22 April 2019

Babinsa Ditarik dari Gelanggang Pemilu. Ada apa, Jenderal?

Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis
Pemerhati militer


Hari Kartini. Namun, kali ini pertanyaan teman-teman kepada saya, tak ada kaitannya dengan perjuangan Ibu Kita, Raden Ajeng Kartini. Juga bukan soal bukunya, Habis Gelap Terbitlah Terang.

Tapi soal 'gelapnya' suasana yang menyelimuti Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Gelap setelah adanya instruksi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. 

Perintah orang nomor satu di Mabesad sebagai tindak lanjut acara video conference. Vicon antara Wakil Asisten Teritorial (Waaster) KSAD Brigjen Gathut Setyo Utomo dengan para asisten teritorial (aster) komando utama (kotama) AD, Jumat (19/4/2019) malam.

Apa yang dibahas? Apalagi kalau bukan soal pemilu. Ya, ini memang soal pemilu. Perhelatan demokrasi yang menjadi tanggung jawab sejumlah komponen bangsa. Termasuk tanggung jawab TNI AD untuk mengamankan ajang ini agar berlangsung aman, tertib, dan tentu saja jujur dan adil.

Disebutkan, adanya laporan yang masuk ke KSAD. Aparat komando wilayah (apkowil) dalam hal ini babinsa (bintara pembina desa) melaksanakan pencarian data dengan pencatatan di TPS (tempat pemungutan suara), merekap hasil pemilu di PPK (panitia pemilihan kecamatan) dan menfoto formulir C1 (catatan hasil penghitungan suara). 

Berdasarkan hal tersebut, diperintahkan kepada seluruh jajaran apkowil sbb:
1. Tidak ada lagi apkowil (babinsa) melaksanakan pencarian data untuk mendapatkan informasi sebagaimana hal tersebut di atas.
2. Tidak ada lagi laporan perolehan suara yang dikirimkan via WA, dikirim lewat EMAIL atas permintaan.
3. Laporan yang dikirimkan adalah laporan yang berdasarkan hasil keputusan dari KPUD sesuai jadwal pengumuman, sudah disahkan, sudah dipublikasikan kepada masyarakat.  Bukan hasil pencatatan/mencari data/memfoto dengan cara yang tidak benar.

Sejak malam itu juga hingga pukul 24.00, perintah sudah harus disampaikan kepada seluruh babinsa dan apkowil lainnya.

Jika tidak, bagaimana? Apabila keesokan harinya masih ada foto yang viral terkait hal tersebut dan diterima oleh KSAD, maka konsekuensi ada pada komandan Kodim dan Aster.

Pertanyaan publik

Instruksi KSAD tersebut viral dan menjadi bahan pertanyaan publik. 
Perintah KSAD sangat serius dengan sanksi keras terhadap para dandim dan para aster Kotama. Tembusannya antara lain kepada para panglima Kodam, kepala staf Kodam, maupun inspektur Kodam. 

Pertanyaan inilah sejak Sabtu (20/4/2019) muncul di WA saya. Ada apa dengan fungsi pembinaan teritorial (binter) AD? Ada apa dengan Angkatan Darat? Baru pada pemilu kali ini, para babinsa ditarik dari pantauan pemilu di PPK.

Di sisi lain. Kepala Polda Metro Jaya, Irjen Gatot Eddy Purnomo, menyampaikan alasan pihaknya mengumpulkan formulir C1 plano penghitungan suara Pemilu 2019.

Ia berdalih jajaranya mengumpulkan C1 untuk pegangan atau data internal yang dipersiapkan. Tujuannya mengantisipasi hal yang tidak diinginkan seperti konflik akibat perbedaan suara.

Benarkah hanya untuk itu? Sebab publik sejak awal mempertanyakan, bagaimana bentuk implementasi netralitas polisi pada pemilu, kali ini?

Walau pun beberapa kali Kepala Polri Jenderal Muhammad Tito Karnavian 'berbusa-busa' menyatakan netralitasnya. Namun ucapan dan implementasinya akan diuji masyarakat di lapangan. 

Tugas mendata hasil C1 di kepolisian, ujung tombaknya adalah bhabinkamtibmas (bhayangkara  pembina keamanan dan ketertiban masyarakat). Bhabinkamtibmas adalah rekan kerja babinsa di kelurahan atau desa hingga kecamatan. 

Menurut Peraturan Kepala Staf TNI AD Nomor 19/IV/2008 tertanggal 8 April 2008, seorang babinsa berkewajiban melaksanakan pembinaan teritorial (binter) sesuai petunjuk atasannya, yaitu komandan Komando Rayon Militer (koramil).

Secara pokok, tugasnya mengumpulkan dan memelihara data pada aspek geografi, demografi, hingga sosial dan potensi nasional di wilayah kerjanya. 

Babinsa menjadi ujung tombak informasi awal operasi militer selain perang, berupa operasi kemanusiaan TNI AD atau gabungan. 

Termasuk memberikan informasi awal terkini tentang kondisi dan situasi wilayahnya. Ya, mereka memang memiliki tugas penting. Berhubungan langsung dengan keamanan, memelihara ketertiban serta deteksi dan pencegahan dini. 

Mereka juga yang pertama dan sering mendapatkan informasi, baik yang berkaitan dengan kejahatan, keamanan dan terorisme. Termasuk kondisi sosial politik saat pemilu, kali ini.

Mereka pihak pertama yang bisa mendeteksi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, sehingga bisa dicegah. Langkah preventif aktif. Maka wajar saja jika para babinsa pun turut mencatat hasil pemilu melalui formulir C1. 

Dilumpuhkan

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari mengatakan pada dasarnya formulir C1 yang asli itu merupakan milik KPU, dan tidak boleh ada pihak lain yang meminta formulir asli C1 tersebut. 

Tetapi tidak ada larangan bagi babinsa maupun bhabinkamtibmas untuk mencatat atau memfoto hasil C1. Tugas seperti itu sudah dilakukan sejak pemilu era refornasi 1999. Hasil pemilu bisa diketahui masyarakat dan bagian dari keterbukaan informasi publik. 

