Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis
Pemerhati militer
Jenderal Bentuk KINO Hadang PKI dan Sukarno
Bendera Partai Politik. Ilustrasi Foto : Republika |
Lima jenderal Angkatan Darat menyepakai berkumpul pada 1964. Mareka bukan cuma jenderal, tetapi juga memiliki organisasi massa. Mereka adalah Mayjen Jamin Ginting (Gakari: Gerakan Karya Rakyat Indonesia), Mayjen Sugandhi (MKGR; Musyawarah Keluarga Gotong Royong), Mayjen Mas Isman (Kosgoro; Koperasi Serbaguna Gotong Royong), Mayjen Suhardiman (Soksi: Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), dan Mayjen Suprapto Sukowati (Hankam: Ormas Pertahanan Keamanan).
Lima organisasi itu ditambah dengan dua organisasi lainnya, yakni Organisasi Profesi dan Gerakan Pembangunan. Jadi total ada tujuh organisasi: Gakari, MKGR, Kosgoro, Soksi, Hankam, Organisasi Profesi, dan Gerakan Pembangunan. Inilah yang disebut KINO atau Kelompok Induk Organisasi. Mereka menyatu dalam wadah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Dibentuk untuk menghadapi kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan barisan pendukung Presiden Sukarno. Itulah kumpulan berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekber Golkar pada 20 Oktober 1964. Sekber Golkar tidak berada di bawah pengaruh partai politik tertentu.
Jumlah anggotanya bertambah pesat. Semula berjumlah 61 organisasi. Kemudian berkembang mencapai 291 organisasi. Terpilih sebagai ketua pertama, Brigjen Djuhartono. Ia kemudian digantikan Mayjen Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.
Pemilu 1971
Untuk menghadapi Pemilu 1971, tujuh KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber Golkar, mengeluarkan keputusan bersama pada 4 Februari 1970. Sepakat menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar, yaitu: Golongan Karya (Golkar). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.
Pada Pemilu 1971 ini, Sekber Golkar ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan Golkar sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik Golkar kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke Golkar.
Hasilnya Golkar sukses mengantongi 62,79 persen suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh provinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatra Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.
Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada 17 Juli 1971, Sekber Golkar mengubah menjadi Golkar. Mereka menyatakan diri bukan parpol, walau pun fungsinya sama dengan partai politik. Alasannya, terminologi golongan lebih mengutamakan pembangunan dan karya.
September 1973, Golkar menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi Golkar pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Setelah peristiwa G30S tahun 1965, Sekber Golkar, dengan dukungan Jenderal Soeharto melancarkan aksi melumpuhkan kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Sukarno. Golkar dan khsusnya TNI-AD menjadi tulang punggung rezim Orde Baru.
Keluarga besar Golkar sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru. Dibuat aturan informal, jalur A untuk ABRI, jalur B untuk birokrasi dan jalur G untuk Golkar atau di luar birokrasi dan militer. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian melalui Dewan Pembina yang memiliki peran strategis selama sekitar 32 tahun.
Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang.
* photo diambil dari republika.co.id
(bersambung)
Bila Jendral Bikin Partai (2)
Bila Jendral Bikin Partai (2)
No comments:
Post a Comment