20 June 2019

Sidang MK Buka Tabir Hilangnya Roh Demokrasi


 
Video: Youtube Imam Chanafi


Oleh: Selamat Ginting

Sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk pemilihan presiden (pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam beberapa hari ini, membuka mata publik. Betapa dugaan kecurangan mencederai roh demokrasi. Kecurangan berpotensi dilakukan pejawat atau petahana. Sang pejabat yang tengah memerintah.  Bahasa kerennya, incumbent. 

Saat berlangsungnya kampanye pemilu 2019, publik dikejutkan dengan istilah ‘perang total’. Istilah yang dikemukakan seorang elite istana. Segala justifikasi dikemukakannya, saat pers mengonformasi kepada yang bersangkutan. Ia seorang pensiunan jenderal di istana. 

Kemarin, saat sidang di MK, anak muda bernama Hairul Anas membocorkan materi pelatihan tim kampanye nasional (TKN) milik incumbent. Dalam keterangannya kepada majelis hakim, Anas mengawali ceritanya ketika ia menghadiri pelatihan saksi yang diselenggarakan TKN pada 20-21 Februari 2019 lalu di kawasan Kelapa Gading. 

Dalam pelatihan rahasia itu, pada slide materi pertama ada keterangan yang mengatakan, kecurangan merupakan bagian dari demokrasi. Garis bawahi: kecurangan merupakan bagian dari demokrasi. 

Anas mengemukakan materi tersebut disampaikan ketika ketua harian TKN, Moeldoko memberikan paparannya.  Ia meminta agar materi yang dimaksud ditunjukkan dalam sidang tersebut. Menurutnya, materi ini masih bisa diunduh hingga sekarang.

Keponakan Prof Dr Mahfud MD itu mengaku terkejut mendengarkan dan melihat langsung materi tersebut. Pernyataan Anas yang dikemukakan di bawah sumpah sebagai saksi itu, tentu saja mengejutkan publik. Bagi penulis, sekaligus mengonfirmasi kalimat ‘kecurangan merupakan bagian dari demokrasi’, patut diduga sebagai terjemahan dari kata: ‘perang total’ yang dikemukakan elite istana tersebut.

Kita patut mengutuk kalimat: kecurangan sebagai bagian dari demokrasi!

Kampanye permanen
Dari peristiwa yang tersaji di MK tersebut, sesungguhnya tidak ada hal baru dalam dunia  komunikasi politik. Incumbent (siapa pun dia) memang selalu diuntungkan dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. Kita tidak bicara soal pasangan 01 atau 02. Namun spesifik bicara siapa pun yang menjadi incumbent.

Incumbent sedari awal sudah mencuri start dalam kampanye. Bahasa komunikasi politiknya: kampanye permanen. Sebuah pola atau bentuk kampanye yang dilakukan pejabat yang tengah memerintah. Baik presiden, gubernur, bupati, maupun wali kota. Termasuk yang telah menjadi anggota DPD, DPR maupun DPRD.

Menurut dosen komunikasi politik pasca sarjana ilmu komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr Achmad Jamil MSi, kampanye permanen dilakukan secara terus-menerus dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pekerjaan incumbent tersebut.   “Incumbent bisa melakukan kampanye sepanjang waktu, saat ia menjabat. Misalnya saja mengadakan jumpa pers, kunjungan kerja, wawancara dengan media dan sebagainya.” 

Apa yang dikemukakan Achmad Jamil masuk akal. Secara teoritis, pejabat yang tengah memerintah lebih mempunyai kemungkinan untuk terpilih kembali. Hal ini karena incumbent bisa memanfaatkan sumber daya yang dipunyai untuk menarik dukungan pemilih. 

Di Amerika dan Eropa, sejumlah studi menunjukkan secara jelas hal tersebut (lihat Doherty, 2007; Norris, 2000; Steger, 1999). Misalnya, anggota Dewan Perwakilan (house of representative), senator atau gubernur yang tengah memerintah, rata-rata lebih dari 80% terpilih kembali ketika maju dalam pemilihan.

Kampanye permanen (permanent campaign) adalah bentuk kampanye yang dilakukan oleh pejabat yang tengah memerintah dengan memanfaatkan posisi dan kantor pemerintahannya (lihat Steger, 1999).

Berbeda dengan kandidat lain, kandidat politik (DPR, presiden, kepala daerah) yang tengah memerintah (tengah menjabat) mempunyai kedudukan yang memungkinkan mereka melakukan kampanye secara terus-menerus sepanjang masa pemerintahannya. 

Contohnya: kunjungan kerja, mendatangi pemilih, membuat kebijakan, mendengarkan keluhan dan aspirasi publik, selain menjadi tugas pejabat yang tengah memerintah juga bisa dilihat sebagai bentuk kampanye agar kandidat bisa terpilih kembali dalam periode pemilihan berikutnya.

Bukalah panca indera Anda dengan cara saksama (teliti). Incumbent juga memanfaatkan sumber daya yang terdapat di kantor (kantor, staf, dana) untuk menjangkau pemilih. Jangan heran jika kuat dugaan memanfaatkan aparat sipil negara (ASN), karyawan BUMN, BUMD, dan yang terkait dengan pemerintah. Serta tentu saja dana yang ada pada lembaga-lembaga di bawah pemerintah maupun BUMN. Perhatikan materi gugatan pemohon di MK sambil menunggu keputusannya. 

Kampanye punya potensi dilakukan secara terus menerus. Inilah wujud kampanye permanen. Hal ini untuk membedakan dengan kampanye yang dilakukan oleh kandidat yang bukan incumbent. Umumnya kampanye dilakukan menjelang pemilihan. Dalam pilpres 2019, misalnya, sang penantang baru bisa kampanye pada Oktober 2018 lalu. Sang penantang, tidak bisa melakukan kampanye di kantor pemerintahan, seperti halnya kampanye terselubung yang diakukan incumbent.

Dampak langsung
Kampanye permanen yang dijalankan kandidat incumbent punya dampak langsung terhadap kemungkinan terpilihnya kembali  kandidat. Steger (1999) mencatat  di Amerika Serikat sekitar 90% anggota Dewan Perwakilan (House of Representative) dan 80% anggota senat terpilih kembali pada pemilihan selanjutnya. 

Hebatnya, rata-rata kandidat menang dengan margin (selisih dengan kandidat lawan) sangat besar, di atas 60%. Data ini menunjukkan potensi kemungkinan kandidat yang tengah memerintah (incumbent) untuk terpilih kembali sangat besar.

Menurut Steger (1999), faktor terpenting yang menyebabkan kandidat incumbent terpilih kembali adalah karena mereka menjalankan kampanye permanen (permanent campaign). Kandidat incumbent mempunyai keuntungan  dan akses yang tidak dipunyai oleh kandidat penantang. 

Pertama, keuntungan finansial. Kampanye membutuhkan dana yang besar, untuk kepentingan logistik, biaya perjalanan untuk menjagkau pemilih hingga biaya staf kampanye. Pejabat incumbent diuntungkan karena semua kegiatan itu bisa ditanggung oleh dana dari kantor pemerintah. Pejabat incumbent bisa memanfaatkan staf di kantor, perjalanan dinas hingga fasilitas surat untuk menjangkau pemilih. Biaya kampanye menjadi lebih murah dan efektif. 