Penarikan babinsa di satu sisi, serta semakin 'aktifnya' bhabinkamtibmas di sisi lain, justru mengundang tanda tanya besar. Mengapa fungsi babinsa dilumpuhkan?

Jangan lupa makna konsep operasi teritorial TNI. Inilah sesungguhnya 
model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya. Wafatnya Panglima Besar Jenderal  Besar Soedirman pada 1950, tidak serta merta konsep operasi teritorial ini dihapuskan. Justru dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.

Kemudian, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution yang mengenalkan konsep operasi terstruktur. Dikenal dengan sebutan Operasi Pembinaan Teritorial (Binter) TNI melalui metode komunikasi sosial (Komsos) TNI.

Operasi Binter melalui Komsos semakin terlembaga setelah Jenderal Besar Soeharto menjadi Presiden RI. Binter yang berfokus pada Komsos  dijadikan instrumen penting oleh Presiden Soeharto. Utamanya untuk menanggulangi ancaman dan berbagai gerakan anti Pancasila yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Maka Satuan Komando Teritorial TNI AD yang tergelar dari  tingkat pusat sampai tingkat kecamatan dan desa menjadi pelaksana Binter yang difokuskan pada kegiatan komunikasi sosial dan pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta Bakti TNI.

Pasca pemerintahan Orde Baru, TNI semakin mengedepankan pendekatan komunikasi sosial dengan masyarakat.  Saat TNI dipimpin Jenderal Gatot Nurmantyo, misalnya. Dicanangkan  program  binter yang komprehensif. Dikenal dengan istilah Serbuan Teritorial. 

Sebuah implementasi komitmen TNI dalam membantu pemerintah mempercepat program pembangunan guna mewujudkan tatanan masyarakat yang berkembang maju dan sejahtera.

Era reformasi, TNI memandang penting membangun kesepahaman dengan rakyat melalui komunikasi sosial. Hal ini sebagai prasyarat dalam mewujudkan keamanan dan keselamatan bangsa. 

TNI wajib membangun komunikasi sosial kemasyarakatan yang lebih dialogis dan persuasif. TNI dan rakyat harus memiliki semangat rasa persatuan yang solid dan manunggal. 

Kini sebagian masyatakat justru terpukul. Terpukul oleh brutalnya pencatatan hasil pemilu di KPUD/KPU yang tidak sesuai dengan hasil fornulir C1. Ada yang berbuat curang sejak tingkat TPS.

Karena itu kehadiran aparat babinsa yang memiliki bukti sesuai hasil C1, justru akan dapat mengetahui siapa sesungguhnya pembajak konstitusi.

Apalagi pada Kamis (18/4/2019), 
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menegaskan, aparat keamanan tidak akan memberi toleransi atas tindakan yang mengganggu ketertiban masyarakat dalam menyikapi Pemilu 2019.

TNI dan Polri akan menjaga stabilitas keamanan hingga berakhirnya seluruh tahapan pemilu 2019. Hal itu disampaikannya dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta.

"Kami tidak akan menoleransi dan menindak tegas semua upaya yang akan mengganggu ketertiban masyarakat serta aksi-aksi inkonstitusional yang merusak proses demokrasi," kata Marsekal Hadi  didamping Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian. 

Kesalahan input data atau kesengajaan yang masih dilakukan di KPUD/KPU berpotensi sebagai tindakan inkonstitusional. Sekaligus memantik kerusuhan horizontal. Tindakan yang merusak proses demokrasi.

Kehadiran babinsa yang memiliki catatan hasil C1 sejatinye merupakan tindakan konstitusional. Tidak ada yang dilanggar. Bahkan sebuah cipta kondisi yang semakin penting dan mendesak.

Mengapa? Karena spektrum ancaman di era global ini sangat berat dan kompleks. Antara lain berupa ancaman proxy war. Bentuk peperangan antarnegara yang bersifat halus, tidak menggunakan kekuatan militer.

Ancaman potensi konflik horizontal dampak dari hasil pemilu, kini ada di depan mata kita semua. Mengapa Jenderal Andika Perkasa justru menarik mereka dari tugasnya melindungi masyarakat? Ada apa sesungguhnya, Jenderal? 

Kami bertanya dan berharap kegelapan misteri bobroknya pemilu kali ini bisa terungkap menjadi terang benderang. Bagai buku karya RA Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. 

# End.

20 April 2019

Kegentingan Memaksa, Jenderal! (3)

Oleh
Selamat Ginting

Jurnalis

Bagian III

Serangan Wiranto
Menjadi aneh, ketika Wiranto tidak bisa tampil lagi dalam pilpres 2014, namun mengembuskan isu kasus 1998 soal Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Wiranto bersama Hendro dan Agum menjadi trio yang menyudutkan Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa saat menghadapi Jokowi berpasangan dengan JK.

“Isu usang 20 tahun lalu yang digoreng terus.  Justru hasil DKP tidak ada pernyataan pelanggaran HAM oleh Prabowo, tidak ada peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang melibatkan Prabowo,” kata Suryo Prabowo, jenderal korps Zeni, lulusan terbaik Akmil 1976.

Baginya, ucapan Agum Gumelar, justru memperlihatkan kecemburuan pribadi Agum terhadap Prabowo.  Dari sisi sebagai pengusaha, Agum kalah. Dari sisi politik juga kalah. “Agum mau jadi gubernur DKI Jakarta saja tidak bisa, karena kurang dukungan. Maju dalam pilkada Jawa Barat juga kalah. Sedangkan Prabowo bisa membuat partai politik besar.”

Rivalitas
Prabowo dan Wiranto setelah keluar dari Partai Golkar membuat partai politik sendiri. Bahkan Gerindra kini menjadi partai ketiga terbesar pada pemilu 2014. Padahal Partai Gerindra, baru berdiri pada 2008. Ikut pemilu 2009, langsung lolos ke Senayan. 

Kini, Gerindra berpeluang menjadi partai nomor dua terbesar pada pemilu 2019. Partai besutan Prabowo jauh lebih laku jual daripada Partai Hanura, besutan Wiranto. Hanura malah terancam tidak akan lolos ke Senayan pada pemilu kali ini. 

