20 April 2019

Kegentingan Memaksa, Jenderal! (3)

Oleh
Selamat Ginting

Jurnalis

Bagian III

Serangan Wiranto
Menjadi aneh, ketika Wiranto tidak bisa tampil lagi dalam pilpres 2014, namun mengembuskan isu kasus 1998 soal Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Wiranto bersama Hendro dan Agum menjadi trio yang menyudutkan Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa saat menghadapi Jokowi berpasangan dengan JK.

“Isu usang 20 tahun lalu yang digoreng terus.  Justru hasil DKP tidak ada pernyataan pelanggaran HAM oleh Prabowo, tidak ada peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang melibatkan Prabowo,” kata Suryo Prabowo, jenderal korps Zeni, lulusan terbaik Akmil 1976.

Baginya, ucapan Agum Gumelar, justru memperlihatkan kecemburuan pribadi Agum terhadap Prabowo.  Dari sisi sebagai pengusaha, Agum kalah. Dari sisi politik juga kalah. “Agum mau jadi gubernur DKI Jakarta saja tidak bisa, karena kurang dukungan. Maju dalam pilkada Jawa Barat juga kalah. Sedangkan Prabowo bisa membuat partai politik besar.”

Rivalitas
Prabowo dan Wiranto setelah keluar dari Partai Golkar membuat partai politik sendiri. Bahkan Gerindra kini menjadi partai ketiga terbesar pada pemilu 2014. Padahal Partai Gerindra, baru berdiri pada 2008. Ikut pemilu 2009, langsung lolos ke Senayan. 

Kini, Gerindra berpeluang menjadi partai nomor dua terbesar pada pemilu 2019. Partai besutan Prabowo jauh lebih laku jual daripada Partai Hanura, besutan Wiranto. Hanura malah terancam tidak akan lolos ke Senayan pada pemilu kali ini. 

Lain lagi dengan Kivlan Zen. Menurutnya, Wiranto tidak perlu digubris, Sebab dari sisi militer sesungguhnya Wiranto sudah gagal. Gagal menghadapi kerusuhan Mei 1998, namun ngotot ingin menjadi panglima ABRI. “Dia panglima yang gagal, makanya kami mengusulkan agar Presiden Habibie tidak memilih Wiranto lagi sebagai panglima ABRI,” kata Kivlan dalam sebuah wawancara. 

Hubungan Kivlan dan Wiranto pun selalu panas. Terakhir saat acara silaturahmi Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Keduanya beradu mulut soal peristiwa 1998. Namun ditengahi oleh Ketua Umum PPAD, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri. 

Mengenai tudingan upaya kudeta oleh Prabowo dkk juga ditepis Letjen Marinir (Purn) Suharto. Menurutnya, jika saja mau, bisa saja dilakukan kudeta. Apalagi Kostrad, Kopassus, Kodam Jaya ditambah Korps Marinir memiliki jumlah pasukan yang cukup besar. 

“Saya bersama Prabowo (Pangkostrad), Muchdi (Danjen Kopassus), Sjafrie (Pangdam Jaya) berada di Jakarta. Tidak ada upaya untuk itu. Jadi fitnah jangan dikembangkan lagi,” kata mantan Komandan Korps Marinir itu dalam sebuah publikasi. 

Inkonsistensi Agum
Terhadap dukung-mendukung calon presiden dan wapres, organisasi paguyuban purnawirawan TNI-Polri menyatakan netral dan tidak berpolitik praktis.  

“Saya harus kawal gerbong ini sebagai lembaga yang netral dan tidak berpolitik praktis. Soal pilihan politik, dikembalikan kepada anggota  di tempat pemungutan suara. Pengurus PPAL yang menjadi pendukung pasangan calon, harus mengundurkan diri,” kata  Ketua Umum PPAL, Laksamana (Purn) Ade Supandi.

Hal senada dikemukakan Ketua Umum PPAD, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri; Ketua Umum PPAU, Marsekal (Purn) Djoko Suyanto; serta Ketua Umum PP Polri, Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri.

