan bukan berkelit mencari celah.
Contoh baik lainnya, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala daerah. Alasannya, Viktor akan maju sebagai anggota DPR periode 2024-2029 dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Pengunduran diri Viktor Laiskodat sebagai Gubernur NTT, karena persyaratan untuk maju sebagai caleg. Itu kan bagus dan bisa menjadi contoh baik. Mengapa tidak diikuti Ganjar.
Memang, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan menteri yang ingin maju sebagai capres atau cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya. Putusan ini berdasarkan permohonan dari Partai Garuda yang menguji Pasal 170 ayat (1) Undang Undang tentang Pemilu.
Keputusan MK yang ambigu, karena tidak sepenuhnya dikabulkan. Apalagi uji materi itu diajukan partai di luar parlemen dan partai itu tidak memiliki menteri. Dalam keputusan itu tetap dengan catatan harus mendapatkan izin dari Presiden. Masalahnya justru di sini, jika presiden bersikap tidak netral, atau cawe-cawe karena memiliki kandidat untuk pilpres, bagaimana?
Conflict of Interest
Kepentingan pribadinya tidak akan bisa dihindari. Termasuk menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik praktisnya dalam meraih kekuasaan. Cara meraih kekuasaan seperti ini tidak elok dari segi etika politik.
Dalam Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan konflik kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan keputusan dilatari kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi, seperti ingin menjadi presiden atau wakil presiden, masuk dalam kategori konflik kepentingan.
Conflict of interest itu akan berujung pada gratifikasi atau suap untuk meraih kekuasaan. Maka kelemahan sistem jika pejabat negara menolak mundur saat maju dalam kontestasi pilpres, harus diperbaiki.
Mana mungkin, pejabat negara yang juga berperan sebagai bakal capres maupun cawapres bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen, dan akuntabel. Jelas kental sekali niat politiknya untuk meraih kekuasaan daripada menuntaskan pekerjaan utamanya sebagai pejabat negara dan pelayan masyarakat.
Pejabat negara itu, setidaknya harus mengutamakan empat hal. Pertama, bekerja untuk kepentingan publik dan bukan bekerja memikirkan keuntungan pribadi dari jabatannya. Kedua, menciptakan keterbukaan dalam penanganan dan pengawasan, sehingga memiliki integritas tinggi. Ketiga, bertanggungjawab dan menjadi contoh teladan. Keempat, mampu menciptakan budaya kerja yang menolak konflik kepentingan.
Jika empat hal itu tidak sanggup dilaksanakan, sebaiknya tidak usah berpikir untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, seperti presiden atau wakil presiden.
/sgo
Seniman Butet Jangan Ikuti Gaya Lekra yang Aktif Lakukan Propaganda Politi
Photo: Butet Kertaredjasa membacakan puisi di peringatan Bulan Bung Karno di GBK. [Twitter] |
Marketing Politik Haji Anies dan Haji Ganjar Menyejukkan
Photo: 2 Bacapres Berhaji |
Beredar foto viral pertemuan dua bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo tampil bersama menggunakan pakaian ihram di sela rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Mekah, Arab Saudi, kemarin. Pertemuan itu memang tidak membahas masalah politik. Namun pertemuan dua bakal capres itu menjadi marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air.
Memang sama sekali tidak membahas masalah politik. Tapi pertemuan dua tokoh di Tanah Suci Mekah itu dalam perspektif komunikasi politik merupakan marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air.
Menyejukkan, karena pertemuan itu dapat menurunkan tensi politik sekaligus meniadakan fragmentsi politik yang berpotensi menimbulkan gesekan di antara para pendukung fanatik para kandidat bakal capres tersebut.
Marketing politik terhadap dua tokoh itu bertujuan mengemas pencitraan dalam kontestasi pemilihan presiden kepada masyarakat luas yang akan memilihnya. Tujuan marketing dalam politik sangat membantu partai politik atau koalisi politik dalam mengenalkan tokohnya kepada masyarakat.
Ummat Islam
Sasaran marketing politik dalam foto kedua tokoh yang viral itu, tidak lain adalah ummat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Ini menyejukkan sekaligus untuk menetralisasi agar tidak terjadi polarisasi yang dapat menimbulkan perpecahan menjadi sel-sel politik yang tidak sehat.
Polarisasi yang tercipta selama ini, Si A dipersepsikan lebih nasionalis. Sedangkan Si B lebih religius. Bahkan ada dikotomi Islamis dan Nasionalis. Seolah-olah jika Islam maka tidak nasionalis. Sedangkan jika nasionalis, kurang ke-Islam-annya.