Kedua, kandidat incumbent punya kesempatan untuk mendatangi pemilih sepanjang waktu, tidak terbatas hanya menjelang hari pemilihan. Sepanjang masa kerjanya, incumbent bisa datang ke daerah-daerah, mendengarkan suara pemilih, mencatat keluhan mereka dan sebagainya. Dengan kesempatan yang besar dalam menjangkau pemilih, tidak mengherakan jikalau pengenalan pemilih pada kandidat umumnya sangat besar. 

Menurut catatan Steger (1999), rata-rata 90% pemilih di wilayah mengenal nama anggota Dewan Perwakilan (house opf representative) dan 95% mengenal nama senat.   Keuntungan semacam ini tidak dipunyai oleh kandidat penantang yang umumnya hanya berkampanye menjelang hari pemilhan. Kandidat penantang umumnya harus berjuang lebih dahulu agar bisa dikenal oleh pemilih.

Ketiga, akses media lebih besar. Pejabat yang tengah memerintah (incumbent) punya kesempatan untuk mendapatan akses liputan media yang lebih luas dibandingkan dengan kandidat penantang. Incumbent bisa membuat berbagai kegiatan, sepperti: konferensi pers, rilis agar mendapatkan liputan luas dari media. 

Di samping itu, kegiatan dari incumbenmt itu sendiri juga puya nilai berita yang membuat media tertarik untuk meliput kegiatan-kegiatan incumbent. Ucapan, komentar, kunjungan incumbent dan sebagainya punya nilai berita jika dikemas dengan baik. Incumbent juga punya kesempatan untuk mendapatkan liputan dalam waktu yang panjang, sepanjang masa pemerintahannya, jika mampu mengelola hubungan dengan media dengan baik. 

Keempat, pejabat yang tengah memerintah (incumbent) juga punya hubungan dan akses lebih besar pada penyandang dana. Pekerjaan incumbent yang mengharuskan bertemu dengan elite, pengusaha dan perusahaan membuat mereka punya akses pada sumber-sumber dana yang bisa dimanfaatkan pada masa kampanye. Potensi mendapatkan dana jauh lebih besar dibandingkan dengan penantang. 

Dengan dana yang besar, kandidat incumbent bisa membuat kampanye menjadi massif.  Steger (1999:) mencatat di Amerika Serikat sebanyak 90% dari senat dan lebih dari 70% anggota Dewan Perwakilan beriklan lewat televisi. Kemampuan beriklan di televisi (yang mahal) ini tidak dipunyai oleh kandidat penantang. 

Keuntungan dan akses yang besar yang dimiliki oleh kandidat incumbent ini diiringi dengan kegiatan dari para incumbent itu yang berorientasi pada pemilihan. Steger (1999) menyebut kegiatan para incumbent itu sebagai ”berorientasi pemilihan kembali / re-election”. 

Artinya, seorang pejabat (kepala daerah, senator, anggota house of representative) selalu berpikir dalam masa kerjanya agar bisa terpilih kembali dalam periode berikutnya. Kegiatan yang dilakukan, mulai dari program kerja, kunjungan, mendatangi masyarakat diarahkan sebagai sarana untuk mendapat keuntungan agar dalam pemihan berikutnya  kandidat bisa terpilih kembali. 

Isu dan program yang diangkat misalnya, adalah isu yang menjadi masalah masyarakat pemilih. Kandidat juga aktif mengunjungi daerah, mendengarkan pendapat dan keluhan warga. Di samping itu tentu saja ‘bersembunyi’ untuk menjalankan tugas juga agar mendapat simpati dari warga agar memilih dia kembali dalam pemilihan berikutnya.

Itu contoh Amerika dan Eropa? Tentu saja berlaku juga di Indonesia. Cara-cara seperti itu juga digunakan para incumbent. Jarang sekali incumbent di Indonesia yang kalah dalam pemilu. Memang ada sejumlah pengecualian, seperti kemenangan pasangan penantang  Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang mengalahkan pasangan incumbent Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan Djarot Saiful Hidayat pada pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.

Abaikan filsafat
Namun celakanya, keuntungan-keuntungan incumbent dalam kampanye permanen tersebut, kerap kali mengabaikan nilai-nilai bijak (filsafat), seperti: logika, etika, estetika. Ditambah yang terakhir: metafisika.

Menurut filsuf Aristoteles, logika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan atau cara berpikir. Etika adalah filsafat nilai yang membicarakan perilaku seseorang dari sudut baik dan jahat. Semua perilaku mempunyai nilai. Estetika adalah filsafat tentang penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. 

Sedangkan metafisika adalah filsafat yang berkaitan dengan proses analisis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Ada kehendak Tuhan sebagai Sang Pencipta. 

Ketika diterjemahkan dalam perilaku politik, maka politikus tidak peduli logika. Cara berpikirnya abai terhadap kronologi berpikir sistematis. Misalnya dengan cara ‘ogah; cuti kampanye. Cuti kampanye hanya ‘jam-jam-an’ saja di saat melakukan kunjungan kerja. Alasannya tidak melanggar hukum. Di sini etika pun diabaikan. Tak peduli moral. Yang penting untung. Untung, karena menggunakan fasilitas negara. 

Secara estetika pun diabaikan. Mau baik atau buruk, yang penting untung mendapatkan perhatian publik. Terakhir, mengabaikan nilai-nilai hakikat ke-Tuhan-an sebagai implementasi metafisika. Mau curang atau tidak, tak lagi menjadi bagian yang melekat pada dirinya. Tak ada lagi nilai-nilai bijaksana seperti pengertian filsafat. Inilah yang menghacurkan roh demokrasi.

/selamatgintingofficial


18 June 2019

JENDERAL ISTANA KEPUNG KARTIKA-1

Oleh Selamat Ginting
 
Peluang Pramono menjadi Panglima TNI tipis, karena usianya lebih tua daripada Laksamana Agus Suhartono.


Dua jenderal bertubuh gempal mendatangi kantor redaksi Republika di Jalan Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan. Kedua jenderal itu terlihat sigap memperhatikan gerak-gerik lingkungan di sekitarnya. Sambil memperhatikan satu per satu orang yang ada di depannya, sesekali mereka saling berbisik. Keduanya duduk bersebelahan di ujung kiri meja rapat utama Republika. 

Jenderal dengan potongan rambut cepak itu tidak sedang berseragam dinas militer. Keduanya mengenakan Safari harian dan bertugas mendampingi Presiden SBY untuk berdiskusi dengan awak redaksi.

"Di ujung kiri saya ada Sekretaris Militer Presiden Mayor Jenderal Budiman dan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden Mayor Jenderal Marciano Norman," kata Presiden SBY memperkenalkan rombongannya yang berkunjung ke Republika pada 26 Juni 2009 silam, menjelang pemilu presiden tahap kedua.