Lain lagi dengan Kivlan Zen. Menurutnya, Wiranto tidak perlu digubris, Sebab dari sisi militer sesungguhnya Wiranto sudah gagal. Gagal menghadapi kerusuhan Mei 1998, namun ngotot ingin menjadi panglima ABRI. “Dia panglima yang gagal, makanya kami mengusulkan agar Presiden Habibie tidak memilih Wiranto lagi sebagai panglima ABRI,” kata Kivlan dalam sebuah wawancara. 

Hubungan Kivlan dan Wiranto pun selalu panas. Terakhir saat acara silaturahmi Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Keduanya beradu mulut soal peristiwa 1998. Namun ditengahi oleh Ketua Umum PPAD, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri. 

Mengenai tudingan upaya kudeta oleh Prabowo dkk juga ditepis Letjen Marinir (Purn) Suharto. Menurutnya, jika saja mau, bisa saja dilakukan kudeta. Apalagi Kostrad, Kopassus, Kodam Jaya ditambah Korps Marinir memiliki jumlah pasukan yang cukup besar. 

“Saya bersama Prabowo (Pangkostrad), Muchdi (Danjen Kopassus), Sjafrie (Pangdam Jaya) berada di Jakarta. Tidak ada upaya untuk itu. Jadi fitnah jangan dikembangkan lagi,” kata mantan Komandan Korps Marinir itu dalam sebuah publikasi. 

Inkonsistensi Agum
Terhadap dukung-mendukung calon presiden dan wapres, organisasi paguyuban purnawirawan TNI-Polri menyatakan netral dan tidak berpolitik praktis.  

“Saya harus kawal gerbong ini sebagai lembaga yang netral dan tidak berpolitik praktis. Soal pilihan politik, dikembalikan kepada anggota  di tempat pemungutan suara. Pengurus PPAL yang menjadi pendukung pasangan calon, harus mengundurkan diri,” kata  Ketua Umum PPAL, Laksamana (Purn) Ade Supandi.

Hal senada dikemukakan Ketua Umum PPAD, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri; Ketua Umum PPAU, Marsekal (Purn) Djoko Suyanto; serta Ketua Umum PP Polri, Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri.

Ketua Umum PEPABRI, Jenderal Hor (Purn) Agum Gumelar juga menyuarakan hal yang sama. Namun Agum justru berpolitik praktis dengan selalu menyerang Prabowo sejak pilpres 2014 dan 2019. 

Agum anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jokowi. Sehingga netralitasnya sebagai Ketua Umum PEPABRI yang menaungi purnawirawan TNI dan Polri menjadi bias. Selain Agum, Subagyo HS dan Yusuf Kertanegara juga menjadi anggota Wantimpres. Mereka bekas personel DKP tahun 1998.

Agum selalu bicara soal pelanggaran HAM pada 1998, namun tidak pernah bicara masalah yang sama untuk sejumlah peristiwa. Misalnya saja kasus Talangsari, Lampung, pada Februari 1989 yang diduga menewaskan 47 orang dan 88 lainnya hilang, seperti data Kontras (Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan). Dalam peristiwa tersebut, Komandan Korem 043 Garuda Hitam adalah Kolonel Hendropriyono. Kemudian digantikan Kolonel Agum Gumelar.  Begitu juga kasus Munir Thalib, pada 2004. Kasus itu diduga menyeret nama Hendro sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Dukungan sahabat 
Salah satu yang mengetahui peristiwa kerusuhan 1998 adalah mantan Pangdam Jaya, Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin. Sjafrie, kini bergabung dengan kubu Prabowo. Padahal ia sempat disebut turut Wiranto pasca konflik elite militer tahun 1998 itu. 

Baru-baru ini, Sjafrie tampil di twitter. Ia memposting kegiatannya menghadiri kampanye Prabowo Sandi  di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 7 April lalu. Ia menggunakan baju koko putih dan kopiah hitam. Lalu menuliskan kalimat:  Ya Allah lenyapkanlah kezaliman dan kesombongan. 

Setelah itu muncul foto Sjafrie bersama Prabowo saat keduanya berpangkat letnan kolonel. Keduanya menggunakan pakaian dinas lapangan loreng, lengkap dengan baretnya, Sjafrie berbaret Kopassus, dan Prabowo berbaret Linud Kostrad dengan kalimat: sahabat lama. Kemudian muncul lagi foto saat keduanya menjadi taruna. Termasuk foto taruna SBY. 

Kegentingan yang memaksa para jenderal menyatu. Tak ada lagi batas kelompok, apalagi menurut agama. Ada Johanes Suryo Prabowo yang Katolik, Romulo Simbolon dan Musa Bangun yang Kristen Protestan, misalnya.  Termasuk Yunus Yosfiah (1965), Syarwan Hamid (1966), dua letjen purnawirawan yang dikenal dekat dengan mantan Panglima ABRI, almarhum Jenderal (Purn) Feisal Tanjung (1961).

Bahkan Syarwan, mantan Kassospol ABRI itu, beberapa waktu lalu memposting tulisannya bahwa presiden dan jajarannya, berpotensi menjadi pengkhianat bangsa. Tulisan itu viral.
“Semakin hari bertambah terus warga Cina yang patut diduga berstatus atau berkualifikasi paramiliter masuk ke Indonesia. Terbanyak di bagian Timur.   Saya kira bagi mereka yang punya rasa memiliki terhadap NKRI, terlebih yang memiliki kualifikasi intel atau punya aparat intel, pasti akan sangat risau dan gemas,” kata Syarwan.

“Terkutuklah kalian (elite negeri), jika kelak terjadi petaka pada negeri ini. Insya Allah, saya yakin rakyat akan memobilisasi perlawanan, jika gejalanya akan menjadi serius,” pungkas Syarwan.

Ya, ancaman invasi Cina, menjadi salah satu alasan berkumpulnya para perwira tinggi purnawirawan TNI Polri di kubu 02 Prabowo. Mereka melupakan konflik-konflik lama dan ingin ada perubahan. Perubahan harus ada pemimpin. Pemimpin yang tegas dan mampu menyelesaikan ancaman di depan mata tersebut.