Isu politik yang ingin dikemas dalam marketing politik tersebut, mereka dipersepsikan sebagai tokoh yang cukup religius, karena sedang menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni menunaikan ibadah haji. Sehingga bagi tim suksesnya peristiwa di Tanah Suci memiliki segmentasi, target, serta posisi dalam marketing politik.
Dalam teori marketing politik, segmentasi yang disasar dalam foto yang viral itu, tentu saja pemilih pemeluk Islam. Segmentasi sangat diperlukan untuk menyusun program kerja tim pemenangan kandidat, terutama cara komunikasi politik dan membangun interaksi politik dengan masyarakat.
Tanpa segmentasi, partai politik akan kesulitan dalam penyusunan pesan politik, program kerja politik, kampanye politik, sosialisasi politik, dan produk politik.
Targeting politik memiliki standar jumlah dan besaran pemilih, wilayah, penduduk atau populasi yang dapat menjadi penyumbang suara terbanyak pada pemilihan umum. Sehingga target politik memerlukan bantuan tokoh penting yang dapat membentuk opini publik.
Jadi dalam marketing politik, memerlukan aktor politik yang dapat menjadi opinion leader dalam membentuk opini publik.
Sedangkan positioning politik dalam marketing politik, dapat membentuk image (citra) yang ditanamkan kepada pemilih, bahwa kandidatnya mudah diingat para pemilih. Sehingga membentuk citra politik memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Image politiknya, Haji Anies atau Haji Ganjar layak dipilih sebagai presiden, karena dekat dengan kalangan Islam. Hal ini harus terus dibangun dalam jangka panjang. Sebab kesan positif itu membutuhkan konsistensi dalam jangka waktu yang lama.
/sgo
19 June 2023
Logika Politik Terbalik Jokowi
Photo: Paradox by Capped X (pexels.com) |
Jika mengamati pernyataan Presiden Jokowi, maka realitas politiknya bisa berbanding terbalik dengan pernyataannya. Karena itulah pahami Jokowi dengan logika politik terbalik.
Artinya, implemetasi berpolitik model Jokowi mengabaikan tindakan etis. Padahal seharusnya tindakan politik mesti dibarengi dengan etika politik. Hal ini penting, agar tidak menimbulkan sensibilitas sosial politik dan rakyat tidak merasa dibohongi dengan pernyataan politik Jokowi yang menggunakan logika terbalik.
Beberapa contoh bisa dijadikan acuan mengapa memahami Jokowi harus menggunakan logika politik terbalik, di antaranya:
Pertama; saat Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, dia mengaku tidak akan berpikir tentang pencalonan presiden. Tidak akan maju dalam pemilihan presiden, karena baru 1,5 tahun menjadi Gubernur Jakarta. Namun dalam kenyataannya secara diam-diam Jokowi melakukan komunikasi politik dengan partai politik dan organisasi massa untuk maju dalam pencalonan presiden. Akhirnya terbukti, walau baru menjadi Gubernur Jakarta selama kurang dari dua tahun saja (2012-2014), Jokowi maju dalam pemilihan presiden tahun 2014.
Kedua; Jokowi menegaskan anak-anak dan menantunya tidak akan terjun dalam politik pemilihan kepala daerah. Ternyata di balik pernyataan politik tersebut, keluarga Jokowi secara agresif melakukan kerja politik yang diduga melibatkan instrumen politik pemerintahan untuk memuluskan anaknya yakni Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo dan menantunya Boby Nasution menjadi Walikota Medan.
Kini putra bungsu Presiden Jokowi sedang bersiap mengikuti pemilihan walikota Depok untuk tahun 2024. Ini sekaligus bukti Jokowi sedang membangun dinasti politik. Kemungkinan Gibran Rakabuming Raka juga akan maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2024. Jika ini terjadi, Jokowi sesungguhnya sedang mempersiapkan putra mahkota ke depan menjadi Presiden Indonesia. Padahal Indonesia bukan negara kerajaan atau monarki, Indonesia adalah negara republik, Republik Indonesia.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi lebih buruk daripada yang dilakukan Presiden Soeharto. Setelah 30 tahun berkuasa, barulah Presiden Soeharto menempatkan anak pertamanya Siti Hardiyanti (Tutut Soeharto) sebagai Menteri Sosial pada 1998.
Begitu juga dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (AHY). Setelah tidak menjadi presiden, anak tertuanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017, namun kalah dari Anies Baswedan. SBY lebih fair dalam hal ini dibandingkan dengan Jokowi.