Kedua jenderal abiturien (lulusan sekolah militer) Akademi Militer (Ak-mil) 1978 itu sebelumnya pun sigap mengamankan Presiden SBY saat shalat Jumat di Masjid Al-Itihad, Pejaten, yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari kantor Republika.

Kini, dua tahun kemudian, keduanya dalam pangkat yang lebih tingi, letnan jenderal (letjen), menjadi kandidat kuat bersama Letjen Pramono Edhie Wibowo untuk menjadi kepala staf angkatan darat (KSAD). Tak ayal, ketiganya adalah orang dekat Presiden Yudhoyono.

Kalau Budiman dan Marciano pernah bertugas di lingkungan istana, demikian juga dengan Pramono. Dia pernah menjadi ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pramono adalah adik kandung dari ibu negara Ani Yudhoyono. Artinya, Pramono adalah adik ipar dari penguasa istana, Presiden Yudhoyono.

Terlepas kedekatan hubungan ketiganya dengan sang presiden, tiga jenderal itu memang memiliki rekam jejak yang cemerlang sehingga bisa mencapai jenjang kepangkatan letnan jenderal. Kebetulan pula, ketiganya berasal dari korps yang berbeda.

Budiman, lulusan terbaik Akmil 1978, berasal dari korps zeni. Ia pernah menjadi kepala zeni Kopassus dan komandan Batalyon Zeni Tempur 10 Amphibi di lingkungan Kostrad. Dia juga pernah menjadi komandan pusat pendidikan zeni dan komandan Korem di Bogor.

Masciano Norman, teman seangkatan Budiman, berasal dari korps kavale-ri. Namanya tak bisa dipisahkan dengan sosok Pangdam Jaya 1977-1982, Letjen Norman Sasono. Marciano memang anak dari Norman Sasono. Marciano pernah menjadi komandan Batalyon Kavaleri 7 Serbu Khusus Kodam Jaya, juga asisten perasi Kasdam Jaya serta komandan Korem di Pontianak.

Berbeda dengan Budiman dan Marciano, Pramono, lulusan Akmil 1980. Ia berasal dari korps infanteri dan mengawali kariernya sebagai perwira komando. Ia mengikuti jejak sang ayah, Jenderal (Hot) Sarwo Edhie Wibowo, yang pernah menjadi komandan resimen para komando angkatan darat (RPKAD). Pramono juga pernah menjadi komandan Batalion 11 Grup 1 Kopassus serta komandan Grup 5 Kopassus dan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Dalam sejarah modern TNI angkatan darat, hanya tiga korps yang pernah menjadi KSAD, yakni infanteri, zeni, dan kavaleri. "Ke depan, hanya infanteri, kavaleri, artileri medan, artileri pertahanan udara, dan zeni yang bisa menjadi KSAD, Pangdam, serta Danrem," ujar Jenderal (Purn) Rudini, KSAD pada 1983-1986 dalam buku biografinya.

Apakah Budiman akan menyusul jejak seniornya dari zeni, Jenderal Try Sutrisno, yang pernah menjadi KSAD pada 1986-1988? Atau Marciano Norman akan mengikuti karier seniornya dari kavaleri, Jenderal R Hartono, yang menjadi KSAD pada 1995-1997?
Lebih spesifik lagi, dari korps infanteri yang berasal dari pasukan komando, hanya dua yang pernah menjadi KSAD, yakni Jenderal Wismoyo Arismunandar pada 1993-1995 dan Jenderal Subagyo HS pada 1998-1999. Akankah Pramono mengikuti jejak perwira komando Wismoyo dan Subagyo?

Cerita belum selesai. Karier merekaselama menjadi perwira memang mengesankan. Ketiganya sama-sama pernah menduduki jabatan yang diidam-idamkan perwira tinggi angkatan darat, yakni panglima Kodam, bahkan Kodam elite di Pulau Jawa.

Budiman menjadi Pangdam Diponegoro di Semarang pada awal Januari 2010. Pramono menjadi Pangdam Siliwangi di Bandung pada akhir Desember 2009. Sedangkan, Marciano menjadi Pangdam Jaya pada Mei 2010 lalu. Selanjutnya, Budiman mendapatkan promosi letjen terlebih dahulu daripada kedua rekannya. Budiman menjadi komandan Kodiklatad pada Juni 2010 dan wakil KSAD pada Maret 2011.

Posisinya sebagai komandan Kodiklatad digantikan Marciano Norman. Di sini pula, Norman menerima kenaikan pangkat menjadi letjen. Sedangkan Pramono mendapatkan promosi menjadi panglima Kostrad pada November 2010 dan pangkat letjen diraih pada akhir 2010 lalu.

Di lingkungan angkatan darat, posisi bintang tiga memang ada di tiga posisi tersebut, yakni wakil KSAD, panglima Kostrad, dan komandan Kodiklatad. "Ketiga jabatan itu memang dipersiapkan untuk menduduki posisi puncak angkatan darat," kata KSAD Jenderal George Toisutta.

Pensiun

Selebihnya, posisi untuk bintang tiga ada di lingkungan Mabes TNI, Kementerian Pertahanan, serta Kementerian Polhukam. Misalnya, kasum TNI, irjen TNI, dansesko TNI, sekjen Kemenhan, irjen Kemenhan, wagub Lemhannas, sekjen Wantannas, rektor Universitas Pertahanan dan Sesmenko Polhukam.

Siapa pun perwira tinggi angkatan darat yang menduduki posisi bintang tiga tersebut, ia layak menjadi kandidat orang pertama di Mabesad. Tentusaja dengan catatan, usianya belum 58 tahun, sesuai dengan UU No 34 tentang TNI.

Karena itulah, selain tiga nama di atas, ada empat letnan jenderal yang juga dinominasikan menjadi KSAD. Mereka adalah Letjen J Suryo Prabowo, yang kini menjadi kepala staf umum (Kasum) TNI, Rektor Universitas Pertahanan Letjen Syarifudin Tippe, Sekretaris Menko Polhukam Letjen Hotmangaraja Panjaitan, dan mantan irjen TNI Letjen M Noer Moeis.

Keempatnya juga memiliki prestasi luar biasa dan pernah menjadi panglima Kodam. Suryo Prabowo yang berasal dari korps zeni, lulusan terbaik Akmil 1976, pernah menjadi Pangdam Bukit Barisan dan Pangdam Jaya. Ia merupakan letjen paling senior di antara tujuh kandidat lainnya. Suryo pernah menjadi wakil KSAD dan pernah menjadi kandidat KSAD pada 2009 lalu. Namun, Presiden SBY lebih memilih George Toisutta menjadi KSAD 2009-2011.

Tak kalah hebatnya adalah Hotmangaraja Panjaitan. Putra pahlawan revolusi Mayjen (Anumerta) DI Panjaitan ini merupakan lulusan terbaik Akmil 1977. Ia berasal dari korps infanteri dan merupakan perwira komando. Hotma juga pernah menjadi Pangdam Udayana, Danpusterad, serta Aster KSAD. Juga pernah menjadi kadispenad, komandan Korem di Bali, serta komandan Grup 3 Kopassus.