(Habis)

Kegentingan Memaksa, Jenderal! (2)

Oleh
Selamat Ginting

Jurnalis

Bagian II

Pindah haluan
Perang melawan ancaman invasi ekonomi Cina di Indonesia, seperti diisyaratkan Romulo Simbolon, menjadi ‘kegentingan’ yang memaksa para jenderal menyatu. Nyaris sejumlah jenderal yang tadinya berseberangan dengan Prabowo, kini justru berkumpul mendukung mantan Panglima Kostrad serta Komandan Jenderal Kopassus tersebut.

Romulo, awalnya bukan ‘kelompok’ Prabowo saat masih militer aktif. Namun kegentingan, memaksa para jenderal itu menyatu untuk melakukan perubahan. Utamanya melawan ancaman invasi Cina di Indonesia.

Ia dulu dikenal sebagai karib almarhum Letjen Agus Wirahadikusuma (WK).  Lulusan Akmil 1973 juga. Prabowo, Romulo, dan Agus WK, kebetulan punya tanggal kelahiran yang sama, 17 Oktober 1951. Ketiganya justru dikenal ‘berseberangan’ dengan Jenderal Wiranto. Wiranto kini berada di belakang kubu Presiden Jokowi. 

Konflik elite militer pada 1998 itu memang tidak bisa dilepaskan dari dua figur utama, Wiranto versus Pranowo. Namun, tidak semua jenderal yang  dulunya dianggap kubu Wiranto, berada di barisan Jokowi. 

Yang mengejutkan adalah tampilnya Letjen (Purn) Djamari Chaniago. Ia mengenakan kemeja safari krem empat kantong dan peci merah hati khas Gerindra. Lulusan Akmil 1971 itu tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Indonesia Raya (PPIR), sayap Partai Gerindra. PPIR kini dipimpin Mayjen (Purn) Musa Bangun (1983), mantan Koordinator Staf Ahli KSAD. 

Ada pun Djamari pada Agustus 1998, menjadi sekretaris Dewan Kehormatan Perwira  (DKP) yang memeriksa Prabowo. Sebagai Ketua DKP adalah KSAD, Jenderal Subagyo HS (Akmil 1970), dan wakil ketua Letjen Fachrul Razi (1970). Anggota:  Letjen Yusuf Kartanegara (1966), Letjen Arie J Kumaat (1966), Letjen Agum Gumelar (1968), dan Letjen SBY (1973)

Dari personel DKP, SBY dan Djamari Chaniago, kini berada dalam kubu Prabowo. Sementara Arie Kumaat sudah meninggal dunia. Hanya Agum Gumelar dan Fachrul Razi yang masih terus mencecar Prabowo.  Sedangkan Subagyo HS dan Yusuf Kartanegara, selama ini tidak pernah bicara kasus yang melibatkan Prabowo.

Djamari malah meminta para purnawirawan jangan takut untuk memilih Prabowo dalam pilpres 2019.  Dengan tekad dan kemampuan yang dimiliki purnawirawan saatnya berbuat untuk bangsa dan negara. 

“Negara masih membutuhkan purnawirawan.  Berhasil atau tidaknya perjuangan kita, ukurannya satu.  Menangkan Prabowo sandi pada pipres 2019,” kata Djamari, mantan Kasum TNI yang pernyataannya beredar di youtube.

Agum Gumelar, bukan hanya menyerang Prabowo. Belakangan ia juga menyerang SBY yang dianggapnya tidak punya pendirian. Ia menyesalkan SBY, karena mendukung Prabowo jadi calon presiden. Padahal SBY dan Agum sama-sama anggota DKP 1998. 

Terhadap serangan Agum tersebut, kepada pers SBY menjawab. "Teman-teman, tentu saja saya sangat bisa menjawab dan melawan 'pembunuhan karakter' dari Pak Agum Gumelar terhadap saya tersebut. Tetapi tidak perlu saya lakukan karena saya pikir tidak tepat dan tidak bijaksana. Saya malu kalau harus bertengkar di depan publik," kata SBY, pertengahan Maret 2019 lalu.

SBY menuturkan, di tengah situasi politik yang semakin panas, diperlukan sikap yang menyejukkan. SBY khawatir terhadap situasi Tanah Air jika pimpinan atau elite politik tidak pandai mengelola situasi itu.  ia meyakini apa yang disampaikan Agum belum tentu atas sepengetahuan Presiden Jokowi. Meskipun Agum sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jokowi.

Dari kubu Wiranto yang berbalik dukung Prabowo, ada pula nama Letjen (Purn) Yayat Sudradjat (1982). Yayat, mantan Sesmenko Polhukam.  Ia juga bergabung dalam purnawirawan Baret Merah pendukung Prabowo. 

Publik tahu, Agum Gumelar, Fachrul Razi, serta Hendropriyono (1967) selama ini kerap menyerang Prabowo dalam peristiwa 1998. Dari kubu Prabowo, biasanya yang menghadapi mereka adalah mantan Kasum TNI dan wakil KSAD, Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo (1976) dan mantan Kas Kostrad, Mayjen (Purn) Kivlan Zen (1971).

Kasus peristiwa 1998, sesungguhnya dianggap telah selesai dalam kontestasi pemilihan presiden sejak 2004. Saat itu, baik Prabowo, Wiranto, dan Agum Gumelar mengikuti konvensi presiden Partai Golkar pada 2004. Namun belakangan Agum mundur. SBY batal mengikuti kontestasi tersebut.  Wiranto tampil sebagai pemenang konvensi mengalahkan ketua umum Golkar, Akbar Tanjung. Peserta konvensi lainnya adalah Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. 

Agum memilih bergabung menjadi cawapresnya Hamzah Haz. Sedangkan SBY menjadi capres berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK). Hasil akhir pilpres, SBY dan JK menjadi pemenang mengalahkan pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi di putaran kedua. Di putaran pertama yang gugur adalah pasangan Wiranto dan Solahuddin Wahid, Amien Rais dan Siswono Yudohusodo, serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar.

Kasus 1998 juga tidak ada masalah bagi Prabowo pada pilpres 2009.  Saat itu Megawati berpasangan dengan Prabowo. Kontestan lainnya adalah JK berpasangan dengan Wiranto. Mereka menantang pejawat, SBY yang berpasangan dengan Budiono. SBY kembali menjadi presiden 2009-2014.

