Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis
Bagian II
Pindah haluan
Perang melawan ancaman invasi ekonomi Cina di Indonesia, seperti diisyaratkan Romulo Simbolon, menjadi ‘kegentingan’ yang memaksa para jenderal menyatu. Nyaris sejumlah jenderal yang tadinya berseberangan dengan Prabowo, kini justru berkumpul mendukung mantan Panglima Kostrad serta Komandan Jenderal Kopassus tersebut.
Romulo, awalnya bukan ‘kelompok’ Prabowo saat masih militer aktif. Namun kegentingan, memaksa para jenderal itu menyatu untuk melakukan perubahan. Utamanya melawan ancaman invasi Cina di Indonesia.
Ia dulu dikenal sebagai karib almarhum Letjen Agus Wirahadikusuma (WK). Lulusan Akmil 1973 juga. Prabowo, Romulo, dan Agus WK, kebetulan punya tanggal kelahiran yang sama, 17 Oktober 1951. Ketiganya justru dikenal ‘berseberangan’ dengan Jenderal Wiranto. Wiranto kini berada di belakang kubu Presiden Jokowi.
Konflik elite militer pada 1998 itu memang tidak bisa dilepaskan dari dua figur utama, Wiranto versus Pranowo. Namun, tidak semua jenderal yang dulunya dianggap kubu Wiranto, berada di barisan Jokowi.
Yang mengejutkan adalah tampilnya Letjen (Purn) Djamari Chaniago. Ia mengenakan kemeja safari krem empat kantong dan peci merah hati khas Gerindra. Lulusan Akmil 1971 itu tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Indonesia Raya (PPIR), sayap Partai Gerindra. PPIR kini dipimpin Mayjen (Purn) Musa Bangun (1983), mantan Koordinator Staf Ahli KSAD.
Ada pun Djamari pada Agustus 1998, menjadi sekretaris Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang memeriksa Prabowo. Sebagai Ketua DKP adalah KSAD, Jenderal Subagyo HS (Akmil 1970), dan wakil ketua Letjen Fachrul Razi (1970). Anggota: Letjen Yusuf Kartanegara (1966), Letjen Arie J Kumaat (1966), Letjen Agum Gumelar (1968), dan Letjen SBY (1973)
Dari personel DKP, SBY dan Djamari Chaniago, kini berada dalam kubu Prabowo. Sementara Arie Kumaat sudah meninggal dunia. Hanya Agum Gumelar dan Fachrul Razi yang masih terus mencecar Prabowo. Sedangkan Subagyo HS dan Yusuf Kartanegara, selama ini tidak pernah bicara kasus yang melibatkan Prabowo.
Djamari malah meminta para purnawirawan jangan takut untuk memilih Prabowo dalam pilpres 2019. Dengan tekad dan kemampuan yang dimiliki purnawirawan saatnya berbuat untuk bangsa dan negara.
“Negara masih membutuhkan purnawirawan. Berhasil atau tidaknya perjuangan kita, ukurannya satu. Menangkan Prabowo sandi pada pipres 2019,” kata Djamari, mantan Kasum TNI yang pernyataannya beredar di youtube.
Agum Gumelar, bukan hanya menyerang Prabowo. Belakangan ia juga menyerang SBY yang dianggapnya tidak punya pendirian. Ia menyesalkan SBY, karena mendukung Prabowo jadi calon presiden. Padahal SBY dan Agum sama-sama anggota DKP 1998.
Terhadap serangan Agum tersebut, kepada pers SBY menjawab. "Teman-teman, tentu saja saya sangat bisa menjawab dan melawan 'pembunuhan karakter' dari Pak Agum Gumelar terhadap saya tersebut. Tetapi tidak perlu saya lakukan karena saya pikir tidak tepat dan tidak bijaksana. Saya malu kalau harus bertengkar di depan publik," kata SBY, pertengahan Maret 2019 lalu.
SBY menuturkan, di tengah situasi politik yang semakin panas, diperlukan sikap yang menyejukkan. SBY khawatir terhadap situasi Tanah Air jika pimpinan atau elite politik tidak pandai mengelola situasi itu. ia meyakini apa yang disampaikan Agum belum tentu atas sepengetahuan Presiden Jokowi. Meskipun Agum sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jokowi.
Dari kubu Wiranto yang berbalik dukung Prabowo, ada pula nama Letjen (Purn) Yayat Sudradjat (1982). Yayat, mantan Sesmenko Polhukam. Ia juga bergabung dalam purnawirawan Baret Merah pendukung Prabowo.
Publik tahu, Agum Gumelar, Fachrul Razi, serta Hendropriyono (1967) selama ini kerap menyerang Prabowo dalam peristiwa 1998. Dari kubu Prabowo, biasanya yang menghadapi mereka adalah mantan Kasum TNI dan wakil KSAD, Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo (1976) dan mantan Kas Kostrad, Mayjen (Purn) Kivlan Zen (1971).
Kasus peristiwa 1998, sesungguhnya dianggap telah selesai dalam kontestasi pemilihan presiden sejak 2004. Saat itu, baik Prabowo, Wiranto, dan Agum Gumelar mengikuti konvensi presiden Partai Golkar pada 2004. Namun belakangan Agum mundur. SBY batal mengikuti kontestasi tersebut. Wiranto tampil sebagai pemenang konvensi mengalahkan ketua umum Golkar, Akbar Tanjung. Peserta konvensi lainnya adalah Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.
Agum memilih bergabung menjadi cawapresnya Hamzah Haz. Sedangkan SBY menjadi capres berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK). Hasil akhir pilpres, SBY dan JK menjadi pemenang mengalahkan pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi di putaran kedua. Di putaran pertama yang gugur adalah pasangan Wiranto dan Solahuddin Wahid, Amien Rais dan Siswono Yudohusodo, serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar.
Kasus 1998 juga tidak ada masalah bagi Prabowo pada pilpres 2009. Saat itu Megawati berpasangan dengan Prabowo. Kontestan lainnya adalah JK berpasangan dengan Wiranto. Mereka menantang pejawat, SBY yang berpasangan dengan Budiono. SBY kembali menjadi presiden 2009-2014.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment