11 July 2019

Telepon Merah Selamatkan Gajah


Dokumen Pribadi


Oleh Selamat Ginting

Jangan sampai jalan gajah, harimau, orangutan dan satwa lainnya dirusak hanya karena ambisi membangun jalan manusia. Jika ini terjadi, maka akan ada konflik satwa dengan manusia, karena habitatnya hilang.

Presiden Jokowi optimistis mega proyek jalan Trans Sumatera bisa selesai. Saat ini sejumlah ruas tol sudah dimulai pembangunannya dan menunjukkan progres yang positif.  Secara khusus Jokowi mengatakan wilayah Provinsi Riau menjadi wilayah yang paling diuntungkan dengan tersambungnya tol Trans Sumatera. 

“Yang dapat keuntungan yang paling banyak adalah siapa? Ternyata adalah Provinsi Riau. Karena selain jalan tol dari Lampung sampai Aceh, Riau berada pada tempat strategis, tetapi memiliki feeder jalan tol cabang yaitu ke Padang, Dumai, dan Sumut sehingga ini berada pada poros yang strategis," ujar Jokowi saat mengunjungi Riau, beberapa waktu lalu.

Dengan kembali terpilihnya Jokowi sebagai presiden periode 2019-2024, mega proyek jalan Trans Sumatra akan terus dilakukan dari Lampung hingga Aceh. Namun, mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, mengingatkan pemerintah agar pembangunan infrastruktur itu jangan sampai merusak ekosistem di Pulau Sumatra.

“Jangan sampai jalan gajah, harimau, orangutan dan satwa lainnya dirusak hanya karena ambisi membangun jalan manusia. Jika ini terjadi, maka akan ada konflik satwa dengan manusia, karena habitatnya hilang,” ujar Emil Salim saat acara halal bihalal Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI) di sebuah apartemen kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (2/7/2019) lalu.

Air Sugihan
Ia kemudian bercerita tentang ratusan gajah yang pernah tergusur dari habitatnya. Ketua Dewan Penasihat PKBSI itu mencoba mengeksplorasi daya ingatnya. Kali ini jarum jam diputar terbalik. Seperti lorong waktu, berputar 37 tahun lalu. Tepatnya pada akhir 1982. Profesor Doktor Emil Salim, merasa perlu kembali mengingatkan arti pentingnya lingkungan hidup. Bahkan belajar hidup dari satwa liar, yakni gajah.

Semula, kata Emil, ratusan gajah hidup tenang di Air Sugihan, Sumatra Selatan (Sumsel). Belakangan, mucul perkampungan baru dengan hadirnya sekitar 200 ribu jiwa transmigran. Termasuk penebangan atas nama hak pengusahaan hutan (HPH) pada 1982. 

Maka, pada suatu hari, jelang akhir 1982, ratusan gajah merangsek memasuki perkampungan transmigran. Perkampungan yang sebelumnya justru merupakan habitat gajah. Puluhan anggota TNI bersikap dan berencana menembaknya. “Lebih baik menyelamatkan nyawa manusia,” kata Panglima Kodam Sriwijaya. Kabar tersebut sampai ke telinga Presiden Soeharto. 

Emil Salim, ketika itu sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, segera melaporkan masalah tersebut kepada Kepala Negara di kantor presiden. Kisah bermula dari telepon Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat yang diterima Emil. Melaporkan gerombolan gajah akan ditembak tentara, karena akan melintasi perkampungan. 

Rombongan gajah itu sesungguhnya rutin ke laut untuk memenuhi kebutuhan garam tubuhnya. Sayang, ketika hendak kembali ke hutan, jalurnya sudah terpotong permukiman transmigran.

Setelah menerima laporan Emil Salim, Presiden Soeharto mengangkat telepon berwarna merah di mejanya. Ia menelepon Panglima Kodam Sriwijaya yang juga Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Daerah (Pangkopkamtibda) Sumsel, Brigadir Jenderal Try Sutrisno. “Try, batalkan rencana penembakan gajah-gajah. Cari jalan lain!” Dari ujung telepon, terdengar suara, “Siap, laksanakan!”

Soeharto pun meminta Emil agar memindahkan gajah-gajah itu. ”Wah, bagaimana caranya? Dalam sejarah dunia belum ada proyek pemindahan gajah,” jawab Emil kepada Soeharto.

Sang presiden tidak mau tahu dan meminta Emil bekerjasama dengan TNI dan instansi lain. Dibentuklah Satuan Tugas (satgas) Operasi Ganesha dipimpin Letnan Kolonel CPM I Gusti Kompyang Manila. Tugas mereka memindahkan 232 gajah dari Air Sugihan ke Lebong Hitam, Lampung, sejauh 70 kilometer.

Tim terdiri dari anggota militer dari Kodam Sriwijaya, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, beberapa transmigran, dan sejumlah tenaga ahli. Total jumlahnya sekitar 400 orang.

Saling melindungi
Lalu bagaimana caranya menggiring rombongan gajah? Komandan satgas mengusulkan agar tim membuat bunyi-bunyian dari berbagai benda dan alat musik untuk menggiring gerombolan gajah. 

Perjalanan sepanjang 70 kilometer harus melalui medan cukup berat, berupa rawa, hutan, serta sungai dengan lebar sekitar 60 meter. Belum lagi rombongan gajah yang tiba-tiba tidak mau bergerak, ketika ada anak-anak gajah terduduk dan tertidur, karena kelelahan.

“Ternyata dengan badan besar, gajah bisa berbaris teratur. Yang betina di depan dan di samping rombongan. Di bagian tengah berkumpul semua anak gajah dan di belakang berbaris gajah jantan. Sungguh luar biasa, mereka seperti manusia,” ujar Emil menceritakan konfigurasi rombongan gajah.