Begitu juga dengan Syarifudin Tippe, lulusan Akmil 1975 dari korps zeni. Tippe dikenal sebagai perwira intelektual dan lulusan terbaik Seskoad. Karena itu pula, dia pernah menduduki posisi sebagai komandan Pusdik Zeni, komandan Seskoad dan kini rektor Universitas Pertahanan. Ia pun pernah menjadi Dirjen Strahan, Pangdam Sriwijaya serta komandan Korem di Aceh.

Hal yang sama juga diraih Noer Moeis, lulusan Akmil 1-976 dari korps infanteri. Ia pernah menjadi pangdam Bukit Barisan, pangdam Pattimura, kas-kostrad, dan pangdivif-1 Kostrad. Jabatan teritorial lainnya pernah diembannya seperti komandan Korem di Dili.

Dari segi track record, ketujuh letnan jenderal tersebut tak diragukan lagi. Namun, empat orang saja yang usianya masih memungkinkan menjadi KSAD. Mereka sesuai dengan urutan usia termuda adalah Budiman, . Pramono, Marciano, dan Suryo.
Budiman kelahiran 25 September 1956, akan mengakhiri dinas militer pada September 2014. Pramono kelahiran 5 Mei 1955, akan mengakhiri dinas militer pada Mei 2013. Sedangkan Marciano kelahiran 28 Oktober 1954, akan mengakhiri dinas militer pada Oktober 2012. Dan Suryo kelahiran 15 Juni 1954, akan mengakhiri dinas militer pada Juni 2012.

Selebihnya, Hotmangaraja, Noer Moeis, dan Syarifudin Tippe akan pensiun pada tahun ini. Hotma pensiun pada Oktober, sedangkan Noer Moeis dan Tippe pensiun Agustus ini. (lihat tabel).
Dari segi usia, hanya empat yang berpeluang besar menjadi KSAD. Namun, tiga orang usianya lebih tua dari Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono. Pramono, Marciano, dan Suryo usianya lebih tua dari Agus Suhartono yang kelahiran 25 Agustus 1955. Agus Suhartono baru pensiun pada Agustus 2013. Sehingga, apabila mereka menjadi KSAD, peluangnya untuk menjadi panglima TNI sangat tipis.

Lain halnya dengan Budiman. Dari segi usia, peluang Budiman untuk menjadi panglima TNI menggantikan Agus Suhartono masih cukup terbuka, mengingat usianya satu tahun lebih muda dari Agus Suhartono. Namun, peluang Budiman, Pramono, Marciano dan Suryo masih ada, dengan catatan khusus. Pertama, apabila Presiden SBY memilih kandidat itu menjadi KSAD.

Kedua, jika jabatan panglima TNI kembali dipercayakan kepada matra darat dan bukan matra udara dan laut lagi. Ketiga, Laksamana Agus Suhartono diganti sebelum usia pensiun. Kemungkinan yang ketiga, tentu saja akan sangat riskan dan mengganggu kaderisasi TNI, serta akan mengecewakan matra laut jika Agus Suhartono diberhentikan.

Atau, Presiden Yudhoyono memiliki cara lain? Misalnya, melakukan reshuffle kabinet dan menempatkan Agus Suhartono dalam kabinet? Kita tunggu saja percaturan menuju Kartika-1.

/selamatgintingofficial

Kisah Panglima Papan Nama

 

Oleh Selamat Ginting

Kasus penyelesaian masalah Aceh diduga menjadi titik perbedaan antara Presiden Yudhoyonodan Jenderal Ryamizard.
Selasa, 26 Oktober 2004 menjadi hari penting bagi TNI. Saat itu, presiden terpilih hasil Pemilu Presiden 2004, Susilo Bambang Yudhoyono, mengeluarkan surat dengan nomor R 41/-Pres/X/2004.
Surat kepada pimpinan DPR itu, isinya keputusan Presiden Yudhoyono menarik surat Presiden Megawati Soekarnoputri tentang pemberhentian dan pengangkatan panglima TNI.

Dalam suratnya, Presiden Yudhoyono beralasan dia belum berencana mengganti Jenderal Endriartono dari jabatannya sebagai panglima TNI dalam waktu dekat. "Keputusan ini tidak terkait dengan persoalan pribadi, baik dengan Endriartono maupun Ryamizard," ujar Yudhoyono dalam surat tersebut.

Sebelumnya, Megawati di akhir masa jabatannya sebagai presiden telah berkirim surat dengan nomor R32/Pres/X/-2004 kepada DPR tentang pemberhentian dan pengangkatan panglima TNI.

Megawati melalui suratnya itu meminta persetujuan DPR atas pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto sebagai panglima TNI dan mengajukan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai penggantinya.

Alasan Megawati mengajukan Ryamizard di ujung masa jabatannya sebagai presiden, karena dua kepala staf TNI lainnya KSAL Laksamana Bernard Ken Sondakh dan KSAU Marsekal Chappy Hakim, sudah memasuki masa pensiun. Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sudah dua kali mengajukan pensiun.

Megawati merasa tidak melakukan kesalahan dengan mengambil kebijakan pergantian Panglima TNI. DPR pun sempat memproses dan menyetujui Ryamizard menjadi Panglima TNI.

Dalam rapat paripurna pertamanya pada 15 Oktober 2004, DPR secara aklamasi menerima surat Megawati. Selanjutnya, meneruskan ke Komisi I yang membidangi masalah pertahanan untuk pembahasan lebih lanjut di DPR.

Surat Presiden Yudhoyono itu mendapatkan reaksi keras dari sebagian kalangan di DPR. Mereka menilai SBY melakukan langkah yang tidak semestinya karena membatalkan surat Presiden Megawati kepada pimpinan DPR. Apalagi, surat Presiden Megawati merupakan jawaban dari surat permintaan pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto.

Komisi I DPR pun terlanjur telah mengagendakan mengundang calon Panglima TNI Jenderal Ryamizard Ryacudu untuk menyampaikan visi dan misinya sebagai calon panglima TNI pada 4 November 2004.

Saat itu, Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga mengatakan, proses tersebut telah sesuai dengan Tata Tertib Pasal 152 dan 153 DPR, bahwa dalam pengangkatan pejabat publik yang membutuhkan persetujuan DPR dilakukan fit and proper test oleh komisi terkait.
Keriuhan politik itu sampai pada suatu titik panas. KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu tidak hadir untuk menjalani proses uji kelayakan sebagai panglima TNI pada 8 November 2004. Padahal, papan nama Ryamizard sudah terpampang di ruangan Komisi I DPR.

DPR berang, mereka melayangkan surat kepada Presiden Yudhoyono meminta hak interpelasi. Presiden Yudhoyono pun ke DPR, dan tercapai kesepakatan bahwa Presiden akan segera mengajukan nama calon panglima TNI lagi ke Senayan. Berembus kabar burung kemungkinan Jenderal Ryamizard akan diajukan kembali!

Empat bulan setelah itu, pada Februari 2005, Mabes TNI mengajukan kembali nama Ryamizard dalam satu paket dengan rencana pergantian tiga kepala staf angkatan kepada presiden. Sebagai orang paling senior di antara ketiga kepala staf angkatan itu, Ryamizard dianggap lebih berpeluang diajukan.  Sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004, mengharuskan Presiden mengajukan satu nama panglima TNI ke DPR untuk disetujui.

