Video: Youtube Imam Chanafi
Oleh: Selamat Ginting
Sidang perselisihan hasil
pemilihan umum (PHPU) untuk pemilihan presiden (pilpres) 2019 di Mahkamah
Konstitusi (MK). Dalam beberapa hari ini, membuka mata publik. Betapa dugaan
kecurangan mencederai roh demokrasi. Kecurangan berpotensi dilakukan pejawat
atau petahana. Sang pejabat yang tengah memerintah. Bahasa kerennya, incumbent.
Saat berlangsungnya kampanye pemilu
2019, publik dikejutkan dengan istilah ‘perang total’. Istilah yang dikemukakan
seorang elite istana. Segala justifikasi dikemukakannya, saat pers
mengonformasi kepada yang bersangkutan. Ia seorang pensiunan jenderal di
istana.
Kemarin, saat sidang di MK, anak
muda bernama Hairul Anas membocorkan materi pelatihan tim kampanye nasional
(TKN) milik incumbent. Dalam keterangannya kepada majelis hakim, Anas mengawali
ceritanya ketika ia menghadiri pelatihan saksi yang diselenggarakan TKN pada
20-21 Februari 2019 lalu di kawasan Kelapa Gading.
Dalam pelatihan rahasia itu, pada slide materi pertama ada keterangan
yang mengatakan, kecurangan merupakan bagian dari demokrasi. Garis bawahi:
kecurangan merupakan bagian dari demokrasi.
Anas mengemukakan materi tersebut
disampaikan ketika ketua harian TKN, Moeldoko memberikan paparannya. Ia meminta agar materi yang dimaksud
ditunjukkan dalam sidang tersebut. Menurutnya, materi ini masih bisa diunduh
hingga sekarang.
Keponakan Prof Dr Mahfud MD itu
mengaku terkejut mendengarkan dan melihat langsung materi tersebut. Pernyataan
Anas yang dikemukakan di bawah sumpah sebagai saksi itu, tentu saja mengejutkan
publik. Bagi penulis, sekaligus mengonfirmasi kalimat ‘kecurangan merupakan
bagian dari demokrasi’, patut diduga sebagai terjemahan dari kata: ‘perang
total’ yang dikemukakan elite istana tersebut.
Kita patut mengutuk kalimat:
kecurangan sebagai bagian dari demokrasi!
Kampanye permanen
Dari peristiwa yang tersaji di MK
tersebut, sesungguhnya tidak ada hal baru dalam dunia komunikasi politik. Incumbent (siapa pun dia)
memang selalu diuntungkan dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. Kita tidak
bicara soal pasangan 01 atau 02. Namun spesifik bicara siapa pun yang menjadi
incumbent.
Incumbent sedari awal sudah
mencuri start dalam kampanye. Bahasa komunikasi politiknya: kampanye permanen.
Sebuah pola atau bentuk kampanye yang dilakukan pejabat yang tengah memerintah.
Baik presiden, gubernur, bupati, maupun wali kota. Termasuk yang telah menjadi
anggota DPD, DPR maupun DPRD.
Menurut dosen komunikasi politik
pasca sarjana ilmu komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr Achmad Jamil MSi, kampanye
permanen dilakukan secara terus-menerus dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari pekerjaan incumbent tersebut.
“Incumbent bisa melakukan
kampanye sepanjang waktu, saat ia menjabat. Misalnya saja mengadakan jumpa pers, kunjungan
kerja, wawancara dengan media dan sebagainya.”
Apa yang dikemukakan Achmad Jamil
masuk akal. Secara teoritis, pejabat yang tengah memerintah lebih mempunyai
kemungkinan untuk terpilih kembali. Hal ini karena incumbent bisa memanfaatkan
sumber daya yang dipunyai untuk menarik dukungan pemilih.
Di Amerika dan Eropa, sejumlah
studi menunjukkan secara jelas hal tersebut (lihat Doherty, 2007; Norris, 2000;
Steger, 1999). Misalnya, anggota Dewan Perwakilan (house of representative),
senator atau gubernur yang tengah memerintah, rata-rata lebih dari 80% terpilih
kembali ketika maju dalam pemilihan.
Kampanye permanen (permanent
campaign) adalah bentuk kampanye yang dilakukan oleh pejabat yang tengah
memerintah dengan memanfaatkan posisi dan kantor pemerintahannya (lihat Steger,
1999).