Ya, Emil mengakui mendapatkan pelajaran dan pengalaman luar biasa dalam perjalanan menggiring gajah. Seperti pasukan tentara yang berbaris dan saling melindungi dari ancaman musuh. 

Ketika menyeberangi sungai selebar 60 meter, misalnya, gajah-gajah dewasa berjajar di sungai membentuk jembatan. Lalu anak-anak gajah menyeberang di atas punggung gajah dewasa. ”Benar-benar ajaib,” tutur Emil dengan mata berkaca-kaca.

Tatkala gajah-gajah itu sampai ke tempat tujuan setelah berjalan selama 44 hari, menjadi momentum mengharukan. Para prajurit yang menggiring gajah pun terharu.  ”Semua menangis.”

Para prajurit menangis lagi ketika diundang ke Istana dan disalami Presiden Soeharto. ”Mengharukan, mereka yang biasa memegang senapan ternyata bisa menangis,” ujar mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim. 

Pada bagian akhir sambutannya, Emil berpesan kepada pemerintah. “Pemerintah harus mempertahankan ekosistem agar manusia tidak menjadi hewan,” kata Profesor Emil yang disambut tepuk tangan ketua umum PKBSI Rahmat Shah dan pengurus PKBSI lainnya. Hadir pula Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indra Eksploitasia.

/selamatgintingofficial

Senjata dan Kamboja di Lorosae

Foto: Republika (28/06/2019)

Oleh Selamat Ginting

Jelang Operasi Seroja, TNI justru sedang melikuidasi sejumlah satuan tempur dan bantuan tempur. Persenjataan TNI juga kalah modern dibandingkan senjata Fretilin.


Satuan tugas pengamanan perbatasan. Biasa disebut Satgas Pamtas. Bertugas di wilayah perbatasan Republik Indonesia (RI) –Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Jumat (21/6/2019) lalu, satgas menyita 102 pucuk senjata api, baik standar maupun rakitan

“Dari 102 senjata itu terdiri dari 96 pucuk senjata standar dan enam pucuk senjata rakitan. Adapun senjata standar itu terdiri dari 93 pucuk senjata laras panjang dan tiga pucuk senjata laras pendek,” ungkap Komandan Satgas Pamtas RI- RDTL, Batalyon Infanteri (Yonif) Mekanis 741/GN Mayor (Infanteri) Hendra Saputra di Markas Komando Satgas, Eban, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Senjata yang disita TNI itu, mengingatkan penulis pada peristiwa 1976. Saat itu, ayah penulis membawa beberapa karung berisi senjata api ke rumah dinas. Senjata itu hasil operasi di wilayah Timor Portugis pada 1975-1976. Wilayah itu belum bernama Timor Leste maupun Timor Timur. Senjata itu dibawa setelah terjadinya integrasi Timor Timur (17 Juli 1976) menjadi bagian dari Indonesia.

Ayah penulis, Lettu (Zeni) S.Ginting, lulusan Secapazi (Sekolah Calon Perwira Zeni) 1967. Ia sebagai perwira seksi logistik (pasilog) Detasemen Zeni Satuan Tugas Gabungan (Denzi Satgasgab) Komando Tugas Gabungan (Kogasgab). Hanya sekitar satu hari senjata-senjata laras panjang itu berada di rumah dinas Mess Perwira Zeni, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Esoknya diserahkan ke Markas Komando Kostrad.

Dalam operasi militer di sejumlah tempat, biasanya memang menyisakan hasil rampasan senjata. Kondisi yang sama dalam kasus mantan Komandan Jenderal Kopassus, Mayjen (Purn) Soenarko. Sepucuk senjata yang dikirim dari Aceh adalah senjata hasil rampasan dari Angkatan Gerakan Aceh Merdeka. Senjata-senjata itu biasanya akan disimpan atau dierahkan ke satuan-satuan komando utama militer terdekat.

Resimen Pertempuran
Denzi Satgas merupakan gabungan dari satuan-satuan yang berada di bawah dua Resimen Zeni Konstruksi (Menzikon) Direktorat Zeni Angkatan Darat (Ditziad)  dan Resimen Zeni Tempur (Menzipur) Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Sebagai Komandan Denzi Satgas, Mayor (Zeni) Ernest G Rumayar, alumni Akademi Militer (Akmil) Bandung 1962.

Satuan itu tergabung dalam Resimen Tim Pertempuran (RTP) 16/VIII. Satuan lainnya yang tergabung dalam RTP-16 adalah Kompi Zeni Tempur (Ki Zipur) /VIII, Kompi Kavaleri Intai (Ki Kav Tai) /VIII, Baterai Artileri Pertahanan Udara  (Rai Arhanudri)/VIII, Yon Artileri Medan (Armed)-4 /VI, Yonif 126, Yonif 501, Yonif 721, Satgas 16/II, Yonif 403, dan Yonif 305.

Satuan itu melakukan operasi di setor barat. Wilayah pertempurannya berada di Suai, Ermera, dan Maliana. Hal itu terungkap dalam buku Operasi Seroja Jilid II B 1976. Mereka bagian dari pasukan gabungan yang menjalankan Operasi Seroja pertama. Perintah tugas melaksanakan Operasi Seroja, sesungguhnya sejak 31 Agustus 1975. Sebelum dikirim ke perbatasan Timor Portugis, mereka mengikuti sejumlah latihan gabungan. Bahkan beberapa hari sebelum berangkat, masih mengikuti latihan di wilayah kesatuan masing-masing. 