Tapi apa lacur, Presiden Yudhoyono malah memperpanjang masa jabatan Endriartono sebagai panglima TNI hingga akhir 2005. Namun, ia mengganti tiga kepala staf angkatan, termasuk Ryamizard. Dalam Keppres No 6/TNI/2005 yang ditandatangani pada 16 Februari 2005, Presiden Yudhoyono memberhentikan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, KSAL Laksamana Bernard Ken Sondakh, dan KSAU Marsekal Chappy Hakim.

Presiden juga langsung mengangkat pejabat baru, yaitu Wakil KSAD Letjen Djoko Santoso sebagai KSAD, Laksamana Madya Slamet Subianto sebagai KSAL yang sebelumnya menjabat wakil gubernur Lemhanas, dan Marsekal Madya Djoko Suyanto sebagai KSAU yang sebelumnya menjabat asisten operasi KSAU.

Beda pendapat

Berkembang spekulasi bahwa Yudhoyono sengaja mengulur waktu untuk menghindari Ryamizard menjadipanglima TNI. Apalagi, ketika itu umur Ryamizard sudah menjelang usia pensiun, yakni 56 tahun.

Pada 5 September 2005, Ketua DPR Agung Laksono mengirim surat kepada Presiden SBY untuk mengingatkan janji presiden yang menyanggupi segera mengajukan calon panglima TNI menggantikan Jenderal Endriartono yang telah empat kali mengajukan permohonan pengunduran diri dari jabatan panglima. Janji itu disampaikan presiden ketika mencabut surat pengajuan Jenderal Ryamizard Ryacudu yang dikirim Presiden Megawati Soekamoputri pada DPR.

Sepekan kemudian, presiden membalas surat tersebut. Dalam suratnya, presiden menjelaskan bahwa Jenderal Endriartono Sutarto masih diperlukan tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan konflik di Nanggroe Aceh Darussalam secara damai, adil, dan bermartabat.

"Terutama untuk menyukseskan penyerahan dan pemusnahan senjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dimulai 15 September hingga 31 Desember 2005, seperti kesepakatan MoU antara RI-GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005," kata Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra.

Yusril menegaskan, dengan surat presiden yang dikirimkan ke DPR, Jenderal Endriartono tetap memegang jabatannya. Dengan mempertimbangkan masa penyerahan senjata GAM yang baru berakhir 31 Desember 2005, terang Yusril, panglima TNI mungkin tidak akan diganti hingga 2006.

Fraksi PDIP mempertanyakan sikap SBY yang memutuskan penggantian panglima TNI pada 2006. Ketua FPDIP DPR Tjahjo Kumolo berpendapat, SBY terkesan tidak mau mengajukan Jenderal Ryamizard Ryacudu karena Amerika Serikat mungkin tidak menghendakinya.

Timbul kesan tidak ada kaderisasi di TNI. Padahal, usia pensiun Jenderal Endriartono sudah berkali-kali diperpanjang. Selain itu, Endriartono sudah dua kali mengajukan pengunduran diri. "Kesannya, TNI tidak ada kaderisasi, dianggap tidak ada yang mampu selain Jenderal Endriartono Sutarto," tegasnya.

FPDIP juga mengkritik jawaban SBY ke DPR yang menyebut Endriartono dipertahankan demi kelangsungan perdamaian di Aceh. "Menurut saya, yang mengamankan Aceh adalah TNI, bukan Jenderal Sutarto," ucapnya.

Kuat dugaan ada perbedaan visi dan misi antara Presiden Yudhoyono dan Ryamizard soal penanganan kasus GAM. Ryamizard dianggap tidak sependapat dengan cara perundingan Helsinki. Inilah titik krusialnya sehingga Ryamizard tidak diangkat menjadi panglima TNI.

Yudhoyono juga tidak ingin kandidat panglima TNI pilihan Presiden Megawati, apalagi dilakukan pada masa transisi pergantian presiden. Alasan lain, Yudhoyono ingin menggilir posisi panglima TNI ke matra udara yang belum berkesempatan menjadi panglima TNI di era modern ini. Komposisinya matra darat-matra laut-matra darat-matra udara. Matra darat lebih diutamakan karena jumlah personelnya jauh lebih banyak daripada matra laut dan udara.

Kandidat panglima TNI pengganti Endriartono pada 2006 pun menjadi empat orang, yakni KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAL Laksamana Slamet Soebijanto, KSAU Marsekal Djoko Suyanto, dan mantan KSAD Jenderal Ryamizard.

Akhir drama benar-benar terjadi ketika Presiden Yudhoyono mengumumkan nama Marsekal Djoko Suyanto menjadi satu-satunya calon panglima TNI pengganti Jenderal Endriartono Sutarto. Pada awal Februari 2006, selama dua hari Djoko Suyanto mengikuti fit and proper test di Komisi I DPR. Hasilnya, DPR menyetujui secara aklamasi Djoko Suyanto menjadi panglima TNI.

GENERASI EMAS PERAIH PERAK



Oleh Selamat Ginting

Hanya Jenderal Edi Sudradjat dan Marsekal Djoko Suyanto, lulusan terbaik akademi yang bisa menjadi panglima TNI.



Awal Juni lalu, Mabes TNI mengumumkan mutasi jabatan perwira tinggi. Di situ muncul sejumlah lulusan terbaik atau penerima Bintang Adhi Makayasa. Mereka mendapatkan promosi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi sekaligus menduduki posisi penting di lingkungan TNI.

Di antaranya, Marsekal Muda Dede Rusamsi (lulusan terbaik AAU 1981) mendapatkan promosi jabatan dari panglima Koopsau I menjadi wakil KSAU. Ia menjadi lulusan AAU 1981 yang pertama meraih pangkat marsekal madya.

Kariernya mengikuti jejak Wakil KSAL, Laksamana Madya Marsetio, lulusan terbaik AAL 1981. Masih dalam rangkaian yang sama, Marsekal Pertama Sunaryo (lulusan terbaik AAU 1982) dan Brigadir Jenderal Erwin Syafitri (penerima Bintang Adhi Makayasa Akmil 1982) mendapatkan promosi jabatan dan kenaikan pangkat.

"Penerima Bintang Adhi Makayasa tentu saja layak menerima posisi penting di lingkungan TNI," ujar Marsekal (Purn) Djoko Suyanto pada suatu kesempatan. Djoko, mantan panglima TNI 2006-2007, termasuk penerima Adhi Makayasa AAU 1973. Ia bersama Jenderal (Hor) Susilo Bambang Yudhoyono dari Akmil dan Jenderal (Purn) Sutanto dari Akpol merupakan lulusan terbaik di angkatannya.