Ketiga; Jokowi melarang ketua umum partai politik atau pengurus pusat partai politiik rangkap jabatan sebagai menteri. Faktanya, ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua umum Partai Golkar, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Manoarfa dilantik menjadi Menteri pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
Keempat; Jokowi mengajak masyarakat Indonesia membenci produk asing. Kini nyatanya hampir semua sektor melakukan impor. Membuka keran impor untuk sejumlah komoditas yang bisa diproduksi dalam negeri. Padahal banyak sektor yang bisa dikapitalisasi.
Kelima; pada saat kampanye menjadi calon Presiden tahun 2014, Jokowi dengan bangga menyatakan jika terpilih menjadi presiden, menolak utang luar negeri. Pemerintahan Jokowi tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai rezim paling senang utang dengan capaian 7.879 triliun rupiah, per Maret 2023.
Artinya naik 3,2 kali lipat dari awal memerintah pada 2014. Sehingga setiap kepala rakyat Indonesia saat ini menanggung utang 28,7 juta rupiah. Naik dari posisi terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya 10 juta rupiah per kepala.
Masih banyak lagi pernyataan politik Presiden Jokowi yang tidak sesuai aturan main, prosedur, serta ketegasan dalam komunikasi politik. Akibatnya tidak ada keteladanan dalam bersikap politik. Rakyat dipaksa mengikuti politik imajinasi Jokowi, karena publik hanya disuguhi janji-janji politik yang tidak pasti. Ini pernyataan yang membuat bingung masyarakat Indonesia. Bertentangan dengan kenyataaan. Jangan salahkan jika rakyat memberi julukan sebagai presiden paradoks.
/sgo
16 June 2023
Prabowo dan Airlangga Berpotensi Kuat Menjadi Pasangan Pilpres Koalisi Besar
Photo: republika.co.id |
Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto berpotensi paling kuat menjadi pasangan bakal calon presiden (capres) dan bakal calon wakil presiden (wapres) jika terbentuk koalisi besar untuk maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024.
Secara realitas politik, koalisi besar hanya akan terwujud jika pasangan capres dan cawapresnya adalah Prabowo dengan Airlangga. Keduanya merupakan representasi dua partai besar hasil pemilu 2019 lalu, sekaligus pendukung pemerintahan Presiden Jokowi.
Kedua ketua umum partai tersebut sangat wajar jika dipasangkan berdasarkan perolehan hasil pemilihan umum (pemilu) 2019 lalu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berada di puncak dengan perolehan suara 19,33 persen.
Disusul Gerinda meraih 12,57 persen suara dan Golkar di posisi ketiga mendapatkan 12,31 persen. Sementara posisi keempat dan kelima diduduki Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapatkan 9,69 persen suara dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang meraih 9,05 persen suara.
Yang paling memungkinkan untuk bisa maju dalam pilpres, hanya dua komponen realitas politik. Pertama, partai politik yang perolehan suaranya besar. Mereka punya mesin politik yang bisa diandalkan untuk menggerakkan roda partai hingga ke basis konstituen di tingkat kecamatan. Biasanya diwakili ketua umum partai politik. Kedua, tokoh popular yang memiliki elektabilitas (keterpilihan) tinggi. Mereka bisa mendulang suara dari pemilih, khususnya swing voters (pemilih rasional).
Jika mengacu kepada tiga tokoh popular yang elektabilitasnya tinggi, ada pada Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan (non-partai). Jadi wajar jika mereka menjadi bakal capres dalam koalisi. PDIP sudah diwakili Ganjar. Selanjutnya Koalisi Perubahan dan Persatuan mengajukan nama Anies yang tidak berpartai. Sehingga wajar apabila Prabowo maju sebagai bakal capres dengan koalisinya.
Selanjutnya, untuk bisa menjadi bakal cawapres, kembali mengacu kepada dua komponen realitas politik, yakni partai yang memiliki perolehan suara besar dan tokoh popular yang memiliki elektabilitas tinggi. Jadi, koalisi besar hanya akan terwujud, apabila Prabowo dipasangkan dengan Ketua Umum Partai Golkar yang memiliki perolehan suara besar dibandingkan partai-partai lainnya.
Gerindra dan Golkar tentu saja lebih besar perolehan suaranya daripada PKB maupun PAN. Lagi pula PAN hanya memperoleh 6,84 persen suara. Maka KKIR yang terdiri dari Gerindra dan PKB akan diwakili Prabowo. Sedangkan KIB terdiri dari Golkar dan PAN akan diwaliki Airlangga sebagai ketua umum Golkar.