Sebelum pemerintah memutuskan operasi di Timor Portugis, sesungguhnya TNI sedang melakukan rencana perampingan. Di satuan zeni, misalnya; kompi-kompi alat berat serta kompi dump truk maupun Yonzikon 15 Menzikon Ditziad dilikuidasi. Begitu pula Yonzipur 7 Menzipur Kostrad serta Kizi 3 Harlap Kostrad dilikuidasi. Kostrad menyisakan Yonzipur 9 Para dan Yonzipur 10 Amfibi. Begitu juga dengan sejumlah satuan-satuan infateri, kavaleri, armed, dan arhanud. Belum lagi persenjataan TNI saat itu masih banyak satuan yang menggunakan senjata laras panjang SP-1 buatan Pindad. Senjata ini modifikasi dari BM-59 yang kualitasnya belum bagus. Sering macet, popornya mudah patah, laras mudah lepas dan sangat panas untuk tembakan rentetan.
 
Kopasandha, satuan yang kini bernama Kopassus, serta Marinir dan Kopasgat (kini Korpaskhas)  umumnya menggunakan AK-47. Senjata M-16 baru digunakan Kostrad beberapa bulan sebelum Operasi Seroja. Senjata tersebut baru dibeli dari Amerika Serikat. Di pihak yang akan dihadapi, Falentil atau faksi militer dari Fretilin, justru mendapatkan dukungan senjata dari Tropas, pasukan militer Portugal. Senjata mereka standar NATO.

Sukarelawan
Kogasgab Seroja merupakan komando operasionil Departemen Pertahanan dan Keamanan dalam menyelesaikan masalah Timor Portugis. Pengiriman pasukan sebagai sukarelawan dengan sasaran mendukung perjuangan rakyat Timor Portugis berintegrasi dengan Indonesia. Sebagai sukarelawan, mereka harus melepas atribut militernya.

Tugas awal yang disebutkan adalah menjaga  di wilayah perbatasan. Mencegah serangan dan penyusupan yang dilakukan Fretilin, pasukan militer Timor Portugis yang berhaluan komunis. Sehingga  operasi ini bersifat tertutup dan sebatas operasi darat saja.  Satuan udara dan laut juga diperbantukan, meskipun masih secara terbatas. Para sukarelawan ini menggunakan pakaian jins dan potongan rambut tidak dicukur layaknya militer.

Perlahan-lahan Pemerintah Indonesia mengirimkan pasukan tambahan ke wilayah Lorosae atau tanah matahari terbit. Mereka melebur sebagai sukarelawan yang membantu pasukan gabungan Timor Portugis. Kali ini sudah melibatkan tiga matra: darat, laut, udara, ditambah kepolisian.

Kekuatan pasukan yang melaksanakan operasi perkuatan perbatasan awalnya hanya berjumlah 1.950 orang. Dalam struktur organisasinya, Kogasgab Seroja dipimpin oleh Brigjen Soeweno, komandan Pusat Sandi Yudha Lintas Udara Kobang Diklat TNI-AD.

Sukarelawan Kogasgab Seroja bergabung dengan masyarakat pendukung integrasi Indonesia. Bersama dengan tokoh-tokoh partai yang bersangkutan. Sukarelawan Indonesia ini kemudian dijadikan sebagai pasukan pemukul dari partai UDT dan Apodeti. Masuknya sukarelawan Indonesia membuahkan hasil. Mereka pun sudah berani menghadapi Falintil, pasukan bersenjatanya Fretilin. Inilah hasil latihan militer singkat dalam Operasi Komodo.

P3AD
Dalam rangkaian awal  Operasi Seroja, sebagai Komandan Tim Pengendalian, Mayjen Benny Moerdani dan Wakil Komandan tim, Brigjen Dading Kalbuadi. Sedangkan Panglima Kogasgab Seroja, Brigjen Soeweno. Ketiganya alumni Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) Bandung 1952. Cikal bakal perwira dan pelatih pasukan komando yang kini disebut Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Itulah era lulusan P3AD menjadi elite pengendali Operasi Seroja pertama, pada 1975-1976. Komandan-komandan di bawahnya, seperti komandan brigade atau resimen umumnya dipegang lulusan Akmil Breda Belanda 1955 dan Akmil Bandung 1954- 1957. Sedangkan para komandan batalyon umumnya lulusan Akmil Bandung 1958-1961 dan Akmil Magelang 1960-1961. Di bawahnya, seperti wakil komandan batalyon maupun komandan detasemen dipegang lulusan Akmil Bandung (zeni, perhubungan dan peralatan) maupun Akmil Magelang (infanteri, kavaleri, artileri) 1962-1964.

Mulai lulusan 1965 semuanya lulusan Akmil Magelang. Hal ini setelah Akmil Bandung diintegrasikan ke Magelang sejak 1961 dan ditutup pada 1964. Akmil Bandung, awalnya bernama Akademi Genie Angkatan Darat, kemudian menjadi Akademi Zeni Angkatan Darat (Aziad), Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad), terakhir Akademi Militer (Akmil) jurusan teknik (jurtek). Menghasilkan sembilan angkatan, sejak 1956-1964.

Senjata Fretilin
Kembali ke soal senjata dalam operasi Seroja 1975-1976. Saat itu, sebagian senjata Fretilin faksi militer Timor Portugis berasal dari senjata yang ditingkalkan pasukan elite Portugal, Tropas. Beberapa persenjataan bahkan lebih modern daripada yang digunakan ABRI/TNI. Hal itu seperti dituliskan Bayu Syahputra Deparind pada AMMO chambers, Maret 2018 lalu.

Umumnya para komandan militer Fretilin membawa pistol Walther P-38/P-1. Pistol pabrikan Walther Arms Jerman merupakan pistol standar militer Portugal. Pistol semi otomatis dengan kaliber 9×19 mm. Pasukan Fretilin juga mempergunakan senapan bolt action mauser Kar98/ 937 Portuguese contract. Senapan berkaliber 7,92×57 mm. Selain itu Fretilin mempergunakan senapan mauser swedish yang mempergunakan kaliber peluru 6,5×55 mm. Ada pula SMG M948 FBP, Sub Machine Gun buatan Portugal dengan kaliber amunisi 9×19 mm.