Adhi Makayasa adalah penghargaan tahunan kepada lulusan terbaik akademi dari setiap matra TNI dan kepolisian. Penerima bintang ini adalah mereka yang secara seimbang mampu menunjukkan prestasi terbaik di tiga aspek akademis, jasmani, dan kepribadian (mental).
Penganugerahan Adhi Makayasa secara langsung diberikan oleh presiden Republik Indonesia atas nama negara.
Pemberian anugerah Adhi Makayasa dilaksanakan pada acara Prasetya Perwira (Praspa) dan Sumpah Perwira, yaitu upacara pelantikan para taruna Akademi TNI dan Polri.

Tapi, bagaimana lanjutan karier para lulusan terbaik tersebut? Temyata, tidak semuanya mulus. Dari angkatan darat, misalnya, selama era Presiden Soeharto, temyata hanya Jenderal Edi Sudradjat yang tampil ke puncak jabatan TNI. Lulusan terbaik Akmil 1960 yang meraih bintang empat, menjadi KSAD, panglima TNI, dan menteri pertahanan keamanan (menhankan!) itu.

Edi Sudradjat menjadi KSAD selama lima tahun pada 1988-1993. Pada 1993 secara mencengangkan Edi menduduki tiga posisi penting sekaligus, yakni KSAD, panglima TNI, dan menhankam. Kontroversi kemudian terjadi. Ia hanya menjabat panglima TNI selama tiga bulan dan usia pensi-unnya tidak diperpanjang. Edi pensiun pada usia 55 tahun. Posisinya digantikan Kasum TNI saat itu Letjen Feisal Tanjung. Edi kemudian hanya menjadi menhankan) periode 1993-1998.

Selain Edi Sudradjat, lulusan terbaik yang bisa menjadi panglima TNI adalah Marsekal Djoko Suyanto. Naiknya Djoko menjadi KSAU dan panglima TNI juga diwarnai dinamika yang unik. Misalnya, ketika KSAU Marsekal Chappy Hakim pensiun, calon kuatnya saat itu adalah Wakil KSAU Marsekal Madya Herman Prayitno. Herman dan Djoko sama-sama lulusan AAU 1973. Saat itu, jabatan Djoko adalah asisten operasi KSAU dengan pangkat marsekal muda.

Namun, Presiden Yudhoyono memilihnya menjadi KSAU. Djoko pun melampaui atas-annya, Herman Prayitno. Pagi hari sebelum pelantikan sebagai KSAU, pangkat Djoko dinaikkan setingkat menjadi marsekal madya. Djoko menjadi KSAU hanya selama satu tahun pada 2005-2006. Akhirnya, Herman Prayitno mendapatkan kesempatan menjadi KSAU menggantikan Djoko Suyanto.

Naiknya Marsekal Djoko Suyanto menjadi panglima TNI juga diwarnai dinamika yang sangat tinggi, apalagi sebelumnya Presiden Megawati Soekarnoputri telah mengajukan nama KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu pada September 2004 untuk menggantikan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto yang telah memasuki usia pensiun. (Baca Panglima Papan Nama).

Djoko akhirnya menjadi panglima TNI pada Februari 2006 hingga Desember 2007. Ia tercatat sebagai orang pertama dari matra udara yang menjadi panglima TNI di era modern. Sebelumnya di era revolusi kemerdekaan, Laksamana Udara Suryadarma pernah dipercaya menjadi kepala staf angkatan perang.

Lulusan terbaik sering kali harus takluk pada nasib. Nasib yang tidak diinginkan juga terjadi pada Susilo Bambang Yudhoyono. Ia sebenarnya menjadi kandidat terkuat menjadi KSAD pada 1999. Saat itu, KSAD Jenderal Subagyo HS dengan berbagai alasan akan diganti. Begitu banyak jenderal bintang tiga angkatan darat yang siap menggantikan posisi Subagyo.

Ada Kasum TNI Letjen Sugiono (Akmil 1971), Kaster TNI Letjen SBY (Akmil 1973), Wakil KSAD Letjen Johny Lumintang (Akmil 1970), Pangkostrad Letjen Djamari Chaniago (Akmil 1971), Komandan Sesko TNI Letjen Agus Widjojo (Akmil 1970), Kepala Bais TNI Letjen Tyasno Sudarto (Akmil 1970), Gubernur Lemhannas Letjen Agum Gumelar (Akmil 1968), dan Dubes RI di Singapura Letjen Luhut B Panjaitan (Akmil 1970).

Dari tujuh letnan-jenderal tersebut, nama SBY termasuk yang sudah berada di kantong Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun, Letjen Tyasno Sudarto yang akhirnya menggantikan Jenderal Subagyo HS sebagai KSAD. Sedangkan SBY, Agum dan Luhut ditarik ke kabinet. SBY menjadi menteri pertambangan dan energi, Agum menjadi menteri perhubungan, dan Luhut menjadi menteri perindustrian.

"SBY kecewa karena harus meninggalkan dunia militer, padahal masih jauh dari usia pensiun. Dia seharusnya layak menjadi KSAD, bahkan panglima TNI di era reformasi. Beberapa kali dia menolak jabatan menteri karena lebih menginginkan menjadi KSAD," kata salah seorang sumber yang dekat dengan SBY.

Sebagai lulusan terbaik Akmil 1973, tentu saja SBY kecewa dengan keputusan tersebut. Cita-cita semua lulusan akademi TNI adalah menjadi orang pertama di ma-tranya sekaligus memperoleh pangkat jenderal bintang empat secara paripurnadengan jabatan di lingkungan militer, bukan di lingkungan sipil. Tentu, ada kebanggaan yang berbeda mendapatkan bintang empat, namun bukan kehormatan. SBY, Agum, Luhut, dan mantan mendagri Surjadi Soedirdja (Akmil 1962), belakangan dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal kehormatan oleh Presiden Gus Dur pada 2000. Hal yang sama juga terjadi pada Kepala BIN Hendropriyono (Akmil 1967) dan mantan mendagri Hari Sabarno (Akmil 1967) oleh Presiden Megawati pada 2004.

Nasib terbaik

Sementara di era Presiden SBY, khusus matra darat, hanya Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo (lulusan Akmil 1974) yang menjadi KSAD. Itu pun Agustadi telah dilampaui adik kelasnya, Jenderal Djoko Santoso. Agustadi menjadi KSAD pada 2007-2009 menggantikan Djoko Santoso. Namun, setelah itu, Agustadi harus pensiun dari dinas militer.
Saat Agustadi akan pensiun pun bursa kandidat KSAD bermunculan, mulai dari Wakil KSAD Letjen J Suryo Prabowo (lulusan terbaik Akmil 1976), Pangkostrad Letjen George Toisutta (Akmil 1976), dan Dankodiklatad Letjen Syaiful Tizal (lulusan terbaik 1975).

Bocoran dari istana dan Mabes TNI sempat dituliskan oleh sebuah kantor berita yang menuliskan bahwa pengganti Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo adalah Wakil KSAD Letjen Suryo Prabowo, sebagai KSAL Laksamana Madya Agus Suhartono dan KSAU Marsekal Madya Imam Sufaat. Namun, keesokan harinya berita itu diralat. Nama pengganti KSAL dan KSAU tidak ada perubahan. Yang mengalami perubahan hanya jabatan KSAD. Bukan Letjen Suryo Prabowo, melainkan Letjen George Toisutta.

