Oleh: Selamat
Ginting
Jurnalis
Wacana pemindahan
ibukota negara, kini kembali ramai dibahas. Presiden Sukarno sesungguhnya sudah
mencanangkan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Palangkaraya pada 1957. Bahkan
pemerintah kolonial Belanda pada 1920-an juga pernah merencanakan ibukota ke
Bandung. Ada apa dengan Jakarta?
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Republika/Harun Husein) |
Presiden Sukarno yang pertama kali melontarkan ide
memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Tengah. Tepatnya di kota
Palangkaraya. Kota ini dibelah oleh sungai Kahayan. Keinginan Sukarno
memindahkan ibukota negara dilontarkan pada 1950-an. Ia sudah meramalkan
Jakarta akan tumbuh tak terkendali.
"Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal
dan model," ujar Sukarno saat pertama kali menancapkan tonggak pembangunan
kota ini pada 17 Juli 1957.
Apa alasan Sukarno memilih Palangkaraya? Pertama; Kalimantan adalah pulau terbesar di
Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Kedua;
menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga; pembangunan di Jakarta dan Jawa adalah
konsep peninggalan Belanda. Ia ingin membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya
sendiri. Bukan peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil.
Keempat; Jakarta punya sungai Ciliwung,
Palangkaraya juga punya sungai Kahayan. Sukarno ingin memadukan konsep
transportasi sungai dan jalan raya. Ia ingin Kahayan secantik sungai-sungai di
Eropa. Warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai.
"Janganlah mendirikan bangunan di sepanjang
tepi Sungai Kahayan. Sebab lahan itu hendaknya diperuntukkan bagi taman,
sehingga pada malam hari terlihat kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang
melewati sungai tersebut," kata Sukarno dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.
Jakarta: Balai Pustaka. Penulis Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto.
1990.
Bantuan Uni Soviet
Untuk mewujudkan ide tersebut, Sukarno bekerjasama
dengan Uni Soviet. Para insinyur dari negara komunis terbesar itu didatangkan
untuk membangun jalan raya di lahan gambut di Palangkaraya. Pembangunan
ini berjalan dengan baik. Tapi seiring dengan terpuruknya perekonomian
Indonesia di awal 1960-an, pembangunan Palangkaraya terhambat.
Puncaknya pasca 1965, stabilitas politik, ekonomi,
sosial dan keamanan negara terguncang. Sukarno
pun dilengserkan dari singasana kekuasaannya. Maka, sejak itu, Palangkaraya
tinggal kenangan.
Kini, ramalan Sukarno menjadi kenyataan: Jakarta semakin
semrawut! Sementara pembangunan di Palangkaraya berjalan lambat. Nyaris tak ada
tanda-tanda kota ini pernah akan menjadi ibukota Republik. Yang ada hanya
sebuah monumen sejarah. Sejarah sebagai pengingat Sukarno pernah punya mimpi
besar memindahkan ibukota ke Palangkaraya.
Memang Jakarta sebagai ibukota negara, semakin
tidak layak. Siapa pun yang menjadi gubernurnya, akan kesulitan mengatasi segudang
masalah. Mulai dari kemacetan akut, kepadatan penduduk, pembangunan tak
terencana, hingga banjir yang selalu mengintai jika musim hujan datang.
Jakarta Kota
Rawa
Rawa Mangun, Rawa Angke, Rawa Gede, Rawa Belong,
dan beberapa nama lain yang menggunakan kata rawa. Nama-nama itu menunjukkan
beberapa wilayah Jakarta secara alami memang kawasan rawa. Sehingga tidak tepat
dijadikan pemukiman atau pusat kota. Orang Belanda yang pertama kali membangun
Batavia memahami wilayah ini berawa-rawa. Namun Belanda memiliki keahlian
khusus di bidang hidrologi.
Para arsitek Negeri Kincir Angin itu membangun
Batavia mengacu pada pembangunan di negerinya. Negeri Belanda, tiga perempat lahannya awalnya berada
di bawah permukaan air laut. Namun disulap, dibuat bendungan (dam) menjadi kota
untuk tempat tinggal. Jadilah Amsterdam, Roterdam dan lain-lain. Pengetahuan
dan teknologi itu pula yang digunakan merekayasa Batavia. Dari rawa-rawa itu
menjadi satu kota yang besar.
Sejak 1920-an
Wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke
wilayah lain bukan hal baru. Bahkan sebelum Indonesia merdeka pada awal
1920-an, Belanda sudah merencanakan pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung.
Beberapa wilayah juga pernah dijadikan alternatif
ibukota pengganti Jakarta. Misalnya Palangkaraya, Jonggol (Bogor, Jawa Barat),
Purwokerto, Lampung, Karawang, dan Palembang.
Sejarah mencatat, Indonesia pernah memindahkan
ibukotanya beberapa kali pada 1945-1950. Jatuhnya ibukota Jakarta yang dikuasai
Belanda, membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan utusan dan
menawarkan Yogyakarta menjadi ibukota negara. Saran ini disetujui Presiden Sukarno.
Pada 4 Januari 1946, ibukota Indonesia
resmi pindah ke Yogyakarta. Istana Negara pindah ke Gedung Agung, berseberangan
dengan Benteng Vredeburg.
Namun, saat Belanda melancarkan Agresi Militer II,
Yogyakarta jatuh ke tangan tentara Belanda. Para pimpinan negara ditangkap.
Dalam keadaan darurat, dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan
ibukota kembali dipindahkan lagi. Dipilihlah Kota Bukittinggi, Sumatra Barat. Alasannya,
karena Sjafrudin Prawiranegara disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat (presiden
darurat) jika para pemimpin nasional ditangkap.
Pada 17 Agustus 1950, ibukota dikembalikan ke
Jakarta berdasarkan UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46. Dalam perkembangan
selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 10, Tahun 1964, ditetapkan Jakarta
sebagai ibukota negara. Disahkan pada 31
Agustus 1964 oleh Presiden Sukarno.
Sejak itu, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat
akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di
Jakarta. Pemerintah mulai melaksanakan program pembangunan proyek besar,
seperti membangun pemukiman masyarakat, dan mengembangkan pusat-pusat bisnis
kota. # end