Kemudian yang banyak diandalkan dari Fretilin adalah Battle Rifle G3. Penampilan senapan G3 ditambah kemampuan bekas militer Tropas menjadi monok bagi prajurit TNI. Saat itu masih banyak satuan TNI yang membawa SP1 Pindad. Tentu saja SP-1 tak mampu bersaing dengan battle rifle G-3 berkaliber 7,62×41 mm. G3 memiliki kemampuan tembakan semi dan full otomatis. Industri senjata dalam negeri Portugal, Fabrica do Braco do Prata memproduksi G3 dalam jumlah besar untuk keperluan sendiri. Senjata ini merupakan service rifle di angkatan bersenjata Portugal selama puluhan tahun.

Mortir infanteri
Selain senjata laras panjang, Fretilin juga memiliki mortir infanteri. Beberapa tipe senapan mesin dan mortir yang dipergunakan Fretilin dalam menghadapi TNI saat itu, antara lain: senapan mesin ringan produk Compagnie Madsen A/S dari Denmark. Salah satu senapan mesin malam yang dipergunakan pasukan Portugis. Dirancang pada 1896. Madsen LMG salah satu senjata yang paling eksis pada Prang Dunia I, hingga konflik era 1970 dan 1980-an. 

Ada pula senapan mesin multi fungsi atau senapan mesin regu, MG-34. Senjata ini mempergunakan amunisi 7,92×57 mm.  Mauser ini dianggap sebagai senjata paling ‘advanced’ untuk jenisnya pada masa itu. Portugal juga mengunakan GPMG dalam kasus Timor-Timur . kemudian senjata ini jatuh ke tangan pasukan Fretilin.

Angkatan Bersenjata Portugal mengadopsi dan menggunakan MG-42 GPMG di daerah koloninya. Fretilin menggunakan senjata ini untuk menggempur TNI yang masuk ke Timor-Timur. Senjata hasil adopsi itu berasal dari MG-34. Mempergunakan amunisi berkaliber 7,92×57 mm, mauser menjadi monster bagi pasukan Sekutu saat berhadapan dengan tentara Jerman pada Perang Dunia II. 

Mortir buatan Amerika Serikat M2 60 mm dikembangkan dari versi lebih beratnya yakni M1 yang mengusung kaliber 81mm. M2 untuk memberi bantuan tembakan yang lebih ringan untuk tingkat  kompi. Dengan jangkauan tembakan hingga 1,8 km, senjata ini dioperasikan pasukan Portugal di Timor Timur. Kemudian menjadi andalan Fretilin melawan TNI. 

Ada lagi Morteirette de 60 mm. Mortir buatan Portugis ini terbuat dari bahan kulit yang kuat. Sangat mobile dan bisa cepat memberikan reaksi bantuan tembakan. Selain itu Fretilin juga memiliki sejumlah granat.  Mereka pun memiliki senjata andalan Korps Zeni, seperti ranjau darat.

/selamatgintingofficial

Air Kaca Jenderal Tua

File lawas, diterbitkan di Republika Online: Jumat 29 Apr 2016 18:00 WIB

Foto: Tirto.ID
 
Oleh: Selamat Ginting

Apa yang dikhawatirkan Arthur tentang Cina, akhirnya terbukti hingga sekarang.


Pada 19 April 1951 atau 65 tahun silam, seorang jenderal legendaris, Douglas Mac Arthur mengucapkan kata-kata terkenal di depan Kongres Amerika Serikat. Ia menutup karier militernya selama 52 tahun dengan mata berkaca-kaca.

"Old soldiers never die, they just fade away". Prajurit tua tidak pernah mati, mereka hanya memudar. Itulah kalimat lantang dari veteran Perang Dunia I dan II tersebut.

Dalam diri Douglas Mac Arthur memang mengalir darah militer. Ia lahir di asrama tentara di Little Rock, Arkansas, pada 26 Januari 1880. Terlahir dari keluarga militer dan politikus. Ayahnya, seorang perwira militer, Letnan Jenderal Arthur Mac Arthur, Jr. Sedangkan kakeknya adalah Arthur Mac Arthur, Sr, seorang politikus Amerika.

Douglas Mac Arthur kemudian masuk Akademi Militer West Point pada 1898. Ia menjadi lulusan terbaik dari 93 kadet pada Juni 1903. Dalam ketentuan Angkatan Darat Amerika Serikat, lulusan terbaik dimasukkan dalam Army Corps of Engineers atau Korps Zeni. Ia pun mengawali kariernya dengan pangkat Letnan Zeni AD di Batalion Zeni Konstruksi Tempur.

Misi pertamanya adalah pengintaian dalam pertempuran Veracruz yang terjadi pada 1914. Pertempuran tersebut dalam sejarah ditulis sebagai pemberontakan Mexico atas AS. Kariernya terus menanjak hingga menjadi Kolonel Zeni dengan jabatan kepala Staf Divisi Rinbow.

Pada Perang Dunia I, pangkatnya naik menjadi brigadir jenderal. Ia dinominasikan meraih Medal of Honor. Selama perang ini, ia terlibat dalam Pertempuran di Reim (Battle of Reims/Battle of the Marne), pertempuran Saint-Mihiel dan pertempuran Meuse-Argonne atau yang dikenal juga dengan Battle of the Argonne Forest.