(bersambung)

19 April 2019

Kegentingan Memaksa, Jenderal! (1)

Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis

Bagian I

Mengunakan baret hitam, lengkap dengan tanda bintang tiga dan wing terjun lintas udara.  Wajahnya yang keras dibalut pakaian loreng lengan pendek dan celana gelap. Suaranya lantang menggelegar dan berapi-api. Menggema di sebuah gelanggang remaja.  
Ia memang bukan perwira remaja lagi. Tapi jenderal gaek. Jenderal yang sarat dengan pengalaman di medan tempur. Setidaknya empat kali ia mengikuti operasi Seroja di Timor Timur dalam kurun waktu 1975 hingga 1985.

Pensiunan jenderal bintang tiga korps infanteri itu, tampil sebagai orator yang ‘membakar’. Membakar semangat di Gelanggang Remaja Otista (Oto Iskandar Dinata), Jakarta Timur, pertengahan Maret 2019 lalu. Dia adalah Letnan Jenderal (Purn) Romulo Simbolon, mantan Sekretaris Menko Polhukam, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (SBY).

“Perubahan itu butuh pemimpin!,” kata Romulo dengan suara menggelegar.  Gelanggang remaja bergetar dengan gemuruh tepuk tangan dalam acara ‘Silaturrahmi Prabowo dengan Purnawirawan TNI, Polri dan Relawan’ oleh Sekoci Padi (Prabowo Sandi) tersebut. Pidato itu viral di jagat maya, dalam beberapa hari terakhir ini.  

Romulo bersama  Prabowo, SBY, Ryamizard dkk sama-sama masuk Akademi Militer  (Akmil) atau AKABRI Darat pada 1970.  Mereka sudah bersahabat sejak sama-sama menjadi prajurit taruna di lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Romulo dan SBY, lulus 1973. Sedangkan Prabowo dan Ryamizard, lulus 1974.

Romulo mewakili para perwira tinggi TNI dan Polri menjadi pembicara dalam silaturahmi itu. Sedikitnya 100 perwira tinggi TNI dan Polri hadir. Mulai dari bintang satu hingga bintang empat.  Di antaranya mantan KSAU  Marsekal (Purn) Imam Sufaat, dan mantan KSAL Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno. Mereka bertekad membantu pemenangan Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019. 

Judul pidato tanpa teks itu dinamai ‘Old Solidiers Never Die dan  Perubahan’. Ia menguraikan perjuangan para serdadu yang kini sudah tua dalam sejumlah operasi pasca kemerdekaan. Mulai dari Trikora Irian Barat , Dwikora ganyang Malaysia, PKI, PGRS Paraku, dan Timor Timur.  “Apakah kita bisa melupakan para pahlawan yang gugur?” ujar mantan Deputi bidang Pertahanan Negara, Kemenko Polhukam.

Ia meminta hadirin mengingat kembali semangat juang rekan-rekannya yang mengorbankan jiwa raga. “Hari ini kita ingin perubahan, tapi ada apa dengan bangsa ini?” kata Romulo. 

Menurutnya, ketahanan nasional sedang tercabik-cabik. Retak. Retak di bidang ideologi. Pancasila mulai akan dipingggirkan. Paham komunis berkembang. Ada juga yang ingin memasukkan paham dari Timur Tengah yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Di bidang politik. Keretakan kekuatan politik sangat mengkhawatirkan. Kalau tidak ada perubahan di bidang ekonomi, bangsa ini akan terjajah atau sudah terjajah.  Penjajahan ekonomi kedua. VOC hadir selama 350 tahun. “Tapi hari-hari ini, ekonomi kita luar biasa dicengkeram oleh oligarki ekonomi.” 

Ia mempertanyakan bunyi: keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Sila kelima Pancasila. Sekarang ditaruh di mana?  Sebab, yang ada sekarang bukan daulat ekonomi rakyat. Melainkan daulat ekonomi pasar. Belum lagi ada invasi besar-besaran dalam pembangunan (infrastruktur). Ia meminta masyarakat bisa membedakan membangun di Indonesia dengan membangun Indonesia.

“Dia (Cina) membangun ekonominya di Indonesia, berarti dia (Cina) yang punya. Relakah itu ada rumah kita? Relakah kita jadi bangsa pesuruh? Kita ingin jadi bangsa majikan!” ujar mantan Kepala Staf Kodam Jaya itu.

Ia menegaskan tidak senang dengan adanya rencana (pembangunan infrastruktur) kereta api Indonesia oleh Cina. Berapa ratus tahun (kemungkinan) tak akan kembali modalnya. Mereka akan terus di Indonesia. Berdaulat ekonominya di Indonesia. Inilah penjajahan!
Di bidang sosial budaya. Apa yang dirasakan sekarang ini? Dulu bangsa ini kaget membaca berita ditemukan 1 kg heroin, karena sangat banyak. Tapi, hari ini, sekian ton heroin ditemukan. Diselundupkan ke Indonesia. Sumbernya dari satu negara, Cina. “Apa maunya Cina? Apa mau menjajah Indonesia?” ujar mantan Komandan Brigif 1 Ibukota Jakarta, dengan suara gemetar.

Ia mengaku sangat prihatin. Prihatin, karena kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, rendah. Terjadi  diskriminasi hukum, tebang pilih hukum, dan hukum untuk kekeuasaan. “Hilang kepercayaan rakyat, bahaya negara ini!”. 

Yang paling menyedihkan, lanjutnya, apakah konflik di Timur Tengah akan pindah ke Indonesia? Agama sedang dicabik-cabik. Diadu domba antar-umat beragama. Sangat menyedihkan.

“Keretakan-keretakan yang menganga seperti kata Pak Prabowo.  Apakah Republik Indonesia masih akan ada pada tahun 2030? Menurut saya, bisa-bisa tahun 2025. Apalagi Cina sedang membangun angkatan bersenjatanya.”

Menurutnya, ada yang sedang berhadap-hadapan di sana. Tempatnya bukan  di Suriah, Irak, atau Yaman. Dilihat dari geo-staretgis, geo-politik, geo-ekonomi, maka Indonesia kemungkinan yang akan jadi kancah konflik. Konflik pasifik. Indonesia terancam!