Ternyata SBY yang kecewa karena tidak menjadi KSAD, saat menjadi presiden, ia pun tidak memilih lulusan terbaik. Syaiful Rizal dan Suryo Prabowo harus berbesar hati karena hanya sampai pangkat letnan jenderal.

Menunggu nasib menjadi orang nomor satu di matra darat, kini juga dialami lulusan terbaik Akmil 1978, Letjen Budiman. Ia bukan saja lulusan terbaik, melainkan juga kandidat paling muda dari segi usia dibandingkan kandidat lain. Kalau Budiman menjadi KSAD, peluangnya menjadi panglima TNI menggantikan Laksamana Agus Suhartono lebih besar, daripada Pramono dan Marciano.

Atau, Yudhoyono punya skenario lain, misalnya mempromosikan sejumlah lulusan Akmil 1981 ke posisi bintang tiga seperti di matra laut dan udara. Ada namanama abituren Akmil 1981 yang menonjol, seperti Mayjen Moeldoko, Mayjen Waris, dan Mayjen Lodewijk F Paulus. Apakah mereka akan menjadi KSAD periode selanjutnya dan akhirnya menjadi panglima TNI? Kita tunggu saja.

POLITIK MATARAM MEMILIH PANGLIMA

Oleh: Selamat Ginting

Kekuasaan Soeharto sebagai representasi dari kepemim-pinan Jawa. Nuansa jawa sentris sangat dominan dalam kekuasaannya.

Pada 8 Juni 2011 lalu di Museum Purna Bhakti Pertiwi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, sebuah keluarga terpandang dan berpengaruh di republik ini berkumpul. Hari itu ada peristiwa peluncuran buku, judulnya The Untold Stories


Ya, keluarga mantan presiden Soeharto, yang dipimpin putri sulungnya, Tutut, menyelenggarakan acara mengenang 90 tahun HM Soeharto sekaligus peluncuran buku The Untold Stories. Buku itu menceritakan tentang kehidupan Pak Harto yang tidak terungkap ke publik.


Almarhum Soeharto selama 32 tahun menjadi penguasa Orde Baru dikenal sebagai sosok yang berpengaruh dan kontroversi. "Tetapi, di balik itu semua, ternyata Pak Harto merupakan pribadi sederhana, apa adanya, dan tegas. Pak Harto memiliki karakter kepemimpinan yang kuat," ungkap mantan wakil presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno.


Buku yang diterbitkan oleh Keluarga Cendana itu tak pelak membangkitkan kenangan masyarakat akan kepemimpinan Soeharto. Apalagi, menurut survei Indobarometer, Soeharto menjadi presiden paling populer dan dirindukan kepemimpinannya. Dalam buku itu, antara lain, diceritakan saat Indonesia memasuki masa Pembangunan Lima Tahun tahap kedua pada 1973-1978, Presiden Soeharto kerap melakukan kunjungan rahasia. Dia hanya mengajak ajudan Kolonel Try Sutrisno, Komandan Grup Paspampres Kolonel Munawar, komandan pengawal, dokter Mardjono, dan mekanik kendaraan Istana Biyanto.


"Rencana perjalanan selama dua pekan, menggunakan tiga mobil, ditutup rapat sampai Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean pun tidak diberi tahu. Hanya kalangan terbatas yang boleh diberi tahu, antara lain, pejabat, intelijen Mayjen Benny Moerdani," ungkap Try.


Soeharto memang memiliki pola tersendiri untuk memilih orang yang akan dipercaya menjadi lingkaran kekuasaannya. Kekuasaan Soeharto disebut-sebut sebagai representasi dari kepemimpinan Jawa. Nuansa jawasentris sangat dominan dalam kekuasaannya.


Kepemimpinan Soeharto, berdasarkan perspektif teleologi (tujuan), memang penuh dengan simbol-simbol kepemimpinan dalam budaya Jawa (Tunjung W Sutirto, 2008). Dalam memimpin, Soeharto menguatkan ketokohannya sebagai pemimpin yang berkuasa sesuai dengan falsafah "raja berkuasa tidak boleh dibantah."


Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja, seperti dalam konsep Kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan, kekuasaan besar seperti kekuasaan dewa, pemelihara hukum, dan penguasa dunia. Soeharto membangun sistem kekuasaan sentralistik, feodalis, dan otoriter.


Kebijakan-kebijakan nasional sepenuhnya di bawah pengaruh presiden, bahkan DPR-MPR dipilih langsung oleh Soeharto. Hal ini membuat langkah jenderal besar itu mulus menjadi presiden selama 32 tahun. Ketika Soeharto berkehendak, tidak ada satu pun yang berani membantah. Jawasentrisme ini juga akhirnya menyebabkan gejolak daerah karena merasa Jawa terlalu mendominasi sehingga kebudayaan lain cenderung terabaikan.


Tujuh jenderal


Bagaimana pola Soeharto memilih panglima TNI? Selama 32 tahun kepemimpinannya, tujuh jenderal dipercaya menjadi panglima TNI, saat itu masih bernama panglima ABRI. Ia tidak langsung menyerahkan jabatan panglima kepada orang lain. Ia memimpin sendiri posisi sebagai orang nomor satu di lingkungan Angkatan Darat dan ABRI sejak 1966 hingga 1973. Usia Soeharto memang masih di bawah usia pensiun perwira saat itu, 55 tahun.


Soeharto pascaperistiwa 30 September 1965 juga menjadi panglima Angkatan Darat, panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (pangkopkamtib), serta menteri Pertahanan Keamanan (menhankam)/kepala staf ABRI. Kemudian, sebagai pejabat presiden pada 1966, ia masih merangkap jabatan-jabatan militer tersebut. Ia memilih Letjen Maraden Panggabean sebagai wakil panglima Angkatan Darat hingga 1969.


Barulah pada 1969, Panggabean dipercaya menjadi panglima Angkatan Darat merangkap sebagai panglima kopkamtib. Namun, jabatan kepala staf ABRI masih dijabat Jenderal Soeharto. Pada 1973, Soeharto menyerahkan jabatan KSAB, kemudian istilah ini diganti menjadi panglima ABRI, kepada Jenderal Panggabean. Panggabean pun menjadi panglima ABRI merangkap sebagai menteri Pertahanan dan Keamananan (menhankam) untuk periode 1973-1978. Istilah panglima Angkatan Darat, Laut, dan Udara pun diganti menjadi kepala staf angkatan.


Mengapa Soeharto memilih Panggabean menjadi orang kepercayaannya sebagai panglima TNI? Di sinilah Soeharto mulai menunjukkan strategi kekuasaannya dalam memilih orang kepercayaannya, supaya tidak melawan kekuasaannya. Ia mempertimbangkan betul latar belakang pendidikan militer, pengalaman jabatan militer, suku, agama, dan golongan.


Panggabean dari sisi kemiliteran tak diragukan lagi. Namun, dari sisi suku dan agama, ia tergolong dalam kelompok minoritas. Panggabean berasal dari Sumatra Utara dan beragama Kristen Protestan. Dari sini. Panggabean akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses jika ingin melakukan gerakan yang membahayakan kekuasaan Soeharto. Mengingat dari segi antropologi sosial budaya, Indonesia didominasi penganut agama Islam dan suku Jawa.