Seusai perang, ia ditugaskan sebagai pengawas termuda dalam sejarah Akademi Militer AS. Kemudian menjadi Komandan Brigade Infanteri 23 Divisi Filipina pada 1924-1925. Dalam usia 44 tahun, ia dipromosikan menjadi mayor jenderal termuda dalam Angkatan Darat AS. Sebagai Komandan Korps ke IV di Atlanta.

Pada 1930, ia dipercaya menjadi kepala Staf AD dalam usia 50 tahun. Menjadi KSAD selama lima tahun.  Setelah itu, diminta menjadi penasihat militer Presiden AS. Lalu Presiden Filipina Manuel Quezon memintanya menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Filipina. Sekaligus membentuk Akademi Militer Filipina.

Pada awal invasi Jepang di Filipina, Jenderal ini sempat terdesak hingga mendirikan markas pertahanan terakhir di Bataan dan Cooregidor. Kemudian Washington memerintahkannya bergeser ke Australia. Saat itu ucapannya yang terkenal adalah "I came out of Bataan and I shall return". 

Walaupun sempat terusir dari Filipina, atas perannya menahan invasi Jepang di Filipina, Mac Arthur dianugerahi Medal of Honor yang telah sempat dua kali dinominasikan sebelumnya.

Out of the Box
Pada 31 Desember 1937, Mayor Jenderal Douglas Mac Arthur resmi pensiun dari Angkatan Darat AS. Namun, hal yang tak terduga muncul. Jepang menyerang Port Harbor di Hawai pada 7 Desember 1941. Presiden Roosevelt pun tidak punya pilihan lain. 

Ia memanggil kembali Mac Arthur yang sudah pensiun 3,5 tahun lalu. Surat pensiunnya pun dicabut dan Arthur diberikan kenaikan pangkat menjadi letnan jenderal. Sekaligus menjadi panglima AD kawasan Timur Jauh untuk melawan Jepang. Cara berpikir Arthur dianggap out of the box, tetapi hasilnya selalu gemilang.

Dari Australia, Arthur bersama Laksamana Chester W Nimitz merancang operasi kontra ofensif terhadap Jepang. Titik balik pertama adalah 'Battle of Midway' yang terjadi pada 1942. Dari kode sandi yang berhasil dipecahkan Amerika, diketahui detail rencana dan kekuatan ofensif Jepang yang saat itu bertujuan menduduki Port Moresby.

April 1942, ia dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal bintang empat sebagai panglima tertinggi Sekutu wilayah Pasifik Barat Daya. Berturut-turut Arthur berhasil menguasai New Guinea, rangkaian kepulauan Pasifik, Morotai, dan merebut kembali Filipina. Arthur kemudian diangkat sebagai panglima Angkatan Darat Amerika di Pasifik.

Rencana untuk menduduki tanah Jepang kemudian disiapkan, namun Jepang keburu menyerah. Ia memimpin upacara penyerahan Jepang di atas kapal perang USS Missouri pada 2 Desember 1945. 

Arthur kemudian terlibat dalam Perang Korea pada 1950. Memimpin pasukan perdamain PBB dan memukul mundur pasukan Korea Utara yang dibantu Cina. Ia mengusulkan rencana merebut beberapa wilayah di Cina, tetapi ditolak oleh Presiden Harry S Truman. 

Arthur kemudian ditarik kembali ke Washington. Puncaknya, pada 11 April, 1951, Presiden Truman mencopot Mac Arthur dari struktur kemiliteran dan dipensiunkan kembali dalam usia 71 tahun. Apa yang dikhawatirkan Arthur tentang Cina, akhirnya terbukti hingga sekarang.

Jenderal legendaris itu meninggal pada 5 April 1964 dalam usia 84 tahun. Dunia mengenang prestasinya dalam beragam pertempuran dan teater perang serta pidato-pidatonya yang membekas dalam sanubari militer. Beberapa relief didirikan untuk menghormati dan mengenangnya, termasuk patung Jenderal Bintang Lima Mac Arthur di Akademi Militer West Point.

Kenangannya di Morotai pun tersusun dalam Museum PD II bekerja sama dengan Yayasan Douglas Mac Arthur. Begitu juga dengan Pulau Zum-zum. Pulau kecil yang dapat ditempuh 10 menit berperahu ke arah barat dari Daruba. Di situ, terdapat monumen Mac Arthur. Sayang kondisi tidak terawat. Ada patung torso Arthur, tapi sudah mengelupas. 

Ada pula Air Kaca yang merupakan sebuah ceruk mata air alami di Lingkungan Joubela Desa Totodoku, Kabupaten Pulau Morotai. Mata air ini memiliki peran penting bagi Mac Arthur dan anak buahnya. Beningnya mata air bagaikan cermin. Situs sejarah ini pun tak sebening namanya. Letaknya tak jauh dari Bandar Udara Pitu, basis pertahanan Sekutu yang kini dikenal sebagai Bandara Leo Wattimena.

Air kaca, seperti itu pula saat Mac Arthur memberikan ucapan perpisahannya sebagai prajurit militer. "Prajurit tua tak pernah mati, dia hanya memudar," katanya dengan mata berkaca-kaca.

(Selamat Ginting, berbagai sumber)

09 July 2019

Lompat Katak Si Zenis

File lawas, released di Republika Online: Senin 15 Desember 2014
Oleh: Selamat Ginting
 
Morotai yang kini menjadi kabupaten di wilayah Provinsi Maluku Utara pernah menjadi markas militer sekutu yang dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur. Morotai bagian barat daya dijadikan basis untuk membebaskan Filipina dari aneksasi tentara Jepang.
 
Morotai adalah sebuah pulau kecil yang terletak di Halmahera Utara, Kepulauan Maluku. Sebagian besar pulau masih tertutup hutan lebat. Jepang menduduki Morotai pada awal 1942, tetapi tidak menempatkan pasukannya di Morotai ataupun mengembangkannya.