Pertahanan
Bidang hankam. Menurutnya moral prajurit  sedang turun. Jiwa juang prajuritnya juga turun. Ada yang menyanyi menghina Mars ABRI (TNI). Bubarkan saja. Ganti dengan Menwa atau Pramuka.  Namun, dijawab  (Mabes TNI) sebagai masukan dan kritik. “Bullshit (omong kosong), hati ini sakit.”

Dikemukakan, mungkin yang memelesetkan lagu mars ABRI tersebut tidak melihat prajurit-prajutit yang  gugur demi bangsa dan negara.  Doktrin TNI dilatih, dididik, dipersenjatai untuk bertempur.  Kini, TNI sedang dilemahkan.  “Bagaimana mungkin prajurit tempur dari Kopassus, Kostrad,  Raider dan lain-lain di daerah operasi, namanya satgas penegakan hukum?”.

Padahal doktrin dan latihan operasi melawan gerilya adalah: cari, kejar, bunuh. Ia merasa sedih sekali. Karena telah merasakan berkali-kali  pertempuran sejak 1975 hingga 1985. “Saya bertemu Pak Prabowo di medan tempur di Kota Ailiu, Timor Timur,  tahun 1976. Beliau baru selesai pendidikan Kopassus.”

Sekarang, katanya lagi, pertahanan mulai dipinggirkan. Back to barrack (kembali ke barak). Ini sebuah penghinaan.  Kalau back to basic it’s okay.  “Belum lagi kawan kita. Democratic policing.  Pertahanan keamanan dan HAM (hak asasi manusia) dianggap tidak penting. Keretakan-keretakan  terjadi di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan. Padahal ancaman ada di depan mata.” 

Apa yang harus dilakukan?  Jawabannya, kata Romulo adalah perubahan.  “Kita mau perubahan. Prabowo sudah menyampaikan reorientasi pembangunan nasional. Kita dukung! Kembali ke UUD 1945 yang disempurnakan dengan adendum. Bukan dengan melakukan perubahan menjadi UUD 2002. Kita dukung.  Tapi perubahan perubahan perlu pemimpin! Perubahan perlu pemimpin!” katanya menggema dan disambut tepuk tangan riuh. 

Ia minta para purnawirawan sebagai old solidier (prajurit tua) jangan ragu.  Purnawirawan masih ditunggu, semangatnya masih ditunggu.  Tidak menunggu diberlakukannya UU pertahanan negara yang menyatakan purnawirawan adalah komponen cadangan pertahanan negara. 

“Begitu keadaan darurat, kita semua (gunakan) pakaian dinas dan bawa senjata. Tapi kita tidak tunggu itu. Tidak tunggu keadaan darurat. Perubahan perlu pemimpin!”
“Pemimpin itu adalah Prabowo. Prabowo!” jawab sejumlah hadirin di gelanggang remaja itu. Sejumlah purnawirawan pun berdiri bertepuk tangan, membahana. 

(bersambung)

Jangan Takuti Rakyat, Marsekal!

Oleh 
Selamat Ginting
Jurnalis


Kawasan Ancol menjadi tempat latihan penanggulangan terorisme. Latihan itu melibatkan sekitar 500 prajurit dari tiga pasukan khusus TNI. Terdiri dari Satuan-81 Kopassus TNI AD, Detaseman Jala Mangkara (Denjaka) TNI AL dan Satbravo-90 Paskhas TNI AU.

Usai meninjau Latihan Satgultor TNI, Panglima TNI Marsekal Hadi
Tjahjanto mengatakan TNI beserta jajarannya tetap komitmen dan siap mengamankan Pemilihan Legislatif (Pilleg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019.

Marsekal Hadi didampingi tiga kepala staf angkatan. KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, dan KSAU Marsekal Yuyu Sutisna. Selain itu tampak Kasum TNI Letjen Joni Supriyanto, dan Irjen TNI Letjen Muhammad Herindra. Mereka menggunakan pakaian dinas lapangan (PDL) loreng tempur dan topi pet loreng,

Kemudian foto bersama ditambah Komandan Korps Marinir, Mayjen Suhartono, selaku direktur latihan. Ada pula Komandan Korps Pasukan Khas Marsda Eris Widodo Yuliastono, serta Wakil Komandan Jenderal Kopassus Brigjen Mohammad Hasan. 

Latar belakangnya perwakilan prajurit dari tiga Satgultor TNI. Mereka menggunakan PDL loreng dan baret kebanggaan masing-masing.  Kopassus merah, Marinir ungu, dan Kopaskhas jingga.
  
Usai foto bersama, Marsekal Hadi menyampaikan pesan penting. Ia dan para petinggi TNI yang mendampinginya menunjukkan wajah serius.  Bahkan sambil bertolak pinggang. Sekali lagi, bertolak pinggang. 

"Saya ingin memastikan bahwa jika ada pihak-pihak yang mengganggu stabilitas politik, jalannya demokrasi, mengganggu NKRI, menganggu Pancasila, mengganggu UUD 1945, dan mengganggu Bhinneka Tunggal Ika, maka akan berhadapan dengan TNI," ujar Hadi, lulusan Akademi Angkatan Udara 1986. 

"Saya ulangi, akan berhadapan dengan TNI. Ingat, TNI adalah bentengnya NKRI. "NKRI, harga mati!," seru Hadi sambil diikuti para prajuritnya. Semua mengepalkan tangan di depan dada. 

Awalnya, pada Selasa (9/4) lalu itu, kepada para jurnalis, Hadi mengirimkan pesan. “TNI akan Netral dalam pelaksanaan Pilleg dan Pilpres tahun 2019 dan siap menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata marsekal berkumis hitam dan tebal.

Mantan KSAU itu berbicara di depan layar televisi yang disiarkan jaringan publik. Disaksikan rakyat yang sedang bersiap menghadapi pesta demokrasi. Berkomunikasi tidak selalu menggunakan lisan. Juga dapat menggunakan simbol-simbol tertentu. Bahasa tubuh merupakan salah satu simbol yang dapat dikenali makna di baliknya.

Tidak simpatik
Berbicara sambil bertolak pinggang, menunjukkan gestur orang yang sedang terlalu percaya diri atau over confidence. Bahkan menimbulkan kesan karakter yang arogan dan sombong.  Mau sombong kepada siapa, Marsekal?