Hal yang sama terjadi pada panglima ABRI berikutnya, yakni Jenderal Andi Muhammad Jusuf. Pengangkatan Jenderal Jusuf sebagai menhankam/pangab periode 1978-1983 itu juga mencengangkan banyak pihak. Mengingat Jusuf sudah tidak bertugas di lingkungan militer sejak 1964. Ia menjadi menteri perindustrian pada 1964 hingga 1973. Sedangkan jabatan militernya terakhir sebagai panglima Kodam Hasanuddin pada 1960-1964.


Dengan demikian, Jusuf dipandang memiliki kelemahan dari sisi pengalaman militer karena sudah 14 tahun meninggalkan dinas militer, kendati ia belum pensiun dari militer. Selain itu, dari sisi suku, Jusuf juga bukan orang Jawa. Ia berasal dari Sulawesi Selatan. Maka, tipis kemungkinan Jusuf menggalang kekuatan untuk menggoyang Soeharto. Jusuf pun selalu dibayang-bayangi Pangkopkamtib Laksamana Sudomo serta Asisten Intelijen Hankam Mayjen Benny Moerdani, yang mendapatkan tugas khusus dari Presiden Soeharto.


Langkah Soeharto selanjutnya adalah memilih Jenderal Benny Moerdani menjadi pangab periode 1983-1988. ia tidak diberikan jabatan menhankam. Jabatan itu diemban Jenderal Poniman, yang sebelumnya KSAD. Namun, Benny diserahi tugas sebagai pangkopkamtib menggantikan Laksamana Sudomo.


Benny merupakan lulusan Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD). Dia dikenal sebagai perwira komando dan perwira intelijen. Berbeda dengan Panggabean dan Jusuf, Benny tidak pernah memegang jabatan teritorial. Juga tidak pernah menjadi KSAD dan panglima Kodam. Bahkan, jabatan komandan yang diembannya hanya sampai komandan batalion di RPKAD.


Sementara, pada saat itu, sejumlah lulusan Akademi Militer (Akmil) Yogyakarta sudah banyak yang menjadi panglima komando wilayah pertahanan (pangkowilhan) serta jabatan bintang tiga lainnya. Seperti Letjen Soesilo Soedarman, Letjen Seno Hartono, Letjen Sayidiman, dan Letjen Himawan Sutanto. Namun. Soeharto lebih memilih Benny yang bukan lulusan akademi militer.


Dari sisi suku, Benny memang orang Jawa. Namun dari segi agama, dia adalah pemeluk Katolik Roma. Dengan demikian, Soeharto merasa tidak khawatir kendati Benny disebut-sebut kerap mengendalikan operasi intelijen. Saat Soeharto mulai khawatir terhadap Benny, ia pun mencopot jabatan Benny sebagai pangab, hanya tiga bulan menjelang sidang umum MPR 1993.


Posisinya digantikan Jenderal Try Sutrisno yang sebelumnya menjadi KSAD pada 1986-1988. Pergantian Benny ke Try ini dilakukan saat situasi politik memanas menjelang penentuan nama wakil presiden (wapres). Soeharto menginginkan Ketua Umum Partai Golkar Letjen (Purn) Sudharmono sebagai calon wapres menggantikan Jenderal (Purn) Umar Wirahadikusumah. Namun, Benny tidak setuju Sudharmono menjadi wapres dengan berbagai alasan.


Sang ajudan Try Sutrisno memang sudah diperkirakan akan menjadi pucuk pimpinan TNI atau pangab periode 1988-1993. Ia juga merangkap menjadi Kepala Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakostanas) yang menggantikan lembaga Kopkamtib. Karier militer Try tergolong cemerlang. Ia menjadi alumni Akmil Bandung 1959 pertama yang berhasil meraih bintang empat.


Ia, antara lain, pernah menjadi komandan batalion zeni, ajudan Presiden Soeharto, kasdam Udayana. Pangdam Sriwijaya, pangdam Jaya, wakil KSAD, dan puncaknya KSAD. Dari sisi antropologi sosial budaya, Try tergolong sangat kuat karena ia Muslim dan dari suku Jawa (Timur). Namun, ia diperkirakan tidak akan mengkhianati Soeharto, apalagi ia empat tahun menjadi ajudan Presiden Soeharto.


Selanjutnya pada 1993, Try digantikan Jenderal Edi Sudradjat, yang sebelumnya menjadi KSAD pada 1988-1993. Namun, Edi harus merelakan jabatan itu yang hanya diembannya selama tiga bulan. Edi harus pensiun pada usia 55 tahun. Presiden Soeharto tidak memperpanjang usia pensiunnya. Selanjutnya, Edi hanya diserahi tugas sebagai menhankam menggantikan Benny Moerdani.


Padahal, Edi adalah jenderal yang sangat matang dan berasal dari pasukan komando. Ia juga lulusan terbaik Akmil Magelang 1960. Edi juga pernah menjadi pangkopur Linud Kostrad, pangdam Bukit Barisan, pangdam Siliwangi, asops Kasum TNI, wakil KSAD, dan KSAD.


Walau dari sisi karier militer mumpuni, begitu juga dari segi agama, Edi beragama Islam. Namun, ia bukan orang Jawa. Edi kelahiran Jambi, ayahnya berasal dari suku Sunda, Jawa Barat.


Sebagai pengganti Edi Sudradjat adalah Jenderal Feisal Tanjung yang sebelumnya kasum TNI. Nama Tanjung juga mengejutkan karena calon kuat sebelumnya adalah KSAD saat itu, Jenderal Wismoyo Arismunandar. Tanjung memang lebih senior dari Wismoyo. Tanjung merupakan lulusan Akmil 1961, sedangkan Wismoyo lulusan Akmil 1963.


Nama Tanjung mencuat tatkala menjadi Komandan Seskoad. Ia dipercaya Presiden Soeharto menjadi ketua Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk kasus Santa Cruz 1991. Ia kemudian dipromosikan menjadi kasum TNI.


Sebelumnya, ia juga pernah menjadi komandan Brigif Linud 17 Kostrad, komandan Pusat Kesenjataan Infanteri, dan pangdam Tanjungpura. Tanjung yang beragama Islam dan kelahiran Tarutung, Sumatra Utara, itu dianggap tidak akan mengganggu stabilitas kekuasaan Presiden Soeharto.


Terakhir, pada akhir masa jabatannya sebagai presiden, Soeharto menunjuk KSAD Jenderal Wiranto sebagai menhankam/pangab. Wiranto merupakan lulusan Akmil 1968 dan tergolong perwira yang melejit karier militernya selepas menjadi ajudan Presiden Soeharto pada 1987-1991. Setelah itu, ia menjadi kasdam Jaya, pangdam Jaya, panglima Kostrad, dan KSAD. Sama seperti Try Sutrisno, Wiranto juga dianggap akan menunjukkan loyalitasnya kepada Soeharto.

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...