Berbeda dengan kandidat lain,
kandidat politik (DPR, presiden, kepala daerah) yang tengah memerintah (tengah
menjabat) mempunyai kedudukan yang memungkinkan mereka melakukan kampanye
secara terus-menerus sepanjang masa pemerintahannya.
Contohnya: kunjungan kerja,
mendatangi pemilih, membuat kebijakan, mendengarkan keluhan dan aspirasi
publik, selain menjadi tugas pejabat yang tengah memerintah juga bisa dilihat
sebagai bentuk kampanye agar kandidat bisa terpilih kembali dalam periode
pemilihan berikutnya.
Bukalah panca indera Anda dengan
cara saksama (teliti). Incumbent juga memanfaatkan sumber daya yang terdapat di
kantor (kantor, staf, dana) untuk menjangkau pemilih. Jangan heran jika kuat
dugaan memanfaatkan aparat sipil negara (ASN), karyawan BUMN, BUMD, dan yang
terkait dengan pemerintah. Serta tentu saja dana yang ada pada lembaga-lembaga
di bawah pemerintah maupun BUMN. Perhatikan materi gugatan pemohon di MK sambil
menunggu keputusannya.
Kampanye punya potensi dilakukan
secara terus menerus. Inilah wujud kampanye permanen. Hal ini untuk membedakan
dengan kampanye yang dilakukan oleh kandidat yang bukan incumbent. Umumnya
kampanye dilakukan menjelang pemilihan. Dalam pilpres 2019, misalnya, sang
penantang baru bisa kampanye pada Oktober 2018 lalu. Sang penantang, tidak bisa
melakukan kampanye di kantor pemerintahan, seperti halnya kampanye terselubung yang
diakukan incumbent.
Dampak langsung
Kampanye permanen yang dijalankan
kandidat incumbent punya dampak langsung terhadap kemungkinan terpilihnya
kembali kandidat. Steger (1999)
mencatat di Amerika Serikat sekitar 90%
anggota Dewan Perwakilan (House of Representative) dan 80% anggota senat terpilih
kembali pada pemilihan selanjutnya.
Hebatnya, rata-rata kandidat
menang dengan margin (selisih dengan kandidat lawan) sangat besar, di atas 60%.
Data ini menunjukkan potensi kemungkinan kandidat yang tengah memerintah
(incumbent) untuk terpilih kembali sangat besar.
Menurut Steger (1999), faktor
terpenting yang menyebabkan kandidat incumbent terpilih kembali adalah karena
mereka menjalankan kampanye permanen (permanent campaign). Kandidat incumbent
mempunyai keuntungan dan akses yang
tidak dipunyai oleh kandidat penantang.
Pertama, keuntungan finansial.
Kampanye membutuhkan dana yang besar, untuk kepentingan logistik, biaya
perjalanan untuk menjagkau pemilih hingga biaya staf kampanye. Pejabat
incumbent diuntungkan karena semua kegiatan itu bisa ditanggung oleh dana dari
kantor pemerintah. Pejabat incumbent bisa memanfaatkan staf di kantor,
perjalanan dinas hingga fasilitas surat untuk menjangkau pemilih. Biaya
kampanye menjadi lebih murah dan efektif.
Kedua, kandidat incumbent punya
kesempatan untuk mendatangi pemilih sepanjang waktu, tidak terbatas hanya
menjelang hari pemilihan. Sepanjang masa kerjanya, incumbent bisa datang ke
daerah-daerah, mendengarkan suara pemilih, mencatat keluhan mereka dan
sebagainya. Dengan kesempatan yang besar dalam menjangkau pemilih, tidak
mengherakan jikalau pengenalan pemilih pada kandidat umumnya sangat besar.
Menurut catatan Steger (1999),
rata-rata 90% pemilih di wilayah mengenal nama anggota Dewan Perwakilan (house
opf representative) dan 95% mengenal nama senat. Keuntungan semacam ini tidak dipunyai oleh
kandidat penantang yang umumnya hanya berkampanye menjelang hari pemilhan.
Kandidat penantang umumnya harus berjuang lebih dahulu agar bisa dikenal oleh
pemilih.
Ketiga, akses media lebih besar.
Pejabat yang tengah memerintah (incumbent) punya kesempatan untuk mendapatan
akses liputan media yang lebih luas dibandingkan dengan kandidat penantang.
Incumbent bisa membuat berbagai kegiatan, sepperti: konferensi pers, rilis agar
mendapatkan liputan luas dari media.