Tampilan para petinggi TNI itu justru menunjukkan sikap tidak simpatik kepada rakyat. Sekaligus mengumumkan kepada publik ada kegentingan. Apalagi diungkapkan dengan nada cenderung meninggi. Tidak ada lagi argumen. Anda sedang mengintimidasi.

Bahasa tubuh atau istilah kerennya body language, sesungguhnya 80 persen dari bentuk komunikasi. Bahasa tubuh memiliki arti, namun tidak semua orang bisa memahaminya. 

Bertolak pinggang atau berkecak pinggang menunjukkan sikap defensif.  Jika sedang berkomunikasi dan lawan bicara Anda berkecak pinggang, sebaiknya Anda mundur pelan-pelan dan hindari orang itu. Ia sedang terpojok. Percuma berbicara dengan orang seperti itu. Tidak ada lagi argumen. Tidak menghargai ruang gerak orang lain. 

Buat apa berkomunikasi dengan orang berbahasa tubuh seperti itu? Saya pun tidak nyaman melihat video petinggi TNI berkecak pinggang. Apalagi bukan secara tidak sadar, tetapi dilakukan kompak. Dengan kesadaran, karena difoto berulang-ulang pula. Seragam. 

Mestinya para petinggi TNI mencairkan suasana yang cenderung memanas jelang hari H pelaksanaan pemilu. Lebih mendengarkan pendapat rakyat. Berpakaian yang lebih bersahabat, bukan gunakan pakaian lapangan tempur. Anda mau bertempur dengan siapa? Berbeda jika itu diungkapkan dalam latihan tempur gabungan TNI untuk menjaga kedaulatan RI dan ancaman invasi asing. Lawan bicaranya adalah pihak asing.

Fungsi teritorial

Jika pesan disampaikan untuk rakyat dan dilihat rakyat di layar media, tentu akan menimbulkan kesan tidak respek. Padahal TNI memiliki fungsi teritorial, di antara lima fungsi lainnya, yakni: intelijen, operasi, personel, dan logistik.  

Fungsi teritorial memiliki tugas membina dan mendayagunakan unsur-unsur geografi, demografi, dan kondisi sosial menjadi ruang, alat, dan kondisi (RAK) juang yang tangguh dalam mencapai tugas pokok TNI.  

Apa itu tugas pokok TNI? Menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan negara.

TNI adalah tentara rakyat. Berasal dari rakyat. Dan akan kembali menjadi rakyat setelah purna tugas. Sikap teritorial mewajibkan TNI dekat dengan rakyat. Karena itu penting untuk mengintensifkan komunikasi sosial (Komsos) TNI terhadap rakyat. Misalnya dengan menyerap aspirasi rakyat, bagaimana caranya agar rakyat respek dengan TNI. 

Kehadiran TNI jangan justru menjadi momok menakutkan bagi rakyat. Menimbulkan antipasti rakyat. Sebab sikap territorial, makna sesungguhnya adalah bagaimana TNI bisa ‘menembak’ hati rakyat, menghayati kemauan rakyat.

Ada Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan delapan wajib TNI yang harus diimplementasikan dalam tingkah laku dan bahasa tubuh yang ramah. Apa saja itu gesture tubuh yang harus ditampilkan dalam delapan wajib TNI itu? Jelas tertulis: murah senyum, tegur sapa, rasa hormat dan terima kasih, kenali adat istiadat, larut diri di setiap lapisan masyarakat, positif dalam tata susila, kesediaan untuk membantu, dan selalu ikut kegiatan keagamaan.

Duhai luar biasa filosofi-filosofi TNI.Hal itu harus diterjemahkan dalam komunikasi sosial dengan komponen masyarakat. Bukan komunikasi tempur (kompur). Tidak ada istilah kompur yang ada saat menyampaikan pesan kepada rakyat adalah komsos.    

Mestinya, Marsekal Hadi menyampaikan imbauan untuk mengajak komponen masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam pesta demokrasi dengan gembira walau pun ada perbedaan pilihan. Komunikasi adalah kata mutlak dalam kehidupan. Tanpa komunikasi artinya mati.

Petinggi TNI, beradaptasilah dengan situasi. Kedepankanlah komunikasi sosial agar memudahkan tugasmu saat berhadapan dengan rakyat. Berinteraksilah dengan kerendahan hati untuk membangun suasana yang kondusif. Tanggalkan simbol keangkuhan ketika berkomunikasi dengan rakyat. 

Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman jimatnya cuma satu: ikhlas berjuang untuk rakyat. Ia tahu penderitaan rakyat. Ia pun miskin bersama rakyatnya. Segala perhiasan istrinya dijual untuk bergerilya demi rakyat dan bangsanya. Saat sakit keras dan Presiden Sukarno memintanya tinggal di kota, Sudirman menolak. Ia memilih tetap bergerilya dan berkumpul dengan rakyatnya.

Tempat terbaik baginya adalah berada di tengah-tengah anak buahnya. Menyatu bersama rakyat. Itulah kehormatan tertinggi baginya. Panglima Besar Sudirman lusuh dan lemah, karena sakit yang dideritanya. Tapi ia terus rendah hari, menyampaikan permohonan maaf kepada rakyat. Meminta maaf jika merepotkan rakyat.

Rakyat menangis melihat Bapak TNI yang rendah hati. Prajurit berlinang air mata melihat sosok jenderalnya yang miskin harta, namun terus bergerilya dengan gagah berani.  Jangan sekali-kali menakuti, apalagi menyakiti rakyat.

/selamatgintingofficial

04 April 2019

Khilafah?

Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis

Anda yang kuliah di jurusan ilmu politik, program studi politik pemerintahan, maka wajib mengambil mata kuliah Pemikiran Politik Islam serta Lembaga-lembaga Islam. Saat saya kuliah, dosen yang mengajar, Herman Hidayat. Kini profesor riset bidang sosiologi di LIPI. Kebetulan beliau dosen pembimbing akademik saya.

Dosen kutu buku yang kerap memberikan tugas meresensi buku. Ia ingin mahasiswanya paham betul tentang khilafah. Sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Seperti umat Katolik, kekhalifahannya di Vatikan. 