Sementara tokoh popular yang memiliki elektabilitas tinggi dari sejumlah survey untuk menjadi bakal cawapres, antara lain: Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Khofifah Indar Parawansa. Mereka inilah yang merasa punya kesempatan mendapatkan tiket politik untuk menjadi bakal cawapres selain ketua umum partai politik.
Namun, Ridwan Kamil maupun Khofifah lebih didorong untuk kembali maju dalam pemilihan gubernur di Jawa Barat dan Jawa Timur pada Pemilu 2024 mendatang. Sehingga persaingan untuk bisa menjadi bakal cawapres ada pada tiga nama, yakni Erick Thohir, Sandiaga Uno.
Apabila Koalisi Besar tidak terwujud, maka Golkar dan PAN bisa saja membuat poros koalisi baru dengan komposisi Airlangga mewakili Golkar sebagai bakal capres dan Zulkifli Hasan atau Erick Thohir mewakili PAN sebagai bakal cawapres.
/sgo
15 June 2023
PAN Bagai Layangan Putus Talinya
Photo: tribunnewswiki.com |
Dari dinamika politik terbaca dengan jelas, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan agresif menawarkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir untuk bisa dipasangkan sebagai bakal cawapres setidaknya di dua koalisi.
Asumsinya sejumlah survey menempatkan elektabilitas Erick berada dalam lima besar kandidat cawapres, sehingga punya harapan bisa dipasangkan sebagai bakal cawapres di beberapa koalisi.
Pertama, PAN menawarkan Erick untuk berpasangan dengan Ganjar Pranowo dari PDIP. Namun upaya itu ditolak secara halus oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri. Padahal Zulkifli Hasan sudah memindahkan daerah pemilihan (dapil) untuk dirinya sebagai caleg DPR dari Semarang, Jawa Tengah. Asumsi politiknya agar bisa bekerjasama secara politik dengan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah. Selama ini Zulkifli selalu menjadi caleg dari dapil Provinsi Lampung.
Kedua, setelah gagal mendapatkan lampu hijau dari PDIP, maka PAN kembali menawarkan Erick Thohir kepada Gerindra. Lagi-lagi upaya itu pun tidak mendapatkan respons positif dari Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra. Gerindra tentu saja khawatir kehilangan teman koalisinya, yakni PKB, apabila menerima Erick yang disodorkan PAN. Apalagi perolehan suara PKB di parlemen, lebih besar daripada PAN.
Ketiga, dari situ kemudian PAN berinisiatif untuk menawarkan kembali terbentuknya Koalisi Besar, tentu saja dengan harapan Erick Thohir tetap bisa mendapatkan posisi bakal cawapres dengan argumentasi elektabilitasnya bersaing ketat dengan Ridwan Kamil, Sandiaga Uno maupun Agus Harimurti Yudhoyono.
Jika koalisi besar terbentuk, Golkar dan PKB tentu akan bersikeras menolak tawaran PAN yang menyodorkan Erick Thohir. Golkar merasa lebih berhak daripada PAN. Toh Ridwan Kamil yang kini bergabung dalam Golkar pun tidak disodorkan menjadi bakal cawapres. Ridwan lebih diproyeksikan Golkar untuk kembali bisa menjadi Gubernur Jawa Barat periode kedua.
Demikian pula PKB yang sedari awal sudah satu tahun membentuk koalisi dengan Gerindra. Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum PKB sudah sedari awal menawarkan diri menjadi bakal cawapres. Namun, hingga kini belum direspons positif oleh Prabowo.
Jika saja Gerindra menerima Erick sebagai bakal cawapres berpasangan dengan Prabowo, PKB berpotensi meninggalkan Gerindra untuk bergabung dengan koalisi lainnya. Jadi memang rumit.
Ibaratnya, kini PAN bagaikan layangan yang putus talinya. Tak tahu ke mana arah politiknya. Menawarkan dagangannya yang belum laku-laku hingga saat ini. “Timbul pertanyaan, sebenarnya siapa ketua umum PAN? Zulkifli Hasan atau Erick Thohir? Maka, wajar jika publik berpendapat Erick seperti ketua umum luar biasa dari PAN.
/sgo
Posting Terkini
Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD
Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...
-
Foto: Republika Oleh Selamat Ginting Truk militer reo berwarna hijau, dengan posisi setir sebelah kiri, berhenti di depan rumah, Kompl...
-
Credit Photo: CNN Enzo Zenz Allie akhirnya resmi dilantik menjadi prajurit taruna (pratar) pada akhir Oktober 2019 lalu. Pemuda ketur...
-
Oleh: Selamat Ginting Jurnalis Pemerhati militer 24 April 2019 Sejumlah petinggi TNI aktif saat ini pernah menjadi anak buah langs...