Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis
Pemerhati militer
Jelang
Ramadhan 2019 Masehi atau 1440 Hijriah. Saya mengamati peristiwa di ujung barat
Indonesia, Aceh. Padahal peristiwa ini biasanya terjadi di ujung timur Indonesia,
Papua.
Hanya
beberapa jam jelang Ramadhan tiba, Kepolisian Daerah (Polda) Aceh mengultimatum
kelompok
kriminal bersenjata (KKB) segera menyerahkan diri. Polisi akan mengambil tindakan tegas jika
imbauannya tidak digubris.
Imbauan
bernada ancaman disampaikan Kepala Polda Aceh, Irjen Polisi Rio S Djambak,
sejak Jumat (3/5/2019). “Jika KKB tidak segera menyerahkan diri kepada aparat
keamanan terdekat, kami akan melakukan tindakan tegas dan terukur sesuai
hukum yang berlaku,” tegas Rio S Djambak seperti diberitakan Harian Serambi
Indonesia, Ahad (5/5/2019).
Siapa
KKB Aceh tersebut? Masih samar. Sebab polisi juga tidak mengungkapkan jenis
senjata yang digunakan serta jumlah kelompok tersebut. Apakah senjata rakitan
atau senjata standard militer? Masih harus ditelusuri lebih lanjut KKB yang
dimaksud. Apalagi kasus-kasus seperti ini, mohon maaf, seperti musiman saat
pemilu. Sebab secara bersamaan muncul di
sejumlah tempat pula. Jadi, saya abaikan untuk sementara.
Separatisme
Singkatan
KKB, sering kita dengar di wilayah Papua. Bukan di Aceh. Yang terbaru, penyerangan
bersenjata saat penyelenggaraan Pemilu serentak pada 17 April 2019. Memang tidak
seheboh peristiwa pada 2 Desember 2018 lalu. Peristiwa 2 Desember 2018,
menewaskan 31 orang karyawan PT Istaka Karya. Mereka bekerja membangun jembatan
di Kabupaten Nduga.
Pada
pelaksanaan Pilkada serentak 2018 di Papua dan Papua Barat, juga ternodai
dengan peristiwa penembakan terhadap rombongan petugas pengawal penyelenggara
Pilkada. Saat pesawat akan terbang dari Bandara
Keneam, Kabupaten Nduga dan saat rombongan berada di atas speedboad.
Pelakunya
disebut polisi sebagai KKB. Tujuannya pun dipolitisasi, hanya untuk mengganggu
penyelenggaraan Pilkada. Bahkan untuk mendukung calon pasangan kepala daerah
tertentu.
Sesederhana
itukah?
Bagi
saya, sungguh naïf! Naif jika memahami pelakunya hanya disebut sebagai KKB. Bukan sebagai gerakan separatis
Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebab, tujuannya melakukan disintegrasi
nasional. Memisahkan Papua dan Papua Barat dari Ibu Pertiwi. Gerakan mereka
jelas-jelas mengancam keutuhan dan kedaulatan bangsa.
Masyarakat
Indonesia tahu Papua dan Papua Barat mendapatkan perlakuan khusus. Selain
mendapat APBN, kedua provinsi itu juga mendapatkan dana otonomi khusus (otsus)
triliunan rupiah. Mereka juga menerima perlakuan harga bahan bakar minyak (BBM)
yang sama dengan daerah lain serta percepatan pembangunan infra-struktur.
Di
antaranya jalan Trans-Papua, termasuk jembatan yang dikerjakan PT Istaka Karya
tersebut. Tentu saja sebelum terjadi peristiwa pembantaian oleh kelompok yang
disebut pemerintah sebagai KKB.
Gerilya
Aksi ofensif gerakan separatis Papua melakukan
penyerangan bersenjata terhadap karyawan dan pekerja PT Istaka Karya yang menewaskan
31 orang, sesungguhnya tidak dapat ditoleransi lagi. Sasarannya bukan hanya
berupa warga sipil semata, sebab para pekerja sedang membangun infra-struktur jembatan
di Papua. Insfrastruktur yang sangat dibutuhkan masyarakat Papua.
Mereka juga berkali-kali melakukan
aksi penembakan terhadap penduduk dan karyawan PT Freeport. Menyerang pos keamanan
dan baku tembak dengan aparat keamanan. Menyandera penduduk, warga asing dan kampung-kampung
serta menduduki bandara.
Seperti biasa, usai melakukan aksinya,
mereka melarikan diri ke hutan atau gunung, Melakukan taktik dan tehnik perang gerilya.
Sulit dikejar oleh aparat keamanan. Mereka juga mencairkan diri dalam
masyarakat di kampung-kampung yang menjadi basis pangkalan perlawanan.
Jelas-jelas kesalahan yang sangat
fatal, jika pemerintah hanya mengategorikannya sebagai kelompok kriminal bersenjata.
Mereka adalah bagian dari gerakan separatisme. Bertujuan memisahkan diri atau disintegrasi
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gerakan separatisme di seluruh dunia,
selain bertujuan memisahkan diri, juga ancaman konsepsional. Membahayakan keutuhan
dan kedaulatan negara! Peristiwa-peristiwa penembakan mestinya dijadikan
momentum bagi seluruh elemen bangsa, utamanya warga Papua asli. Mereka harus memiliki
satu kesamaan sikap. Satu semangat memerangi gerakan tersebut sampai
keakar-akarnya.
Tidak boleh lagi ada pro dan kontra bahkan
berseberangan. Apalagi sampai menimbulkan stigma sebagai pembela gerakan separatis.
Begitu juga dengan situasi di Aceh. Masalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
mestinya sudah tutup buku setelah adanya perjanjian Helsinki tahun 2004. Jangan
coba-coba lagi menghidupkan Angkatan GAM. Sama dengan di Maluku, tak boleh lagi
ada gerakan separatis, semacam Republik Maluku Selatan (RMS) pada 1950-1960-an.
Kita harus belajar dari kesalahan
ketika menghadapi gerakan separatis di Timor Timur yang dilakukan oleh Fretilin
(Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente). Sebuah gerakan pertahanan untuk
memerdekakan diri. Pada awalnya, Fretilin bernama Associação Social Democrática
Timorense (ASDT). Ingat pelajaran berharga dari lepasnya Timor Timur!
Gerakan separatis Organisasi Papua
Merdeka (OPM), bukan hanya melakukan aksi ofensif berupa gangguan keamanan bersenjata
(GPK) saja. Mereka juga membentuk kekuatan pasukan militer. Membangun pangkalan
basis perlawanan. Bahkan seperti gerakan
separathisme di dunia, umumnya terdiri beberapa kelompok atau front perjuangan.
Selain front bersenjata, ada juga front politik di dalam maupun
luar negeri. Mereka melakukan pengkaderan. Membentuk opini dan kegiatan
diplomasi. Mendirikan perwakilan di luar negeri, Ada pua front logistic,
misalnya melalui aksi kejahatan atau kriminal. Caranya merampas, menodong,
merampok dan sebagainya. Ada pula front psikologis melakukan aksi teror dan
gerakan klandestain.
Jadi, ancaman gerakan separatis
yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara, tidak selalu bersifat militer
atau combatan. Melainkan juga bersifat non-tempur atau bahkan ancaman
nir-militer.
(bersambung)
Separatis, Bukan Kelompok Kriminal Bersenjata! (2)
Separatis, Bukan Kelompok Kriminal Bersenjata! (2)
/sgo