Herman Hidayat yang S1-nya dari IAIN dan S-3 di Jepang, ingin mahasiswanya paham  tentang Khulafaur Rasyidin. Sebuah kekhalifahan yang terdiri atas empat khalifah pertama dalam sejarah Islam. 

Pada puncak kejayaannya, Kekhalifahan Rasyidin membentang dari Jazirah Arab, sampai ke Levant, Kaukasus dan Afrika Utara di barat. Serta sampai ke dataran tinggi Iran dan Asia Tengah di timur.

Kekhalifahan Rasyidin merupakan negara terbesar dalam sejarah sampai masa tersebut. 

Jadi, Nabi Muhammad SAW tidak mengajarkan secara langsung bagaimana memilih pemimpin setelah beliau wafat. Secara tidak langsung, Islam memberikan kebebasan untuk membuat model pemilihan khalifah atau sistem pemerintahan. 

Kepemimpinan keempat Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) pun berbeda-beda sesuai dengan karakter pribadi dan situasi masyarakatnya. Umat Islam diminta belajar dari sistem pemerintahan itu. Tak ada keharusan mengikuti model tertentu. 

Prof Dr Herman Hidayat sudah mengingatkan. Kelak pasti ada yang mendistorsi tentang khilafah. Padahal semua sistem ada plus dan minusnya. Di situ mahasiswa diminta membuat plus minusnya dan perbandingan dengan Pancasila.

Khilafah kami pelajari. Komunisme, liberalisme dan isme-isme lainnya pun wajib dipelajari. Tapi yang tidak belajar sistem-sistem pemerintahan tersebut, saat ini berkoar-koar di media sosial. Menakut-nakuti seolah-olah akan membangkitkan khilafah. Mereka menggunakan contohnya dengan ISIS. 

Siapa yang mau seperti ISIS? Siapa yang mau seperti kondisi Suriah yang runyam? Isu-isu yang didistorsi untuk marketing politik. Tidak laku jual. Isu politik lima tahunan ini tak laku sebagai gorengan.

Kita semua Pancasila. Kita semua juga cinta NKRI. Saat ini kandidat capresnya juga masih sama dengan lima tahun lalu. Catat dan nilai saja antara janji dan realisasi serta bagaimana implementasinya.

/selamatgintingofficial

01 April 2019

Polisi Muluskan Game Over Jokowi!

Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis

Sama seperti pilkada DKI Jakarta dan Sumatra Utara. Polisi memobilisasi massa untuk dukung Ahok dan Djarot. Kasat mata! Kini mereka melakukan cara yang sama. Dukung Jokowi dalam pilpres 2019.

Ahok, Djarot dan kini Jokowi elektabilitasnya tidak bisa melebihi 50 persen. Kendati tinggal dua pekan lagi pemilu. Dulu, Ahok tidak percaya saat saya bilang dia akan kalah. Alasannya, sebagai pejawat, elektabilitasnya mangkrak di angka 42-44 persen. Ia bilang, "tim saya yakin menang telak."

Masyarakat sudah tahu hasilnya. Ahok dan Djarot justru kalah telak! Beda dua digit dengan rivalnya.

Maka kini, game over (istilah kalah dalam game milenial) juga untuk Jokowi. Cara polisi semakin memuluskan kekalahan, karena rakyat tidak suka baju coklat turut menjadi pemain. Tidak netral!

Mata publik nasional terbelalak. Terbelalak ketika polisi membuat acara Millenial Road Safety Festifal (MRSF) 2019. Acara digelar Polda Jawa Timur di Jembatan Suramadu, 17 Maret lalu. Acara serupa  diagendakan digelar di Sulawesi Selatan, Jakarta, Kalimantan Utara, Banten, dan Jawa Tengah.

Publik melihat dengan mata terang benderang. Acara polisi justru menjadi ajang kampanye dukung Jokowi. Lagu yang diputar pun 'Jokowi Wae'.

Polisi memantik persoalan. Menjadi bagian tim kampanye 01. Akhirnya, keesokan harinya, Kapolri Jenderal Muhamad Tito Karnavian membuat surat edaran. Polisi harus netral! Acara MRSF di sejumlah provinsi pun diundur, usai pemilu. 

Surat edaran Kapolri justru menyiratkan, polisi memang tidak netral. Sebab UU Kepolisian mengamanatkan polisi harus netral! Netral bukan cuma di kertas dan di mulut, tetapi terpenting dalam tindakan. 

Mabes Polri keluarkan 14 poin netralitas sebagai aparatur negara. Lalu yang bermain di bawah, siapa? Atas perintah siapa? Petinggi yang mana? Jika menyimak operasi intelijen, tentu saja apabila ketahuan, akan dibantal. Disangkal! 

Kampanye terbuka sudah berjalan beberapa hari. Beda dengan tahun 2014, massa membludak ingin melihat Jokowi. Aura itu, kini sirna. Sirna termakan tingkah polah kerjamu yang tak memuaskan bagi lebih dari separuh pemilih negeri. Pesona Mas Joko sudah pudar.

Saya mengamati pemilu sejak 1992, dan 1997 era Orde Baru. Kemudian pemilu era reformasi sejak 1999 hingga saat ini. Aura kekalahan para pejawat atau juara bertahan. Golkar keok pada pemilu 1999, saya saksikan di lapangan. Begitu pula aura kekalahan Megawati, saya saksikan pada 2004. Juga aura kekalahan Foke di pilkara Jakarta pada 2012. 

Kini, saya menjadi saksi aura kekalahan Jokowi pada 2019. Sakit memang, tapi itulah roda kehidupan. Tanggapi saja dengan bijak, tak perlu irasional. Apalagi emosional. Tidak percaya dengan ungkapan saya, juga tidak apa-apa. Silakan buat tulisan juga berdasarkan keyakinan sebagai sesama netizen. Bebas Merdeka!

Berkemaslah ke Solo, Tuan Jokowi. Rantai sepedamu sudah putus. Tak bisa lanjut ke etape berikutnya.  Pestamu saatnya berhenti sampai di sini. Ya, game over Jokowi!

/selamatgintingofficial

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...