Ketua Umum PEPABRI, Jenderal Hor (Purn) Agum Gumelar juga menyuarakan hal yang sama. Namun Agum justru berpolitik praktis dengan selalu menyerang Prabowo sejak pilpres 2014 dan 2019. 

Agum anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jokowi. Sehingga netralitasnya sebagai Ketua Umum PEPABRI yang menaungi purnawirawan TNI dan Polri menjadi bias. Selain Agum, Subagyo HS dan Yusuf Kertanegara juga menjadi anggota Wantimpres. Mereka bekas personel DKP tahun 1998.

Agum selalu bicara soal pelanggaran HAM pada 1998, namun tidak pernah bicara masalah yang sama untuk sejumlah peristiwa. Misalnya saja kasus Talangsari, Lampung, pada Februari 1989 yang diduga menewaskan 47 orang dan 88 lainnya hilang, seperti data Kontras (Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan). Dalam peristiwa tersebut, Komandan Korem 043 Garuda Hitam adalah Kolonel Hendropriyono. Kemudian digantikan Kolonel Agum Gumelar.  Begitu juga kasus Munir Thalib, pada 2004. Kasus itu diduga menyeret nama Hendro sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Dukungan sahabat 
Salah satu yang mengetahui peristiwa kerusuhan 1998 adalah mantan Pangdam Jaya, Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin. Sjafrie, kini bergabung dengan kubu Prabowo. Padahal ia sempat disebut turut Wiranto pasca konflik elite militer tahun 1998 itu. 

Baru-baru ini, Sjafrie tampil di twitter. Ia memposting kegiatannya menghadiri kampanye Prabowo Sandi  di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 7 April lalu. Ia menggunakan baju koko putih dan kopiah hitam. Lalu menuliskan kalimat:  Ya Allah lenyapkanlah kezaliman dan kesombongan. 

Setelah itu muncul foto Sjafrie bersama Prabowo saat keduanya berpangkat letnan kolonel. Keduanya menggunakan pakaian dinas lapangan loreng, lengkap dengan baretnya, Sjafrie berbaret Kopassus, dan Prabowo berbaret Linud Kostrad dengan kalimat: sahabat lama. Kemudian muncul lagi foto saat keduanya menjadi taruna. Termasuk foto taruna SBY. 

Kegentingan yang memaksa para jenderal menyatu. Tak ada lagi batas kelompok, apalagi menurut agama. Ada Johanes Suryo Prabowo yang Katolik, Romulo Simbolon dan Musa Bangun yang Kristen Protestan, misalnya.  Termasuk Yunus Yosfiah (1965), Syarwan Hamid (1966), dua letjen purnawirawan yang dikenal dekat dengan mantan Panglima ABRI, almarhum Jenderal (Purn) Feisal Tanjung (1961).

Bahkan Syarwan, mantan Kassospol ABRI itu, beberapa waktu lalu memposting tulisannya bahwa presiden dan jajarannya, berpotensi menjadi pengkhianat bangsa. Tulisan itu viral.
“Semakin hari bertambah terus warga Cina yang patut diduga berstatus atau berkualifikasi paramiliter masuk ke Indonesia. Terbanyak di bagian Timur.   Saya kira bagi mereka yang punya rasa memiliki terhadap NKRI, terlebih yang memiliki kualifikasi intel atau punya aparat intel, pasti akan sangat risau dan gemas,” kata Syarwan.

“Terkutuklah kalian (elite negeri), jika kelak terjadi petaka pada negeri ini. Insya Allah, saya yakin rakyat akan memobilisasi perlawanan, jika gejalanya akan menjadi serius,” pungkas Syarwan.

Ya, ancaman invasi Cina, menjadi salah satu alasan berkumpulnya para perwira tinggi purnawirawan TNI Polri di kubu 02 Prabowo. Mereka melupakan konflik-konflik lama dan ingin ada perubahan. Perubahan harus ada pemimpin. Pemimpin yang tegas dan mampu menyelesaikan ancaman di depan mata tersebut.

(Habis)

No comments:

Post a Comment

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...