Pada awal 1944 Morotai muncul sebagai wilayah yang penting bagi militer Jepang ketika mulai mengembangkan pulau-pulau di Halmahera sebagai titik fokus untuk mempertahankan Filipina.

Pada Mei 1944 divisi ke-32 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang tiba di Halmahera untuk mempertahankan pulau dan sembilan landasan udaranya. Pertempuran Morotai terjadi pada 15 September 1944 saat  akhir Perang Dunia (PD) II. 

Pertempuran dimulai ketika tentara Amerika Serikat dan Australia yang dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur mendarat di Morotai bagian barat daya. Pertempuran terus berlanjut hingga akhir perang dengan tentara Jepang menderita korban jiwa yang besar akibat penyakit dan kelaparan. 

Ya, jalan berlapis koral di Morotai merupakan peninggalan Korps Zeni Angkatan Laut Amerika Serikat. Jalan itu masih kukuh dan menjadi tumpuan utama transportasi di Pulau Morotai. Itulah jalan warisan Jenderal Douglas Mac Arthur

Setelah Jepang dan Amerika Serikat, tentara Indonesia pun menjadikan Morotai sebagai pangkalan untuk menyerang lawan. Dimulai saat penumpasan PRRI-Permesta hingga Trikora. Korps Zeni Angkatan Darat Indonesia membangun pangkalan darurat di lautan Morotai untuk landasan pesawat tempur yang akan menyerang wilayah Papua yang diduduki tentara Belanda. 

Siapa sesungguhnya Douglas Mac Arthur? Ia adalah seorang jenderal dari Korps Zeni Angkatan Darat Amerika Serikat. Dari Morotai wilayah Indonesia, ia kemudian ditugaskan untuk memimpin invasi ke Jepang pada November 1945. Sekaligus, menerima penyerahan Jepang kepada Sekutu pada 2 September 1945. Mac Arthur mengurus pendudukan Jepang dari 1945 sampai 1951 dan dianggap berjasa menerapkan berbagai perubahan demokratis.
 
Ia pun memimpin tentara PBB di Korea dari 1950–1951 melawan invasi Korea Utara. Mac Arthur dicabut dari jabatan pemimpin oleh Presiden Harry S Truman pada April 1951 karena menentang kebijakan Truman dalam Perang Korea di depan umum. Mac Arthur bertempur dalam tiga perang besar, PD I, PD II, dan Perang Korea.
 
Membahas strategi perang Mac Arthur saat di Morotai, dunia terhenyak ketika ia memperkenalkan Leapfrog Strategy atau strategi lompat katak saat bertugas mengawal pangkalan Amerika di Pasifik. Pasifik merupakan kawasan yang unik karena hampir 90 persen merupakan lautan luas dengan pulau-pulau kecil dan sedang di dalamnya.
 
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi di wilayah kontinen di mana pergerakan pasukan dapat dengan mudah dilakukan melalui jalan darat atau udara. Lautan luas tentu menyulitkan pergerakan pasukan karena membutuhkan energi yang luar biasa untuk merengkuhnya satu demi satu. Ada beberapa pelajaran menarik yang dapat diambil dari strategi tersebut. 
 
Pertama, ketika tentara Jepang semakin kuat dan mendekati pangkalannya di Filipina, Mac Arthur segera memindahkan pasukannya ke Australia. Lebih baik mundur selangkah daripada bertahan sia-sia mengingat kekuatan Amerika lumpuh setelah Pearl Harbour dihajar Jepang. 

Dengan ucapannya yang terkenal, "I shall return", Mac Arthur mulai menyusun strategi untuk kembali meraih Filipina sekaligus menaklukkan Jepang.
 
Kedua, ketika kekuatan mulai pulih, rencana besar mulai disusun. Langkah awal, menaklukkan pulau-pulau karang atau atol yang dikuasai Jepang di Pasifik. Ia tidak langsung merebut pulau-pulau besar karena kondisi alam berupa lautan memerlukan kekuatan besar untuk merebut sebuah pulau besar. Terbukti kemudian, pertempuran di Midway dan Kwajalein menjadi titik balik kemenangan Amerika di Pasifik.
 
Ketiga, setelah menguasai pulau karang, langkah selanjutnya adalah menguasai kepulauan berukuran sedang, seperti Kepulauan Solomon dan New Guinea (Papua Nugini). Barulah, setelah itu melangkah lebih jauh, merebut Filipina dari genggaman tentara Jepang.
 
Ya, semua berjalan terstruktur. Langkah demi langkah, sabar dan konsisten. Itulah kunci kemenangan pasukan Mac Arthur di Pasifik atas Jepang. Begitulah si Zenis (Korps Zeni) Mac Arthur dengan pangkat terakhir jenderal besar bintang lima terkenal dengan penampilannya menempelkan cangklong besar di bibirnya.
 
Mac Arthur, satu-satunya jenderal yang bertempur di tiga perang besar: PD I, PD II, dan Perang Korea. Dengan rekam jejaknya, sesungguhnya ia pantas menjadi Presiden Amerika Serikat. Tapi, hal itu tidak pernah terjadi.

Bahkan, karier militernya berakhir secara tragis. Dia dipecat oleh Presiden Harry S Truman karena menentang kebijakan dalam Perang Korea. Truman sebetulnya musuh politik Mac Arthur yang sangat khawatir bersaing secara terbuka.

Kendati demikian, Mac Arthur tidak sakit hati atau memelihara dendam terhadap Truman. Dia sebetulnya merupakan saingan utama Truman untuk menduduki kursi Gedung Putih. Dia juga tidak berusaha melengserkan Truman dari kekuasaan.