Di samping itu, kegiatan dari
incumbenmt itu sendiri juga puya nilai berita yang membuat media tertarik untuk
meliput kegiatan-kegiatan incumbent. Ucapan, komentar, kunjungan incumbent dan
sebagainya punya nilai berita jika dikemas dengan baik. Incumbent juga punya
kesempatan untuk mendapatkan liputan dalam waktu yang panjang, sepanjang masa
pemerintahannya, jika mampu mengelola hubungan dengan media dengan baik.
Keempat, pejabat yang tengah
memerintah (incumbent) juga punya hubungan dan akses lebih besar pada
penyandang dana. Pekerjaan incumbent yang mengharuskan bertemu dengan elite,
pengusaha dan perusahaan membuat mereka punya akses pada sumber-sumber dana
yang bisa dimanfaatkan pada masa kampanye. Potensi mendapatkan dana jauh lebih
besar dibandingkan dengan penantang.
Dengan dana yang besar, kandidat
incumbent bisa membuat kampanye menjadi massif. Steger (1999:) mencatat di Amerika Serikat
sebanyak 90% dari senat dan lebih dari 70% anggota Dewan Perwakilan beriklan
lewat televisi. Kemampuan beriklan di televisi (yang mahal) ini tidak dipunyai
oleh kandidat penantang.
Keuntungan dan akses yang besar
yang dimiliki oleh kandidat incumbent ini diiringi dengan kegiatan dari para
incumbent itu yang berorientasi pada pemilihan. Steger (1999) menyebut kegiatan
para incumbent itu sebagai ”berorientasi pemilihan kembali / re-election”.
Artinya, seorang pejabat (kepala
daerah, senator, anggota house of representative) selalu berpikir dalam masa
kerjanya agar bisa terpilih kembali dalam periode berikutnya. Kegiatan yang
dilakukan, mulai dari program kerja, kunjungan, mendatangi masyarakat diarahkan
sebagai sarana untuk mendapat keuntungan agar dalam pemihan berikutnya kandidat bisa terpilih kembali.
Isu dan program yang diangkat
misalnya, adalah isu yang menjadi masalah masyarakat pemilih. Kandidat juga
aktif mengunjungi daerah, mendengarkan pendapat dan keluhan warga. Di samping itu
tentu saja ‘bersembunyi’ untuk menjalankan tugas juga agar mendapat simpati
dari warga agar memilih dia kembali dalam pemilihan berikutnya.
Itu contoh Amerika dan Eropa?
Tentu saja berlaku juga di Indonesia. Cara-cara seperti itu juga digunakan para
incumbent. Jarang sekali incumbent di Indonesia yang kalah dalam pemilu. Memang
ada sejumlah pengecualian, seperti kemenangan pasangan penantang Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang
mengalahkan pasangan incumbent Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan Djarot Saiful
Hidayat pada pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Abaikan filsafat
Namun celakanya,
keuntungan-keuntungan incumbent dalam kampanye permanen tersebut, kerap kali
mengabaikan nilai-nilai bijak (filsafat), seperti: logika, etika, estetika.
Ditambah yang terakhir: metafisika.
Menurut filsuf Aristoteles,
logika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan atau cara
berpikir. Etika adalah filsafat nilai yang membicarakan perilaku seseorang dari
sudut baik dan jahat. Semua perilaku mempunyai nilai. Estetika adalah filsafat
tentang penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
Sedangkan metafisika adalah
filsafat yang berkaitan dengan proses analisis atas hakikat fundamental
mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Ada kehendak Tuhan sebagai
Sang Pencipta.
Ketika diterjemahkan dalam
perilaku politik, maka politikus tidak peduli logika. Cara berpikirnya abai
terhadap kronologi berpikir sistematis. Misalnya dengan cara ‘ogah; cuti
kampanye. Cuti kampanye hanya ‘jam-jam-an’ saja di saat melakukan kunjungan
kerja. Alasannya tidak melanggar hukum. Di sini etika pun diabaikan. Tak peduli
moral. Yang penting untung. Untung, karena menggunakan fasilitas negara.
Secara estetika pun diabaikan.
Mau baik atau buruk, yang penting untung mendapatkan perhatian publik.
Terakhir, mengabaikan nilai-nilai hakikat ke-Tuhan-an sebagai implementasi
metafisika. Mau curang atau tidak, tak lagi menjadi bagian yang melekat pada
dirinya. Tak ada lagi nilai-nilai bijaksana seperti pengertian filsafat. Inilah
yang menghacurkan roh demokrasi.
/selamatgintingofficial