McArthur meninggal pada 1964 tanpa pernah memperoleh rehabilitasi. Tapi, namanya tetap harum. Ucapan-ucapannya mengandung filosofi.
"I shall return" dan "old soldiers never die, they are just fading away" merupakan dua ungkapan Mac Arthur yang paling kesohor di dunia. "I shall return" diungkapkannya ketika Presiden AS Franklin D Roosevelt mengungsikannya ke Australia dari Filipina.

/selamatgintingofficial

Payung Berdarah di Kota Dili

Republika (28/6/2019)

Operasi lintas udara pasukan TNI pada dini hari, diketahui pasukan Fretilin. Apa yang terjadi?

Baucau, kota kedua terbesar di Timor Leste, setelah Dili. Jaraknya sekitar 122 km dari Dili, ibu kota negara Timor Leste. Pada masa Timor Portugis, Baucau disebut Vila Salazar. Salazar adalah nama diktator Portugis, Antonio de Oliveira Salazar.

Kota ini sangat strategis, karena memiliki lapangan terbang terbesar. Lebih besar daripada Dili.

Baucau menjadi sasaran kedua bagi pasukan Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) TNI. Pada 10 Desember 1975, dilakukan penerjunan pasukan payung Brigade Infanteri (Brigade)-17/Linud (Lintas Udara) Kostrad.

Terdiri dari Batalyon Infanteri (Yonif) 328, Yonif 401, Detasemen Para Komando (Den Parako) Kopasandha, Batalyon Pasukan Marinir (Yon Pasmar)-2 AL, Tim B Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) AU, dan 1 peleton kompi Zeni Tempur (Zipur) 9 Para Menzipur Kostrad.

Mereka mendarat di lapangan terbang Baucau. Pasukan ini, seperti tertulis di buku Operasi Seroja Jilid II A, mendapatkan perlindungan udara dari pesawat pembom serbu B-26 Invader. Serbuan ke Baucau ini lebih matang dibandingkan dengan serbuan yang dilaksanakan di kota Dili pada 7 Desember 1975. Penerjunan yang dimulai pukul 07.20 itu merupakan pendadakan bagi Antonio Reis da Silva Nunes sebagai komandan asrama Baucau.

“Mereka tidak sempat mengkoordinasi pasukannya untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan gabungan. Pasukan Fretilin melarikan diri dari Baucau dan meninggalkan penjagaannya di lapangan terbang. Nyaris tidak ada perlawanan sama sekali. Fretilin segera meninggalkan Baucau,” seperti ditulis Nugroho Hariadi, Paratroops: Pasukan Penyergap dari Udara.

Diketahui Fretilin
Kondisi itu berbeda jauh dengan penyerbuan di Dili, tiga hari sebelumnya. Pada 7 Desember 1975, Operasi Seroja mulai masuk pada tahap serbuan. Operasi terbuka untuk pertama kalinya berlangsung dengan melakukan serbuan ke kota Dili yang merupakan jantung kota Timor Portugis. Kapal-kapal perang TNI-AL sudah siap merapat di perairan dekat Dili beber apa hari sebelum 7 Desember 1975. Sebelumnya telah dilaksanakan rapat gabungan secara tertutup pada 4 Desember 1975 di Kupang.

Serbuan pertama pasukan dengan penerjunan direncanakan di Dili, Baucau, dan Laga. Dalam serbuan kota Dili, pasukan yang bertugas adalah Grup Parako, Yonif 501 Linud, 1 kompi plus dari Yonif 502, tim Tuti, Yon Pasmar-1, dan partisan yang berjumlah 843 orang dari Linud, dan 906 dalam serbuan Amphibi.

Pukul 02.00, pada 7 Desember 1975 kapal-kapal Komando Tugas Amphibi TNI AL tiba di lepas pantai Dili. Namun tiba-tiba pukul 03.00 seluruh listrik di kota Dili telah dipadamkan. Peristiwa ini menandakan serangan dadakan telah diketahui Fretilin. Hal ini seperti dituliskan Etri Ratnasari, Operasi Seroja 1975-1978 di Timor Timur: kajian tentang ABRI-AD. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.

Rupanya, pasukan Fretilin telah siap siaga menghimpun kekuatan mereka untuk bertempur dan menghadang pasukan yang akan mendarat itu. Maka diputuskan oleh Brigjen Suweno kepada Komando Tugas Amphibi untuk melakukan penembakan ke pantai dengan pertimbangan menurunkan moril lawan dan mengangkat moril pasukannya dengan menggunakan meriam 76mm frigat.

Dili dihujani tembakan meriam oleh armada TNI-AL. Satu jam kemudian sejumlah pesawat terbang melintas di atas kota Dili dengan menerjunkan ratusan pasukan payung dari Kopasandha dan Brigif 18 Linud menggunakan pesawat C-130 Hercules. Bersamaan dengan penerjunan, juga dilakukan pendaratan ke pantai oleh satu pasukan Brigade Marinir TNI-AL.

Buruknya komunikasi
Penerjunan-penerjunan sempat mengalami kekacauan, terjadi baku tembak antara pasukan penerjun dengan anggota marinir, karena kurangnya komunikasi. Pasukan penerjun mengira pasukan yang di bawah adalah Fretilin. Ternyata pasukan di darat adalah pasukan marinir. 

Seharusnya operasi amfibi yang dilakukan TNI AL mendapatkan perlindungan udara. Namun, Mustang P-51 dari Skuadron-3 yang seharusnya mengawak, seluruhnya sudah dinyatakan grounded akibat kecelakaan yang menewaskan Mayor (Penerbangan) Sriyono pada 1974. Hal ini dikemukakan dalam tulisan Petrik Matanasi dan F Huda Kurniawan, Hantu Laut: KKOMarinir Indonesia.

Operasi pendaratan hanya dilindungi Patroli Udara Tempur (Combat Air PatrolCAP) dan Bantuan Tembakan Udara (BTU) dilakukan dengan dua pesawat AC-47 Gunship dan dua pembom udara serbu B-26 invader. Penyerbuan kota Dili juga melibatkan pasukan gabungan pejuang Timor. Mereka merupakan partisan-partisan dari Operasi Seroja melalui pendaratan laut.

Pasukan payung dapat menduduki kota Dili pada pukul 12.30. Serangan ini menyebabkan para pimpinan Fretilin memindahkan markasnya ke kota Aileu oleh Nicolau Lobato dan adiknya, Antonio Lobato. “Mereka membentuk pertahanan di daerah perbukitan untuk menghambat maju pasukan gabungan. Tetapi komandan tertinggi Falintil, Rogerio Lobato telah melarikan diri ke Australia. Sebagian anggota Fretilin ada yang menyerahkan diri kepada pasukan gabungan, tetapi sebagian lainnya melarikan diri ke hutan,” kata Hendro Subroto dalam bukunya ‘Saksi mata Perjuangan Integrasi Timor Timur’, Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Kota Dili yang sudah dikuasai dijadikan sebagai pusat markas Kogasgab Seroja. Hal ini untuk memudahkan pemberian komando operasi dan pengawasan beserta kantor untuk staf-staf Kogasgab Seroja. Pasukan penerjun yang menduduki kota Dili, kemudian digantikan oleh pasukan dari Brigif-4 KTAD (Komando Taktis Angkatan Darat). Mereka bertugas melakukan gerakan sapu bersih terhadap musuh. Serbuan-serbuan dilanjutkan dengan menduduki kota-kota strategis lainnya.

Pengungsi 
Diawali dari perang saudara yang semakin gencar dilakukan di Timor Portugis sepanjang September - Oktober 1975. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya migrasi besar-besaran ke dalam wilayah Indonesia. Menurut laporan Kodam XVI/Udayana, pada 11 September 1975 jumlah pengungsi sudah mencapai 27.858 orang suku Timor dan 489 orang warga negara asing di Atambua dan daerah sekitarnya.

Pada 22 September 1975, jumlah pengungsi telah mencapai 32 ribu orang. Pengungsian terus mengalami peningkatan dan telah mencapai 40 ribu orang. 

Tentu saja peristiwa ini menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Portugis. Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan mengatasi segala perubahan yang terjadi di wilayah yang rentan konflik tersebut. Hal itu terungkap dalam buku Soekanto, Integrasi: Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur.

Namun, secara tiba-tiba, pada 28 November 1975, Fretilin menyatakan Kemerdekaan Republik Demokratik Timor Lorosae di gedung pemerintahan pusat di Dili. Hari berikutnya, Xavier do Amar al diambil sumpahnya sebagai Presiden Republik Demokratik Timor Lorosae. Proklamasi sepihak itu ditolak empat partai lain.

Dua hari kemudian, pada 30 November 1975, empat partai mengeluarkan komunike yang dinamakan Deklarasi Balibo. Isi pernyataan: atas nama rakyat Timor Portugis memproklamasikan pengintegrasian ke negara kesatuan RI sebagai propinsi ke-27 dengan nama Timor Timur. Mereka juga meminta Pemerintah RI menyempurnakan perumusan dan implementasi deklarasi bersama-sama rakyat Timor Timur.

Batugade
Perintah melaksanakan Operasi Seroja sudah ada sejak 31 Agustus 1975. Tetapi, pasukan TNI sebagai sukarelawan, baru mulai melaksanakan tugasnya Oktober 1975. Diawali serangan Fretilin di Batugade, pada 24 September 1975. Batugade merupakan daerah perbatasan yang dijadikan basis pertahanan partai UDT yang terakhir.

Serangan itu menewaskan enam orang Timor Portugis dan satu warga Indonesia, serta beberapa penduduk luka-luka. Batugade kemudian dijadikan basis Fretilin. Bahk an Fretilin kerap memberikan tembakan mortir kaliber 80 mm ke daerah Mo- taain. Sebuah daerah penghubung antara Atambua, NTT Indonesia dengan Batugade.

Pasukan gabungan pejuang Timor berusaha merebut kembali benteng Batugade dengan dibantu sukarelawan Indonesia. Serangan balik pada 7 Oktober 1975. Inilah tugas pertama yang dilaksanakan sukarelawan Indonesia dalam rangka membantu pasukan gabungan pejuang Timor. Hal ini diungkap dalam buku Sejarah TNI AD 1974-1975, Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, 2005.

Sasaran utama markas Fretilin di Benteng Batugade dan pos pengintaian Fretilin di atas bukit. Pasukan gabungan dibagi menjadi dua. Satu regu merupakan sukarelawan dari Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) menyerang benteng Batugade. Sedangkan dua pleton UDT menyerang pos pengintaian Fretilin.

Sekitar pukul 04.00, Batugade digempur dari beberapa arah dengan RPG-2, menyebabkan Fretilin melarikan diri. Sedangkan pos pengintaian Fretilin telah dikosongkan pada malam sebelumnya. Situasi ini memungkinkan sukarelawan Indonesia turun tangan dalam perebutan wilayah yang strategis itu.

Perebutan kembali Benteng Batugade merupakan langkah awal bagi pasukan gabungan merealisasikan integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Untuk menghan- curk an Fretilin, pasukan gabungan menyerbu basis-basis musuh. Setiap daerah yang telah berhasil direbut, pasukan gabungan segera menancapkan bendera Merah Putih dalam wilayah tersebut. Hal ini sebagai simbol rakyat di daerah tersebut mendukung integrasi dengan Indonesia. ■

/selamatgintingofficial

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...